Naluriku perlahan menggila, bagaikan tikus kecil yang terpojok di sudut ruang tanpa adanya jalan keluar. Aku berdiri di dekat palang kereta, dadaku naik turun dan napasku terasa berat.
Di sana pada tepatnya di tengah rel, dia berdiri sambil tersenyum lembut seolah memanggilku. Senyum itu begitu hangat, begitu nyata seperti menembus kabut keputusasaan yang menyelimuti pikiranku.
Palang kereta menghalangi langkahku, tapi apa artinya semua itu? Aku sudah tak punya alasan untuk bertahan. Suaranya terdengar begitu jelas, mengalun lembut dalam kepalaku.
"Kau temanku… pegang tanganku, kita akan pergi bersama-sama."
Kata-kata itu bagaikan mantra yanh membiusku, menarikku semakin dekat. Aku menggigil tak karuan tapi kakiku melangkah maju.
Dirinya yang tak memiliki bayangan, Tubuhnya yang tampak buram di tepi cahaya lampu kereta yang mulai mendekat dan wajahnya yang menyerupai sahabatku membuatku ingin maju kearahnya.
Aku menelan ludah, tapi nyatanya ketakutan itu hanya sesaat. Aku tak ingin sendiri lagi. Jika ini jalan yang harus kuambil, maka aku akan mengikutinya.
Tanganku terulur, jemariku hampir menyentuh jemarinya dan saat itulah semuanya terjadi.
Cahaya silau menyambar, angin kencang menghantam tubuhku, dan suara gemuruh memenuhi telingaku. Kereta cepat telah melintas. Aku bahkan tak sempat berpikir, tak sempat menarik kembali tanganku.
Dalam sekejap, tubuhku terhempas jauh dari tempatku berdiri.
Rasanya dingin… begitu dingin. Punggungku menghantam aspal keras, dan tubuhku terasa remuk. Cairan merah mengalir, membasahi tanah di sekitarku.
Aku mencoba bergerak, tapi seluruh tubuhku telah mati rasa. Di tengah rasa sakit yang menjalar, aku hanya ingin melihatnya sekali lagi.
Dia tidak lagi ada di sana. Bagaikan debu yang terhempas oleh udara. Aku hanya ingin bertanya, ingin memanggilnya. Tapi, suaraku tertahan dan
Sebelum, kegelapan menelanku sepenuhnya. Pikiranku mendadak melintaskan kembali kenangan lama..
––
"Haruto-kun!" Suara ceria sahabatku, Natsumi, menyapaku dari kejauhan.
Secara refleks, kepalaku menoleh ke arahnya. Mataku berbinar saat melihat kecantikannya yang selalu membuatku terkesima. Dia tersenyum menggemaskan, membuat beban dalam diriku terasa lebih ringan.
"Ayo berangkat bersama!" katanya penuh semangat. Aku mengangguk setuju.
Natsumi mengulurkan tangannya padaku. Sesaat aku ragu tapi dengan sedikit gugup, aku akhirnya meraihnya. Jemarinya terasa hangat dalam genggamanku, kami pun berjalan bergandengan tangan menuju sekolah.
Setibanya di sekolah, Natsumi langsung menyapa orang-orang di sekitarnya seperti biasa. Melihatnya tersenyum begitu lepas membuatku ikut bahagia. Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama.
Sekelompok anak laki-laki dari kelas kami tiba-tiba mulai mengolok-oloknya. Mereka menertawakan cara berpakaiannya, sikapnya—segala hal tentangnya.
"Oh, lihatlah! Hari ini dia pakai jepitan pita. Norak banget!"
"Iya, apalagi sok-sokan nempel terus sama Haruto."
"Udahlah, Haruto. Dia tuh cewek freak. Mending jauhin aja!"
Tanpa sadar, aku refleks melepas genggaman tangannya.
Natsumi terdiam. Matanya menatapku dengan sorot kecewa. Aku bisa merasakan bagaimana perasaannya saat itu aku baru saja membuatnya merasa sendirian.
"A-apa yang kalian bicarakan? Ayo pergi, Natsumi." Aku buru-buru menariknya menuju kelas, mencoba mengabaikan tawa ejekan yang masih terdengar di belakang kami.
Di dalam kelas, Natsumi tiba-tiba berbisik pelan, "Terima kasih..."
