Bila embun telah tahu sehelai daun untuknya bertempat
Dan mentari begitu kenal dengan tebaran awan jingganya
Maka segala kehendak-Nya akan juga mengizinkan
Kelak di hatimulah kasihku kan terhampar
***
Sebuah pemandangan sakral menjadi poros perhatian pada pagi itu. Sebuah meja persegi panjang bertutup kain taplak hijau muda dikelilingi beberapa kursi.
Baru sepuluhan detik lalu dua saksi yang duduk di sebelah kanan pengantin pria menjawab sah pertanyaan penghulu atas ijab qobul yang terucap. “Sah” juga terdengar dari tetamu yang hadir, sejurus diikuti lantunan doa oleh penghulu.
Pelaminan berhias wewarnian bunga menjadi latar kedua pengantin mengulum senyum pada tetamu yang menyalami silih berganti.
“Kamu ndak bosan datang sendirian terus?” ucap pengantin perempuan sembari mengecup kedua pipi perempuan berkebaya kuning di depannya.
“Dina, kamu ngejek aku?” timpal perempuan yang tak lain adalah sahabatnya itu, “Iya deh, kamu yang sekarang sudah ndak sendiri. Selamat ya.”
“Terima kasih ya, La. Cepat nyusul.”
Lila, perempuan berkebaya kuning itu megangguk. Ia lalu pamit setelah memberi selamat pada pengantin pria.
“Inilah kuasa-Nya”, gumam Lila menyusuri jalan menuju rumahnnya. Ia menyadari dan memahami semua hal yang terjadi adalah kuasa-Nya, begitu juga dengan pernikahan Dina dan Azzri.
Lila tidak menyesal bahwa bukan ia yang menikah dengan lelaki itu, toh itu yang ia harapkan. Lagipula Dina adalah perempuan yang baik, bukan masalah bila Azzri menikahinya.
“Pak Yusron menawarkan perkenalan itu padamu, bukan padaku.” Tolak Dina saat Lila memintanya menemui Azzri.
“Kamu tahu aku kan, Din.” Lila meraih tangan sahabatnya dan berusaha meyakinkan, “Kamu tahu aku masih berharap pada seseorang. Kumohon temui dia, aku sudah bilang pada Pak Yusron kalau aku menolak dengan alasanku.”
“Mungkin ini jalan untuk jodohmu, La.”
Lila menggeleng.
“Dia orang yang sangat baik sesuai yang kudengar. Entah kenapa aku ingat padamu saat pak Yusron menggambarkan sifat pemuda itu, Din. Namanya Azzri, insyaAllah dia baik untukmu. Temui dia.”
“Tapi, La...”
“Kenapa? Adakah seorang yang lain?”
“Tidak, hanya saja... aku masih perlu memikirnya kembali, La.”
Lila tersenyum dan memeluk Dina, “Itu lebih baik daipada kamu menolaknya langsung.”
***
Sesampainya di kos, Lila berniat segera menyelesaikan tugas-tugas yang belum sempat ia selesaikan karena harus datang ke pernikahan Dina. Namun karena lelah setelah perjalanan dengan bus yang hampir tiga jam, Lila memilih merebahkan tubuhnya sebentar.
“Assalamu’alaikum, La. Lila...” suara seorang perempuan dari balik pintu kos Lila.
Lila yang belum lama tertidurpun terbangun dan langsung mengenali suara itu. Ia membenarkan jilbabnya sembari berjalan menuju pintu.
“Wa’alaikumsalam, Nur.” Terlihat Lila di ambang pintu, dengan kantuk di matanya.
Perempuan yang disapa Nur itu menerobos masuk dan meninggalkan kesan bahwa dia sedang kesal.
Lila tidak memperdulikan ekspresi wajah Nur yang masih sama. Ia menyodorkan segelas air putih dan sekotak sagon yang dibawanya.
“Yang bikin ibuku lho, Nur, kamu harus coba.” Ucap Lila dengan senyum terulas.
“Ikhlas itu tidak mudah, La. Jangan bohongi dirimu sendiri.” Nur membicarakan topik yang berbeda. Matanya mulai berkaca.
