pagi yang cerah, tawa Naira dan adiknya menggema di taman. Langit biru, aroma bunga, dan angin lembut menemani mereka. Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Dalam sekejap, suara tawa itu menghilang, berganti dengan jeritan dan tangisan.
"Di mana kamu?" Naira berlari ke setiap sudut, memanggil nama adiknya. Tapi yang ia temukan hanyalah sunyi.
Rasa bersalah itu menempel di kepalanya, seperti luka yang tak pernah sembuh. Naira tersentak bangun dari tidurnya, napasnya memburu. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan air mata mengalir di pipinya.
"Di mana kau, Sara?" Naira berbisik, suaranya hampir tenggelam oleh keheningan kamar. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi pipi yang dingin.
Bel apartemen tiba-tiba berbunyi, memecah kesunyian. Naira tersentak, menoleh ke arah pintu, lalu buru-buru mengusap air matanya. Dengan napas yang masih berat, ia bangkit dari kasur dan berjalan pelan menuju pintu.
"Siapa di sana?" tanyanya, suaranya serak. Tangannya gemetar saat ia memutar kenop dan membuka pintu.
Tidak ada siapa-siapa. Hanya lorong kosong yang menyambutnya.
Tepat ketika ia akan menutup pintu, sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah kotak kecil diletakkan di ambang pintu. Tidak ada nama pengirim, hanya selembar kertas lusuh yang ditempel di atasnya. Tulisannya gelap dan tergores kasar.
Naira membawa kotak itu masuk ke apartemennya. Tangannya gemetar saat ia memeriksa kertas lusuh yang menempel di atasnya. Ketika ia membaca alamat yang tertera, matanya melebar. Jantungnya berdetak kencang, seperti ingin keluar dari dadanya.
Taman bermain. Taman kecil itu, dengan ayunan berkarat dan seluncuran tua, tempat ia terakhir kali mendengar tawa adiknya. Tempat yang selalu ia hindari sejak tragedi itu.
Keringat dingin membasahi pelipisnya. Rasanya seperti tenggelam dalam pusaran kenangan yang menyakitkan. Ia ingin membuang kotak itu, tapi rasa penasaran menahannya. Apa maksudnya? Kenapa taman itu?
Dengan tangan gemetar, Naira membuka kotak itu. Di dalamnya, ia melihat sebuah gelang kecil, gelang itu yang selalu dipakai Sara. Mata Naira membelalak, dan kenangan tentang adiknya yang tersenyum saat memakai gelang itu kembali menghantamnya seperti gelombang.
Di bawah gelang itu, ada selembar kertas kusam dengan tulisan tangan yang hampir tak terbaca,“Bermainlah bersamaku sekali lagi, dan dapatkan jawabanmu.”
Napas Naira tertahan. Dadanya terasa sesak, seolah-olah semua rasa bersalah yang ia kubur selama berbulan-bulan muncul kembali dengan paksa.
Ia menggenggam gelang itu erat, lalu menatap keluar jendela, ke arah langit malam yang semakin gelap. Suaranya hampir bergetar ketika ia berbisik, "Oke, Sara. Ketika matahari terbit nanti, aku akan bermain denganmu."
***
Matahari baru saja menyentuh cakrawala ketika Naira melangkah keluar dari apartemennya. Langkahnya tegas, meskipun hatinya penuh dengan kekhawatiran. Ia tidak peduli pada udara pagi yang dingin menusuk atau jalanan yang masih lengang. Satu hal yang ada di pikirannya, Sara.
Taman itu akhirnya terlihat di kejauhan, tapi suasananya terasa aneh. Tidak ada suara burung, tidak ada deru angin.
Ketika Naira melangkah lebih dekat, langit tiba-tiba berubah. Awan gelap bergulung cepat, menutupi sinar matahari yang baru saja terbit. Dunia seperti terhenti.
"Hh... apa yang terjadi?" bisiknya dengan suara bergetar. Matanya bergerak gelisah ke kanan dan kiri, mencari tanda-tanda kehidupan. Tapi yang ada hanyalah kesunyian yang menekan, seolah-olah taman itu telah berubah menjadi dimensi lain.
Tiba-tiba, suara lembut namun menyeramkan bergema di udara. Itu suara yang ia kenal betul—suara Sara.
"Sudah datang? Ayo bermain... cari aku... cepat, waktumu tak lama."
Suara itu seolah datang dari segala arah, menggema di setiap sudut taman. Naira berdiri mematung. Keringat dingin membasahi punggungnya, dan lututnya terasa lemas. Matanya berputar, mencari asal suara, tetapi yang ada hanyalah kegelapan yang mengelilinginya.
"Sara?" suaranya bergetar, hampir seperti bisikan. Tidak ada jawaban. Hanya gema suara tadi yang terus mengulang, seperti sebuah rekaman yang rusak.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa takut yang menjalar di tubuhnya. "Ini bukan waktunya untuk gemetar," pikirnya. Dengan langkah ragu tapi penuh tekad, Naira mulai menyusuri taman, memeriksa setiap sudut, setiap bayangan.
