Siang itu, di kediaman rumah keluarga Dion Wiyoko. Seorang asisten rumah tangga, Ghia, masuk ke kamar kecilnya ada di dekat dapur setelah melaksanakan rutinitas: menyiapkan sarapan, membereskan rumah, dan melayani segala kebutuhan keluarga majikannya.
Ghia berdiri di depan cermin kecil di sudut kamar. Ia mengusap wajahnya perlahan, memerhatikan mata bulatnya yang lelah, dan bibir tipis yang selalu terkunci rapat, menahan segala rasa sakit yang terpendam. Namun, pandangannya kini melirik ke arah lemari, mencoba melangkah lebih dekat dan meraih sebuah amplop putih yang sudah lama disimpan. Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop itu, menarik keluar surat dari pihak rumah sakit yang di dalamnya tertulis dengan jelas: "Anda di vonis penyakit Menopause menyebabkan ketidakmampuan untuk memiliki keturunan. Anda dipastikan mandul."
Ghia menutup mata, berusaha menahan air mata yang hampir menetes. "Kenapa. Kenapa hidupku harus seperti ini?" gumam Ghia, bertanya pada diri sendiri. Dia selalu bermimpi dan berharap, jika suatu hari nanti dirinya bisa menikah, memiliki seorang anak dan hidup bahagia. Namun, impian itu terasa mustahil untuk bisa digapai.
Dengan langkah pelan, dia meletakkan kembali surat itu di lemari dan duduk di atas ranjang menghadap ke jendela. Namun, di balik pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Gio, anak tunggal keluarga Dion Wiyoko yang terkenal sikap dinginnya, mengintip dan mendengarkan semuanya.
Gio sebenarnya diam-diam menyukai Ghia, semenjak kedatangan gadis itu bekerja di rumah orang tuanya ini. Sebelum Ghia hadir di kehidupan keluarganya, Gio suka keluyuran, bahkan jarang pulang ke rumah karena dirinya di kenal sebagai seorang ketua geng motor di Jakarta yang terkenal dengan gaya hidupnya yang bebas dan suka berpesta. Keberadaannya di rumah besar ini selalu diselimuti aroma alkohol, musik keras, dan teman-teman yang berisik.
Gio berdiri di depan pintu dengan ekspresi bingung, matanya tertuju pada Ghia yang duduk di ujung ranjang. Tanpa berpikir panjang, Gio melangkah masuk ke kamarnya dengan tidak sopan.
"Ghia!" seru Gio, memanggil namanya. Ghia terkejut, menoleh ke belakang, seolah baru menyadari kehadiran Gio. Ia segera menyeka wajahnya dengan tangan, mencoba menyembunyikan ekspresi kesedihannya.
"Tuan Gio..." suara Ghia terhenti sejenak, mencoba menahan air mata yang nyaris jatuh. "Kenapa tuan di sini?"
Gio menatapnya dengan datar, seolah berpura-pura tidak peduli terhadap Ghia. "Malam ini, aku mau party. Dan kamu, tolong jagain rumah ini karena mama papaku masih di luar kota," kata Gio, dengan suara beratnya yang memecah keheningan.
Ghia terdiam dan mengangguk. Sementara itu, Gio tidak langsung pergi dari kamarnya. Dia terus menatap dingin ke arah Ghia, karena tatapan dingin seperti itu membuat Ghia sedikit risih dan memberanikan diri untuk bertanya. "Maaf, tuan. Kenapa Anda menatap saya seperti itu?"
"Aku heran sama kamu. Kenapa masih berdiam disini?" jawab Gio dengan cepat. "Cepat kerjakan pekerjaan rumah yang lain. Dan jangan berleha-leha di kamar saja!" lanjutnya, memerintahkan dengan nada tinggi dan sikap yang kasar.
Dengan sikap arogan dan tatapan yang tak mengenal belas kasihan, justru membuat Ghia ketakutan dan berdiri, berlari keluar kamarnya dengan tergesa-gesa.
Melihat ekspresi Ghia ketakutan, Gio hanya bisa menahan tawanya dan berpura-pura arogan supaya tidak mengetahui kalau dirinya menyukai Ghia. Namun, di saat Ghia sudah keluar dari kamar, seketika itu rasa penasaran Gio muncul. Dia memandang ke arah lemari dan melangkah lebih dekat.
