Fajar merekah, dan langit memancarkan warna biru lembut. Di ujung jalan desa, seorang prajurit berdiri, menghadap ke arah rumah kecil yang penuh kehangatan. Di depan pintu, sang istri memeluk bayinya yang baru berusia beberapa bulan. Ia menatap suaminya dengan senyuman yang dipaksakan, sementara air mata perlahan menggenang di sudut matanya.
“Aku akan kembali,” ucap prajurit itu dengan nada penuh keyakinan. Ia membungkuk, mencium kening istrinya, lalu bayi kecil yang menggenggam jari-jarinya dengan lugu.
“Jangan terlalu lama” bisik sang istri. Suaranya bergetar. Ia tahu perang tak pernah menjanjikan kepulangan.
Hari-hari berlalu dengan berat. Setiap pagi, sang istri duduk di depan jendela, menimang bayinya sambil memandangi jalan tempat suaminya pergi. Ia selalu menanti, berharap melihat sosok yang ia rindukan melangkah pulang dengan senyuman kemenangan.
Di medan perang, suaminya bertarung tanpa kenal lelah. Ia adalah seorang pahlawan, tidak hanya bagi desanya, tetapi bagi seluruh negeri. Ia maju di garis depan, menghadapi naga besar yang mengamuk, melindungi rakyatnya dengan keberanian luar biasa. Api menyala, darah bercucuran, namun ia tetap berdiri tegak, meski tubuhnya penuh luka.
“aku akan seger- ....” pikirnya di sela-sela pertempuran. Bayangan wajah istri dan anaknya adalah satu-satunya alasan ia terus bertahan.
Namun, takdir berkata lain. Dalam pertempuran terakhir melawan naga yang mengamuk, sang pahlawan memberikan segalanya. Ia mengorbankan dirinya untuk memastikan musuh terakhir hancur. Tubuhnya jatuh di tengah kobaran api, dengan senyum kecil tersungging di bibirnya. Ia telah memenuhi janjinya kepada negeri ini, meski tak sempat kembali ke rumah.
Berhari-hari kemudian, kabar duka itu tiba di desa. Sang istri menerima surat dari panglima pasukan. Tangannya gemetar ketika membukanya, dan air mata turun begitu ia membaca setiap kata.
“Dia telah gugur sebagai pahlawan,” tulis surat itu.
Hatinya hancur, tetapi ia tahu suaminya telah melakukan sesuatu yang luar biasa. Ia berdiri di depan pintu rumahnya setiap pagi, membawa setangkai bunga, mengenang sang suami yang tak pernah kembali.
Ketika pasukan yang selamat pulang ke desa, mereka datang membawa jasad sang pahlawan. Semua penduduk desa berkumpul dalam hening, memberi penghormatan terakhir kepada pria yang telah menyerahkan hidupnya demi mereka.
Sang istri berdiri di depan peti jenazah
"..."
menggenggam setangkai bunga yang biasa ia berikan pada suaminya setiap kali ia pulang dari ladang. Dengan hati yang berat, ia meletakkan bunga itu di atas dada suaminya.
“Ini bunga terakhir untukmu,” bisiknya, air matanya membasahi pipi.
Di antara isak tangis, desa itu menyanyikan lagu pengantar jiwa. Langit sore mengiringi kepergian sang pahlawan dengan keheningan yang mendalam, seolah dunia pun berduka.
Dan setiap pagi, sang istri masih berdiri di depan pintu, membawa bunga baru, mengenang cinta yang tak pernah padam. Meski ia tahu, suaminya tak akan pernah kembali, ia percaya bahwa cintanya akan abadi, seperti harum bunga yang ia genggam.