Bagaimana perasaan kalian ketika jam pembelajaran sudah berakhir, namun teman sekelas kalian justru melontarkan pertanyaan pada gurumu? Mungkin beberapa orang akan merasa kesal, ‘kan? Begitu pula para siswa kelas XII IPS 4 yang kini menatap malas ke arah si gadis manis sebut saja namanya Annaya Rain Lycoris atau biasa dipanggil Rain. Jangan pernah memanggilnya dengan nama Annaya. Ia sangat membencinya. Sangat.
“Maaf, Bu. Saya ingin bertanya apa boleh?” tanya Rain.
“Boleh. Silakan,” balas Bu Citra seraya menghentikan aksi membereskan perlengkapan mengajarnya, kini ia berfokus pada salah satu anak didiknya yang tengah mengangkat tangan kanan.
“Ibu tadi bilang kalau Kelompok Statistik tidak dianggap sebagai kelompok sosial oleh para ahli Sosiologi. Itu karena apa, ya?” Mendengar pertanyaan Rain, Bu Citra tersenyum. Rupanya ia tadi lupa mengatakan alasannya padahal itu cukup penting dan biasanya akan masuk ke soal ujian nantinya.
“Oh, Ibu lupa mengatakannya, ya? Terima kasih, Rain.” Bu Citra beranjak dari posisinya, berdiri kembali di tengah kelas kembali menerangkan pembelajaran.
“Jadi begini. Kelompok Statistik adalah kelompok yang terbentuk karena dijadikan sasaran penelitian oleh ahli-ahli statistik untuk kepentingan penelitian. Nah, anggota-anggota yang ada di kelompok ini tidak menyadari jika mereka menjadi anggota dalam kelompok ini. Yang itu berarti anggota-anggota di dalamnya tidak ada interaksi sama sekali antar anggota. Padahal syarat penting dari kelompok sosial adalah adanya kesadaran menjadi anggota dalam suatu kelompok dan terjadi interaksi atau hubungan timbal balik antar anggota. Itulah alasan kenapa Kelompok Statistik tidak digolongkan kelompok sosial oleh para ahli Sosiologi,” terang Bu Citra panjang lebar. “Sampai sini sudah paham belum?”
“Sudah. Terima kasih, Bu.” jawab Rain dan semua teman sekelasnya serempak.
“Apa ada pertanyaan lagi?” Bu Citra menatap seluruh anak didiknya di kelas sebelas IPS 4, kelas yang amat ia banggakan terutama Rain dan seorang pemuda paling pendiam di kelas itu.
“Satu lagi, Bu." Rain kembali mengangkat tangan kanannya kemudian kembali bertanya, “apa perbedaan antara Kerumunan, Massa, dan Publik? Dan kenapa kelompok Massa digolongkan sebagai kelompok semu padahal kelompok Massa direncanakan, ‘kan? Kelompok massa juga dibentuk secara sengaja. Bukannya kalau kelompok semu itu dibentuknya spontan dan tidak direncanakan, Bu?”
“Pertanyaan yang bagus, Rain.” Bu Citra membelai surai cokelat Rain, merasa bangga memiliki murid sepandai Rain.
“Ibu jawab pertanyaan pertama kamu dulu, ya? Untuk perbedaan antara Kerumuman, Massa, dan Publik itu kalau Kerumunan dia terbentuk secara spontan dan tidak ada persiapan atau tidak direncanakan, mempunyai satu pusat perhatian. Dan juga dilakukan di suatu tempat yang sama. Contohnya, penonton bioskop, hadirin khotbah, dan lain-lain," terang Bu Citra.
"Kalau Kelompok Massa itu terbentuk secara sengaja, direncanakan tetapi, oleh pihak lain yang bukan tergolong ke dalam kelompok tersebut atau katakanlah provokator, dan terjadi di lokasi yang sama seperti kelompok Kerumunan tadi. Contohnya, suatu kelompok yang sengaja dikumpulkan untuk melakukan demonstrasi," lanjut Bu Citra menjawab pertanyaan Rain.
"Sedangkan, untuk Kelompok Publik pembedanya ialah dilakukan tidak di tempat yang sama. Bagaimana bisa itu terjadi? Ya, karena dalam Kelompok Publik ini dilakukan dengan bantuan alat komunikasi. Contohnya, seperti suatu kelompok yang sedang mendengarkan pidato di suatu tempat sekaligus pidatonya itu juga disiarkan di televisi atau radio. Sampai sini apakah paham?” imbuh Bu Citra mengembuskan napasnya.
