𝐒𝐡𝐨𝐮𝐣𝐨 𝐑𝐞𝐢 — 𝑴𝒊𝒌𝒊𝒕𝒐𝑷 𝒇𝒆𝒂𝒕 𝑯𝒂𝒕𝒔𝒖𝒏𝒆 𝑴𝒊𝒌𝒖
↻ ◁ || ▷ ↺
(Mlw ver)
Naluriku perlahan menggila, bagaikan tikus kecil yang terpojok di sudut ruang tanpa adanya jalan keluar. Aku berdiri di dekat palang kereta, dadaku naik turun dan napasku terasa berat.
Di sana pada tepatnya di tengah rel, dia berdiri sambil tersenyum lembut seolah sedang memanggilku kemari. Terasa begitu nyata seperti menembus kabut keputusasaan yang menyelimuti pikiranku.
Palang kereta menghalangi langkahku, tapi apa artinya semua itu? Aku sudah tak punya alasan untuk bertahan. Suaranya terdengar begitu jelas, mengalun lembut dalam kepalaku.
"Kau temanku… pegang tanganku, kita akan pergi bersama-sama."
Kata-kata itu bagaikan mantra yang membiusku, menarikku semakin dekat. Aku menggigil tak karuan tapi kakiku mengatakan sebaliknya.. aku melangkah maju.
Dirinya yang tak memiliki bayangan, Tubuhnya yang tampak buram di tepi cahaya lampu kereta yang mulai mendekat dan wajahnya yang menyerupai sahabatku membuatku ingin maju kearahnya.
Aku menelan ludah, tapi nyatanya ketakutan itu hanya sesaat. Aku tak ingin sendiri lagi. Jika ini jalan yang harus kuambil, maka aku akan mengikutinya.
Tanganku terulur, jemariku hampir menyentuh jemarinya dan saat itulah semuanya terjadi.
Cahaya silau menyambar, angin kencang menghantam tubuhku, dan suara gemuruh memenuhi telingaku. Kereta cepat telah melintas. Aku bahkan tak sempat berpikir, tak sempat menarik kembali tanganku.
Dalam sekejap, tubuhku terhempas jauh dari tempatku berdiri.
Rasanya dingin… begitu dingin. Punggungku menghantam aspal keras, dan tubuhku terasa remuk. Cairan merah mengalir, membasahi tanah di sekitarku.
Aku mencoba bergerak, tapi seluruh tubuhku telah mati rasa. Di tengah rasa sakit yang menjalar, aku hanya ingin melihatnya sekali lagi.
Dia tidak lagi ada di sana. Bagaikan debu yang terhempas oleh udara. Aku hanya ingin bertanya, ingin memanggilnya. Tapi, suaraku tertahan.
Dia berdiri di hadapanku sekarang, gadis itu memegang gantungan kunciku yang telah hancur lembur tak berbentuk. Senyumannya semakin menyinar
"Natsumi.." lirihku sebelum kegelapan menelanku sepenuhnya. Namun, pikiranku mendadak melintaskan kembali kenangan lama..
––
"Haru-kun!"
Suara ceria itu menyapaku dari kejauhan, dan seperti biasa, refleks membuatku menoleh. Di sana dia, Natsumi. Rambutnya dikuncir dua, wajahnya berseri, dan senyumnya… selalu berhasil membuat langit pagi terasa lebih terang.
Secara refleks, kepalaku menoleh ke arahnya. Mataku berbinar saat melihat kecantikannya yang selalu membuatku terkesima. Dia tersenyum menggemaskan, membuat beban dalam diriku terasa lebih ringan.
"Ayo berangkat bersama!" katanya penuh semangat. Aku tentunya mengangguk setuju.
Natsumi mengulurkan tangannya padaku. Sesaat aku ragu tapi dengan sedikit gugup, aku akhirnya meraihnya. Jemarinya terasa hangat dalam genggamanku, kami pun berjalan bergandengan tangan menuju sekolah.
Setibanya di sekolah, Natsumi langsung menyapa orang-orang di sekitarnya seperti biasa. Melihatnya tersenyum begitu lepas membuatku ikut bahagia. Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama.
Sekelompok anak laki-laki dari kelas kami tiba-tiba mulai mengolok-oloknya. Mereka menertawakan cara berpakaiannya, sikapnya—segala hal tentangnya.
