Malam telah larut ketika Arman dan tiga temannya, Dito, Sari, dan Rina, berdiri di depan rumah tua yang terbengkalai di ujung desa. Mereka menatap bangunan itu dengan waspada. Rumah itu terkenal dengan kisah-kisah menyeramkan—katanya, siapa pun yang masuk ke dalamnya akan mendengar bisikan misterius.
"Kita beneran mau masuk?" tanya Sari, merapatkan jaketnya.
"Udah sampai sini, masa mundur?" jawab Dito sambil menyalakan senter.
Arman tersenyum tipis. "Anggap aja uji nyali."
Mereka pun melangkah masuk. Pintu kayu tua itu berderit saat didorong, menciptakan gema yang menyesakkan dada. Begitu masuk, udara dingin menyergap. Bau apek dan debu memenuhi ruangan.
Rina memegang lengan Sari. "Kenapa aku merasa ada yang memperhatikan kita?"
Dito tertawa kecil. "Sugesti aja. Udah, ayo jelajahi rumah ini."
Mereka berjalan melewati ruang tamu yang penuh perabotan tua tertutup kain putih. Dito menyalakan kameranya, merekam setiap sudut ruangan.
Namun, baru beberapa langkah, mereka mendengar sesuatu.
Sebuah bisikan.
Perlahan, nyaris tak terdengar.
"Pergilah…"
Langkah mereka terhenti. Mereka saling pandang, memastikan apakah semua mendengar hal yang sama.
"Aku nggak suka ini," bisik Sari.
Arman menelan ludah. "Mungkin angin…"
Namun, saat itu juga, jendela yang tertutup rapat tiba-tiba terbanting dengan keras. Mereka tersentak.
"Angin dari mana?" Rina menggigit bibir, ketakutan mulai merayapi wajahnya.
Dito, yang masih memegang kamera, justru semakin bersemangat. "Ini keren banget! Bayangin kalau kita bisa nangkep sesuatu di kamera!"
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari lantai atas. Sari menjerit pelan.
"Ada orang di atas," bisiknya.
"Atau… sesuatu," sambung Arman lirih.
Mereka menyorotkan senter ke tangga yang mengarah ke lantai dua. Suara langkah itu masih terdengar—pelan, tapi jelas.
"Aku mau keluar dari sini," kata Rina.
Namun, sebelum mereka sempat berbalik, sesuatu terjadi.
Senter di tangan Dito dan Arman berkedip, lalu mati. Ruangan menjadi gelap gulita.
Hanya ada suara napas tertahan dan… bisikan.
"Kenapa kalian datang…?"
Suara itu terdengar lebih dekat.
Sari mencengkeram tangan Rina erat. "Tuhan, tolong kita…"
Tiba-tiba, ada sesuatu yang bergerak di ujung tangga. Mereka hanya bisa melihat siluet samar. Sosok itu berdiri diam, menatap mereka.
Lalu, dalam sekejap, ia bergerak dengan kecepatan yang tak wajar.
Mendekat.
Sari menjerit. Mereka berhamburan ke belakang, berusaha mencari jalan keluar.
Arman menarik Dito. "Lari!"
Mereka bergegas menuju pintu, namun pintu itu tak mau terbuka. Seakan ada kekuatan yang menahannya.
"Apa yang harus kita lakukan?" Rina menangis ketakutan.
Bisikan itu kembali terdengar, kali ini mengelilingi mereka dari segala arah.
"Pergi… Sebelum terlambat…"
Senter Arman tiba-tiba menyala kembali, meskipun redup. Dalam cahayanya, mereka melihat sesuatu di cermin besar di sudut ruangan.
Refleksi mereka terlihat jelas… tapi ada satu sosok tambahan.
Seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun lusuh, dengan wajah pucat dan mata kosong.
Ia berdiri di tengah mereka.
Menatap mereka.
Mulutnya bergerak.
"Jangan biarkan dia keluar…"
Seketika itu juga, suara jeritan menggema di seluruh rumah.
Pintu depan akhirnya terbuka dengan sendirinya. Tanpa berpikir dua kali, mereka berlari keluar, napas tersengal, jantung berdegup liar.
Begitu mereka melewati halaman, suara jeritan itu menghilang, digantikan oleh keheningan yang menyesakkan.
Mereka terus berlari sampai tiba di jalan besar. Dito masih menggenggam kameranya, tangannya gemetar.
"Apa… apa yang baru saja terjadi?" bisik Sari.
Arman menatap rumah tua itu. Meski gelap, ia bisa melihat sosok samar di jendela lantai dua. Masih berdiri di sana.
Mengawasi mereka.
Malam itu, mereka bersumpah tak akan pernah kembali.
Tapi keesokan paginya, ketika Dito memeriksa rekaman di kameranya, sesuatu membuat mereka membeku.
Dalam rekaman itu, ada suara lain.
Sebuah bisikan terakhir sebelum mereka keluar dari rumah itu.
"Kalian pikir sudah bebas…?"