Tiara Algani seorang gadis 18 tahun dengan hobi melukis yang mencerminkan harapan dan mimpinya. Ia cerdas, tetapi sering merasa bersalah atas hal-hal kecil. Tiara memiliki sifat madiri, tetapi trauma masa kecil membuatnya mudah cemas. Tiara di tinggal kedua orang tuanya pada usia 10 tahun, Kematian orang tuanya sangat misterius tidak ada yang tahu penyebab kematiannya, Saat ini Tiara tinggal seorang diri dirumah yang besar dan hampa.
Tiara memiliki seorang sahabat yang sangat peduli kepadanya, Abian, yang berusia 19 tahun, satu tahun lebih tua darinya. Abian diam-diam menyimpan perasaan cinta pada Tiara, meski tidak pernah mengungkapkannya. Ia dikenal sebagai siswa berprestasi, baik dalam olahraga maupun seni, dan selalu siap membantu teman-temannya. Abian juga membawa luka mendalam sejak kecil, ketika ia kehilangan ibunya akibat gagal jantung di usia 8 tahun. Pengalaman itu membuatnya bertekad untuk melindungi Tiara, yang baginya adalah orang yang sangat berarti.
Di sore hari ketika semua murid SMA Cahaya sudah pulang, Tiara harus pulang terlambat karena dihukum guru matematikanya, karena tak sempat mengerjakan tugas yang diberikan. Tiara mencoba menyelesaikan tugasnya dihari itu juga tetapi waktu tak cukup untuk menyelesaikannya. Saat Tiara tengah melangkah menuruni tangga sekolah sambil membawa buku-buku yang sebelumnya dia pinjam di perpustakaan, saat itu sebuah suara keras memecah ketenangannya. Dentuman itu berasal dari bawah tangga sekolah. Merasa penasaran, Tiara menghampiri sumber suara dengan langkah hati-hati.
Sesampainya di sana, ia tertegun melihat seorang pria tinggi dengan rambut panjang hingga menutupi sebagian wajahnya dan sorot mata tajam. Aura mengancam memancar dari tubuhnya. Ketika pria itu menoleh, senyuman sinis tergurat di wajahnya. "Tiara… Tiaraku. Akhirnya aku menemukanmu."
Kata-kata itu membuat darah Tiara berdesir, seolah ada es yang menyusup ke seluruh tubuhnya. “Bagaimana dia tahu namaku?” pikirannya kacau, panik, seolah dunia berputar dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, Tiara berlari dengan sekuat tenaga, langkahnya terasa seperti terhenti di udara, napasnya tercekat. Namun, pria itu tetap mendekat dengan langkah besar yang menggema, suara derapannya menambah ketakutan yang semakin menguasai tubuhnya. Setiap langkahnya terasa semakin dekat. Tiara berlari, namun lorong itu seolah tak pernah berakhir. Akhirnya, ia terhenti di ujung lorong yang gelap, tanpa jalan keluar. Hati Tiara berdetak keras, jantungnya serasa ingin melompat keluar. Dengan gemetar, ia memejamkan mata, berharap bahwa ini semua hanya mimpi buruk, berharap seseorang akan datang untuk menyelamatkannya.
Tiba-tiba, Sebuah pukulan keras menghantam kepala pria itu. Abian berdiri dengan kayu di tangannya, nafasnya memburu. "Tiara, kau baik-baik saja?" Abian mendekatinya, memberikan jaket untuk menghangatkan tubuh Tiara yang gemetar. "Abian, pria itu tahu namaku...tapi aku tak mengenal nya," gumam Tiara sebelum pingsan di pelukan Abian.
Esoknya, Tiara kembali kesekolah dengan perasaan tak tenang. Ia merasa seseorang mengikutinya. Di sela-sela keramaian disebrang jalan, Pria misterius itu kembali muncul, Ia tersenyum menyeramkan dari kejauhan. Kejaran bayangan itu terus menghantui Tiara bahkan saat Ia ingin melupakannya.
