Ak u masih ingat hari pertama aku mengenalnya. Saat itu, kami duduk di bangku kelas satu SMP, masih terlalu kecil untuk mengerti apa itu cinta, tapi cukup dewasa untuk merasakan sesuatu yang berbeda.
Namanya Alya. Gadis yang selalu duduk di barisan depan, rajin mencatat, dan memiliki senyum yang entah kenapa selalu membuatku ingin melihatnya lebih lama. Aku, Falah, hanya anak laki-laki biasa yang lebih suka duduk di pojok kelas, diam, dan mengamati dunia dari kejauhan.
Perasaan itu tumbuh pelan-pelan. Awalnya, aku hanya merasa senang melihatnya tersenyum. Lalu, aku mulai mencari-cari alasan untuk sekadar berbicara dengannya, meski itu hanya meminjam penghapus atau menanyakan tugas. Aku ingin lebih dekat, tapi aku tahu batasanku.
Aku menyukai Alya dalam diam.
Bertahun-tahun berlalu, dan kami tetap berteman. Aku mendengar cerita-ceritanya tentang banyak hal—tentang keluarganya, tentang impian kecilnya, bahkan tentang seseorang yang pernah ia sukai. Aku mendengarkan semuanya, sambil berusaha menyembunyikan rasa yang semakin dalam.
Di tahun terakhir SMA, aku akhirnya berani menulis surat. Aku tidak cukup berani untuk mengatakannya langsung, jadi aku menuangkan semua perasaanku dalam selembar kertas sederhana. Aku tak berharap banyak, hanya ingin setidaknya dia tahu.
Namun, saat aku berencana memberikannya, aku melihatnya tersenyum bahagia sambil menerima surat dari orang lain. Mataku menangkap tatapan berbinar yang tidak pernah ia tunjukkan padaku sebelumnya.
Saat itu, aku sadar.
Aku terlambat.
Aku menyimpan surat itu kembali ke dalam saku, lalu tersenyum seperti biasa saat ia datang menghampiriku dan bercerita tentang kebahagiaannya. Aku mendengarkan, seperti yang selalu kulakukan.
Dan untuk kesekian kalinya, aku memilih memendam perasaanku sendiri.
Sekian terimakasih