Setelah perkenalanku dengan Luca, ternyata tanpa aku sadari aku semakin banyak berinteraksi dengan mereka yang tidak terlihat. Cerpen ini kutulis sebagai persembahan untuk Annelise van Dijk. Sosok hantu Noni Belanda yang mengajarkanku tentang arti penderitaan yang tersembunyi di balik senyum dan kehidupan yang terlihat sempurna.
Annelise bukan hanya sekadar arwah yang gentayangan, tetapi juga jiwa yang terperangkap dalam rasa bersalah dan luka yang tidak pernah sembuh. Dari cerita hidupnya, aku belajar bahwa bahkan di tengah kemewahan dan kehidupan indah, seseorang bisa mengalami penderitaan yang begitu dalam, hingga memilih untuk mengakhiri semuanya.
Happy reading...
⭐⭐⭐
Aku tidak pernah membayangkan bahwa hari-hariku di SMA akan dihantui oleh cerita-cerita menyeramkan. Saat itu, aku sedang duduk di tahun kedua. Sekolahku merupakan SMA tertua di kota tempatku tinggal. Bangunannya berdiri megah dan kokoh, tetap bertahan selama lebih dari satu abad.
Sekolahku dibangun pada tahun 1922, mengusung arsitektur gaya Indis yang khas dengan perpaduan unik antara gaya kolonial Eropa dan unsur lokal. Ciri khasnya tampak jelas pada pintu-pintu besar, jendela-jendela lebar, dan lubang ventilasi yang dirancang untuk memastikan sirkulasi udara berjalan lancar, menjadikannya nyaman meskipun di tengah cuaca tropis. Keanggunan bangunan ini memancarkan nuansa klasik yang memikat, mulai dari dinding tinggi yang kokoh hingga langit-langit yang menjulang. Namun, di balik pesona arsitekturalnya, sekolah ini menyimpan jejak sejarah panjang yang tidak hanya penuh cerita indah, tetapi juga bayangan kelam yang menjadi bisik-bisik di kalangan para siswa.
Menurut cerita para kakak kelas, sekolah ini menyimpan segudang misteri yang sulit diabaikan. Bagaimana tidak? Sekitar seratus tahun yang lalu, bangunan ini bukanlah SMA seperti sekarang, melainkan sebuah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sekolah menengah pertama pada masa kolonial Belanda. Johan Jacob Coert, seorang pejabat Belanda, menyetujui pembangunan MULO ini setelah adanya desakan dari warga Eropa yang menginginkan pendidikan menengah yang lebih baik untuk anak-anak mereka. Pemerintah Belanda akhirnya memberikan petak tanah kosong seluas dua hektar yang dibeli seharga 3.335 Gulden. Pembangunan MULO ini bahkan sempat menjadi berita besar, termuat dalam surat kabar Belanda seperti De Locomotief dan Bataviaasch Nieuwsblad.
Namun, masa kejayaan MULO tidak berlangsung lama. Ketika Jepang menduduki Indonesia, sekolah ini ditutup. Gedungnya dialihfungsikan menjadi markas tentara Jepang. Sebagai bagian dari strategi militer mereka, bangunan ini dijadikan pusat operasi sekaligus tempat pengawasan terhadap wilayah sekitar. Suasana gedung yang dulunya ramai oleh kegiatan belajar mengajar berubah menjadi suram dengan derap langkah tentara dan perintah tegas yang menggema di setiap sudut.
Lebih dari sekadar markas, bangunan ini juga digunakan sebagai kamp konsentrasi oleh tentara Jepang. Di sini, orang-orang Belanda, termasuk perempuan dan anak-anak, serta tawanan militer ditahan dalam kondisi yang memprihatinkan. Mereka mengalami berbagai bentuk penderitaan, mulai dari kekurangan makanan, penyakit, hingga kerja paksa yang melelahkan. Bagi banyak orang, gedung ini menjadi tempat terakhir mereka melihat dunia.
Setelah Indonesia merdeka, gedung ini mengalami berbagai perubahan fungsi, terutama sebagai markas militer. Ketika Jepang menyerah, gedung ini langsung diambil alih oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Divisi 1 Brawijaya. Namun, masa-masa damai tidak berlangsung lama. Pada tahun 1948, saat Belanda melancarkan Agresi Militer kedua, pasukan KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) berhasil merebut dan menduduki gedung ini untuk sementara waktu. Barulah setelah situasi politik stabil di awal tahun 1950-an, bangunan ini dikembalikan ke tujuan awalnya sebagai institusi pendidikan.
Kini, sekolahku telah berusia 79 tahun sejak pertama kali difungsikan kembali sebagai sekolah. Bangunannya tetap berdiri kokoh, menjadi saksi bisu berbagai babak sejarah yang mencekam, mulai dari masa kolonial, pendudukan Jepang, hingga perjuangan kemerdekaan. Setiap lorong dan ruang di gedung ini seolah menyimpan jejak-jejak masa lalu yang tidak pernah sepenuhnya hilang, menciptakan atmosfer unik yang terkadang terasa berat oleh beban sejarahnya.
"Kau tahu, katanya di koridor depan sering muncul penampakan noni-noni Belanda," ujar temanku, Zahra, suatu sore saat kami sedang belajar kelompok di gazebo induk.
Aku hanya mengangkat bahu, berusaha terlihat acuh dan tidak terpengaruh oleh ceritanya. "Ah, itu hanya cerita untuk menakut-nakuti. Aku sih belum pernah melihat apa-apa," jawabku, meskipun sejujurnya dalam hati, aku sudah beberapa kali melihat sosok-sosok hantu Belanda yang melintas di sana.
Namun, ada kalanya kenyataan membawaku pada pengalaman yang tidak bisa aku lupakan. Suatu hari, ketika aku sedang menjalani kegiatan penempuhan badge PMR, pertemuan dengan sosok Noni Belanda yang selama ini hanya terdengar sebagai cerita tiba-tiba menjadi kenyataan yang mencekam.
