Menikah adalah sebuah pencapaian terindah dalam hidup seorang gadis bernama Tiara. Apalagi bisa menikahi pria yang hampir memenuhi kriterianya selama ini. Ya, Tiara menerima pinangan Maher karena mengira kepribadian Maher serupa dengan penampilannya yang alim itu.
Tiara dan Maher menikah saat usia keduanya berada di tahap 'matang'. Tapi sayang kematangan usia keduanya tidak dibarengi dengan kematangan finansial.
Ya, Maher bukan pria kaya raya yang datang dengan sebongkah berlian dan kekayaan yang menjanjikan. Maher hanya seorang pedagang perabotan rumah tangga yang terbuat dari plastik. Sehari-hari Maher menggelar dagangan di pinggir jalan karena tak punya lapak jualan atau biasa dikenal dengan pedagang kaki lima.
Seharusnya Maher bersyukur mendapatkan Tiara. Dia wanita yang baik, penuh pengertian karena mau menerima dirinya tanpa syarat, rajin dan pekerja keras. Tapi sayang pria itu justru membuat hidup Tiara tak bahagia.
Belakangan Tiara baru menyadari dirinya telah salah memilih pasangan. Ternyata Maher tidak seperti penampilannya yang agamis itu. Maher orang yang malas dan perhitungan. Dia juga jarang menafkahi Tiara. Jika iya, itu pun hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja. Alasannya karena Tiara juga bekerja dan punya uang. Bahkan untuk keperluan anak mereka, Tiara lah yang harus pontang panting mencari karena Maher terkesan pasrah dan tak mau tahu. Tiara terpaksa menjual perhiasan yang dimilikinya sejak sebelum menikah untuk keperluan rumah tangga.
"Kamu punya uang, kenapa masih minta sama aku?" tanya Maher suatu hari.
"Aku jual perhiasan Bang. Kalo ga, darimana aku bisa bayar semuanya," sahut Tiara.
"Yah, memang begitu lah seharusnya. Sebagai istri kamu juga harus bantu suami," kata Maher cuek.
"Tapi memenuhi kebutuhan rumah tangga kan tugas suami Bang. Kalo semua aku yang nanggung, terus fungsi kamu sebagai suami apa?" tanya Tiara.
"Ga usah nyindir terus bisa ga?. Aku juga ga mau ada di posisi ini. Hitung aja semua yang kamu keluarin. Nanti kalo ada uang aku ganti!" sahut Maher sambil berlalu.
"Ganti, kapan?. Dari dulu bilangnya mau ganti tapi sampe sekarang ga satu pun terwujud," gerutu Tiara.
"Maksud kamu apa ngomong begitu?. Bukannya aku sering kasih kamu uang, ya anggap aja itu untuk bayar semua uang yang udah kamu keluarin," kata Maher.
"Tapi itu ga cukup Bang. Tiap kali kamu bilang bayar utang, tapi di saat yang sama semua kebutuhan rumah abis. Mau ga mau aku lagi yang nanggung karena kamu ga mau peduli," sahut Tiara tak mau kalah.
"Ck, ya terus maunya gimana. Di mata kamu aku selalu salah dan seolah bukan apa-apa. Jangan lupa, gini-gini aku pernah beliin kamu kalung emas Tiara. Tapi kamu sendiri yang membuang kalung itu karena cemburu!" kata Maher lantang.
Tiara pun mengepalkan tangannya karena kesal mendengar ucapan suaminya. Dia ingat sengaja menarik kalung pemberian suaminya hingga putus karena marah mendengar Maher memuji wanita lain di depan matanya. Padahal Maher hampir tak pernah memujinya meski dia sudah berdandan cantik.
"Harga kalung itu ga seberapa dibanding sama motorku yang kamu gadaikan tanpa sepengetahuan aku Bang!" kata Tiara tak kalah lantang.
Maher menghentikan langkahnya lalu berbalik. Dia menatap Tiara dengan tatapan penuh sesal. Ya, salah satu kesalahan terbesarnya adalah menggadaikan motor Tiara tanpa ijin. Dia melakukannya karena 'kepepet'. Waktu itu saudaranya datang dan minta bantuan dana untuk modal usaha. Dia berjanji membelikan yang baru tapi hingga hari ini tak juga terwujud.
