Takdirku, Musuhku (1)
Author: Anne Kim
Romantis;Asmara
"Lyra, kamu harus segera pulang setelah sekolah. Ada yang ingin Ayah bicarakan," suara tegas di seberang telepon membuat Lyra Sinclair mengernyit. Ia baru saja selesai pelajaran terakhir dan sedang mengemasi buku-bukunya.
"Ada apa, Yah? Bisa nanti saja? Aku masih ada tugas kelompok." Lyra berusaha menolak, tapi suara ayahnya berubah semakin serius.
"Tidak ada nanti. Ini penting. Langsung pulang, titik."
Lyra mendesah panjang. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang bisa sebegitu mendesaknya. Namun, ia tidak berani membantah lebih jauh.
Sesampainya di rumah, Lyra terkejut melihat ruang tamu penuh dengan orang. Ayah dan ibunya duduk di sofa bersama pasangan suami istri lain yang wajahnya tidak asing. Tepat di sebelah mereka duduk seseorang yang paling Lyra tidak ingin lihat seumur hidupnya, Leonard Ashford.
"Kenapa dia di sini?" Lyra bertanya, wajahnya langsung masam.
Leonard menatapnya dengan tatapan malas, seperti biasanya. "Percayalah, aku juga tidak ingin ada di sini."
"Duduk dulu, Lyra," ujar ibunya lembut, mencoba meredakan ketegangan.
Lyra akhirnya duduk, meskipun perasaannya campur aduk. Ia melirik Leonard yang tampak sama terganggunya.
"Jadi begini," Ayah Lyra memulai dengan nada berat, "kami telah mengambil keputusan yang penting untuk masa depan kalian berdua."
Leonard menyandarkan punggungnya dengan ekspresi bosan. "Apa lagi ini? Jangan bilang ini semacam ceramah tentang hidup damai."
"Bukan, Leonard," sahut ayahnya. "Ini tentang pernikahan kalian."
Lyra hampir tersedak mendengar kata itu. "Maaf, apa?!"
"Kalian akan menikah," ucap ibunya pelan namun pasti.
"Pernikahan? Dengan dia?!" Lyra menunjuk Leonard dengan ekspresi jijik. "Kalian pasti bercanda!"
"Percayalah, aku juga merasa sama," Leonard menyahut. "Aku tidak tertarik menikah dengan orang seperti dia."
Namun, tatapan tajam ayah Leonard menghentikan protes itu. "Ini bukan keputusan kalian untuk diperdebatkan. Ada alasan kuat di balik ini, dan kalian harus menerimanya."
Lyra merasa darahnya mendidih. Bagaimana mungkin ia dipaksa menikah dengan musuh bebuyutannya? Namun, sebelum ia sempat berkata lebih jauh, ayahnya menambahkan sesuatu yang membuatnya semakin tertekan.
"Pernikahan ini akan berlangsung bulan depan. Tidak ada ruang untuk penolakan."
Lyra dan Leonard saling bertatapan, mata mereka penuh kebencian. Mereka berdua tahu, ini adalah awal dari kekacauan besar dalam hidup mereka.
Lyra merasakan kepalanya berdenyut hebat. Pernikahan? Dengan Leonard Ashford? Itu terdengar seperti lelucon terburuk yang pernah ia dengar. Tapi wajah serius orang tuanya tidak menunjukkan sedikit pun tanda bahwa ini adalah gurauan.
"Tidak mungkin! Aku tidak akan menikah dengan dia!" Lyra berdiri, suaranya penuh dengan ketegasan.
"Aku setuju," Leonard ikut menimpali. "Kalau ini cuma ide gila kalian untuk membuat kita rukun, lupakan saja. Aku lebih suka jadi musuhnya seumur hidup."
"Kalian pikir kami mengambil keputusan ini tanpa alasan?" suara ayah Leonard tiba-tiba terdengar tegas, membuat suasana menjadi semakin mencekam. "Ini menyangkut kehormatan keluarga kita."
"Kehormatan keluarga?" Lyra mengerutkan dahi, bingung. Ia tidak paham bagaimana ia dan Leonard terlibat dalam urusan sebesar itu.
Ayah Lyra mengangguk. "Ada sebuah perjanjian lama antara keluarga kita, sebuah janji yang harus ditepati. Jika tidak, dampaknya akan sangat buruk, tidak hanya untuk keluarga kita, tapi juga untuk kalian berdua."
Leonard menyandarkan tubuhnya ke sofa, mencoba mencerna situasi. "Jadi semua ini cuma soal menjaga nama baik keluarga? Itu alasan kalian memaksa kami menikah?"
"Leonard!" Ibunya menegur dengan nada tajam. "Ini bukan sesuatu yang bisa kamu anggap enteng. Ada lebih banyak hal yang terjadi di balik layar, dan kamu terlalu muda untuk memahami semua itu."
"Terlalu muda? Aku 17 tahun! Kalau kalian pikir ini alasan yang masuk akal untuk menikahkan kami, kalian salah besar!" Leonard bangkit dari tempat duduknya, tatapannya penuh amarah.
Lyra, yang biasanya selalu siap untuk adu mulut dengan Leonard, kali ini justru merasa ada kesamaan pandangan. Ia juga tidak ingin menjalani hidup seperti ini.
"Tapi kenapa harus sekarang? Kenapa harus kami?" Lyra bertanya, suaranya lebih tenang tapi tetap menyiratkan penolakan.
Ibunya menghela napas panjang, matanya menatap Lyra penuh harap. "Sayang, kadang-kadang kita harus melakukan hal yang tidak kita inginkan demi keluarga. Pernikahan ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita dari kehancuran."
Hening menyelimuti ruangan. Lyra dan Leonard sama-sama menatap orang tua mereka dengan kebingungan bercampur frustasi. Tidak ada penjelasan lebih lanjut yang diberikan. Hanya satu hal yang jelas, mereka tidak punya pilihan.
"Baiklah," Leonard akhirnya berbicara, nadanya sarkastis. "Kalau ini semua demi 'kehormatan keluarga,' aku harap kalian tidak keberatan kalau kami saling membunuh setelah menikah nanti."
"Leonard!" suara ayahnya meledak, tapi Leonard sudah berjalan keluar, membanting pintu dengan keras.
Lyra hanya bisa memandang punggungnya yang menghilang di balik pintu. Ia tahu, ini baru permulaan dari kekacauan yang lebih besar.
Di kamarnya malam itu, Lyra merenung. Bagaimana mungkin hidupnya yang biasa-biasa saja bisa berubah secepat ini? Ia tidak tahu apa yang lebih buruk, menikah dengan seseorang yang ia benci, atau hidup dengan orang itu setiap hari.
