Tetiba aku bangun. Jam dinding baru saja berdentang menunjukkan pukul 04.00 dini hari. Hidungku mampet. Tengorokan sakit. Aku duduk sejenak tepat di bibir ranjang. Suara dengkuran halus terdengar jelas dari arah suamiku yang masih tampak pulas. Ketika ingin membangunkan suami dari lelapnya malam, suaraku tidak terdengar oleh diriku sendiri.
"Oalah, suaraku hilang." Pikirku.
"Yah, yah bangun solat subuh." Tapi suaraku tetap tak terdengar. Kugoyang-goyangkan tanganku sampai ada tanda-tanda bangun.
Beberapa hari ini batuk melanda keluarga kami. Si pembawa virus adalah suamiku. Namun, tetap saja sebagai ibu rumah tangga semua aktivitas kulakukan, solat lalu menyiapkan makan pagi. Sembari menunggu anak dan suami makan pagi, kuputar juga mesin cuci. Dalam pikiranku, setelah pekerjaan rumah selesai aku mau berobat ke dokter. Akhirnya selesai juga rutinitasku. Mau ke dokter lanjut ke sekolah. Kebetulan hari ini hari Jumat jadi pembelajaran tidak sampai sore. Cuaca pun mendukung. Langit begitu cerah. Pesan kepala sekolah ketika rapat jika sakit ringan jangan sebentar-sebentar minta izin. Kecuali sakit parah. Pesan ini masih terngiang jelas diingatanku. Aku batuk, menyebabkan suaraku hilang namun tidak demam. Jadi kekuatan tubuhku masih mampu menopang semangatku.
Segera kunyalahkan motor metikku. Baru beberapa menit berjalan, aku dihadang oleh barisan kereta api yang panjang mengular. Aku dan yang lain harus menunggu kereta api lewat. Nampak begitu semeraut motor dan mobil saling mendahului karena ingin buru-buru ke tempat masing masing. Kemacetan pun terjadi. Aku sendiri jarang melewati jalan ini. Semua ini terpaksa kulalui karena mau berobat ke dokter tadi. Rumahku sangat dekat dengan sekolah. Sementara biasanya yang antar jemput anaku adalah suamiku. Akhirnya satu rel kereta api berlalu. Maka kulanjutkan perjalanan menuju tempat berobat. Selang beberapa menit, aku harus menunggu kereta api lewat lagi untuk yang kedua kali. Kali ini aku benar-benar kesal. Kepala mulai sedikit pusing. Sesekali aku terbatuk.
"Ibu Togisawati". Panggil perawat.
"Silahkan masuk".
Aku pun berlalu, beranjak dari tempat duduk. Beberapa pertanyaan diajukan padaku oleh seorang dokter muda yang cantik.
"Ini ada tiga macam obat ya, Bu! Obat batuk, antibiotik dan vitamin. Mohon dihabiskan dan semoga lekas sembuh."
Menuju sekolah. Butuh waktu 15 menit untuk tiba di sekolah. Siswa masih melaksanakan senam pagi kegiatan rutin hari Jumat. Aku tidak senam. Kumanfaatkan waktu sesingkat mungkin untuk sarapan lalu minum obat. Senam pun usai. Bel tanda masuk berbunyi.
Dari kejauhan aku melambaikan tangan pada beberapa siswa untuk membawa buku paket dari perpustakaan. Aku memberi isyarat untuk membawa buku kelas X dan XI. Mengingat ketersediaan buku kelas XI kurang jadi saya tambahkan dengan buku kelas X. Sementara materinya sama yaitu tentang cerpen.