Lelah juga ternyata menjawab seraya menjelaskan pertanyaan dan anak didiknya itu. Bahkan saking lelahnya, kerongkongannya seolah kering saat ini. “Sebentar Ibu izin minum dulu sebelum menjawab pertanyaan kedua Rain. Haduh, baru segini saja sudah kayak dikejar anjing saja.”
Beberapa di antara mereka tergelak juga ketika mendengar ucapan terakhir Bu Citra. Namun, karena terlalu dongkol akibat jam pulang yang sudah lewat lima belas menit membuat kebanyakan di antara mereka hanya terkekeh saja seraya berharap agar segera mengakhiri pembelajaran.
Tangan mereka pun sangat gatal, teringin untuk membungkam mulut Rain agar tidak banyak bertanya. Dalam benak mereka terus timbul pertanyaan, kapan Rain akan berhenti bertanya? Dan tak tahukah Rain, kalau perut mereka sudah keroncongan dan tubuh yang sangat rindu dengan kasur?
Bu Citra kembali berdiri di tengah kelas usai minum setengah botol air mineral. “Saya jawab kembali, ya? Untuk alasan kenapa Kelompok Massa tergolong ke dalam kelompok semu itu karena kelompok ini terjadi hanya sementara saja. Seperti yang sudah saya contohkan tadi. Sekumpulan orang yang dikumpulkan untuk berdemonstrasi. Nah, mereka berkumpul di tempat tersebut dan saling berinteraksi antara satu dengan yang lain dengan tujuan untuk berdemo. Ketika demo tersebut usai, maka Kelompok Massa tersebut juga akan babar. Nah, itulah kenapa kelompok Massa ini digolongkan ke dalam kelompok semu padahal kelompok Massa sifatnya direncanakan dan disengaja. Sampai sini apakah sudah paham? Atau kurang puas dengan jawaban saya?”
“Sudah. Terima kasih banyak, Bu!” teriak mereka serempak termasuk Rain.
“Baiklah Rain, seperti biasa kamu dapat nilai tambahan. Dan kalian semua tirulah Rain agar ibu tidak perlu susah-susah mengadakan perbaikan jika nilai ulangan kalian jelek. Dengan adanya nilai keaktifan, nilai rapor kalian juga pasti akan bagus,” jelas Bu Citra.
“Rain, pertahankan keaktifanmu. Dan untuk minggu depan kita adakan ulangan harian BAB ini, oke? Untuk buku catatan dikumpul dan akan saya nilai kelengkapan catatan kalian seperti biasa. Persiapkan diri kalian baik-baik," imbuh Bu Citra.
Setelahnya Bu Citra berpamitan meninggalkan kelas ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore itu berarti sudah lewat tiga puluh menit dan jam yang seharusnya.
Tampak kelas begitu gaduh, terutama bangku barisan belakang. Bukan gaduh sebab bahagia terbebas dari kekangan pelajaran yang begitu memusingkan, tapi gaduh melempari Rain dengan bantalan kertas.
“Apa, sih, caper banget jadi orang?!”
“Bisa gak, sih, jadi orang gak usah caper?”
“Kapan, sih, si Cupu itu sakit biar hidup kelas ini tenteram? Heran gue, perasaan dia gak pernah sakit. Pakai ilmu kenal apaan dia?”
“Sok pintar banget, sih, lo! Gara-gara lo waktu ke kantin jadi lebih dikit!”
“Sok iye banget dah. Caper banget sama guru, kurang perhatian kali ye?”
“Kalau lo mau ngambis, masuk aja ke kelas MIPA! Gara-gara lo, bokap gue selalu bandingkan gue sama lo. Gue muak. Seharusnya cewek cupu sok ambis kayak lo gak masuk kelas ini, cih!” umpat salah satu dari mereka. Gadis itu mendorong Rain yang hendak pergi dan kini Rain terjatuh dengan keras dalam posisi duduk sehingga menimbulkan suara yang keras. Ah, sebut saja namanya Ody.
