Matahari pagi bersinar hangat di atas halaman luas SMP Negeri 2. Suasana sekolah begitu hidup: anak-anak berseragam putih biru bergerak riang ke sana kemari, sebagian menuju kelas, sebagian lainnya bercengkrama di tempat duduk dekat pohon tua besar di sekitar lingkungan sekolah. Pohon itu telah berdiri kokoh selama puluhan tahun, menjadi saksi bisu cerita-cerita sederhana namun penuh makna.
Di sebuah sudut kelas 8G, Chelsy duduk diam di bangkunya, menggenggam sebuah buku catatan. Ia bukanlah tipe siswi yang mencolok. Dalam kesehariannya, ia lebih sering duduk diam, menulis, membaca, atau terkadang menggambar. Buku catatan itu adalah dunianya, tempat ia mencurahkan segala hal yang ia rasakan, termasuk perasaan terhadap Yusuf, teman sekelasnya yang sudah menarik perhatiannya sejak kelas 7.
"Chel, nulis apa lagi sih? Jangan-jangan puisi cinta buat Yusuf ya?" goda Putri, teman sebangkunya, dengan nada penuh tawa.
Chelsy menunduk, wajahnya merah padam. "Apaan sih, Put. Enggak kok. Ini cuma catatan biasa."
Putri tertawa kecil, tapi ia tahu Chelsy sebenarnya sedang menyembunyikan sesuatu. Sejak dulu, Putri adalah satu-satunya orang pertama yang tau rahasia Chelsy dan menyimpan rahasianya, termasuk tentang rasa sukanya pada Yusuf.
"Eh, besok latihan basket lagi ya? Jangan lupa bantuin aku buat ambil bola basket di ruang olahraga. Berat banget bawa bolanya sendirian," ujar Putri sambil melirik ke arah papan tulis, pura-pura sibuk memperhatikan pelajaran.
Chelsy hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Baginya, Putri adalah lawan yang sempurna: pintar, aktif, dan penuh percaya diri, sedangkan dirinya lebih suka berdiam diri dalam dunia kecilnya. Namun, meski berbeda, mereka saling melengkapi.
---
Hari-hari di sekolah berjalan seperti biasa, hingga suatu sore hujan deras mengguyur SMPN 2. Langit mendung kelabu, angin dingin menusuk kulit, dan halaman sekolah yang biasanya ramai kini terlihat kosong. Di tempat duduk panjang dekat pohon tua, Chelsy dan Putri terjebak tanpa payung.
"Kayaknya kita bakal lama di sini," gumam Putri sambil memandang rintik hujan yang terus mengguyur.
"Iya. Padahal aku harus buru-buru pulang," jawab Chelsy, sedikit canggung.
Putri menatap Chelsy. Meski mereka sering berbicara, ada jarak tertentu yang selalu terasa di antara mereka. Namun, hujan sore itu membawa percakapan yang berbeda.
"Aku enggak pernah lihat kamu ngobrol sama siapa-siapa, Chel. Pendiam banget ya," ujar Putri sambil tersenyum kecil.
Chelsy hanya mengangkat bahu. "Aku emang enggak terlalu suka keramaian."
Putri mengangguk sambil tersenyum. "Tapi aku tahu kok kamu jago banget bikin gambar. Aku pernah lihat sketsa-sketsa kamu. Bagus banget."
Chelsy menoleh, terkejut. "Kamu ngintip?"
Putri terkekeh. "Bukan ngintip. Aku pernah duduk di belakangmu waktu pelajaran seni budaya. Aku lihat kamu gambar pemandangan. Detail banget."
Mendengar itu, Chelsy tersipu. Ia tidak menyangka ada yang memperhatikan hal yang selama ini ia pikir hanya biasa saja.
"Lalu kamu? Aku dengar kamu sering ikut latihan basket. Keren juga," balas Chelsy, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Putri menghela napas. "Iya, aku suka basket. Tapi kadang aku ngerasa capek. Semua orang berharap aku terus bisa. Kadang enggak enak juga kalau selalu jadi sorotan."
Chelsy memandang Putri, mulai memahami sisi lain dari gadis yang ia pikir selalu percaya diri dan aktif itu. "Kayaknya berat juga ya jadi kamu," katanya sambil tersenyum kecil.
"Makanya aku iri sama kamu. Kayaknya hidup kamu lebih tenang," ujar Putri sambil memandang ke arah hujan yang mulai mereda.
Hujan perlahan berhenti, dan langit kelabu mulai terbuka, menampakkan pelangi kecil yang terbentuk di kejauhan.
"Kamu tahu enggak, pelangi itu kayak tanda kalau habis hujan selalu ada sesuatu yang indah," kata Putri tiba-tiba.
Chelsy tersenyum kecil. "Mungkin hujan hari ini tanda kita bisa jadi sahabat."
Putri tertawa kecil dan mengulurkan tangannya. "Deal. Kalau hujan lagi, kita ngobrol di sini lagi, ya?"
Chelsy menjabat tangan Putri, merasa hangat meski udara sore itu masih dingin. Dalam hati, ia tahu hujan sore itu membawa sesuatu yang tak pernah ia duga: awal dari sebuah persahabatan.
---
Keesokan harinya, hubungan mereka mulai berubah. Chelsy dan Putri semakin sering berbicara, tidak hanya tentang hal-hal kecil tetapi juga tentang mimpi-mimpi mereka.
"Kamu pernah kepikiran buat ikut lomba menggambar?" tanya Putri suatu hari.
Chelsy menggeleng. "Enggak. Aku cuma suka gambar buat diri sendiri. Nggak pernah mikir buat dipamerin."
Putri tersenyum. "Kamu harus coba. Aku yakin hasilnya bakal keren."
Percakapan itu memberi Chelsy kepercayaan diri yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perlahan, ia mulai berpikir untuk menunjukkan sisi dirinya yang selama ini ia sembunyikan.
Di sisi lain, Yusuf juga mulai sering menghampiri Chelsy di perpustakaan. Meski percakapan mereka sederhana, itu cukup membuat hati Chelsy berbunga-bunga.
Kehidupan sekolah berjalan seperti biasa. Chelsy duduk di bangku perpustakaan, menunduk, membaca buku. Yusuf, yang biasanya hanya ia kagumi dari kejauhan, menghampirinya di perpustakaan. "Kamu serius banget, Chel. Baca buku terus. Tapi keren sih, keliatan pintar," kata Yusuf sambil tersenyum.
Hari-hari Chelsy kini terasa lebih berwarna. Ada Putri, yang menjadi sahabat baru yang mendukungnya, dan Yusuf, yang perlahan membuka pintu hatinya. Di bawah pohon tua itu, di sekolah yang sederhana, Chelsy menemukan makna pertemanan, kepercayaan diri, dan cinta tak berbalas.
Pohon tua itu, yang telah berdiri kokoh selama bertahun-tahun, menjadi saksi perjalanan seorang gadis pendiam yang mulai menemukan keindahan dunia di sekitarnya sebuah keindahan yang lahir dari hujan, tawa, dan pertemanan.