Pada malam Tahun Baru Imlek yang dingin, angin berbisik lirih di antara rimbunan bambu di kaki Gunung Jinlong. Desa kecil itu kembali dipenuhi keriuhan seperti biasa, ledakan petasan, tawa riang anak-anak, dan langit yang berkilauan oleh cahaya kembang api. Namun, di balik semua kegembiraan itu, ada cerita lama yang perlahan menyeruak dari bayang-bayang malam.
Mingchen, seorang anak laki-laki yang tinggal bersama neneknya, mendengar cerita yang sama setiap tahun tentang legenda naga emas yang hanya muncul di puncak Gunung Jinlong setiap seratus tahun sekali. Konon, naga itu membawa keberuntungan luar biasa bagi mereka yang dianggap layak. Tapi ada satu syarat yang membuat siapa pun merinding mendengarnya: untuk mencapai puncak, seseorang harus melewati hutan fantasi yang penuh dengan ujian misterius. Dan jika gagal? Tidak ada jalan kembali.
Keberaniannya yang tak pernah surut dan rasa penasaran yang seolah tak pernah habis membuat Mingchen bertekad untuk pergi berpetualang menuju puncak Gunung Jinlong. Setelah melakukan perjalanan yang kira-kira 2,5 mil jauhnya, akhirnya ia melihat sebuah bayangan biru terang di depannya. Bayangan biru yang terlihat seperti sebuah portal menuju dunia lain. Disentuhnya portal itu dengan hati-hati dan seolah ada kekuatan yang menariknya, membuat jarinya menembus lapisan portal itu. Tanpa pikir panjang, ia mundur beberapa langkah dan berlari masuk ke portal itu. Dan benar saja, menakjubkan sekali.
Baru saja berjalan beberapa tapak, gemerutuk kaki yang gesit dan ringan mendekat ke arahnya. Dari arah berlawanan muncul sebuah cahaya putih yang yang sangat menyilaukan mata Mingchen. Cahaya itu semakin mendekat ke arahnya dan mulai tampak rupanya, ternyata itu adalah seekor rubah putih. "Aku datang tanpa suara, namun bisa mengubah segala hal. Aku adalah pelita dalam kegelapan dan penuntun dalam kebingungan. Aku bukanlah harta yang dapat dimiliki, tetapi sesuatu yang bertumbuh seiring waktu. Siapakah aku?" Tanya rubah putih. Dengan percaya diri Mingchen menjawab "kebijaksanaan.", setalah menjawab dengan benar, rubah putih mempersilahkan Mingchen menempuh perjalanannya kembali. Dan memberikan petunjuk pada Mingchen agar terus berjalan sampai menemukan seekor harimau batu.
Sekitar dua puluh menit ia berjalan, sebuah batu besar menggelinding dari atas. Matanya membulat melihat batu besar itu mengarah padanya, tapi belum sempat ia berkeinginan pergi, batu itu melambung dan berubah menjadi sebuah harimau batu. "Anak kecil, ayo ikut aku berpetualang." Ajak harimau batu padanya. Harimau itu berbalik dan mempersilahkan Mingchen untuk duduk di atasnya. Harimau itu melesat dengan kecepatan yang tidak wajar, terus dan terus mendaki gunung. Hingga akhirnya harimau batu itu berhenti di depan pinggir jembatan yang sudah runtuh. "Kita sudah sampai anak kecil." Setalah mengatakan hal tersebut, harimau batu itu kemudian langsung berubah kembali menjadi batu dan menggelinding turun.
Selama hampir tiga puluh menit, Mingchen termenung, mencoba mencari cara untuk menyeberangi jurang yang dalam, sementara jembatan yang ada sudah runtuh. Angin kencang tiba-tiba bertiup, menggoyangkan pepohonan di sekitarnya, menciptakan suasana yang mencekam. Tiba-tiba, dari langit seekor burung phoenix besar muncul, bulu-bulunya berkilauan dengan warna merah dan keemasan, terbang anggun melintasi langit di atasnya, seolah membawa harapan baru. Burung itu turun dan kakinya menapak ke tanah. "Butuh tumpangan adik kecil?" Tanya burung phoenix, suaranya terdengar penuh wibawa. "Naiklah." Tambah burung phoenix kepada Mingchen. Dengan cepat ia naik ke atas burung phoenix dan mereka mulai terbang di atas langit sampai menuju puncak gunung Jinlong. "Lanjutkan perjalananmu adik kecil." Ucap burung phoenix sebelum kembali terbang meninggalkan Mingchen.
Di depannya, sebuah gua besar yang memancarkan cahaya keemasan berdiri megah di antara kabut tipis yang menyelimuti puncak Gunung Jinlong. Mingchen melangkah mendekat, rasa penasaran dan sedikit ketegangan memenuhi dadanya. Suara angin yang sebelumnya menderu kini berganti dengan keheningan yang dalam, hanya terdengar langkah kakinya yang bergema di batu-batu di sekitar gua.
Di dinding-dinding gua, terdapat banyak ukiran-ukiran kuno tentang makhluk-makhluk mitologi yang telah memberi tumpangan pada Mingchen sebelumnya, seperti rubah putih, harimau batu, dan burung phoenix. Di ujung gua, seekor naga emas muncul di hadapannya. "Mingchen, aku sudah menunggu." Kata naga emas. "Menunggu ku?" Tanya Mingchen dengan suara bergetar. "Perjalanan mu kesini bukanlah kebetulan, kau telah melewati rintangan dan telah menguji keberanian mu, pertanyaan rubah putih telah kau jawab dengan benar menurut hatimu, kekuatan terbesar bukanlah dari kelincahan harimau batu berlari dan bukanlah dari sayap burung phoenix, melainkan dari dirimu sendiri." Ucap naga emas.
Melihat keberanian Mingchen, naga emas memberikan pada Mingchen sebuah lentera merah yang memancarkan cahaya lembut namun penuh keajaiban. Lentera itu, kata sang naga, adalah simbol keberuntungan dan kebahagiaan yang akan membawa berkah bagi seluruh warga desa. Mingchen memeluk lentera itu dan bergegas kembali ke desanya. Sejak hari itu, lentera merah menjadi lambang perayaan Tahun Baru Imlek. Setiap tahunnya, saat Imlek tiba, semua orang di desa memasang lentera merah di rumah mereka, seperti lentera yang dahulu diberikan oleh naga emas kepada Mingchen, menerangi malam dengan cahaya keberuntungan dan harapan baru.