Matahari hampir tenggelam ketika Rina dan Adi sampai di depan rumah itu—sebuah bangunan tua bergaya kolonial Belanda yang berdiri megah di tengah halaman luas, dikelilingi pepohonan rindang yang bergoyang pelan ditiup angin sore. Rina terpaku. Ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berpaling, seakan rumah ini memanggilnya, merayunya untuk mendekat.
Dindingnya berwarna putih gading, meski di beberapa sudut telah kusam dan berlumut. Jendela-jendela tinggi dengan kaca patri berdebu mengapit pintu kayu besar yang masih kokoh. Di beranda depan, sepasang kursi rotan tua dengan meja kecil di antara mereka tampak seperti sisa-sisa masa lalu yang enggan dilupakan. Atap rumah masih kuat meski sebagian genting terlihat tua, seolah telah bertahan melewati banyak musim hujan dan panas tanpa kehilangan karakternya.
“Cantik sekali...” gumam Rina tanpa sadar.
Adi, yang berdiri di sampingnya dengan tangan terlipat di dada, hanya menatap rumah itu dengan ekspresi penuh pertimbangan. “Tua sekali lebih tepatnya,” komentarnya.
“Tapi masih kokoh. Lihat halaman depannya, luas sekali. Kita bisa menanam banyak bunga atau membuat taman kecil. Dan rumah ini... rasanya seperti punya jiwa,” ujar Rina dengan mata berbinar.
Adi terkekeh pelan, lalu merangkul bahu istrinya. “Kamu selalu berlebihan kalau sudah jatuh cinta pada sesuatu.”
Sebelum Rina sempat menjawab, seorang pria paruh baya muncul dari dalam rumah. Ia tinggi dengan rambut yang sudah banyak beruban, mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut. Dialah Hendrik van der Veen, pemilik rumah ini.
“Silakan masuk,” katanya dengan aksen Belanda yang masih kental.
Begitu melewati ambang pintu, Rina merasakan hawa di dalam rumah lebih sejuk dibandingkan di luar. Langit-langitnya tinggi, membuat ruangan terasa luas dan lapang. Lantai marmer di bawah langkah mereka, terasa kokoh. Di ruang tamu, ada perapian kecil yang sudah lama tak digunakan. Sebuah cermin besar dengan bingkai emas tergantung di dinding, pantulannya sedikit buram seolah menyimpan bayangan masa lalu.
Rina menyusuri ruangan dengan kagum. Perabotan lama masih tersisa di beberapa sudut, seperti lemari kayu jati tinggi dengan ukiran rumit dan sebuah jam dinding besar yang berhenti di angka dua belas. Ada kesan usang dan misterius, tapi juga indah—seperti rumah ini pernah menjadi saksi bisu kehidupan yang begitu kaya, namun kini hanya menyimpan kenangan.
Ketika mereka sampai di sebuah lorong panjang yang menghubungkan ruang utama dengan kamar-kamar, Rina merasakan sesuatu yang aneh. Udara di sini lebih dingin, seakan dinding-dindingnya menyimpan rahasia yang tak ingin diungkap.
“Kami jarang menggunakan ruangan di sini,” ujar Hendrik tiba-tiba, seolah membaca pikirannya. “Terutama kamar di ujung sana.”
Rina mengikuti arah pandangnya ke sebuah pintu tua yang sedikit mengelupas catnya. Ada sesuatu tentang kamar itu yang membuat bulu kuduknya meremang, tapi entah kenapa ia merasa tertarik.
“Kamar itu bisa jadi studio yang bagus untuk melukis,” komentar Adi, matanya berbinar penuh antusias.
Hendrik tersenyum tipis, tapi tak berkata apa-apa.
Setelah berkeliling dan berdiskusi, Rina semakin yakin bahwa rumah ini adalah rumah yang mereka cari. Harganya terlalu murah untuk ukuran rumah sebesar ini—sebuah kesempatan yang tak boleh dilewatkan.
“Kenapa Anda menjual rumah ini dengan harga serendah itu, Tuan Hendrik?” tanya Rina saat mereka duduk di ruang tamu untuk membahas transaksi.
Hendrik menghela napas, menatap ke luar jendela dengan tatapan yang sulit diartikan. “Saya akan kembali ke Belanda. Rumah ini... terlalu lama kosong. Saya ingin melupakannya.”
Jawaban itu menggantung di udara, meninggalkan banyak pertanyaan di benak Rina. Tapi ia tidak ingin merusak momennya. Rumah ini terasa begitu cocok untuk mereka, dan ia lebih memilih untuk percaya bahwa semuanya baik-baik saja.
Setelah semua dokumen ditandatangani, rumah itu resmi menjadi milik mereka. Hendrik meninggalkan kunci dengan tangan sedikit gemetar, lalu pergi tanpa menoleh lagi.
### **Malam Pertama**
Hari pertama mereka di rumah baru dihabiskan dengan membersihkan dan mengatur barang-barang. Meski lelah, Rina merasa bahagia. Ia selalu bermimpi memiliki rumah sendiri bersama Adi, dan kini impian itu terwujud.
Tapi saat malam tiba dan rumah mulai sunyi, perasaan aneh kembali menghampirinya.
Ia berdiri di dapur, menyesap teh hangat sambil memandangi taman belakang yang diterangi lampu kuning redup. Angin malam berhembus pelan melalui celah jendela, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang samar... sesuatu yang seperti bunga layu.
Suara derit lantai terdengar dari arah lorong.
Rina menoleh cepat, tapi tak melihat siapa pun.
Hanya lorong gelap yang memanjang ke arah kamar-kamar.
Ia menghela napas, mencoba menepis pikirannya. Itu pasti Adi yang berjalan menuju studio barunya. Suaminya memang selalu sulit tidur jika sudah memiliki ide untuk melukis.
Namun, saat ia melewati lorong menuju kamar mereka, matanya tanpa sadar melirik ke arah kamar kecil di ujung lorong—kamar yang dipilih Adi sebagai studionya.
Pintu kamar itu sedikit terbuka, meski ia ingat betul bahwa tadi sudah tertutup rapat.
Dan dari dalam kegelapan kamar itu, ia merasakan sesuatu.
Sebuah kehadiran.
Seolah ada seseorang yang sedang berdiri di dalam sana, mengawasi, menunggu.
Rina bergidik dan segera masuk ke kamar, menutup pintu dengan sedikit terburu-buru.
Ia berbaring di ranjang, menarik selimut hingga ke dadanya, mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya hanya ada di kepalanya.
Tapi jauh di lubuk hatinya berisik ... rumah ini menyimpan sesuatu.