"Oh, lihatlah! Hari ini dia pakai jepitan pita. Norak banget!"
"Iya, apalagi sok-sokan nempel terus sama Haru."
"Udahlah, Haru. Dia tuh cewek freak. Mending jauhin aja!"
Tanpa sadar, aku melepas genggamanku darinya.
Natsumi terdiam. Matanya menatapku dengan sorot kecewa. Aku bisa merasakan bagaimana perasaannya saat itu aku baru saja membuatnya merasa sendirian.
"A-apa yang kalian bicarakan? Ayo pergi, Natsumi." Aku buru-buru menariknya menuju kelas, mencoba mengabaikan tawa ejekan yang masih terdengar di belakang kami.
Di dalam kelas, Natsumi tiba-tiba berbisik pelan, "Terima kasih..."
Suaranya terdengar ragu, seolah tak yakin dengan apa yang ingin dia katakan. "Aku tidak mengerti... kenapa mereka mengolok-olokku? Apa aku memang aneh?"
Aku menggeleng tegas. "Tidak. Kau tidak aneh, mereka yang aneh."
Natsumi menatapku sejenak sebelum memalingkan wajahnya, tampak tersipu. Lalu, dengan suara lebih pelan, dia berkata, "Terima kasih... kau selalu mendukungku."
Aku mengangguk, menatapnya dengan lembut.
"Tak perlu berterima kasih. Kau sempurna apa adanya."
"…Sekarang kau, tenangkan dirimu dulu. Mau kubelikan susu stroberi kesukaanmu?" tanyaku, berusaha sebisa mungkin membuatnya bahagia.
"Nggak usah… omong-omong, Haru—" Natsumi mulai merogoh tasnya. Tangannya tampak sedikit gemetar saat ia mengeluarkan dua gantungan kunci yang terlihat indah dan menggemaskan.. berbentuk hati mungil dengan pita kecil yang berkilau saat terkena cahaya.
"Aku membeli ini… sebagai lambang persahabatan kita!"
Aku membinar bahagia. "Eh? Ini serius untukku?"
"Ya… apa ini membuatmu tidak nyaman? Soalnya… gantungan kunci kembar biasanya untuk persahabatan anak cewek aja..." ucapnya ragu, matanya menghindar, seolah takut jawabanku.
"Tidak, tidak... aku tak keberatan sama sekali." Aku langsung memasangkan gantungan kunci itu di tas ranselku. "Lihat? Nggak terlihat begitu aneh, kan?"
"Kau benar... Terima kasih, Haru..."
"Tidak, seharusnya aku yang berterima kasih padamu, Natsumi."
"Eh..." Dia tersenyum, sekaligus tersipu malu.
"Hmn... sama-sama, Haru."
Semua berjalan lancar akhirnya, aku tak tahu sampai kapan aku menyelamatkannya dari sekelompok predator jahat, yang terpenting Mitsumi adalah matahariku yang mampu menyinari hari-hari suramku.
Aku akan membuatnya perlahan jatuh cinta padaku..
Sampai hari itu tiba.
Bel pulang berbunyi, menandakan berakhirnya jam pelajaran hari ini. Aku segera merapikan buku-bukuku, lalu menoleh ke samping.
Natsumi biasanya menungguku, tapi kali ini dia sudah tidak ada di tempatnya.
Aku keluar kelas, mencoba mencarinya di lorong, tapi tidak menemukannya. Aku terus berjalan ke halaman sekolah, melihat ke berbagai arah, berharap menemukan sosoknya di antara kerumunan siswa lain. Akan tetapi, Natsumi tidak ada di mana pun.
Perasaanku mulai tidak enak. Aku melangkah lebih cepat, melewati gedung sekolah hingga ke area yang lebih sepi di belakang lapangan.
Saat itulah aku mendengar suara gaduh, diiringi tawa kasar yang terdengar begitu familiar.
Langkahku terhenti saat melihatnya. Natsumi dikelilingi oleh anak-anak laki-laki yang tadi mengolok-oloknya.
Mereka memukulnya, mendorong tubuhnya hingga terjatuh ke tanah. Wajah cantiknya kini penuh luka, darah mengalir dari sudut bibirnya, menciptakan kontras mengerikan dengan kulit pucatnya.
Mereka seperti sekawanan binatang buas yang haus darah, dengan seringai puas terukir di wajah mereka.