Tidak hanya kaum hawa saja yang melempari Rain dengan gumpalan kertas atau apa pun yang bisa mereka lempar, nyatanya teman-teman cowok di kelas Rain tampak ikut-ikutan melempari Rain sebelum akhirnya berlalu begitu saja. Kecuali seorang pemuda yang hanya diam di bangkunya menatap Rain dengan pandangan sendu.
Tangan Rain mengepal menatap kertas-kertas di bawahnya. Ia sangat benci dirinya ketika ia justru hanya diam saat mereka berbuat seenaknya padanya tanpa mereka tahu alasan di balik sifat ambisiusnya, la juga membenci takdirnya yang kejam seolah tak membiarkannya bahagia meski hanya sesaat.
Namun, ia lebih membenci tatapan orang-orang yang seolah mengasihani dirinya sebab secara tidak langsung mereka mengatakan dirinya lemah juga mengakibatkan rasa sesak di hatinya semakin terasa, seperti seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya.
Rain menatap pemuda beriris mata biru penuh amarah.
Dengan enggan ia menyeret tungkainya melewati pemuda jangkung itu, namun langkahnya terhenti kala ia mendengar pemuda di sampingnya justru berujar dengan suara husky-nya.
“Tidak semuanya sama seperti yang lo bayangin. Alam semesta gak sekejam yang lo kira. Semua tergantung cara lo memandang dunia. Lo hanya perlu terbuka aja,” ujar Jean Alesi Rajoendra atau biasa disapa Jean.
Mendengar kata yang terlontar dan Jean, Rain pun berbalik. Wajahnya semakin memerah sebab amarah dalam hatinya semakin bergejolak “Gak kayak yang gue pikirin? Memang lo tahu apa tentang hidup gue, hah? Lo bukan siapa-siapa gue!” sentaknya.
Jean terkekeh, “apa gua harus jadi siapa-siapa lo dulu biar gua bisa tahu tentang lo? Tanpa lo sadari lebih dari satu tahun gua pantau lo. Gua selalu lihat lo dari jauh. Gua tahu semuanya, Rain. Alasan lo benci nama Annaya terutama Anna. Alasan lo cuek, alasan lo ambisius, alasan tubuh lo penuh luka, bahkan gua tahu alasan rambut pendek lo, alasan lo konsumsi obat tidur, alasan lo rutin datang ke rumah sakit, dan yang paling penting gua tahu cerita pedih di balik luka panjang di tangan kanan lo.”
Rain membelalakkan netranya, kaget dengan apa yang diucapkan Jean, la hendak kembali melangkah meninggalkan Jean yang baginya sangat menyebalkan dan suka ikut campur urusan orang lain. Namun, lagi dan lagi suara Jean membuat langkahnya terhenti sejenak.
“Satu hal lagi, Rain. Memang gak selamanya keluarga bisa jadi rumah ternyaman, tapi Tuhan pasti akan mendatangkan rumah yang jauh lebih indah buat lo lewat seseorang.” Ujar Jean. “Buka hati lo, buka mata lo. Tanpa lo sadari ada banyak orang yang sayang sama lo meskipun kasih sayang mereka gak begitu mereka tunjukkan.”
Dan gua salah satunya, Rain, lanjut Jean dalam hatinya.
Rain berbalik menatap Jean sengit, jari telunjuknya menunjuk ke arah Jean sebelum akhirnya ia berlalu meninggalkan Jean “Jangan sok tahu dan jangan campuri hidup gue, lo gak tahu apa-apa! Urusi aja hidup lo sendiri!”
Jean menatap sendu kepergian Rain la menghela napas lelah. “Tahan sebentar lagi, gua yakin lo kuat. Sedikit lagi siapa pun yang sakiti lo bakalan rasain akibatnya sendiri. Tunggu Anpanman lo ini datang, My Sunflower.”
Rain pulang dengan tubuh begitu letih. Rasanya ingin segera memeluk guling kesayangannya yang sudah usang. Ia meletakkan tas di kursi belajarnya, segera membasuh dirinya di kamar mandi agar tubuhnya kembali segar.
Setelahnya ia merebahkan tubuhnya pada ranjang ungu bergambar boyband Korea Selatan kesukaannya, Bangtan Sonyeondan. Baru sedetik ia memejamkan mata, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dengan kencang hingga membuatnya tersentak.
“Dasar anak pemalas, siapa yang suruh kamu enak-enak tidur, hah!?” Seorang wanita paruh baya menyeretnya paksa lalu mendorongnya ke meja belajar.
