Rumah tua itu berdiri di pinggir desa, terpencil di antara pohon-pohon jati yang menjulang tinggi. Konon, tak ada satu pun penduduk desa yang berani mendekatinya setelah matahari terbenam. Namun, Raka, pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang baru saja kembali ke desa setelah bertahun-tahun merantau, tidak percaya pada cerita-cerita semacam itu. Baginya, semua itu hanyalah dongeng untuk menakut-nakuti anak kecil.
“Sebuah rumah tua tak akan melukai siapa pun,” pikir Raka sambil melangkah mendekati pagar kayu yang sudah lapuk. Malam itu, bulan purnama menggantung di langit, memberikan cahaya pucat yang menyinari rerumputan liar di halaman rumah tersebut.
Raka datang karena ingin membuktikan keberaniannya pada teman-temannya yang sebelumnya menantangnya untuk bermalam di rumah itu. Ia membawa sebuah senter, botol air, dan ponsel sebagai penerang tambahan.
“Kalau aku tidak kembali sebelum subuh, datanglah mencariku,” katanya sambil tertawa pada teman-temannya.
Namun, kini, berdiri di depan pintu kayu yang berderik saat disentuh, keberaniannya sedikit memudar. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mulai berpacu.
Setelah mendorong pintu yang berat itu, Raka melangkah masuk. Udara di dalam terasa lebih dingin daripada di luar, meskipun tidak ada angin yang bertiup. Ruangan itu dipenuhi debu dan sarang laba-laba yang bergelantungan di sudut-sudut langit-langit.
Raka menyalakan senter dan mulai menjelajahi rumah itu. Ruang tamu dipenuhi perabotan tua yang sudah reyot. Sebuah cermin besar tergantung di dinding, retakan membelah permukaannya seperti luka yang menganga. Di cermin itu, bayangan Raka tampak buram, seperti bukan pantulan dirinya yang sebenarnya.
“Luar biasa berantakan,” gumam Raka sambil melangkah ke ruang tengah.
Namun, tiba-tiba ia berhenti. Dari sudut matanya, ia melihat sesuatu bergerak di cermin besar tadi. Raka menoleh cepat, tetapi tak ada apa-apa. Hanya pantulannya sendiri yang tampak kembali normal.
“Hanya imajinasi,” katanya pada dirinya sendiri, meskipun bulu kuduknya mulai berdiri.
Ia melanjutkan langkahnya menuju tangga kayu yang berderit setiap kali diinjak. Di lantai atas, ia menemukan beberapa kamar tidur yang sudah lama ditinggalkan. Tempat tidur di salah satu kamar masih memiliki sprei yang berdebu, seolah-olah pemilik rumah meninggalkannya begitu saja tanpa sempat beres-beres.
Di sudut kamar itu, ada sebuah lemari kayu tua dengan pintu yang sedikit terbuka. Raka mendekat dan membuka pintunya sepenuhnya. Di dalamnya hanya ada pakaian-pakaian yang sudah lusuh dan beberapa buku tua yang tidak lagi bisa dibaca.
Namun, saat ia berbalik, pintu lemari itu tiba-tiba menutup sendiri dengan bunyi keras. Jantung Raka hampir meloncat dari dadanya. Ia memutar tubuh dengan cepat, menyorotkan senter ke arah lemari.
“Siapa di sana?” tanyanya dengan suara serak. Tidak ada jawaban.
Raka tertawa kecil, mencoba menenangkan dirinya. “Angin,” gumamnya. “Hanya angin.”
Tapi rasa takut itu mulai menjalari pikirannya. Ia memutuskan untuk kembali ke lantai bawah dan duduk di ruang tamu sampai pagi. Namun, saat ia menuruni tangga, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya.
Ia berhenti dan menoleh. Tak ada siapa pun di sana.
“Raka, kau mendengar halusinasi,” katanya pada dirinya sendiri. Tapi langkah-langkah itu terus terdengar, semakin dekat.
Ia mempercepat langkahnya, nyaris terjatuh saat sampai di lantai bawah. Saat ia tiba di ruang tamu, ia menemukan cermin besar itu kembali memantulkan bayangan aneh. Kali ini, bayangan itu bukan miliknya.
Dalam pantulan cermin, terlihat sosok seorang perempuan berambut panjang berdiri di belakangnya, mengenakan gaun putih yang kotor dan sobek-sobek. Wajahnya tidak jelas, seperti diselimuti kabut tebal.
Raka menoleh cepat, tapi tidak ada siapa pun di belakangnya. Saat ia melihat kembali ke cermin, bayangan perempuan itu semakin dekat, seolah-olah mendekati permukaan cermin.
“Siapa kau?” Raka berteriak, memegang senter erat-erat.
Cermin itu retak lebih parah dengan bunyi berderak yang memekakkan telinga. Lalu, dengan suara yang lemah dan penuh kesedihan, terdengar bisikan, “Kenapa kau datang ke sini?”
Raka tidak menjawab. Tubuhnya membeku di tempat. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba, lampu senter di tangannya mati, meninggalkan Raka dalam kegelapan total. Hanya cahaya bulan dari jendela yang memberi sedikit penerangan.
Langkah-langkah kaki itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas dan lebih berat. Raka mencoba menyalakan senter, tetapi tombolnya tidak berfungsi. Suara bisikan perempuan itu terdengar lagi, lebih dekat dari sebelumnya.
“Kau tidak seharusnya ada di sini,” bisiknya.
Raka berlari menuju pintu depan, tetapi pintu itu tidak bisa dibuka. Ia menarik gagangnya sekuat tenaga, tetapi seolah-olah pintu itu terkunci dari luar.
“Biarkan aku keluar!” teriaknya.
Saat itulah, Raka merasakan sentuhan dingin di bahunya. Ia membeku, tidak berani menoleh. Tapi saat ia menoleh perlahan, tidak ada siapa pun di sana.
Namun, di jendela yang menghadap ke halaman, ia melihat bayangan perempuan itu berdiri di luar, menatap ke arahnya dengan mata yang bercahaya.
Raka menutup matanya, berharap ini semua hanya mimpi buruk. Ketika ia membuka matanya lagi, perempuan itu sudah berada di dalam ruangan, hanya beberapa meter darinya.
“Kenapa kau datang ke rumah ini?” tanya perempuan itu dengan suara yang dingin dan menggetarkan.
“Aku… aku tidak tahu,” jawab Raka gemetar.
Perempuan itu mendekat, wajahnya kini terlihat jelas. Kulitnya pucat, matanya kosong, dan bibirnya membiru. “Rumah ini bukan untuk manusia sepertimu,” katanya, sebelum bayangannya menghilang menjadi kabut.
Raka pingsan seketika.
Keesokan paginya, teman-teman Raka menemukannya tergeletak di depan rumah tua itu. Tubuhnya dingin, tetapi ia masih bernapas. Setelah sadar, Raka menceritakan semuanya, tetapi tidak ada yang percaya.
Namun, sejak hari itu, ia tidak pernah lagi mendekati rumah tua itu. Bahkan setiap kali melewatinya, ia selalu mempercepat langkah, berharap tidak akan pernah bertemu dengan bayangan perempuan itu lagi.
Amanat:
1. Ada hal-hal di dunia ini yang lebih baik tidak di ganggu.
2. Keberanian tanpa kebijaksanaan bisa membawa masalah.
3. Jangan meremehkan peringatan atau larangan tanpa alasan yang jelas.