Tanpa ragu, mereka terus mencabik tubuh kecilnya, menendang dan menariknya dengan kasar, seakan dia bukan manusia. Seragamnya terkoyak, tubuhnya gemetar, tetapi mereka tak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah.
"HENTIKAN!!" pekikku dengan penuh amarah. Aku menghampiri mereka dan segera menutupi tubuh Natsumi yang tergeletak di tanah, tubuhnya gemetar, penuh debu dan luka.
"Apa kalian sudah gila?! KALIAN MENYAKITI SEORANG GADIS, TAHU?! DI MANA HARGA DIRI KALIAN?!"
Salah satu anak laki-laki meludah ke tanah.
"Tcuh, kita nggak peduli mau dia perempuan atau laki-laki. Kau tahu, Natsumi sudah keterlaluan sama kami."
"Ya! Benar, dia menampar salah satu teman kami!" sahut anak laki-laki lainnya.
"Apa itu benar... Natsumi?" tanyaku lirih.
"Mereka sudah keterlaluan..." jawabnya dengan suara bergetar.
Aku menarik napas panjang. "Sialan." Dengan cepat, aku menarik lengannya, membantunya bangun dari tanah.
"Awas kalian—" ucapku tajam, namun saat hendak pergi, salah satu dari mereka mendekat dan membisikkan sesuatu di telingaku.
"Kerja bagus... Haru."
Aku menghiraukannya dan menggenggam tangan Natsumi erat-erat, membawanya sejauh mungkin dari mereka—dari semua kekejaman yang bahkan tak pantas disebut manusia.
Kami berjalan tanpa banyak bicara, hanya suara langkah kaki yang menyatu dengan desir angin sore. Genggaman tanganku pada tangannya masih kuat, seolah jika kulepaskan, dia akan kembali runtuh.
——
Kami sampai di dekat palang kereta yang sepi, kami duduk di bangku tua milik penjaga. Catnya sudah mengelupas, tapi cukup kokoh untuk jadi tempat istirahat sementara. Suara pelan roda kereta di kejauhan terdengar samar—menambah sunyi yang terasa berat di antara kami.
Natsumi membuka botol air yang kuberikan, meneguk perlahan. Lehernya bergerak saat menelan, lalu menunduk, memeluk lututnya. Matanya masih sembab.
Aku menarik napas. "Natsumi… aku tahu kau terluka. Tapi, yang kau lakukan tadi itu… salah."
Dia tak menoleh, hanya diam.
"Aku ngerti perasaanmu. Tapi menampar mereka? Itu cuma memperkeruh keadaan. Kau bisa menyelesaikannya tanpa kekerasan. Bisa pakai cara yang lebih tenang… lebih dewasa." Suaraku mencoba lembut, tapi tetap terdengar tegas.
Natsumi mendongak, matanya mulai tajam. "Lebih dewasa?" dia mengulang pelan. "Haru, mereka mempermalukan aku. Mereka tarik rokku! Mereka tertawa saat aku nangis! Itu bukan cuma hinaan... harga diriku hancur sebagai seorang gadis!"
Aku terdiam, tapi hanya sebentar.
"Aku tahu itu!" ucapku, suaraku meninggi tanpa sadar.
"Tapi kenapa kau tak datang ke aku dulu? Kenapa harus bikin masalah makin rumit?! Aku lelah, Natsumi! Aku capek terus-terusan harus jadi orang yang nyelamatinmu!"
Dia menatapku, tercengang. "Apa maksudmu…?" bisiknya.
Aku berdiri, berjalan dua langkah menjauh. Dadaku naik turun. "Kau selalu bertindak tanpa berpikir, kekanak-kanakan, egois, dan setiap kali semuanya berantakan, kau berharap aku datang dan membereskan semuanya…"
Suasana hening. Hanya suara bel palang kereta dari kejauhan yang menyela.
Natsumi berdiri perlahan. "Jadi… itu yang kamu pikir tentang aku selama ini?" suaranya parau, nyaris berbisik, tapi sarat luka.
Aku menoleh, tapi telat. Matanya sudah berkaca-kaca, namun tak ada air mata yang jatuh. Hanya kemarahan dan kecewa yang mengeras di wajahnya.
"Terima kasih, Haru. Sekarang aku tahu… siapa yang benar-benar menganggap aku beban."
