Hujan turun deras ketika Na berteduh di halte kosong. Langit mendung, udara dingin. Dia merapatkan jaketnya, menghela napas pelan.
“Lupa bawa payung?”
Suara itu datang dari samping. Lembut, tapi ada nada usil di dalamnya. Na menoleh, mendapati seorang cowok berdiri dengan santai, jaket hitamnya sedikit basah terkena gerimis.
“Enggak, sengaja aja sih pengen kehujanan,” jawab Na sarkas.
Cowok itu menyeringai kecil. “Oh, keren. Tapi gue lebih keren karena bawa payung.” Dia mengangkat payung hitamnya sedikit, seolah pamer.
Na melirik payung itu, lalu kembali menatap hujan. “Terus kenapa? Mau pamer?”
“Enggak,” katanya, masih dengan nada santai. “Mau nawarin sih, tapi kayaknya lo terlalu gengsi buat nerima.”
Na mendelik. Cowok ini nyebelin, tapi ada sesuatu di matanya—sesuatu yang bikin penasaran.
“…Udah, sini,” katanya sambil sedikit menggeser payungnya agar Na bisa ikut berteduh di bawahnya.
Na ragu sesaat sebelum akhirnya mendekat. Jarak mereka jadi sempit. Dia bisa mencium wangi mint samar-samar dari cowok itu.
“Eh, gue enggak bakal bayar, ya,” kata Na setengah bercanda.
Cowok itu melirik ke arahnya, senyumnya makin lebar. “Siapa yang minta bayaran? Gue lebih suka kalau lo ngasih gue sesuatu yang lain.”
Na menatapnya curiga. “Apa?”
Cowok itu menatap lurus ke depan, lalu berkata pelan, “Perhatian.”
Jantung Na berdebar.
Sial. Kenapa vibes cowok ini kayak yang sering dia baca di novel?
_ _ _