Sebagai anggota panitia pelaksana, aku memiliki tanggung jawab untuk memastikan semua berjalan dengan lancar. Kami telah merencanakan acara jurit malam yang penuh tantangan, sebuah acara yang sudah menjadi tradisi di sekolah kami. Setiap panitia diberi tugas untuk menjaga lokasi tertentu dan kami harus mengikuti setiap aturan yang telah disepakati dengan sangat ketat.
Bapak penjaga sekolah memberi tahu kami bahwa sebelum memulai jurit malam, setiap panitia wajib melapor kepadanya terlebih dahulu. Dia dengan tegas menjelaskan bahwa ada aturan tidak tertulis yang harus diikuti, mulai dari siapa yang boleh berada di area mana, lampu mana yang harus dinyalakan, hingga rute yang harus diikuti. Semua itu, katanya, harus dipatuhi agar acara tidak berantakan. Sebelumnya, aku tidak terlalu peduli dengan aturan-aturan semacam itu, tetapi malam itu entah mengapa aku merasa ada yang berbeda. Sebuah perasaan tidak nyaman menggelayuti pikiranku, seolah ada sesuatu yang menunggu di luar sana. Sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan dengan logika.
Pukul 23:30, aku dan beberapa temanku mulai membangunkan peserta yang sedang tidur lelap. Mereka harus segera dikumpulkan di halaman sekolah, tempat di mana panitia lainnya sudah siap menjelaskan rute dan ketentuan untuk acara jurit malam. Setiap peserta memiliki tugas untuk mencari ID card yang telah kami sebar di lantai dua. Puncaknya adalah pada pukul 00:00, saat peserta pertama kali diperbolehkan memulai pencarian ID card mereka.
Aku sendiri mendapat tugas yang cukup penting, yaitu menjaga tempat pengambilan ID card. Aku menatap jam tanganku. Waktu sudah hampir menunjukkan tengah malam. Semua persiapan telah dilakukan. Akhirnya, aku bersama dua temanku langsung menuju lantai dua untuk mulai menyebar ID card yang telah disiapkan. Namun, saat kami tiba di tangga, salah satu temanku sadar bahwa dia lupa membawa lilin, sehingga kedua temanku itu harus kembali ke base camp untuk mengambilnya. Aku pun akhirnya sendiri. Aku mulai menyebar ID card di beberapa titik.
Saat aku sedang fokus menata ID card, tiba-tiba angin kencang berhembus begitu kuat dari belakangku, hingga membuat kerudungku terbang ke segala arah. Tidak ada penerangan di sekitarku, hanya cahaya redup dari handphone yang menyinari koridor lantai dua yang gelap. Aku menoleh ke belakang, tetapi tidak ada siapa-siapa. Angin itu datang lagi, lebih kencang dari sebelumnya, bahkan cukup kuat untuk membuka pintu salah satu kelas dengan suara berderak yang mengejutkanku. Aku terkejut dan secara refleks mataku menatap lebih teliti, mencoba menangkap apa yang ada di balik kegelapan yang semakin terasa mencekam.
Di balik jendela kelas yang terbuka sedikit, aku melihat sosok seorang wanita berdiri dengan tatapan kosong yang menakutkan. Noni Belanda dengan gaun putih yang sudah usang. Aku langsung mengalihkan pandanganku, berusaha untuk tidak berurusan dengan sosok itu. Namun, entah mengapa, mulutku tiba-tiba berkata, “Luca…!”
Beberapa detik kemudian, Luca muncul di sampingku, seolah dia sudah tahu aku memanggilnya. "Ada apa?" tanyanya, suara dan tatapannya yang biasanya ceria kini berubah menjadi serius.
Aku hanya menunjuk ke arah jendela kelas tanpa berkata apa-apa. "Coba lihat itu," kataku dengan suara pelan sambil menatap sosok yang tampak memandang kami dari dalam kelas. "Kenapa dia menatapku seperti itu?"
Luca menatap dengan intens, matanya yang biasanya penuh semangat kini membesar, seolah merasakan sesuatu yang lebih dalam. "Eh, kenapa auranya terasa begitu pekat? Aku bisa merasakannya... Rasanya mencekam," jawabnya, suaranya semakin rendah hampir seperti berbisik. "Aku juga merasa takut." Keheningan sejenak menyelimuti kami, seolah angin yang berhembus membawa suasana yang jauh lebih berat.
Meskipun rasa takut masih menggelayuti, kehadiran Luca sedikit memberikan rasa tenang. Tidak lama kemudian, kedua temanku datang dan kami memutuskan untuk mencari tempat jaga yang lebih tersembunyi. Tanpa kami sengaja, kami justru memilih tempat yang berada tepat di depan kelas di mana sosok Noni Belanda itu berada. Aku melirik Luca sekilas. Ekspresi ketakutannya jelas terlihat di wajahnya. Batinku berpikir, Jika Luca yang seorang hantu saja takut, apalagi aku?
Itulah pertama kalinya aku bertemu dengan sosok Noni Belanda itu. Namun, itu bukanlah pertemuan terakhir kami. Perasaan aneh yang menggelayuti hatiku semakin kuat, seolah takdir mempertemukan kami dengan cara yang tidak terduga.
Beberapa minggu kemudian, aku bertemu lagi dengan sosok Noni Belanda itu di kamar mandi sekolah. Aku terkejut melihatnya lagi, tetapi kali ini ada yang berbeda. Sosok itu tampak jauh lebih rapuh, wajahnya penuh dengan kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Gaunnya yang usang ternoda darah di beberapa bagian, seolah melukiskan sebuah kisah kelam. Aku bisa melihat pergelangan tangan kirinya yang berdarah dan bekas luka di lehernya yang tampak seperti bekas ikatan yang sangat ketat.