Namun, satu hal pasti ia tidak akan menyerah begitu saja. Jika takdir ingin mempermainkannya, ia juga akan bermain sesuai aturannya sendiri.
Malam itu, Lyra berbaring di tempat tidur sambil memandangi langit-langit kamarnya. Pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan yang tak terjawab. Kenapa keluarga mereka membuat keputusan seperti ini? Apa sebenarnya alasan di balik pernikahan yang begitu mendadak ini?
"Pernikahan," gumam Lyra sambil mendengus. Kata itu terdengar begitu absurd di telinganya. "Dengan Leonard Ashford, lagi. Dunia ini pasti sudah gila."
Pikirannya melayang ke sosok Leonard. Sejak pertama kali bertemu di sekolah, mereka tak pernah bisa akur. Leonard dengan sikap dingin dan arogan selalu berhasil memancing emosinya. Mereka berdua seperti api dan minyak tidak mungkin bersatu.
Namun kini, takdir memaksa mereka untuk bersama.
Keesokan harinya, Lyra berjalan menuju sekolah dengan langkah berat. Biasanya, ia menikmati perjalanan pagi ke Kensington Academy, tempat di mana ia bisa melupakan semua drama keluarga. Tapi hari ini, rasanya seperti membawa beban berton-ton di pundaknya.
Saat Lyra melangkah masuk ke gerbang sekolah, tatapan Leonard langsung menyambutnya. Ia berdiri di sudut lapangan basket, dikelilingi oleh teman-temannya. Tatapan itu penuh dengan ejekan, seperti biasanya.
"Apa? Mau cari masalah lagi?" tanya Lyra sinis, mendekat dengan langkah percaya diri meski hatinya kacau.
Leonard menyeringai. "Jadi, sudah siap jadi Nyonya Ashford?"
Lyra memutar matanya, berusaha menahan amarah. "Dengar ya, Leonard. Aku sama sekali tidak ingin menikah denganmu. Kalau aku bisa memilih, aku lebih baik menikah dengan pohon."
"Bagus," jawab Leonard, menyilangkan tangan. "Karena aku juga lebih suka hidup sendiri daripada harus melihat wajahmu setiap hari."
Teman-teman Leonard tertawa, tapi Lyra tidak peduli. Ia sudah terbiasa menghadapi ejekan dari Leonard dan gengnya.
Namun, kali ini berbeda. Ia tahu ejekan ini bukan sekadar olok-olok biasa. Ada rasa frustrasi yang mendalam di balik kata-kata mereka.
Jam pelajaran pertama berjalan lambat. Lyra mencoba fokus, tapi pikirannya terus-menerus kembali ke percakapan di ruang tamu semalam. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa hidupnya akan berubah drastis dalam waktu kurang dari sebulan.
Saat istirahat, Lyra duduk di taman sekolah, mencoba mencari ketenangan. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama karena Leonard tiba-tiba muncul dan duduk di bangku sebelahnya.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Lyra tanpa menoleh.
"Kita perlu bicara," jawab Leonard. Suaranya tidak seperti biasanya, tidak penuh sarkasme atau ejekan.
Lyra mengernyit. "Bicara soal apa? Kalau soal pernikahan itu, aku sudah bilang aku tidak mau."
"Aku juga tidak mau," balas Leonard cepat. "Tapi tampaknya kita tidak punya pilihan."
Lyra akhirnya menoleh, menatap Leonard dengan mata penuh pertanyaan. "Jadi, apa maumu?"
Leonard menghela napas panjang. "Kita harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa mereka memaksa kita untuk menikah. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan, dan aku tidak suka dipermainkan."
Lyra terdiam. Untuk pertama kalinya, ia setuju dengan Leonard. Ada sesuatu yang tidak masuk akal dari semua ini, dan mereka harus mencari jawabannya.
"Baik," kata Lyra akhirnya. "Tapi jangan pikir aku akan bekerja sama denganmu dengan mudah."
Leonard tersenyum tipis. "Tenang saja. Aku juga tidak suka ide itu."
Meski keduanya tidak sepenuhnya percaya satu sama lain, mereka tahu bahwa mereka harus bekerja sama untuk mengungkap kebenaran di balik pernikahan ini.
Di saat itulah, tanpa mereka sadari, babak baru dalam hidup mereka pun dimulai.
Hari-hari berikutnya berjalan penuh ketegangan bagi Lyra dan Leonard. Di sekolah, rumor mulai beredar tentang kedekatan aneh antara dua musuh bebuyutan itu. Teman-teman Lyra mulai memperhatikan perubahan sikapnya, meski ia mencoba sekuat tenaga untuk bersikap normal.
“Jadi, kamu dan Leonard sekarang sering bersama, ya?” Tanya Clara, sahabat Lyra, saat mereka duduk di kantin.
Lyra hampir tersedak mendengar pertanyaan itu. “Sering bersama? Jangan konyol, Clara. Aku masih membencinya seperti biasa.”
Clara menyipitkan mata. “Benarkah? Aku dengar dia menghampirimu kemarin di taman sekolah. Itu tidak biasa, kan?”
“Dia hanya bicara soal...” Lyra terhenti, menyadari ia hampir membocorkan rahasia tentang pernikahan yang akan datang. “Soal tugas kelompok, itu saja.”
Clara memiringkan kepala, tidak sepenuhnya percaya. “Tugas kelompok? Hmm, baiklah. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku, Lyra.”
Lyra memaksakan senyum. “Kamu terlalu banyak berimajinasi, Clara. Aku dan Leonard? Tidak mungkin.”
Namun, jauh di lubuk hatinya, Lyra tahu ia tidak bisa menyembunyikan kebenaran itu selamanya.
Sementara itu, Leonard juga menghadapi situasi yang tidak kalah rumit. Di sudut lapangan basket, teman-temannya mulai menggodanya dengan rumor yang tidak jelas.
“Jadi, Leonard,” ujar Alex, salah satu teman dekatnya, “apa benar kamu dan Lyra mulai akur sekarang? Jangan bilang kamu jatuh cinta padanya.”
Leonard mendengus. “Jatuh cinta? Dengan Lyra? Tolong, jangan buat aku muntah.”
“Tapi kalian sering terlihat bersama akhir-akhir ini,” tambah teman lainnya. “Ayo, jujur saja. Apa kalian diam-diam pacaran?”
Leonard menatap mereka tajam. “Dengar, aku tidak pacaran dengan Lyra. Aku bahkan tidak ingin dekat dengannya. Jadi, berhenti menyebar rumor bodoh.”