"Aku udah minta maaf soal itu. Kenapa kamu selalu ngungkit terus?" tanya Maher.
"Karena motor itu punyaku, uangku. Kamu ga berkontribusi seperser pun untuk membelinya!. Hanya karena kita suami istri bukan berarti kamu bisa bebas menjualnya tanpa ijinku!" sahut Tiara lantang.
Maher terdiam karena terpojok. Seperti biasa, setelah pertengkaran hebat yang membahas tentang motor Tiara, Maher akan pergi meninggalkan rumah dan baru kembali saat dini hari.
=====
Ternyata kekecewaan Tiara tak berhenti di situ. Sepanjang pernikahan mereka, Maher terus menambah luka di hati Tiara. Setelah mengeruk hartanya hingga habis, Maher yang mata keranjang masih terus tebar pesona. Meski pun hanya 'wanita bodoh' saja yang mau meresponnya, tapi tetap membuat Tiara kesal bukan kepalang. Berkali-kali Maher membuat harga diri Tiara sebagai wanita dan istri tak berarti.
"Apalagi yang kamu buat kali ini Bang?!" tanya Tiara sambil mendorong pintu dengan kasar.
"Ngomong apa sih kamu. Dateng bukannya Assalamualaikum malah ngomel," sahut Maher dengan mimik wajah kesal.
"Aku baru aja ketemu sama Bu Lina. Dia bilang tadi kamu berlaku kurang ajar dengan memeluknya saat berpapasan di jalan. Apa itu bener Bang?!" tanya Tiara.
"Oh itu. Aku bukan meluk tapi ngerangkul pundaknya aja kok. Dia aja yang lebay. Digituin langsung marah-marah," sahut Maher cuek.
"Astaghfirullah aladziim. Ya jelas aja dia marah. Kamu kan bukan muhrimnya, ngapain peluk dan rangkul segala?. Dia istri orang lho Bang. Kok bisa-bisanya kamu gituin. Kalo dia ngadu sama suaminya, terus suaminya ngamuk gimana Bang. Emangnya kamu sanggup ngadepin dia. Kan kamu ga punya ilmu bela diri apa pun selain pinter bohong!" kata Tiara gusar.
Maher terdiam sambil menggedikkan bahu usai mendengar ucapan Tiara. Tapi alih-alih menjawab pertanyaan sang istri, Maher justru berlalu begitu saja seolah aksinya bukan sesuatu yang patut dipertanggungjawabkan. Tiara yang melihat tingkah cuek Maher pun terus mengomel dan membanting barang-barang untuk melampiaskan kekesalannya.
"Untung aku udah minta maaf sama Bu Lina. Kalo ga, bisa kiamat deh. Apalagi suaminya Bu Lina orangnya temperamental," gerutu Tiara.
Aksi Maher telah membuat hubungan Tiara dengan Lina dan tetangganya yang lain sedikit merenggang. Tiara menduga itu karena Lina telah menceritakan aksi kurang ajar Maher pada tetangga mereka. Tiara mengerti, Lina melakukannya untuk mengingatkan tetangga mereka khususnya wanita agar berhati-hati pada Maher.
Tak hanya merusak hubungan Tiara dengan tetangga, bahkan Maher juga merusak hubungan Tiara dengan keluarganya.
Kala itu Maher diajak menginap di rumah salah satu famili Tiara di luar kota. Saat menginap itu lah Maher berani melecehkan keponakan Tiara. Dan setelahnya dia pergi meninggalkan Tiara dan anak mereka di rumah kerabatnya itu dengan alasan ada pekerjaan yang menunggu. Tiara yang belum tahu kelakuan bejat suaminya pun melepasnya dengan senyum mengembang hingga ke halaman rumah.
Dan Tiara pun harus menanggung malu saat mengetahui apa yang telah terjadi.
"Apa dia sudah pergi?" tanya bibi Tiara.
"Sudah," sahut Tiara.
"Bagus. Kemarilah, ada yang perlu aku sampaikan sama kamu," kata sang bibi.
Tiara pun duduk di samping sang bibi dengan tak nyaman.
"Kamu tau ga kenapa Tisa dan keluarganya ga ikut nganter suamimu sampe keluar tadi?" tanya bibi Tiara.
"Gapapa Bi. Aku ga masalahin itu kok. Aku tau mereka pasti sibuk," sahut Tiara sambil tersenyum.