Suaranya terdengar ragu, seolah tak yakin dengan apa yang ingin dia katakan. "Aku tidak mengerti... kenapa mereka mengolok-olokku? Apa aku memang aneh?"
Aku menggeleng tegas. "Tidak. Kau tidak aneh, mereka yang aneh."
Natsumi menatapku sejenak sebelum memalingkan wajahnya, tampak tersipu. Lalu, dengan suara yang lebih pelan, dia berkata, "Terima kasih... Kau selalu mendukungku."
Aku mengangguk, menatapnya dengan lembut. "Tak perlu berterima kasih. Kau sempurna apa adanya."
--
Bel pulang berbunyi, menandakan berakhirnya jam pelajaran hari ini. Aku segera merapikan buku-bukuku, lalu menoleh ke samping.
Natsumi biasanya menungguku, tapi kali ini dia sudah tidak ada di tempatnya.
Aku keluar kelas, mencoba mencarinya di lorong, tapi tidak menemukannya. Aku terus berjalan ke halaman sekolah, melihat ke berbagai arah, berharap menemukan sosoknya di antara kerumunan siswa lain. Akan tetapi, Natsumi tidak ada di mana pun.
Perasaanku mulai tidak enak. Aku melangkah lebih cepat, melewati gedung sekolah hingga ke area yang lebih sepi di belakang lapangan.
Saat itulah aku mendengar suara gaduh, diiringi tawa kasar yang terdengar begitu familiar.
Langkahku terhenti saat melihatnya. Natsumi dikelilingi oleh anak-anak laki-laki yang tadi mengolok-oloknya.
Mereka memukulnya, mendorong tubuhnya hingga terjatuh ke tanah. Wajah cantiknya kini penuh luka, darah mengalir dari sudut bibirnya, menciptakan kontras mengerikan dengan kulit pucatnya.
Mereka seperti sekawanan binatang buas yang haus darah, dengan seringai puas terukir di wajah mereka.
Tanpa ragu, mereka terus mencabik tubuh kecilnya, menendang dan menariknya dengan kasar, seakan dia bukan manusia. Seragamnya terkoyak, tubuhnya gemetar, tetapi mereka tak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah.
Aku sangat ingin melakukan sesuatu, ingin menghentikan mereka, ingin meneriakkan namanya. Tapi kakiku kaku. Tubuhku gemetar. Nafasku terasa sesak. Aku hanya berdiri di sana, menatapnya dengan ketakutan.
"Ini tidak sesuai rencanaku—"
Natsumi dengan wajah penuh luka dan mata berkaca-kaca, menoleh ke arahku dia melihatku. Untuk sesaat, secercah harapan muncul di matanya seolah percaya bahwa aku akan datang menolongnya. Bibirnya bergerak, ingin menyebut namaku.
Tapi sebelum suara itu keluar, aku berbalik dan berlari pergi. Aku meninggalkannya di sana. Aku tahu aku salah.. tapi aku terlalu pengecut untuk melawan mereka.
--
Setelah kejadian itu, Natsumi berubah. Dia tidak lagi menyapaku seperti biasa, tidak juga menyapa orang lain.
Wajah cerianya pun menghilang, berganti dengan ekspresi kosong yang tak bisa kutebak. Dia selalu menghindar dariku, berjalan menjauh setiap kali aku mencoba mendekatinya.
Aku frustrasi. Aku tidak ingin ini terjadi. Seharusnya dia mendekat kepadaku, bukan menjauh. Rasa bersalah semakin menghantuiku setiap kali melihat punggungnya yang semakin jauh.
Tak tahan dengan perasaan ini, aku menemui orang-orang yang dulu menyiksanya. Sekelompok anak laki-laki itu menatapku dengan santai seakan tidak terjadi apa-apa.
Mereka adalah... temanku. Ya, mereka melakukannya atas permintaanku. Aku yang menyuruh mereka membully Natsumi secara sosial.
"Ini bukan rencananya!" Aku hampir berteriak. "Kenapa kalian malah memukulinya? Aku hanya menyuruh kalian meledek, bukan menyakitinya!"
Salah satu dari mereka tertawa, melipat tangannya dengan santai. "Meledek saja nggak cukup. Kalau cuma itu, mana mungkin dia langsung bergantung padamu?"
