Azura menatap langit jingga dari jendela kecil di kamar sempit mereka. Udara sore merambat masuk, membawa aroma debu dan harapan yang mulai pudar. Di sudut ruangan, Julian duduk di depan laptopnya, wajahnya tegang, jari-jarinya menari cepat di atas keyboard, mengejar tenggat tugas akhirnya. Mereka baru menikah enam bulan, tetapi rasa lelah seperti telah mengendap bertahun-tahun.
"Julian," suara Azura lirih, hampir tenggelam oleh bunyi kipas angin yang berderit pelan. "Kamu lapar? Aku masak mi goreng."
Julian tak menjawab, matanya tetap terpaku pada layar. Azura menarik napas pelan, mencoba memahami, seperti yang selalu ia lakukan. Ia tahu, Julian belum siap. Bahkan saat mereka mengucap janji suci di depan penghulu, mata Julian berbicara lebih jujur daripada bibirnya: penuh keraguan dan ketakutan.
Pernikahan mereka bukan kisah cinta yang manis. Bukan tentang bunga mawar atau puisi di bawah bulan. Itu adalah keputusan tergesa karena sebuah garis merah di test pack yang mengubah segalanya. Azura masih delapan belas, Julian dua puluh dua, dan mereka berdua terlalu muda untuk memahami makna ‘selamanya.’
Hari-hari mereka penuh pertengkaran kecil yang tumbuh menjadi diam-diam panjang. Julian merasa terjebak, Azura merasa diabaikan. Cinta mereka jika itu benar-benar cinta tersembunyi di balik setumpuk kecemasan tentang masa depan.
Suatu malam, saat Azura merasa perutnya menegang karena kehamilan yang mulai membesar, ia mendapati Julian duduk di luar, menatap kosong ke jalanan gelap.
“Kamu kenapa di luar?” tanya Azura, pelan.
Julian menghela napas. “Aku nggak tahu harus bagaimana, Zu. Aku... takut.”
Azura duduk di sampingnya, meski punggungnya pegal. “Aku juga takut, Julian. Tapi aku di sini. Sama kamu.”
Julian menoleh, mata lelahnya bertemu mata Azura. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, mereka bicara tanpa kata-kata. Hanya kejujuran sederhana yang tak bisa dihindari yaitu mereka sama-sama tersesat.
Malam itu, mereka tidak saling menyalahkan. Hanya duduk berdampingan, merasakan dingin malam, mencoba menemukan kembali diri mereka di tengah kekacauan ini.
Beberapa bulan kemudian, suara tangis bayi memenuhi kamar sederhana itu. Azura memeluk putri kecil mereka dengan mata basah, sementara Julian berdiri kaku di sudut, bingung antara bahagia atau panik.
Namun saat bayi itu menggenggam jari kecilnya, sesuatu berubah. Bukan keajaiban, bukan tiba-tiba semuanya sempurna. Tapi ada secercah keberanian yang tumbuh. Julian menatap Azura, dan untuk pertama kalinya, bukan dengan rasa bersalah, melainkan dengan tekad.
Mereka masih muda, masih banyak salah, dan mungkin akan terluka lebih banyak lagi. Tapi mereka memilih untuk tetap di sana. Bersama. Bukan karena terpaksa, tapi karena mereka ingin mencoba, meski itu berarti jatuh dan bangkit berkali-kali.
Di ujung rumah kecil itu, di bawah sisa senja, Azura dan Julian belajar bahwa cinta bukan soal siap atau tidak siap. Kadang, cinta adalah tentang bertahan saat semua terasa terlalu berat.