"Bisikan di Tengah Kopi dan Rokok"
Terkadang, aku masih mengingat suatu momen tak bernalar.
Di mana kami bertiga berkumpul menikmati malam yang sunyi,
ditemani sebungkus rokok dan segelas kopi.
Arah jarum jam mulai menepi, tepat di angka dua belas malam.
Hafizh, dengan segudang ilmu pengetahuan tentang agama,
dan juga berasal dari keturunan Sunan Kalijaga,
dirinya begitu terkenal dan tersohor, bahkan ia sejajar dengan ulama.
(Semua tentang dia hanyalah hiperbola semata.)
Kami membahas kisah para nabi dan sahabatnya.
Hafizh menceritakan perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan ajaran yang mulia.
Pengorbanan para sahabat yang selalu melindungi kekasih Allah
membuat kami terpukau oleh kepandaiannya.
Lalu ada Tegar, seorang anak yang sangat pintar dan cerdas.
Ia memiliki daya ingat yang tajam; bahkan IQ-nya konon mencapai dua ratus.
Kabarnya, kepintarannya diwarisi dari Albert Einstein dan Isaac Newton.
(Lagi-lagi, aku melebih-lebihkan kenyataan.)
Dengan segala "kepintarannya," ia punya teori:
"Komposisi gula dalam teh gelas mencapai empat belas kilogram gula pasir."
Bahkan ia berkata tentang ukur meteran, bahwa menurutnya,
"satu meter itu setara dengan satu jengkal jari tangan."
Jelas saja, ia sejajar dengan para ilmuwan terdahulu.
(Padahal kenyataannya, ia bodoh dan tak bernalar.)
Kemudian ada Iyan, yang katanya punya indra keenam.
Ia mampu berbicara dengan makhluk gaib dan bisa bertelepati dari Tangerang ke Italia.
Karena kehebatannya, ia disebut anak ajaib.
(Kata dukun sih, tapi aku juga kurang tahu.)
Iyan mulai membakar rokoknya dan meletakkannya di pinggir kursi.
Lalu ia berkata, "Lihatlah, aku memanggil setan dan menyuruhnya
menikmati sebatang rokok yang kubakar tadi."
Hafizh mengerutkan kening.
"Aku tidak yakin itu benar-benar setan, Iyan. Mungkin hanya trik saja."
Tegar menggeleng.
"Aku juga tidak yakin. Tapi aku pernah mendengar cerita tentang orang-orang
yang bisa berkomunikasi dengan makhluk gaib."
Namun, dengan segala ide tipu muslihatnya, Iyan mulai merangkai kata-kata pemikat.
"Kalian meremehkan aku? Padahal semua komplek Periuk saja mengakui kehebatanku.
Mereka bilang aku anak ajaib!"
Pernyataan Iyan membuat Hafizh dan Tegar terdiam.
Mereka saling pandang, kali ini dengan ekspresi yang lebih sulit dibaca.
Apakah mereka benar-benar percaya dengan kata-kata Iyan?
Atau mereka masih ragu?
Jawabannya tersimpan dalam tatapan mereka yang penuh teka-teki,
sementara Iyan hanya tersenyum kecil, menikmati kekaguman
(atau mungkin keheranan) yang terpancar dari kedua temannya.
Hafizh dan Tegar sangat tercengang dengan apa yang mereka lihat.
Hafizh berbisik perlahan ke telinga Tegar,
"Wah, ternyata dia benar-benar anak ajaib, ya."
Tegar menjawab, "Iya, Iyan mungkin saja bisa masuk badan intelijen negara."
Iyan hanya tersenyum kecil, sementara hati kecilnya berkata,
"Orang bodoh. Padahal, anginlah yang meniup rokok itu."
---