Rina menatap Andi yang sedang sibuk dengan laptopnya. Sesekali pria itu mengernyitkan dahi, mengetik sesuatu, lalu menghela napas pelan. Di sisi lain, Rina sudah sejak tadi menimbang-nimbang sesuatu dalam hatinya.
“Aku mau ngomong sesuatu.”
Andi mengalihkan perhatiannya dari layar laptop dan menatap Rina sekilas sebelum akhirnya menutup laptopnya. “Apa?”
Rina menggigit bibirnya, mencoba meredam kegelisahan yang sejak tadi mengganggu pikirannya. “Kita udah pacaran hampir lima tahun, Andi.”
Andi mengangguk pelan, menunggu kelanjutan kata-kata Rina.
“Aku cuma… aku cuma mau kepastian. Kapan kita nikah?”
Andi terdiam. Ia tahu pertanyaan itu pasti akan muncul cepat atau lambat, dan sejujurnya, ini bukan pertama kalinya Rina membahasnya. Tapi kali ini, nadanya terdengar lebih serius, lebih menginginkan jawaban tegas.
Andi menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke sofa, lalu menatap Rina dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Rin… aku udah bilang, aku nggak mau menikah kalau keadaan aku belum stabil.”
“Aku tahu, tapi…” Rina menggenggam jemarinya sendiri. “Seenggaknya kita bisa mulai merencanakan, kan? Aku nggak minta pernikahan mewah, aku nggak minta rumah besar. Aku cuma mau kita menikah.”
Andi mengusap wajahnya, merasa lelah dengan pembahasan ini. “Bukan masalah menikahnya, Rin. Aku nggak mau kita hidup dalam kesusahan setelah menikah. Aku masih ngontrak, tabungan masih pas-pasan, kerjaan juga belum cukup buat biaya kehidupan berdua. Aku nggak mau kita nikah terus malah nyusahin kamu.”
“Tapi, kita bisa berjuang bareng, Andi. Kita bisa mulai dari nol, sama-sama.”
Andi menatap Rina dalam-dalam, lalu menggeleng pelan. “Bukan itu yang aku mau. Aku nggak mau ngasih kamu hidup susah. Aku nggak mau nanti kamu nyesel karena aku nggak bisa kasih kehidupan yang layak.”
Rina terdiam. Matanya mulai terasa panas. “Jadi, kalau aku tetap maksa buat nikah dalam waktu dekat, kamu nggak akan mau?”
Andi menunduk, lalu dengan suara berat menjawab, “Iya.”
Rina menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaannya yang mulai berantakan. “Terus… kalau aku nggak mau nunggu?”
Andi menatapnya lagi, kali ini dengan sorot mata yang tajam. “Kalau kamu nggak mau nunggu, kamu bisa cari orang lain.”
Jawaban itu menusuk hati Rina. Dadanya sesak, air matanya hampir jatuh, tapi dia menahannya mati-matian. “Jadi gitu, ya?”
Andi menghela napas, terlihat sedikit frustrasi. “Bukan maksud aku kayak gitu, Rin. Aku cuma nggak mau kamu terikat sama seseorang yang belum bisa kasih kepastian. Aku nggak bisa janji kapan kita nikah, karena aku sendiri belum tahu kapan aku bakal siap. Kalau kamu ngerasa ini nggak adil buat kamu, aku nggak akan nyalahin kamu kalau kamu mau pergi.”
Rina menunduk, meremas jemarinya. Hatinya sakit mendengar kata-kata itu, tapi entah kenapa dia tetap di sana.
“Kamu sadar nggak, Andi? Aku cuma minta kepastian, bukan minta kamu langsung kasih semuanya.”
Andi diam.
“Tapi kalau kamu lebih milih nyuruh aku cari orang lain daripada berusaha kasih kepastian… aku nggak tahu harus sedih atau marah.”
Andi masih terdiam, seakan tak tahu harus menjawab apa.
Keheningan menyelimuti mereka cukup lama sebelum akhirnya Rina berdiri. “Aku mau pulang.”
Andi mengangguk pelan. “Hati-hati.”
Rina menatapnya sekali lagi, berharap pria itu akan menahannya, mengatakan sesuatu yang bisa membuat hatinya lebih tenang. Tapi Andi tetap diam, membiarkannya pergi.
Meski sakit hati, meski kecewa, Rina tetap bertahan. Hubungan mereka belum berakhir. Mereka masih bersama, tapi entah untuk berapa lama lagi.