Di sebuah hutan lebat yang selalu tertutup kabut, hiduplah seekor gagak tua bernama Arkon. Ia adalah gagak yang berbeda dari kawanannya. Bulu hitamnya tidak mengilap seperti gagak lain, melainkan kelabu seperti abu sisa api. Matanya tidak tajam, namun redup seperti rembulan yang diselimuti awan.
Arkon punya satu kebiasaan aneh: setiap malam, ia terbang ke puncak pohon tertinggi di hutan dan menatap ke langit, seolah mencari sesuatu. Para penghuni hutan sering menertawakannya. "Apa yang kau cari di atas sana, Gagak Tua?" tanya seekor rubah. "Langit hanya punya kegelapan, tidak ada yang lain."
Namun Arkon selalu menjawab dengan tenang, "Aku mencari cahaya yang hilang."
Berabad-abad lalu, sebelum hutan ini diselimuti kabut, Arkon adalah gagak muda yang tangkas dan pemberani. Ia melihat dunia dipenuhi oleh cahaya yang melimpah: cahaya mentari, cahaya bintang, dan cahaya hati makhluk-makhluk yang hidup berdampingan. Namun suatu hari, kabut gelap tiba-tiba melingkupi hutan. Kabut itu tidak hanya menutupi matahari, tetapi juga meresap ke hati semua makhluk, menghisap harapan, dan meninggalkan kehampaan.
Sejak saat itu, para penghuni hutan menyerah. Mereka terbiasa hidup dalam kabut, meyakini bahwa cahaya tidak akan pernah kembali. Tapi Arkon tidak mau menyerah. Ia yakin bahwa cahaya itu masih ada, entah di mana.
"Jika aku tidak menemukannya di hutan, maka aku akan mencarinya di langit," pikirnya. Dan demikianlah ia mulai penerbangannya setiap malam.
Suatu malam, ketika Arkon sedang terbang tinggi, ia melihat sesuatu yang tidak biasa. Di balik awan tebal, ada kilatan kecil yang nyaris tak terlihat. Cahaya itu redup, seperti lilin yang hampir padam. Tapi bagi Arkon, itu adalah harapan.
Ia mengepakkan sayapnya dengan sekuat tenaga, menembus kabut dan mendekati cahaya itu. Namun semakin dekat ia terbang, semakin berat tubuhnya terasa. Kabut di sekitarnya berubah menjadi rantai tak kasat mata yang menariknya ke bawah.
"Apa kau akan menyerah?" sebuah suara berbisik di telinganya. Itu suara Kabut, entitas yang telah menguasai hutan selama berabad-abad.
"Tidak ada gunanya mengejar cahaya. Kau hanya akan jatuh dan binasa seperti yang lain."
Arkon berhenti sejenak. Napasnya terengah-engah. Sayapnya terasa berat. Namun ia tidak berhenti menatap cahaya itu. "Lebih baik aku binasa dalam pencarian daripada hidup dalam penyesalan," jawabnya.
Dengan kekuatan terakhirnya, Arkon mengepakkan sayapnya dan menembus awan terakhir. Saat itu juga, ia mencapai sumber cahaya tersebut: sebuah bintang kecil yang nyaris padam.
"Kenapa kau ada di sini sendirian?" tanya Arkon kepada bintang itu.
"Aku adalah cahaya terakhir dari hutan ini," jawab bintang kecil itu. "Kabut menghisap semua cahaya lainnya. Aku mencoba bertahan, tapi aku terlalu kecil untuk mengusirnya."
Arkon memandang bintang itu dengan penuh kasih. "Jika kau kecil, maka aku akan menjadi sayapmu," katanya. Ia membuka paruhnya dan menelan bintang kecil itu. Tubuhnya segera bersinar terang, memancarkan cahaya yang tak pernah terlihat sebelumnya.
Ketika pagi tiba, para penghuni hutan terkejut. Kabut yang selama ini menyelimuti hutan mulai menghilang. Cahaya mentari menyinari pepohonan, dan untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, mereka melihat langit biru.
Namun Arkon tidak pernah kembali...