Alean selalu percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang indah—setidaknya, dulu. Sebelum semua berubah, sebelum hatinya menjadi ruang kosong yang hanya diisi dengan kehati-hatian. Ia pernah jatuh cinta sekali, dan itu lebih dari cukup untuk membuatnya takut mengulangnya lagi.
Malam ini, ia duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang mulai mendingin, sementara pikirannya mengembara jauh. Lalu, tanpa diduga, seseorang duduk di hadapannya.
"Masih suka kopi hitam tanpa gula, ya?" suara itu familiar, terlalu familiar.
Alean mengangkat wajahnya, dan detik itu juga, dunia seakan berhenti. Diana.
Wanita yang dulu pernah menjadi segalanya baginya. Wanita yang juga membuatnya percaya bahwa cinta bisa menyakitkan lebih dari apa pun.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" suaranya terdengar lebih datar dari yang ia harapkan.
Danu tersenyum, senyum yang dulu membuatnya jatuh berkali-kali. "Cuma kebetulan lewat. Kupikir, aku harus menyapa."
Kebetulan. Kata yang terlalu sering digunakan orang-orang yang sebenarnya punya niat lebih dari sekadar bertemu. Alean tertawa kecil, tapi matanya tetap tajam menatap wanita di depannya. Ia ingat semuanya—janji-janji yang tak ditepati, luka yang ia sembunyikan di balik senyumnya, dan bagaimana ia harus belajar mencintai kesendirian setelah Danu pergi tanpa kata.
"Aku nggak punya banyak waktu," kata Alean akhirnya. Ia bangkit, menyampirkan tas di bahunya. "Kalau ini tentang masa lalu, kita sudah selesai."
Diana terdiam. Ada sesuatu di matanya, entah penyesalan atau hanya nostalgia yang datang terlambat. "Alean..."
Tapi pria itu sudah melangkah pergi. Jantungnya berdebar cepat, bukan karena cinta yang masih ada, tapi karena trauma yang belum sepenuhnya sembuh. Dan ia tahu, tak semua luka harus diobati—kadang, cukup dengan menerima bahwa beberapa luka memang harus tetap ada, agar ia tak jatuh di lubang yang sama lagi.
(Jangan lupa mampir ke novelku : jejak Pena dan kuas, maaf kalo kurang nyambung)