“Ma, tapi Rain capek ya Ma. Rain bakalan belajar nanti pulang kerja, biasanya juga gitu, ‘kan?” protes Rain, tapi dia menunduk ketakutan ke arah Mama Annaya, Mamanya.
“Jangan pernah panggil saya dengan sebutan itu karena kamu bukan anakku! Kamu itu cuma anak pungut!” tegas Mama Annaya. “Sekarang mana hasil ulangan harian kamu, hah!? Kalau kamu dapat nilai di bawah sembilan puluh delapan, jangan harap kamu bisa keluar dari kamar ini!”
Dengan tangan gemetar Rain membuka tasnya lalu menyodorkan selembar kertas pada Mama Annaya. “Maaf,” cicitnya.
“APA APAAN INI!? KAMU CUMA DAPAT SEMBILAN PULUH EMPAT!? OTAK KAMU ITU KAMU TARUH DI MANA? PELAJARAN KIMIA AJA CUMA DAPAT SEGITU!? MULAI SEKARANG, SAYA AKAN TAMBAH JAM BELAJAR KAMU SETIAP PULANG SEKOLAH KAMU HARUS LES DAN MALAM INI GAK ADA JATAH MAKAN BUAT KAMU!” omel Mama Annaya setelahnya ia meninggalkan kamar Rain seraya membanting keras pintu kamar Rain. Bersyukur pintu kamarnya begitu kuat, jika tidak mungkin saja sudah roboh sejak lama.
Rain menatap sendu pintu kamarnya. Inilah alasan kenapa ia membenci panggilan Annaya, lebih lagi Anna. Karena itu adalah nama sang Mama. Setiap hari selalu ada makian, hukuman, dan kekerasan yang terus ia dapat dari Mama Annaya membuatnya semakin membenci nama itu.
Dengan lemas Rain meraih buku-buku pelajaran yang tersusun rapi di rak bukunya Belum juga selesai membaca setengah halaman, tiba-tiba dikejutkan dengan pintu yang dibuka kencang. Kali ini bukan lagi Mama Annaya.
Melainkan lelaki paruh baya bertubuh gendut dengan wajah masamnya menarik lengan Rain kemudian mendorongnya ke lantai. Rain meringis merasakan perih di lengannya la yakin malam ini lukanya akan bertambah.
“Mana uangmu!?” teriak Chan.
“A-Ayah, maaf Rain gak punya uang, Rain belum dapat gaji bulan ini, Yah,” jawab Rain menunduk dengan tubuh bergetar.
Prang!
Rain memejamkan sejenak matanya kala vas bunga di atas meja belajarnya dibanting hingga pecah. Tubuhnya semakin gemetar kala Ayahnya mendekat ke arahnya. “A-Ayah, apa yang mau Ayah lakuin? Maaf, Ayah. Rain beneran gak punya uang, uang Rain habis buat bayar biaya sekolah Rain, Yah.”
Bugh!
Brak!
Pyar!
Tubuh Rain terasa remuk, ditambah rasa perih di lengannya akibat terkena serpihan kaca dari vas bunga yang dibanting sang Ayah. Namun, pantaskah ia menyebutnya sebagai Ayah jika ia bahkan tak pernah merasakan kasih sayangnya walau hanya sedikit saja?
Tuhan, tidak bolehkah diriku ini merasakan kasih sayang kedua orang tuanya walau hanya sesaat? raungnya dalam hati.
“Saya gak mau tahu, bagaimana pun caranya besok uang itu harus udah ada di tangan kamu. Dan jangan pernah panggil saya Ayah. Saya gak sudi punya anak pembawa sial kayak kamu!” maki Chan kemudian meninggalkan Rain yang diam membeku sebelum akhirnya air mata luruh membasahi kedua pipi.
Dua hari telah berlalu, di hari Kamis itu hujan turun begitu derasnya. Rasa dingin menguar menambah rasa malas para siswa untuk melaksanakan kewajiban mereka sebagai pelajar. Siang itu, hujan masih belum reda. Para siswa tampak saling berdempetan di kantin ditemani semangkok soto atau bakso dan juga segelas teh hangat.