Meski ia mencoba terlihat santai, Leonard tahu situasi ini jauh lebih rumit daripada sekadar rumor. Apa yang akan terjadi dalam beberapa minggu ke depan hanya akan membuat semuanya lebih buruk.
Malam itu, Leonard menelepon Lyra. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
“Kenapa kamu meneleponku?” tanya Lyra langsung, suaranya penuh kecurigaan.
“Kita perlu bicara,” jawab Leonard tanpa basa-basi. “Aku menemukan sesuatu.”
Lyra menghela napas. “Sesuatu apa? Jangan bilang ini soal rumor di sekolah.”
“Bukan. Ini tentang pernikahan kita,” ucap Leonard dengan nada serius. “Aku baru saja mendengar pembicaraan orang tuaku. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan, Lyra. Dan aku yakin itu ada hubungannya dengan kita.”
Lyra terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. “Maksudmu apa?”
“Aku tidak tahu detailnya, tapi sepertinya pernikahan ini lebih dari sekadar janji keluarga. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang berbahaya.”
Lyra merasa jantungnya berdebar. Ia tahu pernikahan ini terasa aneh, tapi mendengar Leonard mengatakan hal seperti itu membuatnya semakin khawatir.
“Baik,” kata Lyra akhirnya. “Kita perlu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ingat, aku tidak melakukannya untukmu. Aku melakukannya untuk diriku sendiri.”
Leonard tertawa kecil. “Percayalah, perasaan itu saling menguntungkan.”
Hari-hari berikutnya, Lyra dan Leonard mulai menyusun rencana. Mereka sepakat untuk mendekati orang tua masing-masing dan mencari informasi sebanyak mungkin. Namun, usaha mereka tidak semudah yang dibayangkan.
Setiap kali Lyra mencoba bertanya kepada ayahnya, ia hanya mendapatkan jawaban yang samar. “Kamu tidak perlu tahu semua detailnya, Lyra. Yang penting, ini demi kebaikan keluarga kita.”
Leonard menghadapi hal yang sama di rumahnya. “Kamu hanya perlu mengikuti apa yang sudah direncanakan, Leonard,” kata ayahnya tegas.
Ketika mereka bertemu lagi di sekolah, wajah keduanya menunjukkan kekecewaan yang sama.
“Mereka tidak akan bicara,” ujar Leonard sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding.
Lyra mengangguk. “Aku juga. Mereka menutup rapat-rapat soal ini. Sepertinya kita harus mencari cara lain.”
Leonard menatap Lyra dengan serius. “Kalau begitu, kita harus mencari sendiri jawabannya. Tidak peduli seberapa sulitnya.”
Di tengah kebencian yang masih membara di antara mereka, satu hal mulai menjadi jelas Lyra dan Leonard kini berada di pihak yang sama, menghadapi misteri yang bisa mengubah hidup mereka selamanya.
Di malam yang sunyi, Lyra duduk di meja belajarnya, memandangi ponsel yang diam tak bergeming. Percakapan terakhir dengan Leonard terus terngiang di benaknya. Ia tahu, meskipun mereka saling membenci, Leonard benar ada sesuatu yang disembunyikan.
Ia membuka laptop dan mulai mencari informasi tentang hubungan antara keluarga Sinclair dan keluarga Ashford. Tidak banyak yang bisa ditemukan, kecuali beberapa artikel lama tentang kerja sama bisnis di masa lalu.
“Ini tidak membantu,” gumam Lyra sambil menyandarkan kepala ke kursi.
Ia memutuskan untuk melihat lagi catatan keuangan keluarga yang diam-diam ia temukan di ruang kerja ayahnya beberapa minggu lalu. Mungkin ada petunjuk di sana. Namun, ketika ia membuka file itu, matanya membelalak. Ada angka besar yang ditandai merah di laporan tersebut utang keluarga Sinclair.
“Apa ini?” bisiknya pelan.
Lyra terus membaca, menyadari bahwa utang itu tidak hanya besar, tetapi juga jatuh tempo dalam beberapa bulan. Hatinya berdegup kencang saat ia mulai memahami bahwa pernikahan ini mungkin ada hubungannya dengan kondisi keuangan keluarganya.
Keesokan harinya, Leonard sudah menunggunya di depan gerbang sekolah. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
“Kita perlu bicara,” katanya singkat, wajahnya serius.
“Di sini? Semua orang akan melihat.” Lyra melirik sekeliling, merasa tidak nyaman dengan tatapan teman-teman mereka.
“Kalau kamu peduli dengan pandangan mereka, kamu bisa berhenti di sini. Tapi aku tidak akan menunggu,” balas Leonard sambil berjalan menuju taman belakang sekolah.
Dengan enggan, Lyra mengikutinya. Begitu mereka sampai di tempat yang sepi, Leonard langsung menatapnya tajam.
“Aku menemukan sesuatu,” katanya.
Lyra mengangkat alis. “Apa?”
Leonard mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya. “Ini dokumen kerja sama keluarga kita dengan perusahaan keluargamu. Di sini tertulis kalau perusahaan ayahmu memiliki saham yang dipegang oleh keluargaku dan jika tidak ada pembayaran utang dalam waktu dekat, keluargamu akan kehilangan segalanya.”
Lyra terdiam, pikirannya kacau. Ia tahu ayahnya punya masalah keuangan, tapi ia tidak menyangka sebesar ini.
“Jadi, pernikahan ini hanya soal uang?” tanyanya akhirnya.
Leonard mengangguk. “Sepertinya begitu. Pernikahan kita adalah cara untuk menyelamatkan nama baik keluarga Sinclair dan memastikan keluarga Ashford tetap memiliki kendali.”
Lyra mengepalkan tangannya. “Itu gila! Kita hanya alat untuk menyelesaikan masalah mereka.”
“Selamat datang di dunia orang dewasa,” balas Leonard sinis. “Tapi aku tidak akan tinggal diam.”
Hari itu, Lyra dan Leonard memutuskan untuk menggali lebih dalam. Mereka mulai menyusun rencana kecil untuk mencari tahu lebih banyak tentang hubungan bisnis keluarga mereka.
Setelah sekolah, Leonard mengajak Lyra ke sebuah kedai kopi kecil di dekat sekolah, tempat yang jarang didatangi siswa lain.
“Kita harus mulai dari orang-orang yang bekerja untuk keluarga kita,” usul Leonard sambil menyeruput kopinya.
“Maksudmu, seperti asisten atau karyawan mereka?” tanya Lyra.
