Musim gugur itu berbeda dari biasanya. Daun-daun berguguran terasa lebih berat dan angin dingin memberikan nuansa kesedihan yang mendalam bagi Hazel. Suaminya, Elliot, didiagnosis memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Mereka tahu bahwa tidak ada banyak waktu lagi untuk bersama.
Elliot yang selalu mencintai musim gugur, memilih untuk selalu duduk di taman pohon maple. Dan menulis surat yang selalu diselipkannya pada barang yang sering dijumpai dan digunakan Hazel, istrinya. Diselipkannya pada cangkir yang sering digunakan Hazel untuk minum teh, syal kesukaannya, di pinggir jendela kamar, ataupun di atas laci kamar.
Hazel menemukan surat-surat itu satu per satu, seolah setiap kata di dalam surat itu adalah hembusan nafas terkahir yang ingin disampaikan Elliot padanya. Surat-surat yang sederhana tapi penuh cinta. Menceritakan tentang dedaunan yang jatuh, embun pagi yang sejuk, dan sinar matahari yang menyentuh kulit mereka di bawah pohon maple.
Suatu hari, Hazel kembali menemukan sebuah surat yang berbeda dari biasanya. Surat itu lebih panjang dan dihiasi dengan gambar-gambar hasil karya Elliot sendiri. Melihat surat itu membuatnya meneteskan air mata. Dengan tangan gemetar, dibacanya surat itu perlahan "Hazel, jika kau membaca ini, mungkin aku sudah tidak akan pernah menulis surat berikutnya. Musim gugur tidak akan pernah berakhir dan berhenti seperti cinta kita. Tapi, jangan bersedih, karena setiap kata di surat ini akan selalu menemanimu. Seperti daun yang tak pernah benar-benar pergi. Mereka hanya berpindah tempat yang menjelma menjadi bagian dari kehidupan lain."
Ia menggenggam erat surat itu, membiarkan air matanya jatuh membasahi kertas. Ia merasakan kehadiran Elliot dalam setiap kata, dalam setiap goresan pena yang dibuatnya. Saat angin bertiup pelan, membawa sehelai daun maple dipangkunya, Hazel tersenyum ditengah tangisannya. Ia tahu, Elliot tidak benar-benar pergi. Ia akan selalu ada dalam setiap musim gugur yang datang.