Tanpa menunggu jawabanku, dia berbalik dan berjalan cepat meninggalkanku. Langkahnya tergesa, namun penuh keyakinan yang menyakitkan.
Aku tetap berdiri di sana, membeku di bawah langit yang mulai gelap. Angin mengacak rambutku, membawa sisa aroma air yang belum sempat habis ia minum. Bangku tempat kami duduk tadi kini kosong—dan untuk pertama kalinya, terasa benar-benar sepi.
Dan di sanalah aku sadar… mungkin, untuk pertama kalinya, aku sendiri yang mulai meretakkan persahabatan ini.
——
Setelah kejadian itu, Natsumi berubah.
Ia tidak lagi menyapaku seperti biasanya—tak ada lagi "pagi, Haru!" dengan senyum kecilnya yang cerah seperti mentari. Bukan hanya aku, ia juga tak menyapa siapa pun. Seolah seluruh dunia mendadak menjadi ruang kosong yang tak ingin ia sentuh lagi.
Wajahnya yang dulu hidup, kini bagai topeng kosong. Sorot matanya mati. Tak marah, tak sedih—justru itu yang paling mengerikan. Dia hanya… hampa. Dan setiap kali aku mencoba mendekatinya, dia menghindar. Langkah kakinya cepat, gugup, seperti seseorang yang kabur dari sesuatu yang membuatnya trauma.
Dari aku.
Dan itulah yang paling menyiksa. Aku yang membuatnya seperti itu.
Seharusnya dia mendekat. Seharusnya dia mencariku saat butuh tempat bersandar. Bukankah itu rencanaku sejak awal?
Tapi tidak. Yang terjadi justru sebaliknya. Ia menjauh. Menjauh sejauh mungkin.
Rasa bersalah mencengkeram jantungku seperti tangan dingin yang tak mau melepaskan. Setiap punggungnya menghilang di ujung lorong sekolah, setiap hari tanpa satu pun kata, adalah cambuk yang menampar kesadaranku.
Akhirnya, tak tahan lagi, aku menemui mereka—kelompok itu. Orang-orang yang dulu... “membantuku”.
Empat anak laki-laki berdiri di atap sekolah, menatapku dengan ekspresi santai, sok akrab, seakan tidak ada yang perlu dipertanggungjawabkan. Seakan mereka tak pernah memukul seseorang sampai luka.
Temanku.
Sialnya, ya... mereka memang temanku.
Dan yang paling menyakitkan—aku yang menyuruh mereka.
Bukan, bukan untuk memukul. Tidak sejauh itu. Aku hanya bilang... "buat dia merasa dikucilkan, biar dia datang padaku. Biar dia butuh aku."
Sederhana. Rencana tolol anak SMP yang tidak tahu caranya menyukai seseorang.
"Apa-apaan ini?!" suaraku pecah, napasku tak teratur. "Ini nggak sesuai rencanaku! KENAPA kalian malah memukulinya?! Aku cuma minta kalian ngeledek, bukan nyakitin!"
Takagi tertawa. Suaranya nyaring dan menyebalkan, seperti paku yang digesek di papan tulis.
"Lecekin aja nggak cukup, Haru," katanya, bersandar pada pagar atap. "Kalau cuma kata-kata, mana bisa dia langsung minta tolong sama kamu?"
"Iya, bro." Rei menyeringai, mengangkat alis seenaknya. "Lo pengen jadi pahlawan, kan? Ya harus ada penjahat dulu."
Usui menatapku dari bawah kacamata bulatnya. "Apa kau lupa siapa yang mulai ini semua, Haru?"
"Aku... aku cuma—"
"Lo yang kasih ide, lo juga yang mulai," potong Takagi tajam. "Dan kita cuma nurut. Lagian, lo udah janji imbalan."
Imbalan.
Aku mencengkeram saku celana, jari-jariku gemetar. Aku bahkan sudah lupa soal itu. Semua kebodohan ini… dibayar dengan uang.
"Udah seminggu, loh," kata Rei sambil tertawa kecil. "Kami juga bisa berubah pikiran, tau? Bisa aja bilang ke guru. Ke polisi, bahkan."
Urat di leherku menegang. Dunia berputar lebih cepat dari biasanya. Ini semua salahku. Aku yang menyalakan api. Aku yang ingin jadi pahlawan... padahal aku sendiri adalah penjahatnya.