Leonard mengangguk. “Mereka tahu lebih banyak daripada yang kita kira. Kalau kita bisa bicara dengan mereka, mungkin kita akan menemukan petunjuk.”
Lyra ragu sejenak, tapi akhirnya setuju. Ia tahu ini mungkin satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban.
Keesokan harinya, Lyra mulai mendekati Irene, sekretaris pribadi ayahnya. Ia berpura-pura membantu membereskan berkas di ruang kerja ayahnya.
“Tante Irene, aku penasaran... Ayah sering bicara soal kerja sama bisnis keluarga Sinclair dan Ashford. Apa itu benar penting?” tanyanya dengan nada santai.
Irene berhenti sejenak, lalu tersenyum. “Kerja sama itu sudah berlangsung lama, sayang. Bahkan sebelum kamu lahir. Tapi aku tidak tahu banyak detailnya.”
“Benarkah? Ayah jarang membicarakannya di rumah.” Lyra mencoba menggali lebih dalam.
Namun, Irene tampak waspada. “Maaf, Lyra, tapi aku rasa ada hal-hal yang lebih baik tidak kamu ketahui.”
Jawaban itu membuat Lyra frustrasi, tapi ia tahu ia tidak bisa memaksa.
Sementara itu, Leonard mendekati sopir keluarganya, Pak James, yang sudah bekerja untuk mereka selama puluhan tahun.
“James, kamu pasti tahu banyak soal urusan keluarga, kan?” tanya Leonard saat mereka berada di perjalanan menuju rumah.
Pak James melirik Leonard sekilas melalui kaca spion. “Saya tahu cukup banyak, Tuan Muda. Tapi saya tidak yakin apa yang ingin Anda ketahui.”
“Soal keluarga Sinclair,” Leonard menjawab cepat. “Kenapa pernikahan ini begitu penting?”
Pak James terdiam sesaat sebelum menjawab dengan suara pelan. “Pernikahan ini bukan hanya soal bisnis, Tuan Muda. Ada janji lama yang harus ditepati. Janji itu adalah dasar dari hubungan antara keluarga Anda dan keluarga Sinclair.”
Leonard mengernyit. “Janji? Apa maksudmu?”
Namun, Pak James hanya menggeleng. “Maaf, Tuan Muda. Saya tidak bisa mengatakan lebih banyak.”
Ketika Lyra dan Leonard bertemu lagi di taman sekolah, mereka berbagi informasi yang didapat.
“Janji lama?” tanya Lyra, bingung. “Apa itu maksudnya?”
“Aku tidak tahu,” jawab Leonard, frustrasi. “Tapi ini semakin aneh. Bisnis, utang, dan sekarang janji lama? Semua ini seperti puzzle yang tidak masuk akal.”
Lyra mengangguk, setuju. “Tapi kita tidak bisa menyerah. Kalau mereka tidak mau bicara, kita harus cari tahu sendiri.”
Leonard tersenyum tipis. “Kamu mulai terdengar seperti aku.”
Lyra mendengus. “Jangan tersanjung. Aku hanya tidak suka dipermainkan.”
Di tengah kebingungan mereka, satu hal menjadi jelas ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar pernikahan yang dipaksa dan mereka harus menemukan jawabannya, apapun yang terjadi.
Malam itu, Lyra memutuskan untuk menyelinap ke ruang kerja ayahnya lagi. Setelah mendengar tentang “janji lama” dari Leonard, ia merasa ada sesuatu yang harus ia temukan di sana. Ayahnya sedang keluar kota untuk urusan bisnis, jadi ini adalah kesempatan sempurna.
Dengan hati-hati, Lyra membuka laci meja yang terkunci menggunakan kunci cadangan yang ia simpan diam-diam. Di dalamnya, ia menemukan tumpukan dokumen dan sebuah buku kecil dengan kulit hitam yang terlihat tua.
Saat ia membukanya, halaman-halaman buku itu dipenuhi dengan catatan tangan dan tanda tangan. Salah satu halaman menarik perhatiannya.
"Demi menjaga kehormatan keluarga dan membangun masa depan yang lebih kuat, keluarga Sinclair dan keluarga Ashford sepakat untuk menyatukan darah mereka melalui pernikahan keturunan berikutnya.”
Lyra tertegun. Tulisannya sudah kuno, seperti dibuat puluhan tahun lalu. Ia melihat tanda tangan di bagian bawah halaman, satu milik kakeknya, dan satu lagi milik kakek Leonard.
“Jadi, ini janji lama itu…” gumamnya pelan.
Namun, sebelum ia bisa membaca lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari luar. Lyra cepat-cepat menutup buku itu dan menyimpan semuanya kembali ke tempatnya.
Keesokan harinya, Lyra menceritakan temuannya kepada Leonard di tempat rahasia mereka di taman sekolah.
“Jadi ini soal janji keluarga. Mereka ingin memenuhi sesuatu yang sudah mereka sepakati bertahun-tahun lalu,” kata Lyra, menyerahkan buku itu pada Leonard.
Leonard membuka halaman yang dimaksud dan membaca dengan alis yang berkerut. “Ini benar-benar gila. Mereka menjadikan kita alat untuk memenuhi janji yang bahkan bukan tanggung jawab kita.”
Lyra mengangguk setuju. “Tapi ada sesuatu yang masih tidak masuk akal. Kenapa mereka begitu tergesa-gesa? Kenapa harus sekarang?”
Leonard berpikir sejenak. “Mungkin karena utang keluargamu. Mereka tahu waktunya hampir habis.”
“Tapi kenapa keluarga kamu setuju? Kalian tidak punya masalah keuangan, kan?” tanya Lyra dengan nada tajam.
Leonard terdiam. Ia tidak pernah memikirkan itu sebelumnya. “Aku tidak tahu,” katanya akhirnya. “Tapi aku akan mencari tahu.”
Malam itu, Leonard mendekati ayahnya saat makan malam.
“Ayah, aku ingin tahu lebih banyak soal pernikahan ini,” katanya langsung.
Ayahnya, yang sedang memotong steak, berhenti sejenak. “Leonard, aku sudah bilang, ini untuk kebaikan keluarga kita.”
“Kenapa harus aku? Kenapa keluarga kita mau terlibat dalam masalah keluarga Sinclair?”
Ayahnya menatapnya tajam. “Ini bukan hanya soal keluarga Sinclair. Ini soal masa depan bisnis kita juga. Mereka mungkin punya utang, tapi mereka juga punya aset yang sangat berharga. Dengan pernikahan ini, kita bisa mengamankan aset itu.”