"Mereka ga sibuk Ra. Mereka begitu karena mereka marah sama suamimu," kata bibi Tiara gusar.
"Emangnya ada apa, apa yang bikin mereka marah Bi?" tanya Tiara tak mengerti.
"Ck, suamimu itu sudah ngelecehin Fifi tau ga?!" kata bibi Tiara kesal.
"Astaghfirullah aladziim. Masa sih Bi, kapan?" tanya Tiara tak percaya.
"Kemarin pagi. Fifi bilang, Maher menyentuh payu*aranya dan merem*snya saat mereka papasan di depan kamar. Fifi ga teriak karena shock. Dia langsung lari terus nemuin bibi yang lagi nyapu di halaman belakang. Pas ngeliat Fifi dateng, Bibi sempet nyuruh dia ngambil pengki tapi dia ga mau. Karena kesel bibi omelin deh. Tapi bibi kaget plus bingung pas liat dia nangis. Perasaan bibi ngomelnya juga biasa aja ga sampe teriak-teriak, tapi kenapa Fifi nangis sampe sesenggukan gitu. Setelah dipaksa baru Fifi mau ngomong dan cerita kalo baru aja dilecehin sama Maher," sahut bibi Tiara kesal.
"Kenapa Bibi baru cerita sekarang?" tanya Tiara dengan suara bergetar.
"Tisa yang minta supaya rahasiain semuanya dari kamu," sahut bibi Tiara.
"Aku juga ga mau kamu malu Kak," kata Tisa tiba-tiba.
"Tisa, aku ... " ucapan Tiara terputus karena Tisa memotong cepat.
"Selain melecehkan anakku, suamimu itu juga pernah berusaha memperko*a aku Kak. Itu terjadi saat aku nginap di rumahmu beberapa bulan yang lalu. Untung aku bisa lari dari sergapannya. Dan aku ga bilang sama suamiku soal itu karena khawatir hubungan kita jadi memburuk. Aku pikir dia sudah berubah, ternyata aku salah. Aku ga nyangka suamimu itu juga tega melecehkan anakku. Kalo kaya gini rasanya sulit buat maafin dia Kak," kata Tisa.
Tentu saja ucapan Tisa mengejutkan Tiara. Wanita itu tampak shock mengetahui Maher telah melecehkan adik dan keponakan perempuannya.
"Maafin aku Tis. Aku janji bakal negur dia nanti," kata Tiara tak enak hati.
"Percuma ditegur kalo dia ga punya niat berubah. Buktinya setelah kurang ajar sama aku, dia juga kurang ajar sama anakku. Mungkin di luar sana udah banyak perempuan yang senasib sama aku dan anakku, cuma mereka ga berani bilang sama Kakak karena masih menjaga perasaan Kakak. Daripada capek, mending tinggalin aja Kak, ngapain sih suami ga guna gitu dipertahankan," kata Tisa kesal.
"Betul, cerai aja Ra. Apa yang bisa kamu banggain dari dia, udah kere, males, otak mesum lagi. Toh selama ini kamu beli apa-apa pake uang sendiri. Itu artinya kamu bisa tanpa dia. Kalo ga ada gunanya di hidup kamu, ya dibuang aja Tiara," sela bibi Tiara.
Hampir seluruh anggota keluarga besar Tiara minta agar Tiara bercerai dengan Maher. Tiara tak mengiyakan saat itu juga, tapi hanya berjanji akan menyelesaikan semuanya.
Keputusan yang Tiara ambil kemudian sangat mengecewakan keluarganya. Ternyata Tiara memilih bertahan dengan Maher. Bukan karena Tiara mencintai suaminya, tapi karena begitu lah petunjuk yang dia peroleh setelah melaksanakan sholat istikharah.
Meski mempertahankan Maher di sisinya, tapi Tiara menghalangi interaksi Maher dengan keluarga besarnya. Tiara tak pernah lagi mengikut sertakan Maher dalam acara keluarga. Termasuk tidak membahas sang suami saat bersama keluarganya itu.
Pada akhirnya keluarga Tiara menghormati keputusan Tiara dan mengikuti aturan main yang dibuat oleh Tiara. Setelah bertahun-tahun hubungan mereka merenggang, akhirnya keluarga besar Tiara bisa menerima Tiara kembali. Hanya Tiara dan anaknya tapi tidak dengan Maher.
