Samudra hati
Suatu siang yang cerah, Adi, Udin, dan Setyo duduk di pos ronda, berbincang tentang cinta. Adi, sedang dimabuk asmara, bercerita tentang wanita pujaan hatinya. Matahari siang mulai menyengat kulit mereka.
"Aduh… beginikah rasanya jatuh cinta?" keluh Adi, memegang dadanya. Matahari siang hari terasa menyengat kulitnya.
Udin menyahut dengan nada mengejek, "Yaelah… kayak dia suka sama kamu aja."
"Iri kamu, Din! Lihat Setyo saja tertawa," balas Adi, menunjuk Setyo yang memang tersenyum geli.
Setyo menyikut pelan Adi, "Ha… ha… ha… kamu lupa kalau Udin jomblo akut dari lahir?"
Ketiganya tertawa lepas. Udin, meskipun kesal, ikut tertawa. Namun, tawa itu berhenti ketika Setyo tiba-tiba terdiam, menatap Adi dengan tajam.
"Setyo, kenapa kamu diam saja?" tanya Adi, merasa sedikit tidak nyaman.
Udin ikut bertanya, "Iya nih… tumben. Ada apa?"
Setyo menghela napas panjang. Tatapannya tetap tertuju pada Adi. "Wanita yang kamu suka… dia suka balik sama kamu, Adi?"
Adi menggeleng pelan, "Enggak juga… dia bahkan nggak tahu kalau aku suka sama dia."
Setyo mengeluarkan sebatang rokok, Udin menyulutkannya. Asap rokok mengepul di sekitar wajah Setyo. "Mencintai seseorang yang tidak mencintaimu… itu seperti mencari cahaya di tengah samudra. Gelap dan hampa," katanya, suaranya berat.
Adi berdiri, "Ah… kamu nggak percaya sama aku, Tyo. Suatu saat nanti aku pasti mendapatkannya. Tunggu saja!" Ia melangkah meninggalkan pos ronda.
"Aku pulang dulu, lapar," pamit Adi, melambaikan tangan.
"Juni nanti kita mancing ya?" tanya Udin.
"Janji!" jawab Adi.
Udin pun pamit pada Setyo, "Sampai jumpa, Tyo! Jangan lupa bulan Juni."
"Oke!" jawab Setyo.
Bulan Juni tiba. Udin dan Setyo sudah siap di tengah laut dengan perahu kecil milik Udin. Namun, Adi tidak datang.
"Adi mana? Katanya mau mancing bareng bulan Juni," kata Setyo, sedikit kecewa.
Udin mengangkat bahu, "Entahlah… orang itu banyak omong."
Mereka mulai memancing. Berjam-jam menunggu, tiba-tiba umpan Setyo tersambar. Ikan besar!
"Woi… woi… umpanku disambar!" seru Setyo, menarik kailnya dengan susah payah.
"Wah… ikan gede nih!" seru Udin, membantu Setyo.
Ketika kail Setyo tersangkut, perjuangan menariknya terasa sangat berat. Bukan ikan biasa, ini makhluk yang sangat kuat. Setelah berjuang berjam-jam, mereka akhirnya berhasil menariknya ke atas. Bayangan besar muncul dari dalam air, bukan ikan, bukan hiu, melainkan Adi, yang lemas dan hampir tak berdaya, terlilit tali pancing. Udin dan Setyo tercengang. Wajah Udin berubah dari terkejut menjadi khawatir, sedangkan Setyo terlihat panik, segera membantu menarik Adi ke atas perahu.
"Loh… kok… kok… kamu, Adi?" Setyo terbata-bata.
Udin melotot tak percaya, "BANGSAT! Siluman anak paus!"
Adi, wajahnya memerah, membentak, "SETAN KAMU! Aku manusia, bukan siluman!"
Setyo masih bingung, "Kok kamu bisa… berenang sampai ke sini?"
Adi menatap Setyo dengan mata berkaca-kaca. "Aku menyesal… mencintai dia yang tak mencintaiku. Aku menyelami samudra, berharap menemukan cahaya, tapi yang kutemukan hanya kegelapan."
Setyo merangkul Adi, "Sudahlah, jangan sedih. Kita foto yuk!"
Udin mengambil kamera. Sebelum memotret, ia berbisik pada Setyo, "Setyo… password-nya!"
Setyo menepuk jidatnya, "Oh iya, lupa! Hehe…"
"MANCING MANIA MANTAP!" teriak Setyo dan Adi bersamaan, mengangkat jempol.
(Cekrekk)