Penasaran dengan apa yang aku lihat, perasaan takut dan ingin tahu bercampur aduk dalam diriku. Aku mendekatinya dengan hati-hati, mencoba tidak menunjukkan ketegangan yang mulai mendera. "Ada apa denganmu?" tanyaku, meskipun hatiku berdebar begitu keras, seperti merasakan gelombang ketakutan yang datang seiring dengan setiap langkahku mendekatinya.
Sosok itu menatapku dengan mata kosong yang dipenuhi air mata. "Seharusnya hidupku berjalan sempurna, seperti yang aku inginkan," katanya pelan, suaranya penuh dengan kesedihan dan penyesalan yang sulit untuk diungkapkan. "Tapi kenapa semua ini terjadi? Kenapa hidupku berakhir seperti ini? Aku menyesal." Suaranya hampir terdengar seperti isakan, penuh dengan kepedihan yang terpendam.
Aku bingung dan tidak mengerti. "Maksudmu, bagaimana?" tanyaku, mencoba untuk memahami apa yang sebenarnya dia alami.
Dia hanya menangis, tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibirnya. Hanya air mata yang jatuh perlahan. Meskipun rasa gelisah semakin mendera, aku merasa seperti tertarik untuk mendekatinya lebih jauh. Tanpa sadar, aku terus berbicara dengannya, seolah ada kekuatan yang menarikku untuk mengetahui lebih banyak tentang masa lalunya yang kelam. Setiap kata yang terucap semakin membuka tabir kisah hidupnya dan aku tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.
Namanya adalah Annelise van Dijk. Dia menggunakan marga suaminya. Ketika aku mencoba bertanya tentang nama aslinya, dia menolak untuk mengungkapkannya. Aku tidak memaksanya, meskipun rasa penasaran yang menggelayuti hatiku semakin besar, seperti ada sesuatu yang tertahan dalam dirinya.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai memahami lebih dalam tentang dirinya. Akhirnya, alasan mengapa dia tidak bisa tenang mulai terungkap. Annelise telah mengakhiri hidupnya sendiri, sebuah keputusan yang kini dia sesali dengan seluruh hatinya. Dia terperangkap di antara dua dunia, dunia ini dan dunia lain, tidak bisa melangkah ke mana pun. Setiap malam, rasa penyesalan menghantuinya, karena dia merasa bahwa tindakan itu adalah jalan yang salah. Kini dia terjebak dalam kesedihan yang tidak berkesudahan. Keputusan yang dia anggap sebagai pelarian ternyata malah menjebaknya dalam keterasingan abadi.
⭐⭐⭐
Pada tahun 1800-an, masa penjajahan Belanda di Indonesia, Annelise van Dijk hidup dalam bayang-bayang ekspektasi tinggi. Sebagai istri seorang pejabat Belanda, Janssen van Dijk, dia selalu tampak sempurna di mata orang lain. Setiap gerak-geriknya, dari cara berbicara hingga cara berpakaian harus mencerminkan kebangsawanan dan martabat keluarganya. Setiap hari, dia bangun pagi dengan senyuman di wajah, mengenakan gaun terbaik, dan mempersiapkan sarapan untuk suaminya, sementara dunia luar mengaguminya sebagai simbol kesempurnaan seorang wanita Belanda.
Malam itu, di ruang makan besar rumah mereka yang megah, Annelise duduk di meja makan dengan wajah yang tampak lelah. Makan malam itu seperti biasa, penuh dengan obrolan yang tidak pernah terlalu mendalam. Janssen duduk di hadapannya, sambil sesekali memandang Annelise dengan senyuman hangat, berusaha membuat suasana semakin nyaman.
“Ann, kau tampaknya lelah. Apakah kau baik-baik saja?” tanya Janssen, suaranya lembut.
Annelise mengangkat wajahnya, memandang suaminya sejenak. “Aku baik-baik saja, Janssen. Hanya sedikit lelah,” jawabnya, meskipun di dalam hatinya, ada perasaan kosong yang tidak bisa dia ungkapkan.
Janssen tersenyum, seakan merasa puas dengan jawabannya. “Kau harus berhati-hati. Jangan terlalu banyak bekerja. Kita harus menjaga nama baik keluarga ini dan kau adalah bagian penting dari itu, Annelise. Kau adalah simbol kesempurnaan. Semua orang memandangmu dengan hormat.”
Annelise mengalihkan pandangannya, menatap piring makannya yang hampir kosong. Kata-kata suaminya terasa seperti belenggu, seperti kutukan yang semakin membuatnya terperangkap dalam kehidupan yang bukan miliknya. “Aku tahu, Janssen. Aku tahu,” jawabnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan yang menggelayuti ruangan itu.
Semakin lama, Annelise mulai merasakan ada beban yang semakin berat di pundaknya. Setiap langkah yang dia ambil, setiap keputusan yang dia buat, seakan diperhatikan dan dinilai oleh mata-mata tajam yang menilai kesempurnaan. Malam-malam panjang di rumah besar itu semakin terasa sepi dan sunyi. Dia duduk di ruang tamu, mendengarkan suara dentingan jam dinding yang seakan berdering semakin keras, mengingatkannya pada waktu yang terus berlalu. Meskipun suaminya sangat mencintainya dan selalu menunjukkan perhatian, Annelise merasa semakin terkekang.
Suatu malam, setelah makan malam, Annelise memutuskan untuk berbicara dengan suaminya tentang perasaan yang selama ini dia pendam. Mereka berada di ruang tamu, di mana api kecil dari perapian memberikan kehangatan di udara dingin malam itu.
“Janssen, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” kata Annelise, suaranya sedikit gemetar.
Janssen menoleh padanya dengan perhatian. “Tentu, Ann. Apa yang mengganggumu?”