Dengan cepat, Gio meraih surat milik Ghia, memasukan ke kantong jaket kulit hitamnya dan melangkah pergi dari kamar Ghia. "Sebenarnya, apa isi surat ini dan kenapa Ghia bisa menangis, sedih seperti tadi?" gumam Gio, bertanya-tanya pada dirinya.
Gio melangkah ke garasi rumah, menaiki motor Harley dan meninggalkan rumah mewah tersebut menuju Clubbing.
Sesampainya di Clubbing. Gio memesan beberapa botol minuman keras, dan segera di teguknya. Tiga botol sudah habis di teguknya, sambil menunggu teman-temannya hadir di tempat itu. Namun, saat itu dia baru teringat soal Ghia menangis dan bergumam setelah membaca surat yang berhasil dia ambil di lemari asisten rumah tangganya.
"Apa sebenarnya isi surat ini?" tanya Gio, mengambil surat itu dari kantong jaketnya dan di buka, lalu di bacanya. Setelah Gio membaca berulang kali, matanya terbelalak lebar dan terus menatap isi dari surat tersebut.
Gio tidak menyangka, jika gadis yang sebagai asisten rumah tangga yang dia sukai, memiliki penyakit yang tidak bisa disembuhkan. "Astaga, jadi ini alasannya kenapa Ghia terus bersedih dan menangis?" katanya bertanya, menggelengkan kepalanya dan sulit mempercayai kebenarannya.
"Kasihan sekali nasibmu Ghia. Seandainya aku berani mengatakan jika diriku menyukaimu karena pandangan pertama, mungkin aku akan bisa merawatmu dan membantumu untuk bisa memiliki keturunan walaupun itu mustahil," ujar Ghio merasa iba.
Saat itu juga, tiba-tiba salah satu teman geng motornya, Alex, muncul dari belakang dan menepuk pundak Gio yang masih memegang surat dokter milik Ghia. "Bro. Apaan itu?" tanya Alex, dengan wajah tampak penasaran.
Gio terkejut, langsung melipat surat itu dengan tergesa-gesa dan dimasukan kembali ke dalam kantong jaketnya. "Tidak ada apa-apa. Itu hanya surat cinta monyet," jawab Gio, dengan nada terburu-buru dan nyengir.
Alex mengernyitkan keningnya. "Yakin?" tanyanya lagi, yang masih belum mempercayai Gio. Dengan cepat, Gio mengangguk dan menepukkan kursi di sebelahnya. "Yakinlah Bro. Duduk saja disini, malam ini kita party, hubungi yang lain karena aku akan traktir kalian semua," sahut Gio, memperlihatkan ekspresi serius.
"Oke. Aku hubungi anak-anak yang lain ya," kata Alex, mendaratkan pantatnya ke kuris sebelah Gio. Dia meraih ponselnya dan segera menghubungi teman-temannya yang lain.
Malam pun telah tiba, Gio bersama teman-temannya melakukan party, mabuk-mabukkan untuk kesenangan duniawi. Namun berbeda dengan Gio, dia meminum banyak minuman keras supaya bisa melupakan isi dari surat dokter milik Ghia.
Sementara itu, di kediaman rumah Dion Wiyoko, Ghia baru selesai mengerjakan pekerjaan rumah lainnya dan beristirahat di ruang tamu yang mewah itu. Dia terus menatap jarum jam besar yang menunjukkan hampir larut malam.
"Kenapa, tuan Gio belum pulang ya? Apa partynya sampai pagi?" gumamnya, bertanya dan berpikir jika tuan mudanya suka keluyuran serta party.
Mata Ghia menyapu seluruh ruang tamu dan matanya menatap ke sebuah bingkai foto besar keluarga Dion Wiyoko terpajang di dinding. "Ternyata tuan Gio, tampan juga. Tapi, sedikit nakal dan suka keluyuran."
Ghia tertawa kecil, terus memandangi foto keluarga Dion Wiyoko yang di dalamnya terdiri Tuan besar, Nyonya besar, bahkan Gio berdiri di samping Dion. Namun, tiba-tiba terdengar suara mesin motor yang terdengar keras di luar rumah membuat Ghia terkejut.
Dia segera keluar dan melihat dua motor besar yang terparkir di depan rumah, salah satunya motor Gio. "Hei Nona, tolong antarkan tuanmu ke kamar. Dia sangat mabuk besar," ujar salah satu pria tinggi besar yang sedang menopang tubuh Gio.