Aku terdiam. Mereka benar-benar melampaui batas tapi aku tak bisa menarik kembali semuanya. Dan kini, mereka menagih harga lebih mahal dariku. Aku terpaksa membayar mereka, meski hatiku terasa semakin hancur.
Di saat aku menyerahkan uang itu, suara langkah kaki terdengar di belakangku. Aku berbalik dan di sana, Natsumi berdiri dengan mata lebarnya penuh air mata.
Ekspresi yang terpahat di wajahnya adalah sesuatu yang tidak pernah ingin kulihat seumur hidupku.
Dia telah menyaksikan semuanya.
"Natsumi... Dengar, aku bisa jelasin—"
Tapi dia tidak menunggu. Dengan langkah gemetar dia berbalik dan pergi meninggalkanku. Aku tidak tinggal diam, aku segera mengejarnya dan berlari sekencang mungkin.
"Natsumi! Dengarkan aku dulu!"
Dia tidak menoleh, tidak sedikit pun mengurangi langkahnya.
Langkah kaki kami berpacu di jalanan gelap, suara sepatu menghantam aspal menggema di telingaku.
Aku terus mengejarnya, berlari sekencang mungkin. Nafasku tersengal-sengal, paru-paruku terasa terbakar sepanjang berlari.
Tapi aku tidak bisa berhenti. Aku tidak boleh berhenti.
"Natsumi! Tolong! Dengarkan aku dulu!"
Dia tidak menjawab. Rambut panjangnya berkibar di udara saat dia terus berlari tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.
Aku bisa melihat bahunya naik turun, tubuhnya sedikit bergetar. Air matanya mengalir deras di pipinya dan membasahi perban yang dia kenakan.
Aku terus mengejarnya tanpa sadar ke mana kami pergi, hingga akhirnya aku menyadari di mana kami berada.
Palang kereta.
Lampu merah berkedip, tanda bahwa kereta akan segera melintas. Tapi Natsumi tidak memperlambat langkahnya, seolah tidak peduli.
Aku berhasil menangkap pergelangan tangannya, menghentikan langkahnya dengan paksa. "Natsumi, aku mohon, dengarkan aku!"
Dia menoleh ke arahku, wajahnya berantakan oleh air mata. Tapi di balik itu, matanya kosong. Tidak ada cahaya, tidak ada harapan.
"Apa yang mau kau katakan lagi, Haruto?" suaranya bergetar, hatiku terasa sakit mendnegarnya.
Aku terengah-engah, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Aku… aku nggak pernah bermaksud nyakitin kamu! Mereka cuma minta uang, aku kasih aja, bukan apa-apa, aku nggak tahu mereka bakal…"
"Tidak tahu?"
"Jangan pura-pura bodoh, Haruto. Aku sudah dengar semuanya. Kau menyuruh mereka meledekku, biar aku terlihat lemah, biar kau bisa datang sebagai pahlawan, kan?"
Aku membeku. Kata-katanya menamparku lebih keras daripada pukulan apa pun.
"Aku pikir kau temanku… aku pikir aku bisa percaya padamu."
"Natsumi, aku…—"
"Kau sama saja dengan mereka."
Sakit. Dada ini terasa sesak, seolah ditusuk dari dalam. Aku mencengkeram tangannya lebih erat, takut dia akan pergi.
"Aku nggak mau kehilangan kamu," suaraku bergetar. "Aku… aku suka sama kamu, Natsumi."
Dia terdiam. Tapi bukan karena terkejut.
Dengan satu tarikan, dia melepaskan tangannya dari genggamanku.
"Apa itu seharusnya mengubah segalanya?" bisiknya.
Aku tidak bisa menjawab. Aku ingin mengatakan iya. Aku ingin semuanya kembali seperti semula. Tapi aku tahu itu mustahil.
"Aku tidak mau hidup seperti ini lagi," suaranya terdengar letih, seakan beban yang ia pikul terlalu berat untuk ditanggung seorang diri.
Tatapannya kosong, mengarah lurus ke rel di depannya. "Kau tahu, Haruto? Aku tidak hanya disiksa oleh mereka… tapi juga oleh keluargaku, oleh dunia ini… dan olehmu."
Dada ini terasa sesak, seakan sesuatu mencengkeramnya erat.
"Aku hanya ingin bebas," bisiknya lirih.