Rupanya aksi boikot yang dilakukan Tiara tak membawa dampak yang besar untuk Maher. Pria mesum itu masih hidup dengan nyaman.
Setelah maaf dan kesempatan yang Tiara berikan, Maher kembali membuat ulah. Dan kali ini tentang uang lagi.
Selama ini Maher memang kerap memberi uang kepada dua kakak perempuannya dan Tiara tak keberatan sama sekali. Bahkan Tiara juga sering memberikan sejumlah uang kepada kedua kakak iparnya itu. Tiara melakukan semuanya dengan ikhlas sesuai tuntunan agama. Dan selalu begitu hingga kakak pertama Maher meninggal dunia.
Setelah kepergian kakak pertamanya, Maher memutuskan membagi dua penghasilannya. Setengah untuk istrinya dan setengahnya untuk kakak perempuannya yang tersisa. Masalahnya, kakak perempuannya itu masih bersuami dan punya anak yang telah dewasa. Tentu saja Tiara meradang dibuatnya.
"Aturan darimana kamu harus membagi dua penghasilan kamu Bang?" tanya Tiara.
"Aku hanya ingin berbuat adil. Kakak perempuanku tinggal satu, kami hanya dua bersaudara sekarang. Aku merasa berkewajiban membahagiakan dia, jadi tolong jangan halangi niat baikku Tiara," sahut Maher.
"Aku ga pernah menghalangi niat baikmu, tapi coba lah berpikir jernih. menurut agama, yang lebih utama kamu nafkahi adalah istrimu dan anakmu, termasuk saudara perempuanmu jika dia fakir atau janda. Aku ga akan keberatan berbagi sama kakakmu tapi bukan setengah-setengah begini Bang. Lagian kakakmu itu bukan janda, dia bersuami dan punya anak-anak yang udah dewasa. Suruh suami dan anak-anaknya untuk menanggung hidupnya dan kamu fokus menanggung hidup anak istrimu!" kata Tiara.
"Tapi ini uangku Tiara. Aku berhak memberi ke siapa pun yang aku mau," sahut Maher.
"Begitu ya. Kalo itu maumu, mulai sekarang jangan makan, mandi dan tidur di rumah. Kamu bisa makan dan tidur di rumah kakakmu itu. Oh iya, jangan lupa suruh kakakmu mencuci pakaianmu dan mengurus semua keperluanmu juga," kata Tiara.
"Mana bisa begitu. Aku kan suamimu Tiara," sahut Maher.
"Kenapa ga bisa?. Kan kamu membagi dua nafkah yang harusnya kamu kasih ke aku dan anak kita. Kalo apa-apa masih di sini dan aku yang ngurus, enak bener jadi kakakmu. Dia dapet uang banyak tapi ga ngapa-ngapain. Lagian uang yang kamu kasih ini hanya cukup untuk keperluan anak kita Bang. Kalo kamu ga percaya, hitung sendiri pengeluaran anakmu!" kata Tiara sambil meletakkan uang dan catatan kebutuhan sang anak di depan Maher.
Maher segera meraih kertas catatan yang ada di depannya lalu membacanya dengan cepat. Raut wajahnya nampak berubah usai membaca rincian pengeluaran bulanan yang telah disiapkan Tiara sebelumnya.
"Itu belum termasuk listrik dan keperluan pribadiku. Selama ini aku yang menanggung biaya listrik karena kamu selalu berkilah kalo diingetin soal tagihan listrik. Aku juga terbiasa mencukupi keperluan pribadiku dengan uangku sendiri. Bahkan aku juga nombokin uang belanja harian supaya kita bisa makan enak," kata Tiara.
Setelah mendengar ucapan sang istri Maher nampak menghela nafas panjang.
"Maafin aku. Kalo gitu mulai sekarang aku ga akan bagi dua pendapatanku lagi. Aku juga bakal ingetin keponakanku supaya kerja dan membiayai hidup kakakku," kata Maher.
"Terserah ...," sahut Tiara sambil berlalu.
Maher segera mengikuti Tiara yang masuk ke dalam kamar. Di sana dia melihat Tiara menurunkan koper dari atas lemari pakaian.
"Aku kan udah minta maaf. Kenapa kamu malah ngomong begitu Tiara?" tanya Maher.