“Aset?” Leonard mengernyit. “Jadi, aku hanya alat untuk bisnis?”
Ayahnya meletakkan garpu dan pisau dengan tegas. “Lihat, Leonard. Dunia ini tidak berjalan dengan idealisme. Kadang kita harus membuat pengorbanan untuk memastikan masa depan dan kamu adalah bagian dari pengorbanan itu.”
Kata-kata itu membuat Leonard semakin marah, tapi ia tidak bisa membalas. Ia tahu, meskipun ia membenci situasi ini, ayahnya tidak akan mengubah keputusannya.
Di sekolah, tekanan semakin besar. Rumor tentang “kedekatan” Lyra dan Leonard mulai menyebar luas. Clara, yang biasanya menjadi pendukung setia Lyra, mulai bertanya lebih sering.
“Kamu benar-benar tidak punya hubungan apa-apa dengan Leonard?” tanya Clara saat istirahat makan siang.
Lyra menghela napas. “Tidak, Clara. Aku sudah bilang, aku masih membencinya.”
“Tapi kenapa kalian sering terlihat bersama akhir-akhir ini?”
“Itu... hanya kebetulan.” Lyra berusaha terdengar meyakinkan, meskipun ia tahu Clara tidak mudah percaya.
Sementara itu, Leonard juga menghadapi hal serupa. Teman-temannya terus menggoda setiap kali mereka melihat Lyra mendekatinya.
“Jadi, kapan pesta pernikahannya?” ejek Alex sambil tertawa.
Leonard hanya melirik tajam tanpa menjawab. Ia tahu tidak ada gunanya mencoba menjelaskan sesuatu yang mereka tidak akan mengerti.
Di tengah semua kekacauan itu, Lyra dan Leonard mulai bekerja sama lebih sering. Mereka tahu, satu-satunya cara untuk menghadapi situasi ini adalah dengan memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Suatu sore, mereka memutuskan untuk mengunjungi arsip keluarga di rumah Leonard.
“Aku tidak percaya kamu membawaku ke rumahmu,” komentar Lyra saat mereka masuk ke ruangan besar yang dipenuhi rak buku dan dokumen.
“Percaya atau tidak, aku juga tidak suka ini,” jawab Leonard sambil mencari dokumen yang relevan.
Setelah beberapa jam mencari, mereka menemukan sebuah dokumen tua yang menjelaskan detail kerja sama antara keluarga mereka.
“Ini dia,” kata Leonard, menyerahkan dokumen itu pada Lyra.
Di dokumen itu, mereka menemukan bahwa janji pernikahan tidak hanya soal keluarga, tetapi juga melibatkan pihak ketiga sebuah perusahaan besar yang menjadi mitra bisnis utama keluarga mereka. Jika pernikahan ini gagal, kerja sama itu juga akan berakhir, membawa dampak besar bagi kedua keluarga.
“Jadi, ini semua tentang mempertahankan kerja sama dengan perusahaan itu,” kata Lyra dengan nada pahit.
Leonard mengangguk. “Tapi tetap saja, ini tidak adil bagi kita.”
“Tentu saja tidak adil,” balas Lyra. “Tapi apa yang bisa kita lakukan? Mereka sudah memutuskan semuanya.”
Meskipun mereka masih saling membenci, Lyra dan Leonard mulai menyadari bahwa mereka hanya punya satu sama lain dalam situasi ini.
“Kalau begitu, kita buat rencana,” kata Leonard akhirnya. “Kalau mereka mau bermain dengan aturan mereka, kita juga bisa bermain dengan aturan kita.”
Lyra menatap Leonard dengan pandangan serius. “Aku tidak percaya aku akan mengatakan ini, tapi... aku setuju.”
Di tengah ketidakpastian dan tekanan, mereka memutuskan untuk melawan, meskipun mereka tahu perjalanan ini tidak akan mudah.
⚜️
Lyra duduk di bangku taman sekolah, memandangi langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran yang berputar-putar tanpa henti. Pernikahan yang dipaksakan, janji keluarga, utang, dan… kakak tingkat yang ia sukai. Semuanya bercampur menjadi satu, membuatnya merasa seperti akan meledak.
“Kenapa harus sekarang?” gumamnya pelan.
Sejak kelas 1, Lyra diam-diam menyukai Evan Harris, kakak tingkatnya yang selalu ramah dan penuh perhatian. Evan adalah tipe pria yang membuat siapa saja merasa nyaman di dekatnya, senyumnya hangat, tutur katanya lembut, dan sikapnya selalu sopan. Tapi Lyra tidak pernah punya keberanian untuk mendekatinya, apalagi mengungkapkan perasaannya.
Dan sekarang, ketika hidupnya sudah cukup rumit, perasaan itu justru semakin membingungkannya.
Di sisi lain sekolah, Leonard sedang berbicara dengan seorang teman dekatnya, Alex.
“Jadi, kau serius akan menikah dengan Lyra?” tanya Alex sambil tertawa kecil.
Leonard mendengus. “Bukan aku yang memutuskan ini, Alex. Kalau ada cara untuk membatalkannya, aku pasti sudah melakukannya.”
“Lalu kenapa tidak kau tolak saja? Kau kan selalu punya cara untuk mendapatkan apa yang kau mau,” balas Alex sambil menaikkan alis.
Leonard terdiam sejenak. Ia memang sudah mencoba berbagai cara untuk menolak, mulai dari membujuk ayahnya hingga mencari celah hukum dalam perjanjian keluarga mereka. Tapi semuanya sia-sia.
“Percayalah, aku sudah mencoba,” jawabnya akhirnya.
Sore itu, Lyra dan Leonard kembali bertemu di tempat biasa mereka di taman belakang sekolah.
“Apa kau sudah menemukan sesuatu?” tanya Lyra tanpa basa-basi.
Leonard menggeleng. “Tidak ada. Semua jalan tertutup.”
Lyra menghela napas panjang. “Aku tidak percaya ini benar-benar terjadi. Hidupku sudah cukup rumit tanpa tambahan drama ini.”
“Kita sepertinya tidak punya pilihan,” kata Leonard dengan nada datar.
Lyra menatapnya tajam. “Jadi, kau menyerah?”
Leonard balas menatapnya, matanya dingin seperti biasa. “Aku tidak bilang menyerah. Tapi kita harus realistis. Kalau memang tidak ada jalan keluar, mungkin kita harus mencari cara untuk bertahan.”
“Kau bicara seperti ini mudah,” balas Lyra kesal.
