Di hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang, aku tidak pernah membayangkan bahwa sebuah pertemuan sederhana bisa mengubah hidupku. Hari itu, aku berjalan memasuki gerbang sekolah, dengan perasaan campur aduk. Bagaimana tidak, setelah setahun terpisah dari teman-teman lama, aku harus menghadapi rutinitas yang mulai terasa membosankan. Namun, segalanya berubah saat aku melihatnya untuk pertama kali.
Dia berdiri di pojok koridor, dengan rambut hitam panjang yang terurai indah, mengenakan seragam sekolah yang tampak rapi, namun sedikit kusut di ujung lengan. Pandangan kami bertemu, dan ada sesuatu yang terasa begitu nyata, seolah dunia hanya berputar di sekitar kami. Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat, seakan aku telah menemukan seseorang yang aku cari tanpa sadar selama ini.
Hari-hari berikutnya kami sering berpapasan di kelas yang sama, namun selalu dalam diam. Aku bukan tipe orang yang mudah berbicara dengan orang baru, apalagi dengan seseorang yang terasa begitu jauh di mataku, meski jarak kami hanya beberapa langkah saja. Tetapi, seiring waktu, aku mulai merasakan ketertarikan yang tak terungkapkan. Dia, dengan segala keanggunannya, tetap terlihat tenang dan tidak terganggu dengan kehadiranku.
Suatu sore, ketika pelajaran telah berakhir dan sekolah sudah sepi, aku tidak sengaja berjalan melewatinya di lapangan olahraga yang kosong. Aku mendengar suara langkah kecil di belakangku, dan seketika itu juga dia muncul, tampak sedikit gugup namun tersenyum. “Kamu suka membaca?” tanyanya, memulai percakapan dengan cara yang begitu sederhana, namun memecah kebekuan yang selama ini ada di antara kami.
Percakapan itu berlanjut ke topik yang lebih dalam, dan aku mulai mengenalnya lebih jauh. Nama dia Lira, seorang gadis dengan pemikiran tajam dan kecintaan pada puisi. Ada sesuatu yang unik tentang Lira; ia memiliki cara berbicara yang membuat setiap kalimatnya terasa penuh makna. Kami mulai sering menghabiskan waktu bersama, berbincang tentang segala hal, mulai dari buku-buku favorit hingga impian yang tak pernah terucap. Aku mulai jatuh hati padanya, namun aku merasa ada sesuatu yang masih tersembunyi di balik tatapan matanya yang penuh misteri.
Lama-kelamaan, aku mulai merasakan adanya ketegangan yang mengganjal. Meskipun kami semakin dekat, ada satu hal yang selalu dia jaga: jarak emosional. Lira jarang membiarkan siapa pun, termasuk aku, masuk lebih dalam ke dalam hidupnya. Setiap kali aku mencoba bertanya tentang masa lalunya, dia hanya tersenyum tipis dan mengalihkan pembicaraan. Aku merasa seperti ada tembok yang menghalangi, namun aku tetap berharap bahwa suatu hari dia akan memberiku kesempatan untuk mengetahui lebih banyak.
Hari-hari berlalu, dan semakin banyak waktu yang kami habiskan bersama. Namun, suatu sore yang suram, aku mendapat kabar yang membuat dunia seakan runtuh. Lira memutuskan untuk pindah ke kota lain. Tidak ada penjelasan yang jelas, hanya kata-kata singkat dari gurunya yang mengatakan bahwa keluarga Lira telah memutuskan untuk mengubah tempat tinggal mereka. Aku tidak percaya. Aku merasa seolah kehilangan sesuatu yang sangat berharga tanpa sempat memilikinya.
Di hari terakhir perpisahan, aku menunggu di depan gerbang sekolah, berharap Lira akan datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Dan akhirnya, dia muncul, dengan wajah yang tampak lebih tenang dari biasanya. Tanpa banyak bicara, dia hanya menyerahkan sebuah buku kecil padaku, dengan sampul yang tampak sudah agak usang. “Ini untuk kamu,” katanya dengan suara lembut. “Buku ini adalah bagian dari aku yang mungkin tidak bisa kamu pahami sekarang, tapi aku yakin, suatu hari nanti kamu akan mengerti.”
Dengan berat hati, aku menerima buku itu, dan saat itu juga, Lira menghilang dari hidupku. Aku mencoba mencari tahu ke mana dia pergi, namun tak ada jejak yang bisa aku temukan. Hingga suatu malam, aku membuka buku yang dia berikan. Hal yang aku temukan di dalamnya membuat hatiku bergetar. Di setiap halaman, ada puisi-puisi indah yang Lira tulis, namun yang paling mengejutkan adalah surat-surat yang ada di bagian akhir buku. Surat yang ditulisnya untuk seseorang yang tidak pernah ada dalam hidupnya: aku.
Lira telah lama mengetahui perasaanku, bahkan sebelum aku mengungkapkannya. Tapi, dia memilih untuk pergi, bukan karena dia tidak mencintaiku, melainkan karena dia merasa bahwa ada beban yang terlalu berat untuk dibawa bersama. Buku itu, yang kini aku pegang erat di tanganku, adalah pesan terakhirnya, sebuah bentuk perpisahan yang penuh cinta, yang tidak pernah bisa terungkap secara langsung.
Aku tidak pernah lagi melihat Lira, tetapi kisah kami tetap hidup dalam puisi-puisi itu, yang kini menjadi bagian dari kenangan yang tak bisa terhapuskan. Cinta yang sempat terjalin, meski singkat dan penuh ketegangan, tetap abadi dalam setiap kata yang Lira tinggalkan. Dan aku menyadari, terkadang, cinta tidak selalu berarti bersama, tetapi terkadang ia berarti melepaskan, meskipun itu lebih menyakitkan daripada apapun.
Akhirnya, aku belajar bahwa beberapa pertemuan tak perlu berujung pada kebersamaan yang nyata. Ada kalanya, cinta hanya perlu dikenang, meskipun dengan cara yang tak terduga.