Iqbal Maulana melangkah pulang dengan kantong plastik berisi bahan makanan di tangannya. Matahari hampir tenggelam di balik bukit, memancarkan cahaya oranye keemasan yang memperpanjang bayangannya di jalan berbatu desa. Hatinya ringan, membayangkan hidangan sederhana yang akan ia masak bersama ibunya malam ini.
Namun, kebahagiaan itu sirna seketika saat ia membuka pintu rumah.
Di lantai tanah dapur, ibunya tergeletak. Sebilah pisau tertancap di dadanya, darah merembes membentuk genangan gelap.
"Ibu!" Iqbal berlari, lututnya hampir lemas. Ia mengguncang tubuh ibunya, namun tatapan perempuan itu kosong, tak lagi bernyawa.
Pikiran Iqbal berputar-putar. Siapa yang melakukan ini? Kenapa? Tidak ada tanda perampokan—barang-barang masih di tempatnya. Tangannya mengepal. Napasnya memburu. Ia hanya seorang anak desa berusia lima belas tahun, dan kini ia benar-benar sendirian.
---
Malam itu, desa gempar. Para tetangga datang, menatapnya dengan pandangan kasihan. Kepala desa berjanji akan melaporkan kejadian ini ke polisi kota, tapi Iqbal tahu bagaimana dunia bekerja—keadilan tak selalu berpihak pada orang kecil.
Ketika semuanya bubar, Iqbal hanya duduk di depan rumahnya yang kini terasa kosong. Matanya tak bisa terpejam.
Suara langkah kaki terdengar dari belakangnya. Seorang pria tinggi dengan jaket kulit berdiri di sana, menghisap rokoknya pelan.
"Kau mau membalas dendam?"
Iqbal mendongak. Pria itu memiliki tatapan tajam, namun ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Iqbal tak langsung menolaknya.
"Siapa kau?" tanya Iqbal, suaranya serak.
"Orang kota. Sedang jalan-jalan ke desa ini," pria itu menghembuskan asap. "Aku melihat mayat ibumu tadi. Matanya menunjukkan ketakutan... tapi juga kebingungan. Seolah dia tidak menyangka siapa yang menusuknya."
Iqbal mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras.
"Namaku Arman," pria itu melanjutkan. "Aku bisa mengajarimu cara bertarung. Tapi aku bukan orang baik, Iqbal. Aku tidak akan memberimu kata-kata manis tentang hukum atau keadilan. Jika kau ingin mencari pelakunya dan membalas dendam, kau harus kuat. Dan aku bisa membantumu menjadi kuat."
Iqbal menatapnya lekat.
Lalu ia berdiri.
"Ajari aku."
---
Latihan dimulai keesokan harinya. Arman tidak memperlakukan Iqbal seperti bocah malang yang kehilangan segalanya. Sebaliknya, dia memperlakukannya seperti seseorang yang harus bertahan hidup di dunia tanpa belas kasihan.
Hari pertama, Iqbal jatuh berkali-kali. Tinju Arman menghantamnya, membuatnya terkapar di tanah berdebu.
"Bangun," perintah Arman.
Iqbal mengusap darah di sudut bibirnya. Ia bangkit, menyerang lagi. Pukulannya lemah, kakinya goyah. Tapi ia terus mencoba.
Hari-hari berlalu menjadi bulan. Iqbal tidak lagi hanya anak desa biasa. Tubuhnya lebih kuat, pikirannya lebih tajam.
Namun, satu hal yang tidak pernah pudar: dendam di dadanya.
---
Suatu malam, setelah latihan, Arman menatap Iqbal lama.
"Kau sudah siap untuk mencari pembunuh ibumu?"
Iqbal mengangguk.
Arman menghela napas. "Dendam adalah pedang bermata dua. Jika kau tidak hati-hati, itu bisa membunuhmu lebih dulu sebelum kau membunuh musuhmu."
"Tidak peduli," jawab Iqbal dingin. "Aku harus tahu siapa yang telah mengambil ibuku dariku. Aku tidak akan berhenti sampai menemukannya."
Arman hanya menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil.
"Baiklah. Kita mulai mencari."
Iqbal tidak tahu bahwa perjalanan ini akan membawanya ke kegelapan yang lebih dalam dari yang ia bayangkan.
(TAMAT...)