Di sekolah, Tiara mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Namun, kehadiran pria misterius itu terus mengganggu pikirannya. Sesekali, Sosoknya muncul di sudut pandang Tiara, menatapnya dengan senyuman menyeramkan yang membuat tubuhnya merinding. Meskipun Tiara berusaha mengabaikan, bayangan pria itu terus menghantui, Seakan mengintai setiap langkahnya.
Saat Tiara pergi ke kamar mandi, Pintu tiba-tiba tertutup keras. Pria itu muncul di belakangnya, Sebelum Tiara sempat berteriak, kain basah menutup wajahnya, membuatnya kehilangan kesadaran. Saat sadar kembali Tiara terbangun di gubuk tua di tengah hutan dengan tubuh terikat. Pria misterius itu bernama pak Ibran, seorang pria yang kehilangan anaknya akibat kegagalan operasi transplantasi jantung secara paksa oleh orang tua Tiara, yang merupakan seorang dokter. Ia pernah bekerja sebagai tukang kebun di rumah Tiara, dahulu anaknya sering bermain bersama Tiara. Trauma mendalam membuatnya merasa Tiara adalah penyebab kehilangan tersebut. Ia bukan sekedar gila, tetapi sosok yang terjebak antara dendam dan rasa kehilangan.
Pak Ibran, pria yang menculiknya, duduk di depannya dengan tatapan penuh kebencian. "Kau tahu,Tiara? Anakku meninggal karena keluargamu. Jantungnya diambil untuk menyelamatkanmu!" Ucap pak Ibran dengan suara terisak.
Tiara tersentak. Kata-kata pria itu mengguncang dunianya. "Itu tidak mungkin! Aku...aku tak tahu apa-apa!"
Pak Ibran mengangkat pisau, matanya berkaca-kaca. "Hari ini, aku akan mengambil kembali jantung anakku."
Tepat saat itu, suara tembakan memecah keheningan, polisi menyerbu masuk. Abian yang datang bersama polisi langsung melepaskan ikatan Tiara. Namun, pak Ibran mengangkat pisau untuk terakhir kalinya hingga sebuah tusukan tepat pada dada Tiara, Sebuah peluru tertembak di kepala pak Ibran hingga menghentikan tindakannya, Sebelum pak Ibran meninggal ia berkata "Nakk ayahmu sudah membalaskan dendam mu," Sambil tersenyum tenang sebelum kematian nya.
Dirumah sakit, dokter menyampaikan kabar buruk, Tiara membutuhkan donor jantung. Abian memandang Tiara tak sadarkan diri dengan wajah penuh dilema. Ia teringat saat ibunya meninggal karena gagal jantung. Kini, tak ingin kehilangan satu-satunya orang yang membuat hidupnya berarti. Dengan tekad bulat, Abian mendekati dokter. "Dokter, gunakan jantung saya, dan selamatkan Tiara," ucapnya tanpa ragu.
Dokter terkejut. "Ini keputusan yang sangat besar. Kau akan kehilangan nyawamu"
"Aku tahu. Tapi Tiara adalah segalanya bagiku. Dia harus hidup," tegas Abian.
Operasi berjalan berjam-jam. Tiara berhasil diselamatkan, tetapi nyawa Abian. tak tertolong. Ketika operasi telah selesai dan setelah dua hari berlalu Tiara sadar, dokter menjelaskan bahwa Abian telah mendonorkan jantungnya untuk Tiara. Ia merasa hatinya hancur meski ia tahu jantung Abian kini berdetak di tubuhnya.
Setelah pemakaman Abian, Tiara menemukan sebuah surat yang di tinggalkan di ruang seni sekolahnya. Tulisan Abian terpampang jelas.
"Tiara, kau selalu bilang hidupmu tak berarti. Aku ingin kau tahu, bagiku, hidupmu lebih dari segalanya. Jadikan hidup ini penuh warna seperti lukisan-lukisanmu. Jangan lupa tersenyum untukku."