Leonard mengangkat bahu. “Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Tapi aku tahu ini tidak mudah untukmu.”
Di rumah, Lyra kembali memikirkan Evan. Ia teringat saat Evan pernah membantunya membawa buku-buku yang berat ke perpustakaan. Saat itu, ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Kalau saja aku bisa mengungkapkan perasaanku,” gumamnya pelan.
Namun, perasaan itu kini terasa seperti mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Bagaimana ia bisa memikirkan seseorang seperti Evan ketika ia sudah dijodohkan dengan Leonard?
Keesokan harinya di sekolah, Lyra melihat Evan berbicara dengan beberapa teman di koridor. Ia ingin menghampirinya, tapi kakinya terasa berat.
“Lyra,” panggil Clara, mengejutkannya.
“Ada apa?” tanya Lyra, mencoba terlihat tenang.
“Kenapa kau terus melihat Evan? Kau suka dia, ya?” Clara tersenyum menggoda.
Lyra merasa wajahnya memanas. “Tidak, aku hanya… aku tidak melihat siapa-siapa.”
Clara tertawa kecil. “Kau tidak pandai berbohong, Lyra.”
Di kelas, Leonard memperhatikan Lyra yang tampak gelisah sepanjang pelajaran. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya saat istirahat.
“Kau kenapa?” tanyanya tiba-tiba.
Lyra terkejut dengan pertanyaan itu. “Tidak apa-apa.”
“Kau terlihat seperti baru saja kehilangan sesuatu yang penting,” komentar Leonard, suaranya lebih lembut dari biasanya.
“Itu bukan urusanmu,” balas Lyra cepat.
Leonard hanya mengangkat alis. “Terserah. Tapi kau harus berhenti terlihat seperti itu. Kau membuatku tidak nyaman.”
“Aku tidak peduli dengan kenyamananmu,” jawab Lyra dengan nada tajam.
Leonard tidak membalas. Tapi ia memperhatikan bagaimana Lyra menunduk, seolah menyembunyikan sesuatu.
Sore itu, Leonard memutuskan untuk menemui Lyra di perpustakaan.
“Kau mengikutiku sekarang?” tanya Lyra, menatapnya dengan curiga.
“Aku hanya ingin memastikan kau tidak pingsan di tengah jalan,” balas Leonard santai.
Lyra mendengus. “Aku tidak butuh perhatianmu.”
“Terlalu buruk, karena aku tidak akan berhenti,” jawab Leonard, menatapnya tajam.
Lyra merasa bingung. Ia tidak mengerti kenapa Leonard tiba-tiba bersikap seperti ini.
“Kau tahu, kalau kau punya masalah, kau bisa bicara denganku,” kata Leonard akhirnya.
Lyra tertawa kecil. “Kau? Membantu? Itu lucu.”
Leonard tidak menanggapi ejekan itu. Ia hanya menatap Lyra, matanya penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan.
“Percayalah, Lyra. Aku mungkin tidak selalu ramah, tapi aku tidak akan membiarkanmu jatuh,” katanya dengan suara rendah.
Untuk pertama kalinya, Lyra merasa ada sesuatu yang tulus dalam kata-kata Leonard.
Hari-hari berikutnya, Lyra terus berjuang dengan perasaannya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi situasi ini. Di satu sisi, ia tidak ingin menikah dengan Leonard. Tapi di sisi lain, ia merasa bingung dengan perhatian kecil yang Leonard tunjukkan.
Evan tetap menjadi bayangan di pikirannya, tapi semakin ia mencoba mendekat, semakin sulit rasanya.
Leonard, meskipun arogan dan dingin, mulai menunjukkan sisi lain yang tidak pernah ia duga.
Lyra berjalan menyusuri koridor sekolah dengan langkah pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Di luar, ia berusaha terlihat biasa saja remaja SMA yang tidak memiliki masalah besar. Tapi di dalam, ia tahu semuanya tidak sesederhana itu.
Keputusan keluarganya dan keluarga Leonard untuk merahasiakan pernikahan mereka adalah salah satu keputusan yang ia syukuri. Setidaknya, ia tidak perlu menghadapi tatapan aneh atau gosip dari teman-temannya. Namun, rahasia ini juga membawa beban yang berat. Ia harus berpura-pura tidak ada yang terjadi, bahkan saat ia dan Leonard saling bertemu di sekolah.
“Lyra!” panggil Clara, sahabatnya, sambil melambaikan tangan.
Lyra tersenyum kecil dan menghampirinya. “Ada apa, Clara?”
“Kau kelihatan sedikit lesu belakangan ini. Kau yakin tidak apa-apa?” Clara menatap Lyra dengan mata penuh perhatian.
Lyra menggeleng. “Aku baik-baik saja. Mungkin hanya kurang tidur.”
Clara mengernyit, tapi tidak mendesak. Lyra tahu Clara mencurigai sesuatu, tapi ia tidak mungkin memberi tahu sahabatnya itu tentang rencana pernikahan yang dirahasiakan ini.
Di sisi lain sekolah, Leonard berdiri di dekat lapangan basket, berbicara dengan Alex, sahabatnya yang juga satu-satunya orang yang tahu tentang rencana pernikahan ini.
“Kau benar-benar berencana menikahinya?” tanya Alex untuk kesekian kalinya, seolah masih tidak percaya.
Leonard mendengus. “Kau sudah tahu jawabannya. Jangan terus bertanya.”
“Tapi ini gila, Leo. Maksudku, kalian bahkan tidak akur. Bagaimana kau akan menjalani ini?”
“Aku tidak tahu,” jawab Leonard jujur. “Tapi aku tidak punya pilihan, dan begitu juga dia. Jadi, kami hanya harus mencari cara untuk bertahan.”
Alex menggeleng pelan, tetapi ia tahu Leonard serius.
Setelah pelajaran selesai, Lyra duduk di taman belakang sekolah, mencoba menikmati ketenangan sebelum harus pulang dan menghadapi kenyataan. Namun, pikirannya terus-menerus kembali pada Evan.
Ia mengingat senyuman Evan, cara pria itu selalu bersikap ramah kepada semua orang, termasuk dirinya. Tapi yang tidak ia tahu, Evan juga memperhatikannya lebih dari sekadar teman atau junior di sekolah.
“Lyra,” suara yang familiar memanggilnya.
Lyra menoleh dan mendapati Evan berdiri di dekatnya. Jantungnya langsung berdetak lebih cepat.
“Evan? Ada apa?” tanyanya, berusaha terdengar santai.
“Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Kau terlihat sedikit berbeda akhir-akhir ini,” kata Evan dengan nada lembut.
