Arman berjalan pulang dari sawah dengan langkah yang lelah, matanya masih terpejam untuk menikmati kehangatan matahari sore yang mulai redup. Langit berwarna jingga, memberi ketenangan setelah seharian bekerja keras di ladang. Tiba-tiba, angin yang datang entah dari mana berhembus begitu kencang, menebar hawa dingin yang terasa begitu asing. Arman menghentikan langkahnya, mencoba mencerna apa yang terjadi, tapi tak ada jawaban yang bisa ia temukan. Ia melanjutkan langkahnya, meski ada perasaan tak enak yang mulai menjalar di dada.
Di ujung jalan, dekat dengan pohon besar yang sering ia lewatkan, ia melihat sosok seseorang yang tidak dikenalnya. Sosok itu berdiri tegak di bawah pohon, tubuhnya tinggi dan mengenakan pakaian hitam yang tampak aneh di tengah cahaya sore. Arman merasa matanya terfokus pada sosok itu, seolah ada kekuatan yang menariknya untuk mendekat. Hati Arman berdebar cepat, namun kakinya terasa seperti terikat, tidak bisa bergerak.
"Arman…" suara itu terdengar jelas, meski tidak ada seorang pun yang berbicara. Suara itu datang dari dalam dirinya, seolah berbisik di telinganya.
Arman terdiam, tak mampu menjawab. Ia hanya menatap sosok itu yang semakin mendekat, dan betapa pun ia berusaha menahan, kakinya bergerak tanpa kendali, membawa tubuhnya lebih dekat. Ketika jarak mereka semakin dekat, sosok itu mengangkat wajahnya. Arman terkejut melihat mata yang bersinar kuning, memancarkan cahaya yang tak biasa. Sosok itu tersenyum, namun senyuman itu terasa dingin, seolah berasal dari dunia yang jauh berbeda.
"Kau Arman, anak dari Kiai Hadi, bukan?" suara itu bergema dalam benaknya, semakin jelas.
"A-apa yang kamu inginkan?" Arman akhirnya berhasil membuka mulutnya, meski suara itu terdengar serak.
Sosok itu tetap diam sejenak sebelum berkata dengan tenang, "Aku adalah bagian dari darahmu, Arman. Aku adalah jin nasab, terikat oleh garis keturunanmu. Aku datang untuk memberitahumu takdirmu."
Jantung Arman berdegup kencang. "Jin nasab?" bibirnya bergetar. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dunia jin adalah sesuatu yang selama ini ia hindari, dan ayahnya selalu mengajarkan untuk menjauh dari hal-hal gaib.
"Ya, jin nasab. Keturunan manusia yang mengikat perjanjian dengan kami sejak zaman dahulu. Darahmu mengalirkan kekuatan yang lebih besar daripada yang kau bayangkan," jawab jin itu.
Arman mundur selangkah, mencoba mencerna apa yang barusan dikatakan. "Apa maksudmu?" ia bertanya, namun suaranya lebih terdengar ragu daripada penuh keyakinan.
"Saat ini, dunia kami dan dunia manusia berada di ambang kehancuran. Tanpa keseimbangan yang tepat, kedua dunia ini akan saling bertabrakan. Kekuatan dalam dirimu adalah kunci untuk menjaga kedamaian antara keduanya," jelas jin itu, suaranya semakin serius.
Arman terdiam. Ia merasa tubuhnya seperti lemas, namun ia mencoba menahan ketakutannya. "Aku tidak bisa… saya hanya seorang petani. Bagaimana mungkin saya bisa melakukan itu?" tanya Arman dengan nada putus asa.
Jin nasab itu tersenyum, namun senyuman itu terasa lebih miris daripada menenangkan. "Kau tidak perlu tahu semua hal tentang kami. Tapi, darahmu memiliki kemampuan yang tidak bisa dihindari. Kekuatan itu ada dalam dirimu. Kau hanya perlu tahu bagaimana mengendalikannya."
Tiba-tiba sosok itu menghilang, menyatu dengan angin yang berhembus, meninggalkan Arman yang masih terdiam di tempatnya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tak bisa ia elakkan.
Seiring berjalannya waktu, Arman mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia bisa mendengar suara-suara yang tak pernah ia dengar sebelumnya, seperti bisikan halus yang datang dari udara, atau dari bayangan-bayangan yang muncul di tempat-tempat yang sepi. Tak hanya itu, ia juga mulai melihat sosok-sosok yang sebelumnya tidak ia sadari—makhluk-makhluk halus yang bersembunyi di balik pohon atau di antara bebatuan. Beberapa dari mereka tampak seperti jin yang damai, sementara lainnya terlihat lebih menakutkan, dengan mata merah menyala dan tubuh yang mengeluarkan aura yang mengerikan.
Arman merasa tercekik oleh kenyataan bahwa kekuatan itu, yang selama ini tersembunyi, kini bangkit dalam dirinya. Ia merasa ketakutan, namun juga tidak bisa menahan rasa penasaran yang terus mendorongnya untuk memahami lebih jauh tentang dunia yang baru ini.
Hari demi hari, Arman mulai memahami bahwa keturunan jin nasab yang ada dalam darahnya tidak hanya memberikan kekuatan, tetapi juga sebuah tanggung jawab besar. Ia harus menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia jin. Namun, semakin banyak ia mempelajari dunia jin, semakin jelas bahwa keseimbangan itu sedang terancam. Arman bisa merasakan ada ketegangan yang semakin kuat, seolah-olah ada jin-jin yang tidak puas dengan perjanjian lama dan mulai melanggar batas mereka.
Pada suatu malam, saat Arman sedang duduk termenung di teras rumah, sosok jin nasab itu muncul kembali. "Keseimbangan sudah terganggu," kata jin itu dengan suara yang lebih berat. "Jin-jin yang melanggar batas mulai menciptakan kekacauan. Kau harus menghentikan mereka sebelum semuanya terlambat."
"Bagaimana saya bisa melakukannya?" tanya Arman, perasaan bingung dan takut semakin menyelimutinya. "Saya hanya seorang petani, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan."
Jin nasab itu mengangkat tangannya, dan seketika Arman merasakan sebuah kekuatan besar mengalir melalui tubuhnya. "Kau lebih dari sekadar petani, Arman. Kekuatan dalam dirimu jauh lebih besar dari yang kau kira. Gunakanlah dengan bijak. Jangan biarkan dunia ini hancur hanya karena ketakutanmu."
Setelah itu, sosok jin nasab itu menghilang lagi, meninggalkan Arman yang kini terdiam dalam kebingungannya. Namun, meskipun ia merasa takut dan ragu, ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan desanya, bahkan mungkin seluruh dunia, adalah dengan menghadapi tantangan yang kini ada di hadapannya. Dengan penuh tekad, ia memutuskan untuk belajar lebih banyak, mengasah kekuatan yang ada dalam dirinya, dan melangkah ke dunia jin yang sebelumnya begitu asing baginya.
Arman tahu, ini bukan hanya soal melawan jin-jin yang mengancam, tetapi juga tentang menemukan keseimbangan dalam dirinya sendiri. Sebagai keturunan jin nasab, ia tidak bisa lagi menghindar dari takdir yang sudah ditentukan. Kekuatan yang ada dalam darahnya harus digunakan untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya—untuk menjaga kedua dunia tetap utuh, sebelum semuanya terlambat.