Dengan keadaan badan kurang maksimal untuk mengajar namun aku tetap masuk kelas. Lagi-lagi aku mengunakan bahasa isyarat yang menunjukkan bahwa suara saya sedang hilang karena batuk. Beberapa siswa tampak mengerti dengan keadaanku. Sementara yang lain tampak acuh. Keriuhan perlahan senyap. Dengan kelas jurusan Teknik Kendaraan Ringan (TKR) berjumlah 34 siswa dan hanya satu perempuan semua laki laki. Banyangkan bagaimana aktivitasku jika mengajar di kelas ini. Harus memahami karakter siswa. Aku tetap berusaha tampil maksimal. Semua perintah yang akan dilakukan oleh siswa sudah kutulis di papan tulis.
"Siswa yang mendapat buku kelas X silahkan baca cerita halaman 22."
"Siswa yang mendapat buku kelas XI silahkan baca cerita halaman 98," perintahku sambil menunjuk ke arah papan tulis.
"Setelah membaca cerpen, semoga Anda terinspirasi untuk menulis."
Yanto satu diantaranya siswa laki-laki berceloteh dengan nada mengejek dan tidak terima jika dia belajar dengan mengunakan buku paket kelas X. Pasalnya sepele. Seolah buku yang aku berikan pada siswa salah. Dia memprovokasi siswa lain untuk ribut.
"Buku kelas X ha ha." Ujarnya dengan suara melengking.
Beberapa siswa ikut gaduh. Mencibir seolah apa yang aku lakukan salah besar. Ada siswa yang masih bingung dengan apa yang terjadi.
"Masak iya, belajar di kelas XI tapi memakai buku kelas X." Timpalnya lagi.
Belum selesai aku menjelaskan dengan bahasa isyarat apa alasan aku membawa buku kelas. Seorang siswa lelaki mengeluarkan kata kotor. Aku terkejut. Emosiku terpancing. Mataku melotot tajam. Seperti seekor harimau lapar yang siap memangsa. Spontan aku cari sumber suaranya. Ketika aku menoleh serempak 3 siswa memandang pada orang yang sama.
Plakk
Buku yang sedang kupegang melayang tepat ke pundaknya. Tetiba semua siswa terdiam. Yanto mungkin terkejut juga dengan apa yang kulakukan. Dia tidak menyangka akan dengan apa yang terjadi. Sementara aku sendiri sepertinya khilaf atau apalah namanya.
"Keluar," kataku dengan nada marah dan mata sedikit melotot.
Beberapa detik mataku tidak berkedip. Aku benar-benar marah. Yanto beranjak dari tempat duduk sambil berjalan ke arah luar dengan muka masam tidak senang dan merasa jengkel. Terlihat baju lusuh dan buram serta tidak dimasukkan ke dalam celana. Semua terdiam.
Aku menghela napas beberapa kali. Setelah Yanto berlalu dan tidak terlihat lagi dari pandangan mata. Dia pergi entah kemana, paling juga nongkrong di kantin sekolah.
Aku melanjutkan pelajaran meskipun masih sedikit emosi namun tidak mengurungkan niatku untuk mengajar di kelas tersebut gara gara satu siswa. Aku berusaha tidak larut dalam melampiaskan emosi pada siswa yang lain. Aku sendiri lupa kapan terakhir memukul siswa. Meskipun aku sering mengajar di kelas yang lebih banyak laki-laki tapi saya berusaha tidak emosi. Berbagai pendekatan aku gunakan agar nyaman belajar di kelas-kelas. Aku sering dapat jadwal mengajar pada jam-jam terakhir dengan kondisi ruangan panas, sementara kondisi siswa lapar dang ngantuk bagiku tidak masalah.
Sepulang sekolah kuhempaskan badanku di atas ranjang. Kepalaku sedikit pusing. Kadang-kadang disertai batuk. Aku benar-benar lelah. Tetiba aku terlelap.
Satu Minggu berlalu, aku memasuki kelas yang sama. Namun aku tidak lagi sakit. Ari ini badanku sudah agak bugar. Kulemparkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Satu bangku terlihat kosong. Setelah kuabsen satu persatu ternyata memang Yanto tidak hadir tanpa keterangan. Anehnya kemarin menurut penjelasan teman-temannya Yanto hadir dalam keadaan sehat walafiat. Belajar dan bersendau gurau seperti tanpa masalah.