"Aku begini karena aku capek Bang. Capek sama semua sikapmu dan cara berpikirmu yang ga pada tempatnya itu," sahut Tiara sambil mengeluarkan beberapa potong pakaian lalu memasukkannya ke dalam koper.
"Maksudmu apa Tiara. Terus apa ini. Kenapa kamu ngeluarin baju dari dalam lemari. Kamu mau kemana Tiara?" tanya Maher.
Tiara menghentikan aksinya lalu menatap sang suami dengan lekat.
"Apa kamu ga kenal sama bajumu sendiri Bang?" tanya Tiara.
"Iya, terus apa maksudnya?" tanya Maher tak sabar.
"Maksudku udah jelas. Aku ga tahan lagi hidup sama kamu Bang. Mulai detik ini, kamu keluar dari sini, bawa semua pakaianmu dan kita cerai!" sahut Tiara tegas.
"Apa?. Jangan main-main dengan kata cerai Tiara. Itu kata-kata sakral," kata Maher sambil berusaha meraih tangan Tiara.
"Aku ga main-main Bang. Aku serius. Kamu keluar dari rumahku sekarang. Ceraikan aku dan pergi jauh-jauh dari hidupku," kata Tiara.
"Aku ga mau Tiara. Aku ga mau cerai sama kamu. Aku sayang sama kamu dan anak kita. Kalo kita cerai, gimana nasib anak kita?" tanya Maher menghiba.
"Aneh. Sekarang kamu baru mikir gimana nasib anak kita. Selama ini kemana aja kamu?. Bukannya kamu ga pernah mikirin kebahagiaan dia?. Jangankan kebahagiaannya, perasaan aku aja kamu ga peduli. Yang ada di kepalamu hanya kebahagiaanmu dan keluargamu. Bahkan kamu nganggep aku dan anak kita sebagai beban. Jadi, sekarang aku akan menanggalkan bebanmu itu sekaligus mengusirmu keluar dari hidupku dan anakku. Gimana, enak kan," kata Tiara dengan nada menyindir.
Maher nampak mematung di depan pintu kamar. Dia menatap Tiara dengan tatapan tak percaya. Wanita yang selama belasan tahun menemaninya, menerima semua kekurangannya, menutupi semua aibnya, menjadi pembelanya saat dia disudutkan, kini memintanya pergi jauh dari hidupnya.
"Kenapa diam. Apa kalimatku kurang jelas?" tanya Tiara.
"Bukan begitu Tiara. Aku tau kamu lagi emosi sekarang. Tapi gapapa, aku akan bersabar menunggu marahmu reda. Kalo udah, mari kita bicarakan semuanya dengan kepala dingin ya," sahut Maher.
"Aku ga marah Bang. Aku cuma capek, capek sama kelakuanmu yang di luar batas," kata Tiara gusar.
"Iya, aku tau. Aku minta maaf ya Tiara. Tapi tolong jangan minta cerai. Ingat, surga seorang istri ada di ridho suaminya. Selagi aku ga setuju bercerai, maka kita masih suami istri. Dan ingat, kamu ga bisa masuk surga gara-gara ga patuh sama suami Tiara," kata Maher mengingatkan.
"Tapi sayangnya aku emang ga bisa masuk surga juga gara-gara kamu Bang!. Justru kamu udah bikin hidupku kaya di neraka. Setiap hari aku hanya jadi makhluk yang kufur nikmat, selalu mengeluh dan ga puas sama yang Allah kasih. Dan itu semua gara-gara kamu tau ga?!. Sekarang aku mau cari surga dengan caraku sendiri. Dan yang pasti itu bukan sama kamu," sahut Tiara sambil mendorong Maher keluar dari rumah.
"Jangan begini Tiara. Tunggu sebentar. Kita bisa omongin semuanya kan," kata Maher sambil berusaha masuk ke dalam rumah tapi gagal karena Tiara lebih dulu melempar koper berisi pakaian ke teras rumah.
"Ga ada lagi yang perlu diomongin Bang. Pergilah ke rumah kakakmu itu. Tunggu aja, aku bakal kirim surat gugatan cerai ke sana," kata Tiara sambil membanting pintu.
Maher masih berusaha membujuk melalui jendela tapi sia-sia. Dengan cepat Tiara menutup gorden jendela rapat-rapat serapat hatinya yang mulai membeku.