Annelise menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Aku merasa terkekang. Aku merasa seperti aku hanya ada untuk memenuhi keinginan orang lain, untuk menjadi istri yang sempurna, untuk menjaga reputasi keluarga. Tapi aku tidak tahu siapa diriku sebenarnya.”
Janssen terdiam sejenak, tampaknya kebingungan dengan kata-kata istrinya. Dia mencoba untuk memahami, tetapi tidak dapat sepenuhnya menggapai perasaan yang mendalam yang tersembunyi di balik kata-kata Annelise. “Ann, aku sangat mencintaimu. Aku ingin kau bahagia. Namun, kita punya tanggung jawab sebagai keluarga, sebagai pasangan. Kau adalah simbol kehormatan, bukan hanya untukku, tapi untuk semua orang yang mengenal kita.”
Annelise merasakan perasaan frustrasi yang begitu mendalam di dalam hatinya. Suaminya memang mencintainya, tetapi tidak pernah benar-benar melihatnya sebagai seorang wanita dengan keinginan, mimpi, dan perasaan. Dia hanya melihatnya sebagai bagian dari hidup yang harus dilindungi dan dijaga, bukan sebagai individu yang memiliki suara yang layak didengar.
“Aku tahu kau mencintaiku, Janssen,” kata Annelise dengan suara serak. “Tapi apakah kau benar-benar melihatku? Apakah kau tahu apa yang aku rasakan, apa yang aku inginkan?”
Janssen menatapnya, ada kekosongan dalam pandangannya. “Aku tidak mengerti, Ann. Aku pikir kita memiliki hidup yang baik. Apa lagi yang kau inginkan?”
Annelise menutup matanya, merasa tangisannya hampir meledak. “Aku ingin merasakan hidupku sendiri, bukan hidup yang kau tentukan untukku. Aku ingin bebas, bukan hanya menjadi simbol yang harus dijaga.”
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Janssen tidak tahu bagaimana harus merespons. Dia hanya bisa memandang istrinya dengan perasaan bersalah yang mendalam. Dia tidak tahu bagaimana cara mengubah hidup yang telah mereka jalani selama ini.
Di luar rumah megah yang penuh kemewahan itu, suasana sosial di Indonesia semakin memperburuk perasaan Annelise. Setiap hari, dia menyaksikan dengan hati yang teriris bagaimana pribumi diperlakukan dengan kasar dan tanpa belas kasih. Mereka dipandang lebih rendah daripada binatang, diperlakukan dengan penghinaan dan rasa superioritas yang menjijikkan oleh para penjajah Belanda.
Suatu sore, setelah menikmati teh sore di taman belakang rumah yang tertata rapi, Annelise duduk di kursi rotannya. Dengan tatapan kosong, dia memandangi pagar rumah yang seolah membatasi dirinya dari dunia luar. Dari kejauhan, dia bisa melihat beberapa pekerja pribumi berjalan dengan langkah lesu, wajah mereka pucat, lelah, dan penuh penderitaan, sementara mereka membawa beban berat yang hampir mustahil. Dari kejauhan, beberapa tentara Belanda berdiri dengan sikap arogan, memegang cambuk dan senjata.
“Kom op, sneller! Jullie werken te langzaam! Luiwammes!*” teriak salah seorang tentara dalam bahasa Belanda, wajahnya merah karena marah. *Ayo, lebih cepat! Kalian bekerja terlalu lambat! Pemalas!
Annelise tidak perlu memahami setiap kata untuk mengerti arti dari kalimat itu. Dia tahu, para tentara memaki mereka, mempermalukan mereka tanpa ampun.
Seorang tentara lainnya menghentakkan kaki ke tanah dengan kasar. “Jalan cepat! Jangan lambat! Kalau lambat, saya pukul kamu semua!” katanya dalam bahasa Indonesia yang patah-patah, suaranya menggema di antara pepohonan.
Annelise menggenggam lengan kursi rotannya lebih erat. Pemandangan itu terasa begitu menyakitkan untuk dilihat, tetapi dia tidak mampu memalingkan wajahnya.
Seorang pekerja tiba-tiba tersandung dan terjatuh. Barang-barang yang dia pikul berserakan di tanah. Tubuhnya gemetar, napasnya berat. Annelise bisa melihat betapa kurusnya pria itu, tulang-tulangnya hampir menonjol dari kulitnya.
Seorang tentara mendekatinya dengan langkah cepat. “Wat is dit? Kun je het niet aan? Zwakkeling!*” ejeknya dalam bahasa Belanda. Dia mendekat dan menendang tubuh lemah pria itu dengan sepatunya yang berat. *Apa ini? Tidak mampu? Dasar lemah!
Pria itu meringis kesakitan, mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk mengikuti perintah pikirannya. “Ampun, Tuan... Saya sudah tidak kuat...” bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar.
“Berdiri!” bentak tentara itu lagi, kali ini dalam bahasa Indonesia. Dia menendang pria itu sekali lagi. “Angkat barang itu sekarang juga, bodoh!”
Di sisi lain, tentara lainnya tertawa terbahak-bahak. “Kijk naar hem! Wat een schande. Deze mensen zijn zwakker dan dieren,*” katanya kepada rekan-rekannya, menghina tanpa ampun. *Lihat dia! Betapa memalukan. Orang-orang ini lebih lemah daripada binatang.
Annelise menahan napas. Di dadanya, perasaan marah, sedih, dan tidak berdaya bercampur menjadi satu. Dia ingin berteriak, ingin menghentikan kekejaman itu, tetapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Kata-kata seolah terkunci di tenggorokannya.
Salah seorang pekerja lainnya mencoba membantu pria yang jatuh. Niat baiknya segera dihentikan oleh cambukan keras yang mengenai punggungnya. Suara cambukan itu membuat Annelise terlonjak.
“Aku bilang terus bekerja! Geen pauzes!*” teriak seorang tentara lainnya dengan cambuk di tangan. *Tidak ada waktu istirahat!