Namun, berbeda dengan Rain yang justru diam di kelas. Ia membenamkan kepalanya di lipatan tangan, berusaha untuk tidur, ia hanya bisa tidur dua jam saja sebab semalam kedua orang tuanya kembali bertangkar entah sebab apa dan dirinyalah yang menjadi sasaran empuk kemarahan kedua orang tua yang bahkan tak layak dikatakan sebagai orang tua.
Sepertinya dunia sedang tidak berpihak kepadanya, nyatanya secara tiba-tiba saja seseorang menyiramnya juga tepung yang turut mengotori tubuhnya. Ia tetap diam, tak bergerak dan posisinya.
Kepalanya terasa begitu berat dan ia pun yakin suhu tubuhnya meninggi, ia demam.
Seseorang menjambak rambut pendeknya hingga ia mendongak secara paksa, rupanya itu Mellody atau sebut saja Ody.
Ody menyeringai menatap wajah Rain yang pasrah. Ia mendorong Rain hingga terjatuh mencium lantai Rain tak bergerak, tubuhnya sudah lemas. Ody bahkan menendang Rain tepat bagian perut hingga sang empunya perut mengeluarkan darah dari mulutnya.
Tak sampai di situ saja, Ody dan lima gadis lainnya bergiliran memukul dan menendang Rain seolah Rain salah sebuah samsak.
Rain memejamkan matanya, kini rasa sakitnya takp hanya di kepalanya saja, justru seluruh tubuhnya terasa begitu sakit. Meskipun begitu, mereka tak berhenti memukulinya bahkan tak ada siapa pun yang menghentikan aksi bullying sekaligus penganiayaan yang ia alami saat ini.
"Tuhan, bolehkah aku menyerah saja? Tidak ada yang mengharapkan diriku, 'kan?" lirih Rain.
“BERHENTI!” teriak seseorang.
Sesaat sebelum ia kehilangan kesadaran, samar-samar ia mendengar suara berat yang amat ia kenal juga sebuah dekapan hangat yang ia rasakan membuatnya seolah merasakan dejavu. Ia merasa pernah merasakan dekapan sehangat ini sebelumnya, kehangatan yang sama persis pernah ia dapatkan di masa lalunya. Masa di mana ia masih menginjak bangku kelas lima di Sekolah Dasar.
“Gua tetap ingat wajah kalian semua yang udah nyakitin Rain dari dulu sampai sekarang dan tunggu orang tua kalian dipanggil pihak sekolah. Gua pastiin kalian gak akan pernah hidup tenang!” tegas Jean dengan urat-urat yang menonjol di leher jenjangnya pertanda ia begitu murka.
Jean membopong tubuh lemah Rain usai ia balut dengan jaket miliknya, ia menelepon sang Ayah dengan susah payah agar segera mengurus masalah yang tengah menimpa Rain, kesayangannya. Saat ia mendudukkan Rain di kursi penumpang mobilnya, ia terkejut mendengar ucapan Rain sebelum akhirnya gadis itu kehilangan kesadaran.
“M-makasih udah menepati j-janjimu untuk kembali dan m-melindungiku, Ales Anpanmanku,” lirih Rain.
Jean tersenyum begitu manis, hatinya menghangat. Akhirnya sang kesayangan sudah mengingat akan masa lalu mereka dulu, bahkan sudah memanggilnya dengan nama tengahnya sama seperti dulu. Dengan tergesa ia membawa Rain ke rumahnya untuk diobati. Ia pun bersyukur memiliki ibu seorang dokter. Jadilah ia tidak perlu jauh-jauh ke rumah sakit.
Keesokan harinya barulah Rain terbangun kala merasakan beban berat di tangan karinya. Rupanya Jean tengah tertidur dengan posisi duduk seraya menggenggam tangan kirinya, ia menarik pelan tangannya sebab tak ingin Jean terusik dari tidurnya, namun rupanya itu justru mengakibatkan kedua netra Jean terbuka perlahan.
“Rain, udah sadar? Mau minum?” tawarnya dibalas anggukan oleh Rain.
Rain meneguk segelas air putih yang disodorkan oleh Jean dibantu oleh Jean juga tentunya. Rain menatap bingung ke arah tangan kanannya yang sudah dipasang infus. Jean yang paham lantas menjelaskan kronologinya dengan jelas dan lengkap.
