Hari pertama sekolah selalu penuh dengan harapan baru. Begitu pula bagi Naira, seorang siswi kelas dua yang baru saja pindah ke SMA Harapan Bangsa. Dia bukan tipe orang yang suka menarik perhatian, tapi ada satu hal yang langsung mencuri perhatiannya saat memasuki kelas baru: sebuah nama yang terukir di bangkunya.
"Rey."
Nama itu tertulis rapi di sudut meja dengan tinta biru, seolah seseorang sengaja meninggalkannya di sana.
"Siapa Rey?" gumam Naira pelan.
"Hah? Oh, Rey? Dia dulu duduk di situ," jawab Dita, teman sebangkunya yang baru. "Tapi dia sudah pindah sekolah semester lalu."
Entah mengapa, Naira merasa tertarik. Bukan karena nama itu, tapi karena ada sesuatu di meja itu yang terasa... hidup. Seperti kenangan yang belum selesai.
Hari demi hari berlalu, dan tanpa sadar, Naira mulai mencari jejak tentang Rey. Dia mendengar cerita dari teman-temannya—Rey adalah siswa yang populer, baik hati, dan selalu membantu teman-temannya. Tapi yang membuat Naira semakin penasaran adalah cerita tentang bagaimana Rey pergi.
"Dia pergi begitu saja, tanpa pamit," kata Reno, salah satu teman sekelasnya. "Katanya ada masalah keluarga, tapi nggak ada yang tahu pasti."
Suatu hari, Naira menemukan sesuatu di dalam laci meja itu. Sebuah catatan kecil yang terselip di antara buku-buku lama.
"Untuk siapa pun yang duduk di sini setelah aku, semoga kamu menemukan alasan untuk tetap tersenyum."
Hati Naira bergetar. Kata-kata itu begitu sederhana, tapi terasa begitu dalam. Dia tak tahu siapa Rey sebenarnya, tapi dia merasa ada sesuatu yang harus dia lakukan.
Dengan tekad, dia mulai mencari informasi lebih jauh. Setelah bertanya kepada beberapa guru, dia akhirnya menemukan akun media sosial Rey. Dengan ragu, dia mengirim pesan.
"Hai, aku Naira. Aku duduk di bangku yang dulu kamu tempati. Aku menemukan pesanmu. Terima kasih, itu sangat berarti."
Tak disangka, beberapa jam kemudian, sebuah balasan datang.
"Hai, Naira. Terima kasih sudah membaca pesanku. Aku senang masih ada yang mengingatku di sana."
Dari satu pesan, percakapan mereka berlanjut. Awalnya hanya tentang sekolah, tentang teman-teman lama Rey, tentang bagaimana keadaan sekarang. Tapi lama-lama, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar obrolan ringan.
Naira merasa nyaman berbicara dengan Rey, dan sepertinya Rey juga merasakan hal yang sama.
Hingga suatu hari, Rey menulis sesuatu yang membuat hati Naira berdebar.
"Andai aku masih di sana, mungkin aku ingin mengenalmu lebih dulu daripada bangku itu."
Senyum Naira merekah. Mungkin, ini bukan sekadar cerita tentang sebuah bangku. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih berarti.