Ghia menelan ludah, menatap kedua pria yang belum pernah dia lihat. "Baik tuan," sahut Ghia setengah terengah, mengangguk dan segera menopang tubuh Gio.
Alex, yang ternyata ikut mengantarkan Gio pulang, melangkah lebih dekat dan memberikan kunci motor Gio kepada Ghia. "Ini kunci motornya, kami izin pamit dulu. Jangan lupa, gantikan pakaian tuanmu. Karena tubuhnya kini sudah terlalu bau alkohol," ucap Alex, tersenyum tipis dan segera naik ke motor satunya bersama pria tinggi besar.
Ghia yang belum sempat menjawab, Alex dan pria itu sudah pergi dan melaju kencang keluar dari halaman rumah mewah keluarga Dion Wiyoko. Sedangkan itu, Gio setengah sadar menoleh ke arah Ghia dengan mata sedikit terbuka. "Ghia?" gumamnya pelan.
Ghia tidak menanggapinya. Dia terus membantu memapah tubuh Gio yang berat, melangkah menuju kamar mewahnya. Dengan langkah oleng dan tubuh terhuyung-huyung, melangkah masuk kamar dengan wajah yang mulai memerah. "Ghia!" suara Gio serak, hampir seperti orang yang habis berteriak seharian.
Ghia berhenti sejenak, mengernyitkan dahi. "Kenapa, tuan Gio? Kenapa, tuan dari tadi menyebut namaku?" tanyanya. Namun, tanpa menunggu jawaban, Ghia menghela napas panjang, menarik napas dalam-dalam, dan melanjutkan langkahnya menuju kasur King Size milik Gio.
Sesampainya di ujung kasur. Ghia menggeletakkan Gio dengan sedikit kasar, karena tenaganya sudah habis akibat memapah tubuh Gio yang terasa sangat berat baginya. "Akhirnya, sampai juga di kamar."
Namun, tiba-tiba Gio menarik lengan Ghia hingga jatuh terjerembab di atas tubuh Gio. "Aduh. Tuan, maaf..." suara bergetar ketakutan, canggung dan terkejut sangat menyatu saat itu. Ghia berusaha bangkit dengan wajah kebingungan, tapi Gio malah menariknya lagi dan memeluknya dengan erat.
Gio terkekeh, mencoba mengeluarkan suaranya. "Jangan pergi, aku menyukaimu, Ghia. Aku sangat menyukaimu..." ucap Gio dengan mata setengah terbuka. "Aku sudah tahu semuanya tentangmu, tapi aku tetap akan menyukaimu Ghia... Aku menyukaimu dan berharap menjadi kekasihku."
Ghia terdiam sejenak, matanya membulat sempurna, terkejut, namun berusaha menghiraukan ucapan anak majikannya yang masih dalam keadaan mabuk. "Tuan Gio, sepertinya Anda sedang mabuk berat, makanya berbicara seperti ini," Ghia berkomentar sambil berusaha melepaskan pelukan dari Gio.
Namun, Gio semakin mengeratkan pelukannya sehingga wajah Ghia sangat dekat dengan wajahnya. Ghia menatap tuan mudanya dengan sangat canggung, dan tak tahu harus berkata apa.
Namun Gio, dengan wajah yang semakin sayu, memandang Ghia serius. "Ghia, aku enggak peduli kalo kamu cuma asisten rumah tangga di keluargaku. Aku enggak peduli soal itu. Aku cuma... cuma... pengen ada kamu di hidupku."
Ghia tertawa pelan, mencoba menahan rasa canggung yang datang begitu saja. "Tuan serius? Tuan ini sedang mabuk. Sadarlah tuan," kata Ghia bertanya, mencoba menepuk pipi Gio dengan pelan. "Aku serius. Jangan panggil aku tuan lagi, panggil aku, Gio," balas Gio dengan sangat cepat.
"Cukup. Kamu seperti benar-benar mabuk berat. Aku harus siapin air seember biar kamu cepat sadar, Gio!" seru Ghia, mencoba melepaskan pelukan Gio sekuat tenaga.
Dia berdiri tegak, hendak melangkah ke kamar mandi, namun Gio ikut bangkit dan mencoba menahan jalannya dengan keadaan kacau dan tubuh yang sulit diimbanginya. Gio, nyaris terjatuh, tetap tertawa sambil bergumam pelan. “Aku serius Ghia... aku menyukaimu, aku mencintaimu dan aku mau kamu menjadi istriku."
