---
Di sebuah desa kecil yang perlahan menua bersama waktu, Dewi Liris berdiri di depan rumah panggung kayu yang diwarisi dari orang tuanya. Angin pagi berembus lembut, membawa sisa-sisa aroma tanah basah dan kenangan yang tertinggal di tiap sudut desa.
Dulu, tempat ini hidup dalam kebersamaan. Setiap musim panen, suara tawa dan lagu-lagu rakyat menggema, merayakan berkah yang diberikan bumi. Anak-anak berlarian di antara padi yang menguning, sementara orang tua duduk di bale-bale, menganyam cerita lama. Tapi kini, sawah-sawah itu perlahan menghilang, berganti menjadi bangunan beton. Generasi muda pergi ke kota, meninggalkan tradisi yang semakin redup.
Dewi Liris meremas jemarinya. Ada sesuatu yang selalu mengisi hatinya, sebuah perasaan yang bertahun-tahun ia simpan sendiri.
Di kejauhan, seorang pria berjalan mendekat. Langkahnya tak lagi sekuat dulu, tapi ada keteguhan dalam tatapannya. Aksara, lelaki yang pernah mengukir jejak bersamanya sejak kecil, kini kembali setelah bertahun-tahun meninggalkan desa.
Mereka duduk di bawah pohon tua, tempat di mana dulu mereka menghabiskan sore dengan mendengarkan dongeng para tetua desa. Sunyi menemani mereka, tapi di antara keheningan itu, ada cerita yang tak perlu diucapkan.
Masa Lalu
Dulu, Dewi Liris dan Aksara adalah anak desa yang selalu bersama. Mereka membantu orang tua di sawah, berbagi makanan di bawah pohon jambu, dan diam-diam menyelipkan surat kecil berisi pantun di bawah batu dekat sungai.
"Angin berbisik di telinga,
Menunggu datangnya cahaya,
Ada hati yang ingin berkata,
Namun takut dunia tak sama."
Itu salah satu pantun yang pernah Aksara tulis untuk Dewi Liris. Tapi ia tak pernah berani memberikannya. Ia hanya melihat dari kejauhan saat Dewi Liris tersenyum, tanpa tahu bahwa senyuman itu sebenarnya mencari dirinya.
Waktu berjalan, dan mereka tumbuh dewasa. Aksara harus pergi ke kota, mencari kehidupan yang lebih baik, sementara Dewi Liris tetap tinggal, menjaga apa yang tersisa dari desa mereka. Surat-surat yang dulu sering mereka titipkan di bawah batu perlahan hilang, tertelan oleh perubahan zaman.
Saat Ini
“Apa yang kau temukan di kota?” tanya Dewi Liris akhirnya, suaranya lembut seperti angin senja.
Aksara tersenyum tipis. “Banyak hal. Tapi tidak ada yang benar-benar mengisi.”
Mereka kembali terdiam. Hanya suara dedaunan yang berguguran, seolah memahami isi hati mereka yang tak pernah terungkap.
Dewi Liris menatap lurus ke depan, menahan gejolak yang sudah terlalu lama ia simpan. Ia ingin bertanya, ingin mendengar Aksara mengucapkan sesuatu yang selama ini hanya ada dalam bayangannya. Tapi seperti masa lalu mereka, tak ada yang benar-benar berani melangkah lebih jauh.
Aksara mengeluarkan sesuatu dari sakunya—selembar daun lontar yang sudah mulai rapuh. Tulisan tangan lama masih terlihat samar di permukaannya.
“Ini…?” Dewi Liris mengulurkan tangan, tapi tak jadi menyentuhnya.
“Pantun yang dulu kutulis… untukmu,” Aksara mengaku, suaranya nyaris tenggelam oleh angin.
Dewi Liris menutup matanya. Sejak dulu, mereka saling mencintai dalam diam. Hingga kini, bahkan setelah waktu hampir habis, perasaan itu tetap terjaga di tempat yang sama—di hati yang tak pernah berani bersuara.
