Angin musim gugur berhembus pelan, menggugurkan daun-daun kering yang jatuh ke jalan setapak. Langit senja di kota itu berwarna jingga, menambah nuansa sendu di hati seorang pria yang duduk sendiri di bangku taman.
Namanya Damar. Di tangannya, sebuah kotak kecil yang sejak tadi ia genggam erat. Kotak itu berisi cincin sederhana—benda yang seharusnya menjadi simbol masa depan bersama seseorang yang ia cintai.
---
Damar mencintai Aurel lebih dari apa pun di dunia ini. Sejak pertama kali mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil, ia tahu bahwa perempuan itu istimewa. Aurel adalah cahaya di dalam hidupnya yang kelam, perempuan yang mengajarinya untuk tersenyum meski dunia terasa menyesakkan.
Namun, Damar bukan lelaki yang sempurna. Hidupnya penuh dengan kekacauan. Pekerjaan yang tak menentu, masa lalu yang rumit, dan keadaan finansial yang tidak pernah stabil membuatnya merasa bahwa ia tak pantas berada di sisi Aurel.
“Damar, aku nggak butuh kamu jadi orang kaya atau sempurna,” kata Aurel suatu hari, ketika mereka duduk berdua di apartemen sempit milik Damar. “Aku cuma butuh kamu tetap di sini, bersamaku.”
Tapi Damar tahu, mencintai seseorang tidak selalu berarti harus menggenggamnya erat. Terkadang, cinta justru berarti melepaskan—agar orang yang kita sayangi bisa hidup lebih baik.
Ia melihat bagaimana Aurel harus berjuang keras untuk menyesuaikan hidup dengannya. Bagaimana perempuan itu harus mengorbankan impian-impian besarnya demi tetap bertahan di sisinya. Dan Damar tidak bisa menerima itu. Ia tidak bisa menjadi orang yang menghambat kebahagiaan seseorang yang ia cintai lebih dari dirinya sendiri.
Maka, ia membuat keputusan.
---
Malam itu, di tempat mereka biasa bertemu, Damar menatap Aurel dengan senyum yang ia paksakan.
“Aurel,” katanya, suaranya terdengar bergetar. “Kita harus berhenti.”
Aurel terdiam. Matanya mencari jawaban di wajah Damar. “Apa maksudmu?”
Damar menelan ludah, berusaha menahan sesak di dadanya. “Aku nggak bisa terus begini. Aku nggak mau jadi penghalang untuk hidupmu.”
“Damar, kamu bukan penghalang!” Aurel berseru, matanya mulai berkaca-kaca. “Apa ini tentang pekerjaanmu? Tentang uang? Aku nggak peduli soal itu! Aku memilih kamu karena aku mencintai kamu!”
“Tapi aku peduli, Aurel!” Damar menunduk, mengepalkan tangannya. “Aku nggak bisa melihat kamu terus berkorban buat aku. Aku ingin kamu hidup dengan seseorang yang bisa memberi kamu kenyamanan, yang bisa memastikan kamu bahagia tanpa harus melewati semua kesulitan ini.”
Aurel terisak. “Jadi, kamu mau ninggalin aku?”
Damar menggigit bibirnya, menahan semua rasa sakit yang menyeruak. “Bukan karena aku nggak cinta, tapi justru karena aku terlalu mencintaimu.”
Sejenak, hanya ada kesunyian.
Aurel memejamkan mata, menghapus air mata yang jatuh. Ia tahu, Damar tidak akan berubah pikiran. Ia tahu, lelaki yang dicintainya ini terlalu keras kepala untuk memahami bahwa kebahagiaan bukan hanya tentang materi atau kestabilan hidup, tapi juga tentang bersama seseorang yang benar-benar dicintai.
Tapi jika ini keputusan Damar, ia tidak akan memaksa.
Aurel menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Baik,” katanya lirih. “Kalau itu maumu.”
Damar tersenyum pahit. “Aku harap kamu menemukan seseorang yang bisa menjagamu lebih baik daripada aku.”
Aurel menatapnya untuk terakhir kali sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan Damar yang berdiri di sana dengan hati yang hancur.
Dan begitulah cinta mereka berakhir—bukan karena mereka saling berhenti mencintai, tetapi karena Damar memilih untuk pergi agar Aurel bisa menemukan kebahagiaan yang lebih baik.
Sementara itu, Damar hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, ketika Aurel tersenyum bersama seseorang yang lebih layak, ia tidak lagi menjadi kenangan yang menyakitkan.
---
Cinta itu seperti ini kan?