Angin sore berhembus pelan, membawa aroma tanah basah yang menyatu dengan hujan. Aku berdiri di depan nisan batu itu, tangan gemetar memegang payung hitam yang tak benar-benar melindungi ku dari dinginnya hujan yang menjalar di tubuhku.
Terlambat. Begitu banyak waktu ku lewatkan dengan rasa sombong, enggan menatap kembali luka yang telah ku buat. Kini tinggallah batu nisan dingin dan namanya yang terukir di sana.
Tanganku terulur untuk menyentuh setiap ukiran nisan itu. Jemariku gemetar. Air mata bercampur dengan hujan, membasahi pipi yang dulu selalu menolak untuk menangis. Membayangkan senyumnya, tawa kecil yang dulu sering diberikannya padaku walaupun selalu ku balas dengan kata-kata tajam yang menyakitinya. Aku tak pernah benar-benar memikirkan perasaannya, tak pernah berpikir bahwa diriku akan berdiri di sini. Membawa penyesalan yang tak tahu harus ku tumpahkan ke mana, yang selalu menjalar dan berakar di hatiku.
"Maaf" bisikku. Suaraku serak tertelan oleh suara hujan yang terus berderai mengetuk permukaan batu nisan.
Aku ingin dia menjawab. Aku ingin mendengar suaranya, sekalipun jika dia akan bilang padaku bahwa dia membenciku. Tapi apa? Yang kudapatkan hanya keheningan.
Kakiku terasa berat, seolah tak mampu mengangkat tubuhku untuk berdiri. Bahkan rasanya seolah-olah tanah pun tak merelakan aku bangkit berdiri sebelum aku benar-benar menyadari betapa buruknya aku di masa lalu. Ku tarik nafas panjang, membiarkan dinginnya angin menusuk tulang.
"Aku tahu ini terlambat...tapi kalau kau bisa mendengarnya sekarang, aku ingin kau tahu...aku sungguh menyesal."
Lama aku termenung di sana. Tubuhku mati rasa oleh dinginnya hujan yang menerpa di bawah payung hitam yang dulu pernah dia berikan padaku. Aku berdiri pelan sebelum akhirnya kembali menatap nisan itu lagi. Aku berharap hujan bisa membawa pergi rasa sesak di dadaku, tapi aku tahu, penyesalan tak akan pernah bisa hanyut begitu saja.