Pekerja yang terluka hanya meringis, mencoba tetap berdiri di tengah rasa sakit. “Jangan... jangan bantu aku,” bisiknya kepada rekannya. “Kau juga bisa dipukul...”
Annelise menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak tangis yang ingin keluar. Air mata mulai menggenangi matanya. Dia tak sanggup lagi melihat pemandangan itu. Hatinya bergejolak, setiap tarikan napas terasa berat. Perasaan tidak berdaya itu menggerogoti dirinya, menyadarkan bahwa dia tidak bisa lari dari kenyataan yang menyesakkan itu. Meskipun dia tidak terlibat langsung, Annelise merasa seolah dirinya turut bertanggung jawab atas ketidakadilan yang terjadi. Setiap perlakuan yang diterima oleh orang-orang pribumi itu merobek-robek hatinya sedikit demi sedikit.
“Janssen…” Suara Annelise terdengar tegang dan gemetar saat memanggil suaminya yang saat itu sedang membaca laporan di ruang tamu.
Janssen mengangkat kepalanya, tatapan matanya menunjukkan perhatian. “Apa yang terjadi, Ann? Kau tampak gelisah. Ada yang mengganggumu?”
Annelise menatap suaminya dengan cemas, dadanya terasa sesak. “Aku… aku tidak bisa melupakan apa yang kulihat di luar sana. Apa yang mereka lakukan pada orang-orang pribumi itu… itu tidak benar, Janssen. Mereka diperlakukan dengan begitu hina. Seperti hewan. Tidak ada rasa kemanusiaan dalam perlakuan itu.”
Janssen menurunkan bukunya, ekspresinya sulit dibaca. Dia menghela napas panjang lalu menatap Annelise dengan tatapan datar. “Kau tahu, Ann, mereka itu bagian dari kehidupan kita. Mereka hanya ada untuk memenuhi kebutuhan kita, untuk pekerjaan kita. Mereka tidak bisa lebih dari itu. Begitulah cara dunia berjalan dan itu tidak akan pernah berubah.”
Annelise merasa hatinya semakin sesak. Kata-kata suaminya begitu dingin, seolah dunia ini tidak lebih dari permainan kekuasaan semata. Dia tahu bahwa Janssen tidak akan pernah mengerti. Bagi suaminya, dunia ini terbagi menjadi dua kategori, yaitu yang berkuasa dan yang dikuasai. Segalanya sudah ditentukan. Tidak ada ruang untuk keraguan.
Annelise tidak bisa begitu saja diam. Perasaan itu merayap ke dalam dirinya, semakin kuat. Dia merasa terhimpit oleh kenyataan ini. Dia ingin berteriak, ingin berjuang untuk mereka yang tidak bisa bersuara, tetapi dia terjebak dalam sistem yang tidak mempedulikannya. “Aku tidak bisa begitu saja diam, Janssen! Aku tidak bisa melihat mereka diperlakukan seperti itu! Mereka manusia! Mereka punya hak!”
Suara Annelise penuh dengan kecemasan yang hampir pecah. Teriakan itu berasal dari kedalaman hatinya yang terluka, tetapi Janssen hanya menatapnya dengan tajam. Mata suaminya itu dingin, seolah tidak ada ruang untuk pembicaraan lebih lanjut. “Annelise, kau tidak mengerti. Kau bukan siapa-siapa di dunia ini. Suaramu tidak akan pernah didengar. Kau hanya seorang wanita. Wanita seharusnya tahu tempatnya. Kita hidup dalam sistem yang sudah berlangsung ratusan tahun dan sistem itu tidak akan pernah berubah. Tidak ada yang bisa mengubahnya.”
Kata-kata itu bergema dalam kepala Annelise, seolah menggali ruang gelap yang semakin membungkus hatinya. Setiap kalimat suaminya terasa seperti belenggu yang semakin kuat. Dia merasa terperangkap, terkunci dalam kehidupan yang penuh kebohongan dan ketidakadilan. Dia ingin melawan, tetapi suara hatinya terbungkam, terperangkap dalam posisi sebagai istri pejabat yang tidak dapat melakukan apa pun.
Suaranya yang seharusnya penting, kini tertutup rapat oleh dinding yang tidak terlihat. Annelise merasa seolah dirinya hanyalah bagian dari perabotan mewah dalam rumah itu, tidak lebih dari sekadar pemanis kehidupan suaminya yang sibuk dengan urusan duniawi.
Annelise menundukkan kepalanya, meremas jemarinya yang terasa dingin dan kaku. Teriakan yang ingin dia lepaskan terhenti di tenggorokannya, terjebak di balik dinding kebisuan yang semakin tebal dan membekapnya. Meskipun dia memiliki segala sesuatu yang bisa dibayangkan oleh seorang wanita—kemewahan, rumah yang indah, suami yang dihormati—hatinya tetap hampa, tenggelam dalam kegelapan yang tidak kunjung pudar. Begitu banyak hal yang bisa membuatnya bahagia, tetapi dia tidak bisa merasakannya. Dunia yang dipenuhi dengan segala kenyamanan ini justru semakin menambah kekosongan yang ada di dalam dirinya.
Annelise selalu membayangkan dirinya menjadi ibu, sebuah impian yang begitu dalam dia harapkan sejak pertama kali menikah dengan Janssen. Dia percaya bahwa memiliki anak akan menyempurnakan kehidupannya dan membuatnya lebih diterima sebagai seorang wanita. Di mata suaminya, seorang ibu yang penuh kasih sayang adalah lambang dari kebahagiaan keluarga yang sempurna. Itu adalah tujuan hidupnya. Namun, kenyataan yang harus dia hadapi sangatlah berbeda.
