Di sudut sebuah kafe kecil yang dipenuhi aroma kopi dan kertas, Wafa duduk dengan kuas di tangannya. Tangannya lincah menggoreskan warna di atas kanvas kecil yang ia bawa. Ia suka melukis di sini, di dekat jendela besar yang menghadap ke jalanan kota.
Di meja lain, seorang gadis sedang asyik menulis. Pena di tangannya bergerak cepat di atas buku catatan, meninggalkan jejak kata-kata yang mengalir tanpa henti. Wafa memperhatikannya sekilas—bukan pertama kali ia melihat gadis itu. Ia sering ada di sana, menulis dengan ekspresi serius, seolah dunia di sekitarnya tak lagi ada.
Hari itu, Wafa memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia melukis gadis itu—cara matanya menatap halaman, cara bibirnya sedikit mengerucut saat berpikir. Saat lukisan itu hampir selesai, ia berdiri dan berjalan ke arahnya.
“Halo,” ucap Wafa sambil tersenyum, menunjukkan lukisannya.
Gadis itu mengangkat wajah, terkejut melihat potret dirinya di kanvas. “Ini… aku?”
Wafa mengangguk. “Aku sering melihatmu menulis di sini. Aku penasaran, apa yang kau tulis?”
Gadis itu tersenyum kecil. “Aku menulis cerita… Tentang seseorang yang melukis jejak kehidupan dengan kuasnya.”
Mereka saling bertukar cerita—tentang lukisan dan kata-kata, tentang bagaimana seni mereka saling melengkapi. Sejak hari itu, pena dan kuas tak lagi berjalan sendiri. Mereka menemukan jejak mereka dalam kisah yang sama.
(Jangan lupa mampir di novelku ramein ya asik loh)