Huruf-huruf dalam surat itu seperti belati yang menusuk-nusuk hati Tiara. Setiap kata yang terbaca semakin menguatkan perasaanya, membuat gadis itu semakin terpuruk dalam kesedihan. Air matanya membasahi kertas itu, seolah ingin menghapus kenyataan yang ada.
Setiap hari Minggu, Tiara mengunjungi makam Abian dengan membawa bunga mawar putih. Ia sering bercerita tentang kehidupannya, seolah Abian masih mendengarnya.
"Abian, aku memenangkan lomba lukis hari ini. Kau benar, hidupku adalah kanvas yang indah. Terima kasih telah memberikannya untukku."
Angin berhembus lembut, seolah Abian menjawab dari kejauhan. Tiara kini hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mengenang sahabat yang telah memberinya kesempatan kedua.
Dua tahun setelah kematian Abian, Tiara mulai menjalani hidupnya dengan lebih baik. Meski luka di hatinya tak sepenuhnya sembuh, ia berusaha untuk tetap kuat. Namun, satu pertanyaan masih menghantui pikirannya. kebenaran di balik kematian orang tuanya.
Suatu malam, saat Tiara sedang membersihkan kamar orang tuanya, ia menemukan sebuah kotak kayu tua yang tersembunyi di bawah kasur ranjang. Kotak itu terkunci, tetapi ada inisial “A.R” terukir di permukaannya. Dengan hati-hati, ia mencari kunci yang cocok di dalam laci-laci meja, hingga akhirnya menemukan sebuah kunci perak kecil di dalam buku tua milik ibunya.
Dengan tangan gemetar, Tiara membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat beberapa lembar foto usang, sebua jurnal, dan secarik kertas yang telah menguning. Foto-foto itu memperlihatkan orang tuanya, tetapi ada satu yang membuatnya merinding. Foto ayah dan ibunya berdiri di depan lingkaran aneh yang dilukis dengan simbol-simbol mistis. Di sekeliling mereka, ada beberapa pria dan wanita berpakaian serba hitam, wajah mereka samar dalam bayangan.
Jurnal itu milik ibunya. Dengan napas tertahan, Tiara mulai membacanya.
“Hari ke-27 Bulan purnama semakin dekat, cahayanya mulai terasa menusuk kulit. Peringatan Keluarga Algani masih terngiang di telinga, tapi kami tetap nekat. Ingin membuktikan sendiri bahwa semua cerita tentang kutukan itu hanyalah dongeng. Semalam, suasana di rumah tiba-tiba mencekam. Suara-suara aneh terdengar jelas dari kamar Tiara. Degup jantungku berpacu kencang. Rasanya, ada sepasang mata yang terus mengawasi setiap gerak-gerik kami.”
“Tiara menelan ludah. Algani? Nama itu terdengar familiar. Ia terus membaca dengan jantung berdebar.
"Hari ke-30, suara itu semakin dekat. Kami menemukan simbol yang sama terukir di bawah tempat tidur Tiara. Apakah ini hanya kebetulan? Malam ini, kami akan menghentikan ritual yang telah diwariskan selama turun-temurun. Kami tak ingin menjadi bagian dari ini lagi. Jika sesuatu terjadi pada kami, semoga Tiara tidak pernah tahu…"
Tinta pada bagian akhir jurnal tampak tercoreng, seolah ibunya menulis dengan tergesa-gesa. Tiara merasakan tubuhnya membeku. Ritual? Kutukan keluarga?
Dalam ketakutan dan rasa penasaran, Tiara pergi ke rumah pamannya, satu-satunya keluarga yang tersisa. Di ruang tamu yang remang-remang, ia menatap pamannya dengan tatapan penuh tanya.
“Paman… apa yang sebenarnya terjadi pada ayah dan ibu?” suaranya bergetar.
Pamannya terdiam lama, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Sudah waktunya kau tahu, Tiara. Keluarga kita, keluarga Algani… tidak biasa.”