Dengan napas berat dan tangan gemetar, aku menyerahkan uang itu. Satu bundel lusuh, diremas-remas, mungkin tidak cukup untuk menebus semuanya. Tapi aku berharap... mungkin... bisa mengakhiri ini.
Lalu, aku mendengarnya.
Langkah kaki yang pelan, ragu dan gemetar.
Badanku membalik, penasaran siapa yang ada di belakangku lalu waktu seolah berhenti.
Natsumi berdiri di sana.
Bayangannya membingkai pintu atap. Cahaya senja memantul di rambutnya yang berantakan. Bahunya gemetar, dan di pipinya mengalir air mata yang tidak bisa kucegah.
Matanya membulat, namun bukan karena marah.
Tapi kecewa.
Kecewa yang tajam, dingin, dan menusuk lebih dalam dari kemarahan mana pun.
Waktu seolah memecah. Aku ingin bicara. Aku ingin menjelaskan. Tapi lidahku membatu.
"H-Haru..." suaranya pecah seperti kaca jatuh. "Jadi... selama ini… kau…"
"Natsumi, tunggu. Aku bisa jelasin. Ini semua—"
Tapi aku tak pernah menyelesaikannya.
Aku teringat kembali ke adegan itu beberapa minggu lalu, saat kami bertiga duduk di bawah rindangnya pohon di halaman sekolah, menikmati bekal sambil membicarakan sesuatu yang membuatku gelisah.
"Aku ingin Natsumi jatuh cinta padaku… tapi rasanya sulit. Aku nggak mau menghancurkan persahabatan kami," kataku pelan, menatap langit cerah yang tampak terlalu murah senyum untuk mengerti kegundahanku.
Rei, yang sedang menyuap bekalnya, mengangkat alis. "Natsumi? Teman masa kecilmu itu?" tanyanya, seolah ingin memastikan.
Aku mengangguk. "Iya. Ada saran supaya dia bisa melihat aku… lebih dari sekadar teman?"
Rei mengangkat bahu santai. "Gatau deh, bro. Tanya Usui aja. Dia kan katanya jagonya soal cinta-cintaan."
Takagi ikut tertawa kecil. "Bener tuh. Usui udah kayak dokter cinta seantero sekolah."
Usui menoleh pelan, bibirnya membentuk senyum tipis yang penuh arti. "Kalau kamu mau dia jatuh cinta, kamu harus jadi orang paling berarti buat dia. Yang selalu ada, yang melindunginya… jujur aja."
Aku mengerutkan kening, mencoba menelusuri maksudnya. "Contohnya gimana?"
Rei langsung menimpali, suaranya antusias. "Misalnya, dia dibully dulu, lalu lo datang jadi penyelamat. Klise sih, tapi efektif."
Aku menarik napas panjang. "Masalahnya, Natsumi itu disukai semua orang. Susah banget cari kesempatan buat dia dibully."
Suasana mendadak hening, sampai Takagi menoleh dengan nada pelan, setengah terselak: "Gimana kalau… kita yang ngebully dia?"
Wajahku mematung. "Apa?!"
Takagi hanya nyengir, menatap mata kami satu per satu. "Ya, kita bertiga. Pura-pura aja. Sosial bully—biar lo bisa muncul sebagai pahlawan."
Rei langsung melotot bersemangat. "Wih, ide gila! Tapi gue suka."
Jantungku berdetak lebih cepat. "Serius kalian? Nggak takut nantinya malah dibenci semua orang?"
Takagi melebar senyum, seolah tantangan itu menyenangkan. "Asal dibayar, gue sih ikut."
Matanya beralih ke Usui. Usui mengangguk singkat, tanpa banyak kata. "Aku ikut."
Aku menelan ludah, menahan rasa was-was. "Oke… tapi ingat, jangan sampai kasar. Cukup ejekan dan tekanan sosial. Ngerti?"
Rei mengangguk sambil tersenyum lebar, seolah rencana ini cuma gurauan belaka. "Tenang, bro! Kita nggak bakal keterlaluan."
Sejak saat itu, segalanya kami atur sesuai rencana. Kami mencoba mendekati Natsumi dengan akal licik kami—menebar gosip kecil di kelas, bergurau sinis soal hal-hal sepele, membuatnya merasa terpojok. Di satu sisi, aku merasa bersalah; di sisi lain, aku menunggu momen untuk muncul sebagai penyelamat.