“Makan, Nur.” Lila menggeser kotak sagon ke depan Nur, “Masih ada satu kotak, nanti kamu bawa pulang buat Mas Zein ya, Nur.”
Nur hanya diam. Air mata sudah membanjiri pipinya. Teringat olehnya beberapa hari yang lalu saat dia menenangkan Lila yang menangis setelah mendengar Dina akan segara menikah dengan Azzri.
“Nur... kamu memang benar, ini tidaklah mudah.” Lila mengusap pipi Nur yang basah, “Tapi Nur, apa tangisku lebih kamu sukai daripada senyumku?”
“Li...la...” sedu Nur.
“Lagipula, apa hakku untuk tidak ikhlas? Kamu kan tahu Mas Azzri bukanlah siapa-siapaku, bahkan dia tidak kenal siapa Aku...”
“Tapi dia lelaki yang kamu harapkan sejak dulu, La.” Sela Nur yang mulai tenang.
Lila menggeleng. Ia kembali mengulaskan senyum pada sahabat karibnya sejak SMK itu.
“Bukan berarti Aku harus tidak rela bila dia menikah dengan perempuan lain kan? Apalagi yang dia nikahi adalah sahabatku, perempuan yang disukainya, yang didambanya.”
“Sekarang ceritakan padaku apa yang terjadi, La. Aku masih ingat betul wajah bahagiamu saat tahu lelaki yang akan kamu temui adalah Mas Azzri, jadi bagaimana bisa yang menikah dengannya adalah Dina?” ucap Nur menuntut.
Lila hanya diam, ia sedang berpikir harus dari mana ia memulainya. Ia menghela napas, merasakan sisa kesedihan dalam hatinya karena lelaki yang ia kagumi dan harapkan kelak menjadi sosok yang mendampinginya menjalani hidup kini telah sah menjadi suami sahabatnya.
Entah dari mana kata-kata itu berasal, tapi semua hal yang belum sempat ia ceritakan pada Nur kini keluar dari bibirnya.
*
Hari itu, tidak ada kata yang dapat mengekspresikan perasaan Lila, ia akan bertemu dengan lelaki yang hampir tiga tahun ini tidak ia jumpai.
Sebelumnya ia sudah membuka amplop yang berisi biodata dan foto lelaki yang akan diperkenalkan pak Yusron padanya, dan mengetahui bahwa lelaki itu adalah Azzri membuatnya begitu bahagia.
Ia merasa itulah akhir dari penantiannya dalam diam selama ini. Takdir yang menjawab doa-doanya.
Setelah memarkirkan motornya, Lila bergegas ke kantor pak Yusron. Rasa gugup menyelimutinya, apalagi ia hanya sendiri karena Nur tidak bisa menemaninya.
Sesampainya di kantor Pak Yusron, Lila berhenti di samping pintu untuk menenangkan diri. Ia melihat dari celah pintu dan langsung mengenali lelaki yang sedang duduk hanya ditemani lelaki lain seusianya, mungkin itu temannya, pikir Lila.
Lelaki itu masih sama seperti dalam ingatan Lila, hanya saja sekarang dia memakai kaca mata.
“Jalan Allah untuk antum begitu tidak terduga.” Ucap lelaki di samping Azzri.
Lila tersenyum mendengar ucapan lelaki itu, ia seperti membenarkannya.
“Iya, Mas.” Suara Azzri terdengar bahagia, “Saya bertemu dengannya di masjid ponpes Qoryatul Qur’an di Malang, dan saya pikir saya tidak akan bertemu dengannya lagi. Tapi rencana Allah tidak ada yang tahu, Mas, saya dipertemukan dengannya lagi di Jogja yang tak lain kota kedua saya.” Terang Azzri.
Mendengar apa yang dikatakan Azzri, Lila merasa aneh karena ia belum pernah pergi ke malang sebelumnya. Ia lalu lebih mendekatkan kepalanya ke pintu, berharap mendengar lebih jelas.
