Putra melangkah pelan di trotoar, membiarkan angin malam mengacak rambutnya yang sedikit berantakan. Hari ini melelahkan, pikirnya. Pekerjaan di kantor menumpuk, dan ia hanya ingin segera pulang untuk bertemu Zahra. Kekasih yang sudah menemani lima tahun hidupnya, yang senyumnya selalu menjadi alasan ia bertahan melewati hari-hari berat.
Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal. Zahra.
Ia sedang berjalan di seberang jalan, tangan kecilnya bertaut erat dengan seorang pria yang tak dikenalnya. Mereka tampak begitu akrab. Putra memicingkan mata, memastikan bahwa itu benar-benar Zahra. Jaket krem yang selalu ia kenakan, cara berjalan yang lembut, serta suara tawa yang begitu khas—semua itu tidak salah lagi.
Jantung Putra berdegup lebih cepat. Matanya tak bisa lepas dari cara pria itu menggenggam tangan Zahra, bagaimana Zahra tersenyum dan menatapnya dengan penuh kasih. Itu adalah senyum yang dulu hanya menjadi miliknya. Sebuah kenangan berkelebat dalam pikirannya—Zahra yang tertawa di depan kedai kopi favorit mereka, Zahra yang bersandar di bahunya saat menonton film, Zahra yang berkata, "Aku nggak akan pergi ke mana-mana, aku cuma milik kamu."
Tapi kini? Ia milik pria lain.
Langkah Putra terasa berat saat ia menyeberang, mendekati mereka. Perasaannya berkecamuk antara ingin tahu, marah, dan ketakutan. Saat jaraknya tinggal beberapa meter, Zahra akhirnya menyadari kehadirannya. Mata mereka bertemu—mata yang dulu penuh cinta, kini hanya tersisa keterkejutan dan sedikit rasa bersalah.
“Putra...” suara Zahra lirih, hampir tenggelam dalam suara kendaraan yang berlalu lalang.
Pria di sampingnya juga berhenti, menatap Putra dengan bingung. Ia tampak ragu sejenak sebelum melepaskan genggaman tangannya dari Zahra. Namun, yang membuat hati Putra semakin hancur adalah Zahra tidak berusaha menarik tangannya kembali. Ia hanya berdiri di sana, seperti seorang anak kecil yang tertangkap basah melakukan kesalahan.
“Siapa dia?” suara Putra serak, berusaha terdengar tenang meski dadanya terasa sesak.
Zahra menggigit bibirnya, lalu menunduk. “Aku bisa jelasin...”
Putra tertawa kecil, getir. “Jelaskan apa? Bahwa aku baru saja melihat pacarku menggandeng pria lain di jalan? Atau kamu mau bilang ini cuma teman? Karena maaf, Zahra, aku bukan orang bodoh.”
Pria di samping Zahra tampak gelisah, tapi tetap diam. Zahra menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Namanya Adrian. Dan... aku sudah bersama dia selama tiga bulan terakhir.”
Kata-kata itu menampar Putra lebih keras dari tamparan fisik mana pun. Tiga bulan? Ia sudah dikhianati selama itu tanpa menyadarinya? Ia yang selama ini selalu percaya pada Zahra, yang selalu mengira mereka baik-baik saja.
“Apa salahku?” suaranya lebih pelan, nyaris berbisik. Ia tidak marah lagi, hanya tersisa rasa sakit yang menggerogoti hatinya. “Apa aku kurang mencintaimu? Kurang membahagiakanmu?”
Zahra menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Putra... kamu nggak salah. Kamu selalu baik. Kamu sempurna. Aku yang salah.”
“Kalau aku cukup baik, kenapa kamu masih memilih dia?”
Keheningan menggantung di antara mereka. Zahra menggigit bibirnya lagi, menahan isakan yang ingin pecah.
“Aku nggak tahu... aku cuma... aku jatuh cinta lagi.”
Jatuh cinta lagi. Kalimat itu menghantam Putra lebih keras dari apapun. Cinta yang selama ini ia jaga, ia rawat dengan segala usaha, ternyata tidak cukup. Zahra memilih orang lain, bukan karena kurang bahagia, bukan karena ada yang salah dengan dirinya—tapi karena hatinya berubah. Dan itu jauh lebih menyakitkan.
Ia tersenyum kecil, meski dadanya terasa seperti dihantam ribuan belati. “Jadi ini akhirnya?”
Zahra mengusap air matanya yang jatuh. “Aku nggak pernah bermaksud nyakitin kamu, Putra.”
Putra mengangguk pelan. “Tapi kamu tetap melakukannya.”
Ia menatap Zahra lama, mencoba menghafalkan wajah yang dulu menjadi rumahnya. Lalu ia menoleh ke arah pria itu—Adrian—yang masih diam tanpa ekspresi.
“Hati-hati dengannya,” kata Putra dingin. “Karena kalau dia bisa mengkhianatiku, apa jaminannya dia nggak akan mengkhianati kamu?”
Zahra terisak. Adrian menunduk. Dan Putra, dengan seluruh harga dirinya yang tersisa, melangkah pergi.
Langkahnya terasa berat, seakan setiap gerakan menarik potongan hatinya yang berserakan di tanah. Tapi ia tidak menoleh lagi. Ia tahu, jika ia menoleh, ia hanya akan semakin hancur.
Hujan mulai turun, membasahi jalanan yang sepi. Putra membiarkan air mengalir di wajahnya, menyamarkan air mata yang akhirnya jatuh.
Cinta yang ia jaga lima tahun hancur dalam satu malam. Dan kini, yang tersisa hanyalah sepotong hati yang retak, serta kenangan yang tak akan pernah sama lagi.