Awalnya, rencana itu berjalan mulus. Aku dan Natsumi jadi sering berdekatan—dia mencari tempat curhat, aku memberi perhatian. Tapi lambat laun aku sadar: kedekatan itu ternyata dipenuhi bayang-bayang kepalsuan.
Kini, semua hancur. Dan aku tahu, semuanya bermula dari keputusanku sendiri.
Dia tidak menunggu. Dengan langkah gemetar dia berbalik dan pergi meninggalkanku. Aku tidak tinggal diam, aku segera mengejarnya dan berlari sekencang mungkin.
"Natsumi! Dengarkan aku dulu!"
Dia tidak menoleh, tidak sedikit pun mengurangi langkahnya.
Langkah kaki kami berpacu di jalanan gelap, suara sepatu menghantam aspal menggema di telingaku.
Aku terus mengejarnya, berlari sekencang mungkin. Nafasku tersengal-sengal, paru-paruku terasa terbakar sepanjang berlari.
Tapi aku tidak bisa berhenti. Aku tidak boleh berhenti.
"Natsumi! Tolong! Dengarkan aku dulu!"
Dia tidak menjawab. Rambut panjangnya berkibar di udara saat dia terus berlari tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.
Aku bisa melihat bahunya naik turun, tubuhnya sedikit bergetar. Air matanya mengalir deras di pipinya dan membasahi perban yang dia kenakan.
Aku terus mengejarnya tanpa sadar ke mana kami pergi, hingga akhirnya aku menyadari di mana kami berada.
Palang kereta.
Lampu merah berkedip, tanda bahwa kereta akan segera melintas. Tapi Natsumi tidak memperlambat langkahnya, seolah tidak peduli.
Aku berhasil menangkap pergelangan tangannya, menghentikan langkahnya dengan paksa. "Natsumi, aku mohon, dengarkan aku!"
Dia menoleh ke arahku, wajahnya berantakan oleh air mata. Tapi di balik itu, matanya kosong. Tidak ada cahaya, tidak ada harapan.
"Apa yang mau kau katakan lagi, Haru?" suaranya bergetar, hatiku terasa sakit mendnegarnya.
Aku terengah-engah, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Aku… aku nggak pernah bermaksud nyakitin kamu! Mereka cuma minta uang, aku kasih aja, bukan apa-apa, aku nggak tahu mereka bakal…"
"Tidak tahu?"
"Jangan pura-pura bodoh, Haru. Aku sudah dengar semuanya. Kau menyuruh mereka meledekku, biar aku terlihat lemah, biar kau bisa datang sebagai pahlawan, kan?"
Aku membeku. Kata-katanya menamparku lebih keras daripada pukulan apa pun.
"Aku pikir kau temanku… aku pikir aku bisa percaya padamu."
"Natsumi, aku…—"
"Kau sama saja dengan mereka."
Sakit. Dada ini terasa sesak, seolah ditusuk dari dalam. Aku mencengkeram tangannya lebih erat, takut dia akan pergi.
"Aku nggak mau kehilangan kamu," suaraku bergetar. "Aku… aku suka sama kamu, Natsumi."
Dia terdiam. Tapi bukan karena terkejut.
Dengan satu tarikan, dia melepaskan tangannya dari genggamanku.
"Apa itu seharusnya mengubah segalanya?" bisiknya.
Aku tidak bisa menjawab. Aku ingin mengatakan iya. Aku ingin semuanya kembali seperti semula. Tapi aku tahu itu mustahil.
"Aku tidak mau hidup seperti ini lagi," suaranya terdengar letih, seakan beban yang ia pikul terlalu berat untuk ditanggung seorang diri.
Tatapannya kosong, mengarah lurus ke rel di depannya. "Kau tahu, Haru? Aku tidak hanya disiksa oleh mereka… tapi juga oleh keluargaku, oleh dunia ini… dan olehmu."
Dada ini terasa sesak, seakan sesuatu mencengkeramnya erat.
"Aku hanya ingin bebas," bisiknya lirih.
"Aku ingin bebas… seperti burung-burung itu." Jemarinya terangkat, menunjuk ke arah kawanan merpati yang terbang tinggi, melayang bebas di atas sana menjauh dari dunia yang telah menghancurkannya.