“Apa antum yakin gadis yang antum lihat kemarin itu sama dengan yang antum lihat di Malang?”
“InsyaAllah saya yakin, Mas. Saya masih ingat betul wajahnya karena saat itu juga saya merasa bahwa dia adalah perempuan yang akan mengisi kehidupan saya nantinya.” Azzri terdengar begitu bahagia saat bercerita pada temannya itu.
“Haha... antum membuat saya mulai percaya adanya rasa pada pandangan pertama.” Ucap teman Azzri dengan tawa pelan.
*
Dua perempuan itu masih khusyuk bercerita ditemani suasana mendung yang terlihat dari jendela.
“Bagaimana bisa kamu berpikir begitu saja kalau perempuan itu Dina?” tanya Nur.
“Kenapa tidak? Semua mungkin saja, Nur.” Lila berusaha tersenyum saat melanjutkan ceritanya, “Sejak SMP Dina sudah mondok di sana, bahkan sampai sekarang dia kuliah. Mungkin benar Mas Azzri bertemu Dina di sana.”
Nur mengangguk, seakan mengerti yang dimaksud Lila. Dia pun ingat bahwa Azzri adalah santri rantau dari Malang yang mondok di ponpes asuhan Pak Yusron yang sekaligus guru di SMK tempat Nur dan Lila bersekolah.
Nur pun kembali teringat wajah malu Lila saat mengatakan kalau Azzri sosok lelaki yang patut diidamkan oleh perempuan, yang saat itu juga Nur tahu kalau sahabatnya itu menyukai Azzri.
Namun perasaan Lila tidaklah beruntung sebab tak bisa terungkap karena Azzri kembali ke Malang dua tahun setelahnya untuk melanjutkan kuliah, dan di samping itu Lila adalah seorang perempuan yang tentu tidak memiliki keleluasaan untuk mengungkapkan perasaannya.
“Aku juga dengar Mas Azzri melihat Dina di kantor Pak Yusron, mungkin saat Aku meminta Dina menemaniku berkunjung ke sekolah waktu itu, Nur.”
“Tapi tetap saja, La, kamu yang ingin dikenalkan Pak Yusron padanya..”
“Tidak, Nur. Dari awal Dinalah tujuan Mas Azzri karena Pak Yusron bercerita padaku kalau sebelumnya Mas Azzri meminta beliau mempertemukannya dengan perempuan yang baru saja datang sebelum Mas Azzri, dan mungkin beliau berpikir itu Aku karena yang beliau kenal adalah Aku, bukannya Dina.”
“Kenapa ini begitu rumit, La? Aku tidak bisa memahaminya...” Nur menundukkan kepalanya dan kembali menjatuhkan air mata, “Aku bahkan tidak bisa memahami senyum yang sedang Aku lihat sekarang di depanku.”
Lila memperlebar senyumnya dan menggenggam tangan Nur, sahabat yang selalu merasakan hal yang lebih dari yang ia rasakan.
“Kamu akan memahaminya, Nur, seperti Aku. Senyumku adalah kepahamanku tentang semua ini, Aku bahagia karena Aku memahaminya. Nur...” Lila menegakkan pundak Nur, “betapa Aku bahagia karena Allah memilihku sebagai perantara untuk Mas Azzri bertemu Dina kembali, perempuan yang ia bahkan tidak tahu namanya karena baru sekali ia bertemu. Nur... Aku perantara Allah untuk jodoh dua orang yang berarti dalam hidupku. Indah bukan?”
“Setidaknya jangan terlihat terlalu kuat, La. Aku tahu kamu tidak sekuat itu, jadi bagilah kesedihanmu itu denganku.”
“Nur... kamu sepertinya terlalu mengenalku...” Lila tertawa sembari mengusap pipi Nur.
Nur memeluk sahabatnya yang telah harus melepaskan perasaan yang bertahun-tahun dipendamnya, “La, cobalah membuka hatimu meski sulit. Aku percaya Allah telah menyiapkan seorang imam untukmu, mungkin juga dia adalah lelaki yang telah lama mengharakapmu, La. Aamiin.”