Lyra tersenyum kecil, meskipun hatinya masih gelisah. “Aku baik-baik saja. Mungkin hanya lelah.”
Evan mengangguk, tetapi tidak sepenuhnya percaya. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi takut akan terlihat terlalu mencampuri urusan Lyra.
Malam harinya, Leonard mengetuk pintu kamar Lyra di rumah keluarga Sinclair, tempat mereka sering bertemu untuk mendiskusikan situasi mereka.
“Kau sibuk?” tanyanya singkat.
Lyra membuka pintu dan menatap Leonard dengan tatapan lelah. “Apa yang kau mau?”
“Kita perlu bicara,” jawab Leonard tanpa basa-basi.
Lyra membiarkannya masuk, lalu duduk di sofa kecil di sudut kamar. Leonard menyusul dan duduk di seberangnya.
“Aku sudah mencoba bicara lagi dengan ayahku,” kata Leonard. “Tapi dia tidak berubah pikiran. Ini tetap akan terjadi.”
Lyra menghela napas panjang. “Aku tahu. Aku juga sudah mencoba bicara dengan orang tuaku. Mereka bahkan tidak mau mendengarkan.”
“Kau tahu, kita harus menemukan cara untuk bekerja sama dalam hal ini,” kata Leonard.
Lyra menatapnya dengan mata tajam. “Kerja sama? Kita bahkan tidak bisa akur.”
“Tapi kita tidak punya pilihan,” balas Leonard.
Lyra mendengus, tetapi ia tahu Leonard benar. Mereka tidak punya pilihan selain menjalani semua ini.
Hari-hari berikutnya, Lyra terus bergulat dengan perasaannya. Di satu sisi, ia merasa marah dan frustrasi dengan keadaan ini. Di sisi lain, ia tidak bisa berhenti memikirkan Evan. Dan Leonard, meskipun sering membuatnya kesal, terkadang menunjukkan sisi lain yang membuatnya bingung.
Seperti saat ia merasa sedih dan Leonard dengan diam-diam meninggalkan cokelat kecil di mejanya di kelas. Atau saat ia hampir jatuh di tangga dan Leonard dengan sigap menangkapnya, meskipun kemudian ia langsung memasang wajah dingin seperti biasa.
Lyra tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Pernikahan ini, perasaannya pada Evan, dan sikap Leonard yang semakin membingungkannya semuanya bercampur menjadi satu, membuatnya merasa seperti tenggelam dalam lautan emosi yang tak berujung.
Di tempat lain, Evan sedang berbicara dengan salah satu temannya.
“Kau tahu, aku benar-benar ingin mendekati Lyra,” kata Evan, suaranya terdengar penuh harapan.
“Lalu kenapa tidak kau lakukan?” tanya temannya.
Evan terdiam sejenak. “Aku tidak yakin. Kadang aku merasa dia menyukaiku juga, tapi di lain waktu dia tampak begitu jauh.”
“Kalau kau tidak mencoba, kau tidak akan pernah tahu,” balas temannya.
Evan mengangguk, bertekad untuk mendekati Lyra. Tapi ia tidak tahu bahwa Lyra sedang berada di tengah situasi yang jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.
Lyra tidak pernah menyangka, hidupnya yang biasa kini dipenuhi begitu banyak rahasia dan kebimbangan. Di sekolah, ia harus berpura-pura semuanya baik-baik saja, sementara di rumah, ia terus dihantui kenyataan bahwa pernikahan dengan Leonard semakin tak terhindarkan.
Pernikahan itu… rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Orang tua mereka, pengacara keluarga, dan sahabat terdekat masing-masing.
Clara, sahabat Lyra, sama sekali tidak tahu apa-apa tentang ini. Lyra bersyukur untuk itu. Clara sering bertanya kenapa Lyra tampak lebih murung akhir-akhir ini, dan setiap kali, Lyra harus menciptakan alasan baru untuk menyembunyikan kebenaran.
Leonard, di sisi lain, hanya memberi tahu Alex, sahabatnya yang cenderung santai dan tidak banyak bertanya. Alex tahu kapan harus berhenti mengajukan pertanyaan, sesuatu yang Lyra harapkan ada pada Clara.
Di kelas, Lyra duduk di bangkunya, mencoba fokus pada pelajaran. Tapi matanya terus melirik ke arah Evan, kakak tingkat yang duduk di sudut ruangan, memberikan presentasi tentang proyek sainsnya.
Senyuman Evan begitu menenangkan, dan cara bicaranya yang percaya diri membuat semua mata tertuju padanya, termasuk Lyra. Ia tidak bisa memungkiri bahwa hatinya berdebar setiap kali melihat pria itu.
Namun, Lyra juga sadar bahwa perasaannya pada Evan tidak ada artinya sekarang. Bagaimana ia bisa menyukai seseorang ketika ia sudah dijodohkan dengan Leonard?
Sementara itu, Leonard berdiri di luar kelas, menunggu Lyra selesai. Ia tidak suka harus menunggu seperti ini, tetapi ada sesuatu yang ingin ia bicarakan.
Saat bel berbunyi, Lyra keluar bersama Clara.
“Lyra,” panggil Leonard.
Lyra berhenti, menatap Leonard dengan alis terangkat. “Ada apa lagi?”
Leonard melirik Clara sebentar, lalu kembali menatap Lyra. “Kita perlu bicara.”
Lyra mendesah. “Aku sibuk.”
“Ini penting,” kata Leonard tegas.
Clara menatap mereka bergantian, merasa ada sesuatu yang aneh. “Aku akan pergi dulu. Kau bisa mencariku di perpustakaan nanti,” kata Clara, meninggalkan mereka berdua.
“Cepat katakan. Aku tidak punya banyak waktu,” kata Lyra setelah Clara pergi.
Leonard melipat tangan di dadanya. “Aku baru saja bicara dengan ayahku. Dia ingin kita mulai mempersiapkan semuanya.”
Lyra tertegun. “Apa maksudmu?”
“Maksudku, dia ingin kita segera membahas detail pernikahan. Ini tidak akan tertunda lebih lama lagi,” jawab Leonard.
Wajah Lyra memucat. Ia tahu hari ini akan tiba, tetapi mendengar Leonard mengatakannya dengan begitu lugas membuatnya merasa seperti dihantam batu besar.
“Aku belum siap,” kata Lyra, suaranya hampir berbisik.
“Aku juga tidak,” jawab Leonard. “Tapi tidak ada yang peduli dengan apa yang kita rasakan.”