"Natsumi, jangan—!"
Tapi sebelum aku sempat mengulurkan tanganku, dia sudah melangkah maju.
Cahaya terang dari kejauhan menelan sosoknya. Suara gemuruh kereta menggetarkan tanah di bawah kakiku, datang dengan kecepatan yang tak terkejar oleh siapa pun.
Aku bergerak. Aku mencoba meraihnya. Aku ingin menyelamatkannya, ingin membawanya kembali.
Tapi terlambat.
Angin kencang menghantam tubuh kecilnya saat kereta melesat melewati rel. Dentuman besi bergesekan memekakkan telinga, seolah melumat harapan terakhirku.
Cipratan merah mengotori jalur berbatu, mengaburkan batas antara kenyataan dan mimpi buruk.
Aku jatuh berlutut di tepi rel, jari-jariku mencakar aspal yang dingin. Tubuhku bergetar, bukan hanya karena ketakutan, tetapi karena keputusasaan yang menghantam seperti gelombang besar. Aku telah kehilangan segalanya.
"Natsumi…"
Aku nggak bisa lupa ekspresi terakhirnya.
Senyum tipis yang bukan senyum bahagia—lebih mirip permintaan maaf yang telat.
Seketika tubuhnya jatuh, cepat... terlalu cepat untuk kuselamatkan, terlalu lambat untuk dilupakan.
Darahnya menyebar seperti tinta di atas kanvas beton.
Aku hanya bisa berdiri di sana, kaku, mulutku terbuka tapi nggak ada suara keluar. Dunia jadi bisu. Bahkan suara kereta pun hilang. Yang tersisa cuma detak jantungku yang berantakan dan rasa mual di perut.
"Natsu..." Aku jatuh berlutut. Tanganku gemetar. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi..
Tangisan datang terlambat. Baru setelah tubuhnya dibawa pergi, aku pecah
seperti kaca yang dilempar dari lantai dua.
"NATSUMIIII!!!"
Suara itu keluar dari tenggorokanku, liar, mentah, hancur.. Aku berteriak sampai pita suaraku nyaris sobek.
Tapi semua itu percuma.
Aku bisa memanggil namanya ribuan kali, tapi dia tak akan pernah kembali.
Kenapa aku tak bisa mendengar dia? Kenapa aku tak tahan tangannya lebih erat? Kenapa aku...
Kenapa aku melepaskannya?
...
Beberapa hari setelahnya, aku mulai kehilangan hitungan waktu. Hari-hari terasa seperti salinan buram dari kemarin, tanpa makna, tanpa arah. Aku tidur tanpa benar-benar tidur, bangun tanpa alasan, dan berjalan hanya karena tubuhku terlalu bosan untuk diam.
Entah kenapa, kakiku selalu membawaku ke tempat yang sama—palang kereta itu. Tempat terakhir di mana segalanya terasa utuh, lalu hancur dalam sekejap. Tempat di mana Natsumi meninggalkanku, tanpa aba-aba, tanpa sempat berkata apa pun.
Dan di sanalah aku melihatnya. Berdiri di sisi seberang rel. Rambut panjangnya bergerak pelan tertiup angin. Seragam sekolah yang familiar, dan pita merah yang dulu kupuji karena terlihat lucu. Dia terlihat begitu nyata. Terlalu nyata untuk disebut ilusi.
"Natsu...?" panggilku, nyaris tanpa suara. Tenggorokanku kering, dadaku sesak, tapi hatiku… entah kenapa, masih berharap.
Dia tidak menjawab. Hanya tersenyum. Senyum yang manis, tapi hampa. Matanya kosong, seperti menatap dari balik dunia yang berbeda. Dan kemudian, perlahan, dia mengulurkan tangan ke arahku.
"Ayo, Haru," bisiknya, entah dari mana suara itu datang. "Di sini nggak sepi. Kamu pasti suka."
Aku tak bergerak. Jari-jariku mengepal, lututku gemetar, tapi hatiku membeku. Dan sebelum aku bisa menjawab, dia lenyap. Seolah kabut yang tertiup angin pagi. Tanpa jejak. Tanpa suara.
Besoknya, dia muncul lagi. Dan lagi. Dan lagi. Setiap kali aku lewat, dia selalu ada. Tersenyum. Menungguku. Mengajakku. Sampai aku tak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang tidak. Sampai aku bertanya-tanya...