“Aamiin.” Lila melepas pelukan Nur, dan mereka saling tersenyum, “Oh ya, selamat ya untuk suamimu atas kelulusannya. Sampaikan salamku untuknya, semoga ilmunya bermanfaat untuk orang banyak”
“Iya, La. Terima kasih, insyaAllah akan Aku sampaikan ke Mas Zein. Kamu datang ya di acara wisudanya awal Oktober nanti...”
Lila mengangguk, “InsyaAllah.”
***
Farukh, lelaki tinggi nan rupawan itu menghampiri Lila yang sedang berfoto dengan Nur dan Zein di depan gedung graha tempat prosesi wisuda berlangsung.
Ia mengajak Lila untuk berbicara berdua, namun sebelumnya ia merangkul erat Zein, sahabatnya yang juga bisa lulus di tahun yang sama dengannya.
“Semoga hari ini kamu sukses, Far...” ucap Zein sembari menepuk bahu Farukh.
“Kamu doakan saja.” Sahut Farukh yang lantas berjalan pergi dengan Lila.
Nur yang sedari tadi tampak begitu bahagia atas kelulusan suaminya berubah raut wajahnya. Dia merasa bingung dengan maksud Farukh mengajak pergi Lila padahal mereka tidak begitu akrab.
“Ada apa sih, Mas? Tanya Nur pada Zein.
“Kamu tahu, dek?”
Nur menggeleng.
Zein hanya tersenyum melihat Nur yang semakin bingung dan mungkin penasaran.
“Aku berharap Farukh bisa bersama dengan Lila.”
“Lila?” ucap Nur sedikit terkejut setelah tahu apa yang menjadi maksud Farukh sebenarnya.
Ia lantas terdiam, entah apa yang harus ia rasakan mengetahui semua itu. Ia bahagia karena ada sosok lelaki yang baik yang mencintai sahabatnya, namun ia juga khawatir dengan perasaan Lila yang belum sepenuhnya melupakan Azzri.
*
“Aku menyayangimu, La. Memang kita belum mengenal dengan baik, tapi Aku sungguh-sungguh dengan perasaanku padamu...” Ucap Farukh.
Mendengar ucapan Farukh membuat Lila terkejut karena selama ini menurutnya ia tidak sedekat itu dengan Farukh. Lila hanya bertemu Farukh saat rapat maupun saat ada kegiatan di UKM yang sama.
“Mas Farukh... Aku... tidak tahu harus bagaimana... Aku...” Lila sedikit gagap.
“La... Aku minta padamu untuk mempertimbangkannya. Aku akan menunggu, La. Jika kamu menerimaku, Aku akan segera datang bersama orangtuaku untuk melamarmu,” Farukh terlihat begitu tulus mengutarakan maksud hatinya pada Lila, “Lila... jujur, Aku sangat berharap.”
Lila tidak berkata apapun, mulutnya terkatup rapat. Ia terlihat sedang memikirkan satu jawaban untuk ia sampaikan.
Lila melihat pada Farukh, dilihatnya Farukh menunggu ia mengatakan sesuatu. Seketika Lila menundukkan kepalanya karena yang terlihat olehnya adalah Azzri yang masih belum sepenuhnya ia lupakan.
“Mas tidak perlu menunggu...” Lila memberanikan diri untuk jujur pada Farukh, “Aku menolak Mas Farukh saat ini juga. Maafkan Aku, Mas.” Ucap Lila dengan masih tertunduk.
Farukh yang mendengarnya cukup kaget karena dia begitu berharap pada Lila. Ekspresi wajahnya kini sudah berubah jauh dari sebelumnya. Ucapan Lila membingungkannya.
“Kamu terburu-buru, La. Aku bi...”
“Tidak, Mas. Aku tidak bisa mempertimbangkan perasaanmu untukku. Kamu lelaki yang baik, kamu tidak seharusnya mempunyai perasaan semacam itu untukku. Aku hanya akan menyakitimu, membuatmu terluka.”