Kebahagiaan sempat datang saat Annelise hamil untuk pertama kalinya. Berita kehamilannya menyebar dengan cepat di kalangan keluarga dan teman-teman mereka. Semua orang menyambutnya dengan sukacita. Annelise merasa seperti hidupnya akan segera menemukan tujuan yang jelas. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Ketika kehamilannya masih sangat muda, Annelise mengalami keguguran yang begitu menghancurkan hatinya. Kehilangan itu seperti mengoyak setiap impian dan harapan yang telah dia bangun. Janssen yang selalu berusaha untuk memberi dukungan dan penghiburan, tidak bisa menghapus perasaan hampa yang menggerogoti Annelise.
“Janssen… aku gagal,” bisiknya dengan suara serak. Dia menatap suaminya dengan mata penuh air mata, tidak mampu mengungkapkan rasa sakit yang begitu mendalam. “Aku tidak bisa memberimu apa yang kau inginkan. Aku gagal menjadi seorang istri yang sempurna.”
Janssen hanya menatapnya dengan tatapan hampa. "Annelise, jangan berpikir seperti itu. Kau hanya kehilangan anak, bukan dirimu sendiri."
Namun, kata-kata itu tidak menenangkan Annelise. Dia merasa bahwa keguguran itu adalah tanda bahwa dirinya tidak cukup baik, bahwa dia gagal memenuhi harapan sebagai seorang istri dan calon ibu. Rasa malu menyelimutinya, seperti ada sesuatu yang sangat mendalam hilang dari dirinya. Sebagai seorang wanita, dia merasa tidak mampu memberikan sesuatu yang paling mendasar, kehidupan baru yang bisa mengisi rumah mereka.
Meskipun kesedihannya mendalam, Annelise tidak menyerah. Dalam pikirannya, dia merasa harus mencoba lagi. Jika keguguran itu adalah sebuah kegagalan, maka dia harus memperbaikinya. Dia berjuang untuk hamil lagi, berharap kali ini keberuntungan berpihak padanya. Beberapa bulan kemudian, dia kembali hamil. Rasa harapan itu datang kembali, meskipun samar dan rapuh. Dia berdoa agar segala sesuatunya berjalan dengan lancar.
Sayangnya, takdir seolah tidak berpihak padanya. Pada usia kehamilan yang hampir sama, Annelise kembali mengalami keguguran. Kali ini jauh lebih berat dan menyakitkan daripada yang pertama. Rasa kecewa yang semakin dalam merasuki dirinya. Keguguran itu semakin menambah perasaan rendah diri yang sudah menguasai hatinya. Setiap kegagalan membuatnya merasa semakin hampa dan tidak berarti.
Annelise duduk di kamar tidurnya yang sunyi, matanya kosong menatap ke arah langit-langit yang hening. Keinginan untuk menjadi ibu untuk melahirkan kehidupan baru yang akan melengkapi dunia mereka, terasa semakin jauh darinya. Setiap kali dia mencoba, kegagalan datang menghampiri dengan cara yang tidak terduga. Keguguran pertama merobek hatinya dan keguguran kedua menghancurkan harapannya. Rasa malu dan kekecewaan yang mendalam merasuki setiap sudut pikirannya. Dia merasa seolah tidak mampu memenuhi ekspektasi sebagai seorang istri yang sempurna.
"Kenapa ini harus terjadi padaku?" bisik Annelise dengan suara tercekat. "Apa aku memang tidak cukup baik untuk menjadi ibu? Apakah aku gagal sebagai seorang perempuan?"
Pandangannya terarah pada pintu kamar yang terbuka sedikit, membiarkan udara malam masuk. Janssen yang baru saja masuk ke dalam, berdiri mematung di ambang pintu. Ekspresinya penuh kekhawatiran. Dia berjalan mendekat, duduk di tepi ranjang Annelise, mencoba meraih tangannya.
"Ann, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri," ujar Janssen dengan suara lembut. "Ini bukan salahmu. Kita hanya belum beruntung."
Annelise menarik tangannya dari genggaman suaminya dan menunduk. "Tapi aku gagal, Janssen. Aku gagal menjadi istri yang sempurna. Aku gagal memberikanmu apa yang kau inginkan... apa yang kita berdua inginkan," katanya, suaranya penuh dengan kesedihan yang mengerikan.
Janssen menghela napas panjang. "Kita masih punya waktu, Ann. Jangan berpikir seperti itu. Kita akan mencoba lagi nanti. Ini hanya ujian. Jangan biarkan kegagalan ini mengalahkan kita."
"Tapi aku merasa terperangkap dalam kegagalan ini." Annelise bangkit dari ranjang dan berjalan menuju jendela, menatap keluar ke arah kebun yang gelap. "Setiap kali aku mencoba, aku semakin jauh dari dirimu. Aku merasa seperti aku bukan siapa-siapa."
Janssen berdiri, mendekati istrinya. "Ann, itu tidak benar. Kamu adalah segalanya bagiku. Aku tidak menginginkan apa-apa selain kebahagiaanmu."
Annelise berbalik, matanya berkaca-kaca. "Tapi kebahagiaan itu tidak ada di sini, Janssen. Kita terjebak dalam kehidupan ini. Kehidupan yang penuh dengan harapan-harapan yang tidak terwujud, penuh dengan tekanan untuk selalu sempurna. Aku merasa seperti aku hidup di dunia yang bukan milikku."
Janssen tidak menjawab, hanya diam sejenak. Hening. Lalu dia berbicara dengan suara rendah. "Aku tidak tahu bagaimana lagi bisa membantumu. Aku berharap kau bisa melihat apa yang aku lihat. Kehidupan kita yang sempurna, semua yang telah kita capai. Jangan biarkan kegagalan itu mendefinisikanmu."
Annelise menatap suaminya, ada keraguan yang mendalam di matanya. "Kehidupan kita yang sempurna? Semua ini terasa kosong, Janssen. Semua ini... hanyalah topeng. Di baliknya, aku merasa seperti boneka yang tidak bisa bergerak, terjebak dalam hidup yang bukan milikku. Kehidupan yang aku jalani adalah alur yang kau buat, Janssen. Apa kau tidak sadar itu?"