Minggu berikutnya Yanto masih juga belum hadir. Kupikir Yanto masih kesal. Aku juga sebagai guru sedikit egois. Jika ada satu siswa yang tidak mau diramut atau dibina, sementara ada 30 lebih siswa yang mau belajar. Ya sudah, kita ajar yang mau belajar saja. Yang tidak mau dibimbing ya sudahlah. Ada banyak siswa yang mau belajar toh mengapa harus repot dengan satu orang yang tidak mau. Sementara aku memperlakukan semua murid sama.
Akhirnya 3 jam pelajaran usai di kelas tersebut. Bel istirahat berbunyi. Aku segera keluar dari kelas sambil menuju perpustakaan. Sesampainya di perpustakaan ada beberapa guru yang sudah tiba lebih dahulu. Kami biasa beristirahat di perpustakaan karena cuma 15 menit. Maka aku bercerita pada temanku Teni yang guru juga, kebetulan pernah mengajar di kelas Yanto waktu kelas X.
Minggu berikutnya Yanto masih belum hadir pada pelajaranku. Sementara pada hari-hari sebelumnya masuk kelas. Hanya pelajaranku saja tidak hadir. Hal seperti ini sebenarnya sudah sering dilakukan oleh siswa. Pilih-pilih guru dan mapel. Maunya siswa guru sering tidak masuk kelas, atau guru yang jarang beri tugas. Namun bagiku, menghadapi tipe seperti Yanto harus dilihat dulu bagaimana kehidupan sehari-hari di rumah. Biasanya keseharian di rumah akan mempengaruhi karakter siswa.
Benar saja, selidik punya selidik ternyata Yanto seorang anak yang dibesarkan di rumah neneknya. Yanto hasil dari perceraian orang tua. Ekonomi yang morat marit. Yanto dibesarkan oleh seorang nenek yang telah janda. Rumah reot tak terurus. Jangankan mau rumah yang bagus, makan perhari saja susah. Sang nenek bekerja serabutan. Sementara ibunya tinggal di rumah suami barunya. Keadaan inilah yang membuat Yanto merasa putus asa. Sering marah, suka berontak dan tempramental.
Aku berinisiatif dengan wali kelas untuk memanggil Yanto ke ruang Bimbingan Konseling (BK) pada hari berikutnya.
Yanto datang dengan neneknya. Malu-malu dia memperkenalkan neneknya. Muka keriput, baju lusuh memakai sendal jepit.
Kutarik bangku lebih memepet ke arah meja. Kami berada di ruang khusus Bimbingan Konseling (BK). Aku, wali kelas, guru BK, Yanto dan neneknya.
Yanto tertuduk terpaku. Setiap ditanya suaranya nyaris tak terdengar.
"Mengapa kamu tidak masuk pas pelajaran Bahasa Indonesia," tanya wali kelas.
"Apakah masih dendam dengan Bu Tika?"
Yanto masih belum memberikan alasan mengapa tidak mau belajar. Sang nenek berulang kali memohon maaf atas tidak tanduk cucunya. Mohon bimbingannya. Mohon mengerti dengan keadaan Yanto.
"Aku...," kata Yanto terbata-bata.
"Ya tidak apa-apa cerita saja, tidak usah malu-malu."
"Aku malu dengan Bu Tika karena sudah membuat Bu Tika marah, padahal waktu itu Bu Tika sedang sakit."
"Jadi cuma itu saja alasan, " kata guru BK. Yanto masih tertuduk malu. Belum berani mengangkat wajahnya. Hanya sedikit menganggut.
Karena sudah jelas alasan Yanto tidak hadir, maka Bu Tika pun segera memaafkan. Yanto dinasehati untuk rajin belajar dan jangan suka terpancing emosi. Kasian si nenek jika Yanto banyak buat masalah. Akhirnya mereka salam-salaman.