Farukh bangkit dari duduknya, “Kenapa, La? Aku tidak berpikir kamu akan menolak tanpa mempertimbangkannya lebih dulu. Aku katakan Aku akan menunggu, dan itu lebih baik untuk kita berdua, bukan?” ucap Farukh.
“Aku mempunyai alasan yang tidak mungkin Mas pahami. Aku mohon maafkan Aku.”
Farukh terlihat bingung. Dia memegang kuat topi toga yang sedari tadi di tangannya, luapan kekecewaannya.
“Baiklah jika kamu berpikir kalau alasanmu tidak akan bisa kupahami, tapi Lila... mungkin kamu juga tidak bisa memahami perasaan orang lain sehingga kamu mendikteku untuk tidak mempunyai perasaan terhadapmu. Kamu tidak mempunyai hak untuk hal itu, La.” Ucap Farukh yang kemudian berbalik pergi.
“Mas... Aku mohon...” Lila berusaha menghentikan Farukh, “Hari ini hari wisudamu, jadi Aku mohon berbahagialah, dan seterusnya berbahagialah.”
Lanjutnya, dan Farukh pun menghentikan langkahnya.
“Bahagia?” Farukh menoleh, terlihat kesedihan menghiasi wajahnya, “Setelah yang kamu katakan, Aku tidak tahu apakah kebahagianku masih tersisa... karena sebelumnya Aku sudah menghabiskannya untuk melihat dan mengharapkanmu, Lila.” Ucap Farukh yang lalu pergi meninggalkan Lila yang berdiri terpaku melihatnya menjauh.
Lila tertunduk tak berdaya, ia tidak tahu apakah keputusan singkatnya sudah benar. Ada sedikit penyesalan karena terburu-buru menolak Farukh, namun ia merasa dirinya belum siap untuk menjalani perasaan yang baru dengan orang lain.
Matanya mulai basah, ia takut akan menjadi kufur atas nikmat Allah untuknya, seorang lelaki sholeh yang mencintainya dan ingin menjadikannya istri telah ia tolak begitu saja.
Ia beristigfar dalam hati dan mulai menenangkan dirinya sendiri. Setelah tangisnya berhenti, ia baru sadar bahwa Nur sudah berdiri di depannya.
Wajah Nur selalu lebih sedih dibanding dengan Lila sendiri. Melihat ekspresi Farukh sekembalinya dari berbicara dengan Lila, Nur tahu apa yang sudah diputuskan oleh Lila, sahabatnya.
Dia tidak menanyakan apapun, hanya duduk di samping Lila dan mengelus pundaknya. Dia berusaha memahami apa yang sudah menjadi keputusan Lila.
***
Beberapa bulan setelah wisuda, Farukh memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ia merasa tidak ada hal lagi yang perlu ia lakukan di Surakarta, tempat yang hampir lima tahun ia tinggali.
“Kamu yakin akan pulang?” tanya Zein kepada Farukh yang mampir ke kontrakannya untuk berpamitan.
Farukh tersenyum kecil dan menepuk bahun Zein, “Kenapa dengan kamu ini, Zein? Seperti tidak akan ketemu denganku lagi saja... Aku akan sering ke sini lah, Zein, keluargaku banyak yang di sini, jadi kamu tenang sajalah.”
“Terserah kamu lah, Far. Sebab ditolak saja kamu sudah seperti ini.” Zein tersenyum mengejek, “Harusnya kamu datangi wawancara kerjamu besok. Butuh waktu lama untuk mendapatkannya, jadi jangan kamu siakan.”
“Terima kasih atas nasehatmu, Zein.” Farukh menyimpulkan senyum, “Istrimu kemana?”
Zein tidak menjawab pertanyaan Farukh, dia segera memanggil Nur yang sedang memasak di dapur. Sesaat kemudian Nur sudah duduk di samping Zein.
“Aku minta tolong padamu, Nur. Sampaikan maafku pada Lila atas ucapanku padanya waktu itu..”
“Mas Farukh...” Nur menyela Farukh yang belum selesai bicara, “ehmm, Lila...”
“Sampaikan juga, Aku doakan dia bertemu dengan lelaki yang baik, seperti yang dia inginkan.”