Dimulai kejadian di sekolah saat Rain ditindas, kemudian ia membawa Rain ke rumahnya untuk ditangani oleh sang Mama yang merupakan seorang dokter, hingga keputusan pihak sekolah yang mengeluarkan Ody dan lima temannya dari sekolah, serta beberapa siswa lain yang diskors.
Dan Rain dibuat lebih terkejut lagi saat ia membaca sebuah surat pernyataan yang disodorkan oleh Jean. Dalam surat pernyataan tersebut berisi hak asuh dirinya yang jatuh ke tangan Shelyn, Mama Jean “I-ini apa, Jean? L-lo gila!”
Jean memeluk Rain sambil membelai surai pendek Rain dengan penuh kasih sayang. “Rain, hampir dua tahun ini gua nyari bukti untuk bisa laporin orang tua lo ke pengadilan. Orang tua lo udah keterlaluan dan gua juga dibantu oleh Mama dan Papa untuk bisa mengambil hak asuh lo, apalagi setelah gua kalau lo itu Nana, teman masa kecil gua yang nangis cuma karena laba-laba. Sekarang lo sudah menjadi bagian dari keluarga gua, sekarang lo gak akan ngerasa sakit lagi. Lo gak perlu lagi minum obat tidur karena gua pastiin di rumah baru lo, lo bakalan rasain kasih sayang yang sesungguhnya. Selamat datang di keluarga Rajoendra, Nana!”
“Maafkan gua terlambat memenuhi janji gua menjadi Anpanman buat lo. Mulai sekarang, gak akan ada lagi yang bisa sakiti lo karena gua gak akan pernah tinggal diam!” lanjut Jean.
“Sayang, mulai sekarang kamu adalah anak Mama Shelyn. Apa pun yang kamu rasakan, apa pun yang kamu alami ceritakan ke Mama, ya? Dan apa pun yang kamu mau katakan Mama, Papa, dan Ales akan penuhi keinginan Nana. Mama gak nyangka kalau Chan dan istrinya sekejam itu sama kamu. Kalau aja Mama tahu, Mama sudah ambil hak asuh kamu dari dulu.” Mama Shelyn, Mama Jean muncul dari balik pintu kemudian memeluk Rain dan Jean penuh sayang.
“Eh, ada apa ini? Pelukan kok gak ngajak Ayah? Ayah juga pengin loh,” sosor Ayah Raja, Ayah Jean. Keempatnya pun terkekeh bersama layaknya sebuah keluarga yang harmonis.
“Mulai sekarang, buka lembar baru. Lupakan masa lalu kamu, Nak. Kedua orang itu sudah masuk penjara dan selamanya akan di sana. Sekarang, kamu harus bahagia. Pasti bahagia apalagi punya Ayah tampan kayak Ayah Raja ini,” kekeh Ayah Raja membuat Shelyn, Jean, dan terutama Rain tertawa karenanya.
Rain memeluk tiga anggota keluarga barunya, ia sangat bahagia. Rasanya, semua luka yang ia rasakan selama ini sirna begitu saja. Rupanya benar apa kata orang.
Roda kehidupan akan terus berputar meskipun perlahan. Yang di atas akan ada masanya berada di bawah, dan yang di bawah akan ada masanya ia berada di atas.
Selain itu pula, ia tersenyum mengingat ucapan Jungkook salah satu member boyband Korea Selatan Bangtan Sonyeondan yang mengatakan, “tanpa kemarahan atau kesedihan maka kamu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati”.
Kini ia bersyukur keinginannya selama ini terkabul. Ia sangat bahagia. Akhirnya ia bisa merasakan kehangatan keluarga, kasih sayang dari keluarga, dan kini ia merasa sangat beruntung bisa merasakan kebahagiaan yang sebenarnya bersama dengan orang yang ia nantikan selama ini.
Ya, benar kata Jean kala dirinya masih kelas lima Sekolah Dasar tepat sehari sebelum Jean meninggalkannya kala itu.
Kesedihan adalah kebahagiaan yang tertunda. Setabah apa kamu menghadapi kesedihan dan masalah yang kau rasakan maka sehebat itu pula kebahagiaan yang akan kamu rasakan nantinya. Kuncinya hanya tiga, yaitu hadapi dengan doa, tabah, dan pantang menyerah.
END.
.
.
.
Terima kasih sudah mampir.
Jangan lupa like dan komentarnya ya.
Sampai jumpa di lain waktu, readers hebatku💗