"Aku ingin bebas… seperti burung-burung itu." Jemarinya terangkat, menunjuk ke arah kawanan merpati yang terbang tinggi, melayang bebas di atas sana menjauh dari dunia yang telah menghancurkannya.
"Natsumi, jangan—!"
Tapi sebelum aku sempat mengulurkan tanganku, dia sudah melangkah maju.
Cahaya terang dari kejauhan menelan sosoknya. Suara gemuruh kereta menggetarkan tanah di bawah kakiku, datang dengan kecepatan yang tak terkejar oleh siapa pun.
Aku bergerak. Aku mencoba meraihnya. Aku ingin menyelamatkannya, ingin membawanya kembali.
Tapi terlambat.
Angin kencang menghantam tubuh kecilnya saat kereta melesat melewati rel. Dentuman besi bergesekan memekakkan telinga, seolah melumat harapan terakhirku.
Cipratan merah mengotori jalur berbatu, mengaburkan batas antara kenyataan dan mimpi buruk.
Aku jatuh berlutut di tepi rel, jari-jariku mencakar aspal yang dingin. Tubuhku bergetar, bukan hanya karena ketakutan, tetapi karena keputusasaan yang menghantam seperti gelombang besar. Aku telah kehilangan segalanya.
"Natsumi…"
Tidak ada jawaban. Tidak akan pernah ada lagi.
Mereka bilang, penyesalan selalu datang terlambat. Tapi tak ada yang pernah memperingatkanku bahwa penyesalan bisa menghancurkanmu, membuatmu tersesat di dalam dirimu sendiri.
Aku telah bermain dengan api, dan kini yang tersisa hanyalah abu dari apa yang pernah ada...
Kehidupan ini kejam. Dunia tidak memberi kesempatan kedua. Jika aku tahu akhir dari semua ini, jika aku bisa mengulang waktu…
Akankah aku akan memilih jalan yang berbeda? Atau, apakah aku tetap akan melakukan kesalahan yang sama?
Dunia di sekitarku terus berjalan seakan tak ada yang terjadi. Orang-orang tertawa, berbicara, dan melanjutkan hidup mereka.
Tapi bagiku.. waktu telah berhenti di hari itu di saat aku membiarkannya pergi.
Aku mencoba bertahan. Aku mencoba melanjutkan hidup seolah semuanya bisa diperbaiki. Akan tetapi, Setiap langkah yang kuambil terasa hampa, setiap napas yang kuhirup terasa seperti hukuman.
Aku dihantui oleh wajahnya, oleh tatapan terakhirnya yang penuh kekecewaan, oleh suara lembutnya yang berkata ingin bebas.
Yang paling menghancurkan adalah kenyataan bahwa akulah yang merenggut kebebasan itu darinya. Aku lah yang menciptakan penderitaannya, dan… aku yang mendorongnya menuju kehancuran.
Tidak ada yang bisa mengubah itu. Tidak ada cara untuk menebusnya.
Dan kini, aku berdiri di tempat yang sama seperti dirinya, di tepi rel yang dipenuhi kenangan dan dosa.
Angin dingin menusuk kulitku, membawa bisikan masa lalu yang tak henti-hentinya berputar di kepalaku. Di tengah rel yang bergetar, aku melihat sesosok gadis menyerupai Natsumi, berdiri dengan siluet samar di bawah cahaya yang menyilaukan.
Dia memanggilku, mengulurkan tangannya seolah menantiku di sana. Aku melangkah maju, melintasi palang, berjalan menuju tengah rel dengan harapan rapuh yang menggantung di dada.
Cahaya itu semakin dekat. Getaran tanah mengguncang kakiku, menggema hingga ke jantungku.
Aku tak peduli. Tanganku terulur, jari-jariku bergetar, hanya ingin merasakan kehangatannya sekali saja, hanya sekali saja.
"Natsumi… aku datang—"
Suara logam bergemuruh, kereta datang melintas dan secara otomatis Tubuhku terhempas ke udara, terbanting tanpa arah, sebelum akhirnya jatuh menghantam aspal yang dingin.
Langit musim panas terbentang di atas sana—terang, luas, dan tenang. Tapi bagi mataku, itu adalah yang terakhir.
Gelap pun menyambutku.
Aku pun baru sadar satu hal sekarang. Dunia tidak kejam, manusia lah yang menciptakan nerakanya sendiri.
-End.