Naira menyusuri taman, memeriksa setiap ayunan yang berderit pelan diterpa angin, perosotan tua yang mulai berkarat, dan rerumputan yang basah oleh embun pagi. Tapi tak ada tanda-tanda Sara. Tidak ada apa-apa.
Frustrasi mulai merayap di benaknya. Matanya berkaca-kaca, dan napasnya semakin berat. Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu, ada satu tempat yang belum ia periksa.
Dengan langkah tergesa, Naira menuju gubuk kecil yang berada di ujung taman, hampir tersembunyi di balik pepohonan yang lebat. Gubuk itu berdiri seperti bayangan dari masa lalu: dindingnya miring, catnya mengelupas, dan jendelanya tertutup debu tebal.
"Sara?" panggilnya, suaranya bergetar saat ia memasuki ruangan gelap yang penuh dengan bau kayu lapuk. Ia memeriksa setiap sudut meja tua, kursi yang patah, lantai berdebu tetapi tetap tidak menemukan apa-apa.
"Ayo, Kakak... waktumu hampir habis," suara itu terdengar lagi, bergema di antara dinding-dinding rapuh. Suara Sara, lembut namun mengintimidasi, memantul di udara, memenuhi ruangan dengan kesunyian yang menekan.
Tubuh Naira gemetar. Ia kelelahan, pikirannya hampir menyerah. Tapi pandangannya tertuju pada satu benda, sebuah lemari tua di sudut ruangan, pintunya setengah tertutup, menunggu seperti rahasia yang terkubur.
Ia selalu menghindari lemari itu. Ada sesuatu yang membuatnya takut, seolah-olah lemari itu menyimpan lebih dari sekadar debu dan barang-barang usang. Tapi sekarang, ia tidak punya pilihan lain. Dengan tangan gemetar dan napas tertahan, Naira meraih pegangan pintu lemari itu, memberanikan diri untuk membukanya.
Naira menahan napas saat pintu lemari terbuka perlahan, suara engselnya berderit menambah rasa horor yang menekan. Dan di dalamnya... tubuh Sara terbaring tak bernyawa, nyaris menjadi kerangka. Sisa-sisa pakaiannya terlihat lusuh, seolah waktu telah membekukannya dalam keadaan menyedihkan itu.
Kaki Naira melemas. Ia terjatuh ke lantai, tangannya menutupi mulut yang gemetar. Air matanya mengalir deras, tak bisa ia hentikan. "Sara..." bisiknya, nyaris tak terdengar.
Tiba-tiba, tubuh Sara memancarkan cahaya lembut yang menerangi ruangan gelap itu. Naira mundur sedikit, kebingungan dan ketakutan bercampur menjadi satu. Lalu, suara itu terdengar lagi, kali ini penuh kehangatan.
"Maaf, Kak... Sara buat salah," suara itu berbisik lembut, mengisi ruang dengan rasa damai.
Naira mengguncang kepalanya, tangisnya semakin menjadi. "Tidak, kau tidak salah! Aku yang salah! Aku yang meninggalkanmu! Ini semua salahku!"
Cahaya itu semakin terang, perlahan membentuk sosok Sara yang tersenyum lembut. Ia menunduk, menyentuh wajah Naira dengan tangan kecilnya, menghapus air mata yang terus mengalir di pipi kakaknya.
"Tidak, Kak. Kau tidak salah. Aku hanya ingin kau tahu... aku tidak marah. Aku ingin kita bisa bermain bersama lagi... seperti dulu." Suara Sara terdengar seperti melodi yang menenangkan, tapi juga menyayat hati Naira.
Naira meraih tangan Sara yang bercahaya itu, hangat dan penuh rasa rindu. "Aku tidak tahu harus berkata apa... aku terlalu takut kehilanganmu..."
"Kau tidak pernah kehilanganku, Kak. Aku selalu ada di sini," Sara berkata sambil menunjuk ke dada Naira, tepat di tempat hatinya berada.
Perlahan, cahaya yang membentuk tubuh Sara mulai memudar. Naira memeluknya erat, tidak ingin melepaskannya. "Tolong, jangan pergi lagi..."
"Aku tidak akan pergi. Tapi kau harus hidup, Kak. Kau harus bahagia untuk kita berdua." Sara tersenyum untuk terakhir kalinya sebelum tubuh bercahayanya benar-benar lenyap.
Naira terduduk di lantai gubuk, sendirian. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa Sara tidak benar-benar hilang. Sara akan selalu bersamanya, di dalam hatinya. Dengan air mata yang masih mengalir, Naira berdiri dan melangkah keluar, membawa kenangan Sara bersamanya ke dalam kehidupan yang baru.
Tamaat....