Tiara mendengarkan dengan saksama saat pamannya menjelaskan bahwa keluarga mereka telah lama dikaitkan dengan sebuah perjanjian gelap. Dahulu kala, leluhur keluarga Algani melakukan ritual rahasia untuk mendapatkan kekayaan dan kesuksesan. Namun, ada harga yang harus dibayar. Setiap satu keluarga Algani, harus mengorbankan satu anaknya sebagai “tumbal” agar kutukan tidak meminta tumbal lebih banyak pada keturunan selanjutnya.
“Ayah dan ibumu menolak melanjutkan ritual itu, Tiara. Mereka ingin menghentikannya. Tapi kau tahu, sesuatu yang telah berlangsung selama ratusan tahun tidak bisa dihentikan begitu saja. Mereka dibunuh… atau lebih tepatnya, dikorbankan.”
Dunia Tiara runtuh seketika. “Tidak… itu tidak mungkin…” bisiknya.
“Kau adalah alasan mereka melawan kutukan itu,” lanjut pamannya. “Mereka ingin melindungimu. Tapi sekarang, kau yang menjadi target berikutnya.”
Tiara menelan ketakutan yang mencekiknya. Selama ini, hidupnya terasa seperti dipenuhi kebetulan aneh, tetapi ternyata semuanya telah direncanakan sejak lama.
Malam itu, Tiara tak bisa tidur. Bayangan Abian kembali menghantuinya. Seandainya ia masih ada, pasti Abian akan melindunginya… atau mungkin, pengorbanannya juga bukan kebetulan?
Hari-hari berikutnya, Tiara mulai mengalami kejadian aneh. Benda-benda di kamarnya sering berpindah tempat, suara bisikan terdengar di tengah malam, dan setiap kali ia bercermin, bayangan di belakangnya tampak lebih gelap dari seharusnya.
Pada malam bulan purnama, ia merasakan tubuhnya semakin lemah. Rasa sakit di dadanya semakin menjadi. Saat ia melihat ke cermin, ia menyadari sesuatu yang mengerikan. Bekas luka operasi jantungnya bersinar samar dalam cahaya rembulan. Kemudian, terdengar suara.
“Tiara… jantung itu bukan milikmu.”
Tiara membeku. Itu bukan suara yang asing. Itu suara… Abian. Jantungnya berdegup kencang, seakan merespons suara tersebut. Ia mundur beberapa langkah, tetapi kemudian, sesuatu mengambil alih tubuhnya. Pandangannya mengabur, napasnya tercekat, dan kesadarannya mulai memudar.
Saat terbangun, Tiara berada di tengah ruangan gelap dengan lilin-lilin menyala mengelilinginya. Di hadapannya berdiri beberapa orang berjubah hitam, wajah mereka tersembunyi di bali bayangan. “Kau adalah yang terpilih, Tiara Algani,” ujar salah satu dari mereka.
Tiara ingin berteriak, tetapi tubuhnya tak bisa bergerak. Ia menyadari sesuatu yang lebih mengerikan. jantung Abian yang kini berdetak di dadanya bukan hanya sekadar jantung. Itu adalah bagian dari perjanjian lama yang tak pernah selesai.
“Jantung itu… bukan untuk menyelamatkanmu,” lanjut suara itu. “Jantung itu adalah bagian dari ritual. Pengorbanan Abian telah membuka pintu yang lama tertutup.”
Tiara ingin menyangkal semuanya. Namun, suara itu kembali berbisik, kali ini lebih dekat.
“Kau tidak bisa lari dari takdirmu.”
Di saat itu, kesadarannya kembali menghilang. Saat Tiara terbangun lagi, ia berada di rumahnya. Namun, semuanya terasa… berbeda. Udara lebih dingin, dinding lebih suram. Ia melihat ke cermin, dan di sana, Abian berdiri di belakangnya.
“Abian?”
Abian tersenyum, tetapi matanya penuh kesedihan. “Maaf, Tiara… Aku ingin menyelamatkanmu, tapi aku justru menyerahkanmu pada mereka.”
