Naira duduk di bangku taman yang biasa ia datangi bersama Radit. Angin sore berembus lembut, menggoyangkan dedaunan di sekitarnya. Tapi kali ini, ia sendirian. Tidak ada Radit di sampingnya seperti biasanya.
Rasanya aneh. Biasanya, mereka duduk bersama di sini, berbagi cerita, tertawa, dan saling menggenggam tangan. Tapi sekarang, hanya ada kesunyian yang menemani Naira.
Ia memandangi ponselnya. Tidak ada pesan dari Radit. Sudah beberapa hari ini, Radit berubah. Pesan-pesannya hanya dibaca, panggilan tak terjawab. Naira berusaha mengerti, mungkin Radit sibuk. Tapi hati kecilnya berkata lain.
Dan benar saja. Hari ini, ia melihat Radit bersama seseorang. Seorang perempuan yang bukan dirinya. Radit menggandeng tangan perempuan itu, seperti dulu ia menggandeng tangan Naira. Matanya berbinar menatap perempuan itu, seperti dulu ia menatap Naira.
Hati Naira terasa seperti diremas. Jadi, ini alasan Radit menjauh? Ia mencoba menepis semua prasangka, mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya pertemanan. Tapi ketika ia melihat Radit tersenyum pada perempuan itu—senyum yang dulu hanya untuknya—ia tahu, ia sudah kehilangan Radit.
Naira tidak marah. Ia tidak ingin menangis di hadapan Radit. Ia hanya ingin bertanya, "Apa aku pernah meminta sesuatu yang berlebihan darimu, Radit? Aku hanya ingin cinta yang tulus. Itu saja."
Tapi ia tahu, pertanyaan itu tak perlu dijawab. Sikap Radit sudah menjadi jawaban.
Naira bangkit dari bangku taman dan melangkah pergi. Tanpa menoleh lagi. Ia berhak mendapatkan cinta yang tulus. Jika bukan dari Radit, mungkin dari seseorang yang lebih pantas.