Mereka tetap duduk di sana, berdampingan, sementara dunia di sekitar mereka terus berubah. Sampai akhirnya, seperti embun pagi yang perlahan menghilang ketika matahari datang, waktu membawa mereka pergi—tanpa pernah mengungkapkan cinta yang sejak lama terpendam.
Oke, aku lanjutkan ke bagian akhir dengan lebih banyak nuansa haru dan refleksi waktu.
---
Mereka tetap duduk di bawah pohon tua itu, membiarkan keheningan berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Waktu berlalu tanpa mereka sadari, seperti debu yang ditiup angin, tak pernah kembali ke tempatnya semula.
Malam mulai turun ketika Dewi Liris menarik napas panjang. "Besok kau akan kembali ke kota?" tanyanya, suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam suara jangkrik.
Aksara tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap sawah di kejauhan yang kini lebih banyak berisi bangunan-bangunan baru. Desa mereka perlahan berubah, kehilangan wajah lamanya. Sama seperti mereka, yang perlahan kehilangan waktu.
"Aku rasa... aku akan tinggal lebih lama," jawabnya akhirnya.
Dewi Liris tersenyum kecil, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Mereka hanya duduk berdampingan, seperti dua bayangan yang terikat oleh kenangan.
Namun, takdir sering kali berjalan lebih cepat daripada manusia.
Beberapa hari setelahnya, Dewi Liris jatuh sakit. Tidak ada yang tahu pasti kapan penyakit itu mulai menggerogoti tubuhnya. Ia tetap terlihat seperti biasa—tersenyum, bekerja, menyambut pagi dengan langkah tenang. Tapi diam-diam, tubuhnya melemah.
Ketika Aksara datang ke rumahnya, ia menemukan Dewi Liris terbaring di tempat tidur kayu, wajahnya pucat, tapi matanya masih memiliki cahaya yang sama.
“Aksara…” panggilnya pelan.
Aksara duduk di sampingnya, menggenggam tangan yang terasa lebih dingin dari biasanya. "Aku di sini," bisiknya.
Dewi Liris menatapnya lama, seolah ingin mengukir sosoknya di dalam ingatan untuk terakhir kali. Ia mencoba tersenyum, meski suaranya terdengar semakin lemah.
“Kita menghabiskan banyak waktu… tanpa pernah benar-benar mengatakan apa yang ingin dikatakan, ya?”
Aksara menggigit bibirnya, mencoba menahan sesuatu yang mendesak di dadanya. Ia ingin menjawab, ingin mengatakan sesuatu yang selama ini tak pernah terucap. Tapi saat bibirnya terbuka, Dewi Liris sudah lebih dulu menutup mata, tersenyum dalam keheningan terakhirnya.
Sebuah perasaan jatuh di dadanya—bukan hanya kesedihan, tetapi juga penyesalan yang tak bisa dihapus oleh waktu.
Beberapa tahun kemudian...
Desa itu sudah berubah sepenuhnya. Rumah-rumah kayu digantikan oleh bangunan beton, sawah-sawah menjadi jalanan yang dipadati kendaraan. Tidak ada lagi pesta panen, tidak ada lagi upacara syukuran yang dulu mereka nantikan setiap musim.
Aksara berjalan pelan melewati jalan setapak yang pernah menjadi saksi masa kecil mereka. Langkahnya berhenti di bawah pohon tua, satu-satunya tempat yang masih bertahan dari gempuran perubahan.
Di tempat itu, ia meletakkan selembar daun lontar yang sudah mulai usang. Pantun yang dulu ia tulis untuk Dewi Liris masih tertulis di sana, meski tintanya sudah mulai memudar.
"Angin berbisik di telinga,
Menunggu datangnya cahaya,
Ada hati yang ingin berkata,
Namun takut dunia tak sama."
Aksara tersenyum kecil, pahit.
Cinta mereka tidak pernah terucap. Tapi ia tahu, Dewi Liris pasti sudah memahami.
Angin pagi berembus, membawa pergi sisa-sisa kenangan itu ke tempat yang lebih abadi.
---
Selesai.