Janssen terdiam, kata-kata yang keluar dari mulut Annelise membuatnya terkejut, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara menanggapi. Tidak ada yang lebih menyakitkan baginya selain melihat istrinya merasakan itu, tetapi dia tidak tahu bagaimana menghapus kesedihan yang menggerogoti Annelise.
Kehidupan Annelise yang penuh dengan tekanan, kegagalan, dan perasaan terisolasi semakin menghancurkan mental dan emosinya. Setiap hari adalah perjuangan antara harapan yang terus pudar dan kenyataan yang semakin mengerikan. Ketidakmampuannya untuk memenuhi ekspektasi sosial dan pribadinya membuatnya merasa terjebak, seolah dia hidup dalam sebuah dunia yang tidak memiliki tempat untuknya.
Malam itu, setelah malam yang penuh dengan kecemasan dan kesendirian, Annelise merasa tidak ada lagi jalan keluar dari kegelapan yang mengelilinginya. Dia melihat ke luar jendela kamar tidurnya, menatap ke arah kebun yang sunyi, memandangi bayangan pohon-pohon yang bergetar di bawah sinar bulan. Semua itu terasa begitu jauh, seolah dia terperangkap dalam ruang yang begitu sempit, tanpa harapan untuk melarikan diri.
"Kenapa semuanya begitu sulit?" gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam kesunyian malam.
Janssen yang baru saja meninggalkan rumah untuk urusan dinas, tidak tahu bahwa itu akan menjadi malam terakhirnya di rumah tersebut. Tidak ada yang tahu bahwa di dalam dirinya, Annelise telah membuat keputusan yang tidak bisa diubah. Keputusan yang telah matang di benaknya, yang telah menggerogoti setiap sudut pikirannya.
Dengan langkah yang hampa, Annelise menuju ke ruang tengah, matanya kosong, seperti seseorang yang telah menyerah pada nasibnya. Tangannya gemetar saat dia mencari sesuatu yang bisa memberinya jalan keluar. Dia menemukan tali yang biasanya digunakan untuk menggantung tirai di ruang makan. Tali itu, yang terlihat biasa, kini menjadi alat yang akan membebaskannya dari penderitaan yang telah lama menggerogoti jiwanya.
Dengan langkah tergesa, Annelise mengikatkan tali itu pada pipa yang menonjol di langit-langit, mengambil sebuah kursi dari sudut ruangan, dan menaruhnya di bawahnya. Dia menatap kursi itu sejenak lalu perlahan menaikinya. Tidak ada suara selain detak jantungnya yang semakin cepat. Dalam pikirannya, dia hanya melihat satu jalan keluar. Satu-satunya jalan yang bisa mengakhiri rasa sakit yang telah membelenggunya begitu lama.
Namun, ketika dia menggantungkan tubuhnya, ada rasa aneh yang mengalir. Tali yang dia gunakan ternyata terlalu lemah untuk menahan beban tubuhnya. Tidak lama kemudian, tali itu putus. Annelise terjatuh ke lantai dengan keras, tubuhnya terpelanting ke arah samping. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya terasa sakit, dan dunia seakan berputar dengan cepat di sekitarnya.
Dia terengah-engah, berusaha mengatur nafas yang sesak. Namun, tekad di dalam dirinya tidak goyah. Annelise tahu ini bukanlah akhir yang dia inginkan, tetapi itu hanya sebuah kegagalan yang sesaat. Wajahnya tampak pucat. Di dalam hatinya, ada satu tujuan yang masih menguasai pikirannya.
Annelise dengan susah payah bangkit dari lantai, berjalan dengan langkah gemetar menuju dapur. Dia membuka laci dan mengambil pisau dapur yang tajam, kemudian kembali ke kamarnya dengan tekad yang semakin kuat. Matanya yang penuh keputusasaan menyala dengan niat yang tegas. Dia memandang pisau itu, merasakannya di tangan yang sudah terasa begitu lelah.
Tanpa ragu, dia meletakkan pisau itu di pergelangan tangan kirinya. Rasanya dingin. Dia tidak merasa takut. Dengan satu gerakan cepat dan tegas, dia mengiris kulitnya. Darah mengucur dengan deras, merah pekat membasahi pergelangan tangan dan menetes ke lantai. Rasa sakit datang, tetapi kali ini, rasa sakit itu tidak lagi penting. Yang ada hanya kelegaan yang perlahan datang seiring dengan darah yang mengalir.
Lama-kelamaan, pandangannya menjadi kabur, matanya terasa semakin berat. Dunia di sekitarnya berputar dan suara-suara mulai menjauh. Kegelapan datang, semakin menyelimuti tubuh dan pikirannya. Saat itu, untuk pertama kalinya, Annelise merasa tenang. Tenang dari segala penderitaan, dari segala beban yang dia tanggung selama ini.
Ketika Janssen kembali ke rumah. Dia mengabaikan lelah tubuhnya dan langsung menuju pintu depan. “Annelise?” panggilnya dengan suara yang tidak sepenuhnya terdengar. Biasanya, dia akan mendengar suara lembut dari balik pintu kamar, tetapi kali ini hanya ada keheningan yang aneh.
Janssen membuka pintu kamar mereka dengan hati yang tidak tahu apa yang sedang menunggunya. Saat pintu terbuka, jantungnya berhenti berdetak. Di sana, di atas lantai yang dingin dan keras, tubuh Annelise terbaring kaku. Genangan darah mengelilinginya, menciptakan noda merah yang kontras dengan lantai putih bersih yang biasanya terlihat rapi dan terawat. Wajah Annelise tampak damai. Namun, darah yang mengalir dari pergelangan tangannya menunjukkan penderitaan yang terpendam begitu dalam.