“Alasan Lila... mungkin alasan Lila...” Nur tiba-tiba berbicara tidak jelas.
“Alasan Lila... Aku tidak tahu itu apa, tapi Aku mungkin tidak bisa memahaminya, seperti yang Lila katakan.” Farukh menundukkan kepalanya, kemudian dia mengambil tas di sampingnya, “Tolong ya, Nur. Sampaikan pada Lila, Aku hanya tidak memiliki keberanian untuk menemuinya lagi.” Farukh lalu beranjak dari duduknya dan merangkul Zein, sebagai tanda perpisahan.
“Mas Farukh...” Nur tiba-tiba memanggil Farukh yang sudah berjalan pergi di antar oleh Zein.
*
Farukh begitu gugup, sekarang yang ditemuinya bukan hanya Lila tetapi orangtuanya. Ia datang bersama Zein dan Pak Yusron yang dikenalkan oleh Nur sebagai guru favoritnya dan juga Lila saat di sekolah dulu. Pak Yusron sengaja ia minta untuk membantunya berta’aruf dengan Lila.
Sementara itu Lila yang belum lama datang bersama Nur dari Surakarta nampak begitu terkejut melihat Farukh duduk di depannya sebagai lelaki yang ingin menta’aruf dirinya.
Ia tidak tahu menahu tentang lelaki yang akan ia temui karena saat Pak Yusron meneleponnya, beliau hanya memberitahu kalau ada lelaki yang ingin berkenalan dengan Lila, dan beliau juga menyuruh Lila segera pulang ke Jogja.
Dengan wajah masih tergurat keterkejutan, Lila meminta Farukh keluar untuk berbicara dengannya sementara Pak Yusron dan ayahnya masih mengobrol.
“Bagaimana bisa Mas Farukh...”
“Karena alasanmu, La...” Farukh menyela perkataan Lila, “Ya... Aku datang karena alasanmu waktu itu. Jangan salahkan Nur yang memberitahuku tentang alasanmu, dia hanya berniat baik.”
“Aku sudah mengiranya... hanya saja kenapa Mas sampai sejauh ini?”
“Alasanmu... kamu benar, La. Aku tidak bisa memahaminya, sangat sulit memahaminya. Kamu tidak harus seperti itu, La.”
Lila terdiam. Ia mengalihkan pandangannya pada langit malam.
“Seperti yang Aku katakan padamu, kamu tidak bisa mendikteku. Entah Aku sakit atau terluka karena perasaanmu yang untuk orang lain itu, jangan pedulikan Aku... Ini perasaanku, biarkan Aku yang memutuskan apa yang akan kulakukan padanya. La...” Farukh menatap wajah Lila yang mulai basah. “Setidaknya lihat Aku, La, itu lebih baik untukku daripada kamu terlihat begitu tidak menghiraukanku seperti dulu.”
“Aku bukan tidak menghiraukanmu, Mas. Aku hanya tidak bisa melihatmu hanya untuk menyakitimu.”
“Lila... mungkin kamu harus menyerah pada perasaanmu, tapi Aku tidak. Setidaknya Aku ingin mengusahakannya sampai akhir, sampai Allah yang mengakhirinya atas kehendak-Nya.” Farukh lalu berbalik pergi.
Mendengar perkataan Farukh, Lila hanya bisa menangis. Ia belum tahu harus memberi jawaban apa pada Farukh.
Ia mengahapus air matanya dan menenangkan dirinya sendiri. Saat ia berbalik, ia melihat Farukh berdiri di depan pintu masuk, sekitar beberapa langkah di depannya.
Farukh terlihat menatapnya dalam, dan sejurus kemudian bibirnya terlihat mengatakan sesuatu yang terdengar dengan jelas oleh Lila di keheningan malam itu.
“Lila...
Bila embun telah tahu sehelai daun untuknya bertempat
Dan mentari begitu kenal dengan tebaran awan jingganya
Maka segala kehendak-Nya akan juga mengizinkan
Kelak di hatimulah kasihku kan terhampar...”
TAMAT