Dengan langkah gontai Maher pun meninggalkan rumah tempatnya bernaung selama ini. Sesekali dia menoleh ke belakang, berharap anak dan istrinya memanggil untuk kembali.
Tapi setelah jauh melangkah, dia tak mendengar suara dua orang tercintanya itu.
Entah mengapa semakin jauh dari rumah, Maher merasa sedih, sakit dan hampa bersamaan, seolah ada sesuatu yang direnggut paksa dan hilang dari hatinya.
=====
Maher dan Tiara nampak duduk berdampingan di kursi panjang di sebuah taman. Setelah menghadiri beberapa kali sidang perceraian, akhirnya pengadilan mengabulkan gugatan cerai Tiara. Kini Maher dan Tiara berstatus mantan suami dan mantan istri.
Awalnya Maher merasa berat menerima takdirnya. Bahkan dia masih berusaha membujuk Tiara agar mau rujuk. Tapi Tiara yang 'kapok' sudah tak mau memberi kesempatan Maher untuk kembali lagi.
Kini mereka sama-sama duduk sambil menatap ke satu titik tepatnya kearah seorang anak laki-laki berusia enam tahun yang sedang berlarian bersama temannya.
"Akmal keliatan sehat dan ceria tanpa aku. Jangan-jangan dia justru senang orangtuanya berpisah," kata Maher sinis.
"Ga ada anak yang senang hidup dengan orangtua tak utuh. Tapi Akmal hebat karena bisa menerima semuanya di usianya yang masih belia itu. Bahkan kalo ada yang tanya kenapa papa mamanya berpisah, Akmal cuma bilang kalo papa mamanya lebih happy sekarang," sahut Tiara.
"Dia bilang begitu?" tanya Maher.
"Iya," sahut Tiara.
Maher nampak tersenyum getir mendengar jawaban Tiara. Dia yakin selama ini Akmal tertekan dengan pertengkaran kedua orangtuanya. Dan setelah mereka berpisah, Akmal merasa jauh lebih baik karena tak harus menyaksikan sang mama menangis. Bukan kah itu artinya dia lah biang kerok dari semua masalah yang ada di hidup mereka?. Menyadari hal itu membuat Maher sangat menyesal.
"Maafin aku Tiara. Aku memang bodoh. Aku menyesal karena ... " ucapan Maher terputus karena Tiara memotong cepat.
"Gapapa Bang. Aku udah lupain itu," kata Tiara cepat.
"Alhamdulillah. Apa itu artinya ada kesempatan buat kita untuk ... " lagi-lagi ucapan Maher terputus. Tapi kali ini karena mendengar suara lantang Akmal yang memanggil seseorang dengan gembira.
"Om Prian, di sini ...!" panggil Akmal sambil melambaikan tangan.
Pria yang dipanggil Prian itu pun tersenyum lebar lalu segera mendekati Akmal. Dia menyapa anak laki-laki itu, memeluknya sebentar lalu mengusak kepalanya dengan lembut. Tiara pun tersenyum melihat interaksi Akmal dan pria itu lalu berdiri dan bergabung dengan mereka.
Maher menyaksikan interaksi Tiara dan pria asing itu dengan hati perih. Meski keduanya hanya bicara tanpa saling menyentuh, tapi Maher tahu ada pendar cinta di antara keduanya yang menguar keluar.
"Udah dikasih belum?" tanya Afriyansyah setengah berbisik.
"Astaghfirullah aladziim, hampir aja lupa. Makasih udah diingetin," sahut Tiara sambil meraih sesuatu dari dalam tasnya.
Sesaat kemudian Tiara mengeluarkan sebuah kartu undangan lalu menyerahkannya kepada Maher. Bisa ditebak itu adalah undangan pernikahan dia dengan Afriyansyah. Maher pun terpaksa menerimanya dengan tangan gemetar.
"Jangan lupa datang ya Bang. Kalo gitu kami duluan ya, soalnya masih ada beberapa undangan lagi yang harus diantar," pamit Afriansyah.
Maher hanya mengangguk tanpa suara. Setelahnya dia melepas kepergian Tiara dengan tatapan kosong.
"Ternyata sejak awal kamu memang tak ingin kembali padaku Tiara," gumam Maher sambil melangkah gontai.
=====