Apakah dia benar-benar mati? Atau justru aku yang ikut mati bersamanya, pelan-pelan, tanpa sadar?
——
Sekolah tak lagi terasa seperti tempat belajar. Tak lagi terasa seperti tempat berlindung dari dunia. Dulu, setidaknya aku bisa menyembunyikan diri di balik keramaian, berpura-pura baik-baik saja. Tapi sekarang, semua mata menatapku seolah aku pembawa sial.
Teman-teman yang dulu tertawa bersamaku kini berjalan menjauh tanpa suara. Tak ada lagi obrolan saat jam istirahat, tak ada lagi yang menepuk pundakku atau memanggil namaku dengan senyum. Mereka diam, mereka menjauh. Dan aku tahu kenapa.
Mereka tak dibayar olehku lagi.
Aku tahu, selama ini mereka cuma bertahan karena uangku tapi sekarang Natsumi sudah tiada, dan semua topeng itu ikut mati bersamanya. Aku sendirian, lebih dari kata sendirian. Aku dibuang.
Hanya yang tersisa hanyalah bisik-bisik. Tatapan mencibir. Kadang ejekan, lemparan kertas ke bangkuku, atau coretan di loker yang menuduhku penyebab kematian Natsumi.
"Pembunuh," kata mereka.
Kadang aku menatap cermin di kamar mandi dan hampir percaya. Mungkin memang benar. Kalau saja aku lebih peka. Kalau saja aku mendengarkan. Kalau saja aku menahannya lebih keras waktu itu...
Tanganku bergetar. Nafasku pendek. Setiap detik di sekolah terasa seperti neraka yang dibentuk khusus untukku.
Dan parahnya, aku tak bisa melarikan diri. Karena bahkan ketika aku menutup mata, Natsumi datang. Dalam mimpi, dalam bayangan, dalam pantulan jendela kelas yang berkabut hujan. Dia ada di mana-mana. Diam, tersenyum, mengulurkan tangan.
"Ayo, Haru."
Kata-kata itu membuntutiku. Di koridor, di tangga darurat, di kamar yang gelap. Kadang aku merasa sedang berjalan bersamanya, tertawa seperti dulu. Tapi ketika aku menyentuhnya, hanya udara dingin yang kurasakan.
Dan kadang… aku merasa ingin mengikutinya. Sedikit lagi. Sedikit saja.
Karena mungkin, benar kata Natsumi. Di sana tak ada namanya kesepian. Di sana tak ada rasa sakit. Dan yang terpenting… di sana, mungkin aku bisa memeluknya lagi.
Aku kembali lagi ke palang kereta hari itu.
Langit mendung menggantung rendah, seolah ikut menahan napasku. Deru angin dingin menampar pipi, membawa aroma besi, hujan, dan kenangan busuk yang tak kunjung mati. Di seberang rel, sosok itu berdiri seperti biasa—tenang, tak terusik waktu.
Natsumi.
Rambut panjangnya tergerai, basah oleh gerimis. Seragam sekolah yang sama, pita merah yang kuyakini sudah dikubur bersama tubuhnya, dan senyum yang dulu hangat, kini... hanya selembar topeng datar.
Tapi ada yang berbeda kali ini.
Dia menunjuk.
Jari telunjuknya lurus mengarah padaku—tepat ke jantung, seolah menuduh. Tidak ada senyum. Tidak ada kata-kata. Hanya tatapan kosong dan gerakan perlahan tangannya, naik... mengarah... menuding.
Jantungku mencelos. Itu bukan ajakan. Itu... tuduhan.
"Aku...?" bisikku, suaraku nyaris hilang tertelan deru rel yang bergetar.
Namun meskipun otakku menjerit, tubuhku malah bergerak. Aku melangkah. Selangkah... dua langkah ke depan, menyeberangi batas kehidupan yang tipis seperti benang. Tanganku terulur, ingin menggenggam tangannya—berharap, mungkin kali ini, ia benar-benar menginginkanku di sana.
Aku kira dia ingin memelukku.
Aku kira dia menungguku.
Tapi sebelum jemariku sempat menyentuh ujung tangannya, cahaya itu datang. Terang, panas, memekakkan telinga. Kilatan besi dan teriakan roda mengguncang udara.
Lalu—
.....