Tiara mulai menangis. “Apa maksudmu?”
“Keluarga Algani tidak pernah bisa lepas dari kutukan ini,” ucap Abian. “Tetapi kau bisa memilih. Kau bisa mengakhiri ini… atau menerima takdirmu.”
Tiara menatap jantung yang berdetak di dadanya. Ia tahu, satu-satunya cara untuk mengakhiri kutukan ini adalah dengan mengorbankan dirinya sendiri. Tetapi jika ia melakukannya, semua pengorbanan Abian akan sia-sia.
Maka, dengan tekad bulat, Tiara mengambil pilihan ketiga. ”Aku akan hidup tetapi bukan sebagai korban, aku akan mencari cara untuk menghancurkan kutukan itu selamanya.”
Ketika fajar menyingsing, Tiara meninggalkan rumahnya, membawa jurnal ibunya dan tekad baru. Kutukan keluarga Algani tidak akan lagi menentukan hidupnya. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Tiara merasa jantungnya benar-benar memilih untuk terus berdetak.
Tiara memutuskan untuk menghadapi kutukan keluarganya. Dengan membawa jurnal ibunya, ia kembali ke rumah lamanya. tempat di mana semuanya bermula. Di dalam ruang bawah tanah yang tersembunyi, Tiara menemukan altar ritual yang penuh dengan simbol-simbol kuno. Di tengah altar, ada buku tua yang tampak usang, tetapi auranya begitu kuat. Saat Tiara membuka buku itu, sebuah suara bergema di dalam kepalanya.
"Keluarga Algani telah berjanji... Kau tidak bisa melarikan diri."
Tiara menelan ludah. Namun, ia sudah membuat keputusan. Dengan gemetar, ia membaca mantra yang tertulis di buku itu. Mantra yang ibunya coba gunakan untuk menghentikan ritual bertahun-tahun lalu.
Tiba-tiba, ruangan mulai bergetar, bayangan-bayangan hitam muncul di sekelilingnya. Suara-suara berbisik, mengancamnya, mencoba menghentikannya. Namun, Tiara tetap melanjutkan membaca.
"Dengan darah terakhir keturunan Algani, aku mengakhiri perjanjian ini!"
Seketika, rasa sakit luar biasa menyerang dadanya. Jantung Abian berdetak tak beraturan, seakan berusaha keluar dari tubuhnya. Namun, Tiara tidak menyerah. Ia mencengkeram dadanya kuat-kuat, bertahan melawan rasa sakit yang seakan merobeknya dari dalam. Suara jeritan menggema, bayangan-bayangan itu mulai lenyap satu per satu. Ruangan yang tadinya gelap kini dipenuhi cahaya terang. Altar hancur berkeping-keping. Dan kemudian... keheningan.
Tiara terjatuh ke lantai, napasnya tersengal. Ia merasa ringan, seakan beban yang selama ini menghantuinya telah lenyap. Saat ia melihat ke cermin, ia tidak lagi melihat sosok Abian atau bayangan-bayangan misterius. Yang ada hanya dirinya sendiri. Kutukan keluarga Algani... telah berakhir.
Setahun kemudian, Tiara menjalani hidupnya dengan damai. Ia tetap bekerja di restoran pamannya dan sesekali mengunjungi panti asuhan. Namun, ada satu kebiasaan yang tak pernah ia tinggalkan. mengunjungi makam Abian. setiap Minggu pagi. Saat berdiri di depan makam itu, ia tersenyum lembut.
"Abian, akhirnya semuanya selesai. Kau bisa tenang sekarang."
Angin berhembus lembut, seakan memberikan jawaban. Tiara menutup matanya, merasakan kehangatan yang menenangkan di dalam dadanya. Jantung yang kini berdetak di tubuhnya bukan lagi sekadar pemberian. Itu adalah simbol dari cinta, pengorbanan, dan kehidupan yang telah ia pilih sendiri. Dan kali ini, Tiara benar-benar hidup.
Tamat.