Janssen terjatuh ke lantai, mulutnya ternganga tanpa suara. Matanya tidak bisa percaya pada pemandangan yang begitu brutal, begitu nyata, dan begitu mengerikan. Tangannya gemetar saat dia meraih tubuh istrinya. Rasa sakit yang menyelubungi hatinya tidak terkatakan. Dia menangis lebih keras dari yang pernah dia rasakan sebelumnya, menangis untuk semua yang telah hilang, untuk semua yang tidak pernah dia mengerti hingga terlambat.
"Annelise... maafkan aku...," desahnya, suaranya pecah dalam isak tangis yang dalam. Seolah-olah seluruh dunia runtuh di hadapannya, dia merasa tidak ada yang tersisa selain rasa penyesalan yang mencekam.
Setelah pemakaman istrinya, kehidupan Janssen tidak pernah sama lagi. Keheningan yang menghiasi rumah mereka seolah menjadi bayangan dari kehilangan yang tidak dapat dihapus. Setiap ruangan, setiap sudut rumah yang dulu dipenuhi dengan tawa dan canda Annelise, kini terasa kosong. Tidak ada lagi senyuman lembut yang menghiasi wajah Annelise, tidak ada lagi suara lembutnya yang memanggilnya di pagi hari. Semua itu lenyap begitu saja, meninggalkan Janssen dalam kesendirian yang sangat dalam.
Hari-harinya berjalan lamban, tanpa semangat, tanpa tujuan. Penderitaan yang dahulu ditanggung oleh Annelise kini terasa sebagai beban berat yang harus dia pikul sendirian. Setiap kali dia berusaha melangkah maju, bayangan Annelise selalu mengikuti, menghantuinya, mengingatkan pada semua kesempatan yang hilang. Semua kata-kata yang tidak pernah didengarkan, semua perasaan yang tidak pernah dipahami.
Janssen menyesal. Menyesal karena tidak pernah benar-benar mendengarkan istrinya, menyesal karena membiarkan ketidakadilan sosial dan peranannya sebagai seorang pejabat Belanda menghancurkan hidup istrinya. Menyesal karena dia tidak pernah tahu betapa besar penderitaan yang disembunyikan di balik senyum Annelise. Menyesal karena dia tidak tahu bagaimana cara menghiburnya, bagaimana cara memberikan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Janssen menghabiskan tahun-tahun berikutnya dalam kesendirian. Dia menolak untuk menikah lagi. Cinta yang pernah ada, yang seharusnya memberi semangat, kini telah mati bersama Annelise. Dia merasa tidak layak untuk mencintai atau dicintai lagi. Kehidupan tanpa Annelise terasa hampa dan kosong. Rasa kesepian yang menggigit begitu dalam, seolah menghantuinya, menyelubungi setiap langkah yang dia ambil.
Saat usianya semakin tua, Janssen kembali ke kamar yang dulu digunakan oleh Annelise. Dia duduk di kursi yang pernah diduduki oleh istrinya, menatap kosong ke arah jendela. Kamar itu masih terasa seperti milik Annelise, dengan segala kenangan yang terperangkap di dalamnya. Janssen menutup matanya, seolah berharap dapat mendengar suara istrinya lagi, atau melihat bayangannya di sudut kamar. Namun, itu hanya harapan kosong.
Pada malam terakhir hidupnya, Janssen berbaring di tempat tidur yang pernah dibaringkan oleh Annelise, merasakan udara yang sejuk dan sunyi. Rasa sakit di dalam hatinya tidak pernah hilang. Dia mengingat kembali momen-momen bersama istrinya. Momen yang seharusnya dia perbaiki, momen yang seharusnya dia hargai. Namun semuanya sudah terlambat.
Dia menghembuskan nafas terakhirnya dengan kesepian yang mendalam, tanpa ada yang menemani. Janssen meninggal sendirian, di kamar yang menjadi saksi dari penderitaan dan penyesalan yang tidak pernah terucapkan. Di luar sana, di bawah sinar bulan, suara angin yang berhembus lembut, seolah membawa pergi segala kenangan yang tersisa, bersama dengan bayang-bayang Annelise yang kini selamanya terperangkap dalam kegelapan.
Kehidupan Janssen berakhir dengan sepi, begitu pun dengan segala kenangan tentang Annelise. Ketika dunia menanggalkan beban waktu, hanya penyesalan yang tetap tertinggal di antara dinding-dinding rumah yang dulu menjadi saksi perjalanan mereka. Sebuah kehidupan yang tampak sempurna, sebuah rumah yang penuh dengan kemewahan dan kehormatan, tetapi pada akhirnya tidak mampu menutupi kekosongan yang mendalam di hati dua insan yang saling terjebak dalam dunia yang penuh aturan tidak terlihat.
Kisah mereka adalah sebuah pengingat tentang betapa rapuhnya harapan dan impian manusia, dan bagaimana terkadang ketidakmampuan untuk berbicara atau didengar dapat merusak segalanya. Kehidupan yang terperangkap dalam ekspektasi sosial dan budaya dalam tradisi yang mengekang, dapat menghancurkan hati yang lembut dan penuh cinta.
Pada akhirnya, rumah megah itu tetap berdiri, tetapi kosong. Suara tawa dan canda yang dulu terdengar kini berganti dengan keheningan yang mencekam. Kegelapan yang selama ini mengintai, akhirnya menyelimuti mereka berdua, mengakhiri cerita tragis yang tidak pernah bisa terobati.
Dengan begitu, kisah Annelise dan Janssen pun berakhir. Sebuah cerita tentang cinta yang tidak pernah terungkap, kesepian yang tidak pernah teratasi, dan penyesalan yang tidak pernah bisa dibawa kembali. Hanya bayangan mereka yang tersisa, terjebak dalam ruang-ruang sunyi dan gelap, menunggu untuk dilepaskan dari beban dunia yang telah menjerat mereka begitu lama.
⭐⭐⭐
End.