Ghia mendelik. "Kamu ngomong apa sih? Aku itu enggak bisa punya anak? Aku itu enggak pantas untukmu, Gio!”
Namun, Gio dengan langkah gontai dan tidak stabil mencoba merangkul Ghia. "Ghia, aku tidak peduli soal itu. Kalau bukan kamu yang menjadi istriku, aku ini ibaratnya seperti kapal tanpa nahkoda."
Ghia terhuyung, hampir terjatuh bersama Gio, dan mereka berdua jatuh ke sofa yang ada di dekat kasur King Size milik Gio dengan suara keras. Kedua mereka saling menatap, dan suasana yang seharusnya canggung malah terasa lucu.
"Gio!" Ghia hampir tak bisa menahan tawa. "Kamu kalau jatuh lagi, bisa patah gigimu itu, tahu enggak?"
Gio yang kini terbaring di sofa sambil tersenyum menatap Ghia berkata, "Aku enggak peduli, Ghia. Selama kamu di sini, di sisiku, aku merasa baik-baik saja."
Ghia, yang kini duduk di sisi sofa, meraba-raba perasaan yang aneh. "Kamu itu lucu banget, Gio. Kadang aku bingung sama kamu. Kamu itu kayak orang yang enggak ngerti apa-apa, tapi bikin orang lain enggak bisa berhenti ketawa."
Gio mengerjap, matanya masih sedikit sayu. "Tapi aku serius, Ghia. Aku enggak peduli soal keturunan atau apapun yang kamu pikirin. Yang aku tahu, aku senang kalau kamu ada di hidupku."
Ghia tertawa, meskipun perasaannya campur aduk. "Gio, aku bisa jadi ibu rumah tangga yang sempurna buat kamu, tapi jangan berharap aku bisa jadi ibu buat anak-anak kita ya! Kamu sudah tahukan, kita itu enggak bisa punya anak?"
Gio, yang mulai terlelap, cuma mengangguk pelan. "Aku eggak peduli, Ghia. Kita bisa punya banyak kucing, kan?"
Ghia terdiam, mendengarkan perkataan Gio yang begitu polos. Kemudian dia menghela napas, meskipun masih merasa canggung. "Oke, kamu tidur saja. Aku akan ambilkan air untukmu supaya sadar."
Namun, saat Ghia hendak bangkit lagi menuju kamar mandi. Dia melirik ke arah kantong jaket kulit milik Gio, terlihat sebuah surat hampir terjatuh dan keluar dari kantongnya.
"Loh ini? Ini surat hasil dari dokter tentang riwayat penyakitku. Tapi, kenapa ada sama, Gio?" kata Ghia, meraih dan menatap surat dokter miliknya.
Ghia menatap ke arah Gio yang sudah terlelap, dan menggelengkan kepalanya dengan perasaan campur aduk. "Jadi, selama ini Gio sudah tahu tentang penyakitku? Apa yang dikatakan olehnya tadi... itu fakta?"
Ghia terdiam sejenak. Matanya sedikit berkaca, dia ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya terasa terkunci. Dia ingin bilang bahwa dia tak bisa memberikan apa yang Gio butuhkan, namun kata-kata itu terasa berat. Perasaan itu terlalu rumit. Apa yang mereka miliki bisa menghancurkan semuanya. Ghia tahu bahwa mereka berada dalam dunia yang berbeda. Seorang asisten rumah tangga tak bisa hidup dalam dunia yang sama dengan anak seorang konglomerat yang punya tanggung jawab besar.
Ghia mengangkat tangan dan menepuk lembut pipi Gio. Ghia menatap Gio dalam diam. "Maafkan aku, Gio. Tapi, aku tidak bisa menjadi istrimu. Aku tidak bisa mengecewakan keluargamu kelak, karena mendapatkan menantu yang tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga ini."
Malam itu, Ghia memberikan selimut untuk Gio dan beranjak masuk ke kamar kecilnya. Ghia segera mengemaskan pakaiannya, berniat untuk kabur dari rumah mewah itu, sebelum Gio sadar dari mabuknya dan menghindari Gio supaya tidak telanjur menjalani hubungan yang semakin jauh, yaitu menikah.
~Tamat~
JUMKAT : 2048
KOMBINASI 3 GENRE:
1. Drama Keluarga/Konflik Etika
2. Romance
3. Melodrama
~CERPEN INI SAYA BUAT UNTUK EVENT GC FUKANO WITH FRIENDS~