Malam harinya, Lyra duduk di balkon kamarnya, memandangi bintang-bintang. Pikirannya melayang pada Evan. Ia bertanya-tanya seperti apa hidupnya jika semua ini tidak pernah terjadi.
“Jika saja aku bisa memilih…” gumamnya pelan.
Di sisi lain rumah, Leonard berada di ruang kerja ayah Lyra. Mereka sedang membahas langkah-langkah yang harus diambil untuk memastikan pernikahan tetap rahasia.
“Tidak ada yang boleh tahu, terutama teman-teman kalian di sekolah,” kata ayah Lyra tegas.
Leonard mengangguk. “Aku mengerti.”
“Dan Lyra?” tanya ayahnya.
Leonard terdiam sejenak. “Dia mencoba bertahan. Tapi aku tidak tahu berapa lama dia bisa melakukannya.”
Hari berikutnya di sekolah, Lyra berusaha mengalihkan pikirannya dengan belajar. Tapi usahanya sia-sia ketika ia melihat Evan mendekatinya di perpustakaan.
“Lyra, kau sibuk?” tanya Evan.
Lyra menatapnya, terkejut. “Tidak, ada apa?”
“Aku ingin membicarakan sesuatu. Bisa kita bicara sebentar?”
Lyra mengangguk, merasa gugup. Mereka keluar dari perpustakaan dan berjalan menuju taman belakang sekolah.
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Lyra, mencoba terdengar santai.
Evan tersenyum kecil. “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Akhir-akhir ini, kau terlihat… berbeda.”
“Oh, aku baik-baik saja,” jawab Lyra cepat.
“Tapi kau tidak terlihat seperti itu,” kata Evan, menatapnya dengan lembut.
Lyra merasa jantungnya berdebar kencang. Ia ingin memberitahu Evan semuanya tentang pernikahan, tentang betapa rumitnya hidupnya sekarang. Tapi ia tahu ia tidak bisa.
“Aku hanya sedikit lelah,” katanya akhirnya.
Evan tidak mendesak. Ia hanya tersenyum dan berkata, “Kalau kau butuh seseorang untuk diajak bicara, aku selalu ada.”
Kata-kata itu membuat Lyra merasa lebih tenang, meskipun hanya untuk sesaat.
Sore itu, Leonard mendapati Lyra duduk sendirian di taman sekolah.
“Kau tidak bersama sahabatmu?” tanya Leonard, mendekatinya.
Lyra mendongak dan menatapnya. “Tidak. Aku ingin sendiri.”
“Kau terlihat seperti akan menangis,” komentar Leonard.
“Aku tidak menangis,” balas Lyra tajam.
“Kalau begitu, kau terlihat seperti ingin menangis,” kata Leonard, duduk di sebelahnya.
“Apa yang kau inginkan, Leonard?” tanya Lyra lelah.
Leonard menghela napas. “Aku hanya ingin memastikan kau tidak pingsan di sini.”
“Kau tidak perlu peduli padaku,” kata Lyra.
“Terlalu buruk, karena aku peduli,” jawab Leonard.
Lyra menatapnya, bingung dengan sikap Leonard. Di balik sikap dinginnya, ada sesuatu yang berbeda sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Hari-hari terus berlalu, dan rahasia pernikahan mereka tetap terjaga. Tidak ada yang tahu, kecuali orang-orang terdekat mereka. Lyra dan Leonard menjalani hidup seperti biasa di sekolah, tetapi di balik layar, mereka terus berjuang untuk menerima kenyataan yang ada.
Dan di tengah semua itu, Lyra masih harus menghadapi perasaannya pada Evan, yang kini mulai menunjukkan perhatian lebih padanya.
Namun, Lyra tidak tahu bahwa Evan juga menyimpan rahasia perasaan yang selama ini ia pendam untuknya.
⚜️
Lyra menghabiskan pagi itu dengan pikiran yang kalut. Ia duduk di meja sarapannya, mencoba menyantap roti panggang yang sama sekali tidak menggugah seleranya. Di seberangnya, Leonard yang semalam di panggil kerumah oleh ayahnya untuk menginap sambil membahas masalah perusahaan menikmati sarapan dengan sikap santai seperti biasa, seolah tidak ada hal serius yang membebani mereka berdua.
“Jadi, kau masih mencoba mencari cara untuk membatalkan ini?” Leonard akhirnya membuka suara, memecah keheningan.
Lyra mendongak, menatap pria itu dengan tajam. “Tentu saja. Kau pikir aku akan menyerah begitu saja?”
Leonard mengangkat bahu. “Kita sudah mencoba segalanya, Lyra. Aku sudah bicara dengan ayahku, dan kau sudah bicara dengan orang tuamu. Mereka tidak akan berubah pikiran.”
“Kita hanya belum mencoba cukup keras,” jawab Lyra, menggigit roti panggangnya dengan frustrasi.
“Percayalah, orang-orang seperti mereka tidak akan peduli dengan apa yang kita pikirkan,” balas Leonard, nada suaranya sedikit lebih serius.
⚜️
Di sekolah, Lyra mencoba melupakan semuanya dengan berkonsentrasi pada pelajaran. Tapi pikirannya terus melayang, membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak bisa ia kendalikan. Bagaimana jika ini benar-benar terjadi? Bagaimana jika ia benar-benar harus menikah dengan Leonard?
Ia menghela napas panjang, membuat Clara, yang duduk di sebelahnya, menatapnya dengan curiga.
“Kau kenapa, Lyra? Belakangan ini kau sering melamun,” kata Clara dengan nada prihatin.
Lyra menggeleng, mencoba tersenyum. “Aku hanya lelah, Clara. Tidak ada apa-apa.”
“Tapi kau berbeda. Kau tidak seperti biasanya,” balas Clara.
Lyra menggigit bibirnya, merasa bersalah karena tidak bisa menceritakan semuanya kepada sahabatnya. Tapi rahasia ini terlalu besar untuk diungkapkan, bahkan kepada Clara.
⚜️
Saat istirahat, Lyra sengaja menghindari Clara dan berjalan menuju taman belakang sekolah, tempat ia bisa mendapatkan sedikit ketenangan. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama ketika ia mendengar suara langkah kaki mendekat.
“Lyra,” panggil Evan, membuat Lyra terkejut.
Lyra berbalik, melihat Evan berdiri di sana dengan senyuman hangat.
“Ada apa, Evan?” tanyanya, mencoba terdengar santai meskipun hatinya berdebar kencang.
“Aku melihatmu pergi sendirian. Kupikir kau mungkin butuh teman,” kata Evan, duduk di sebelah Lyra tanpa menunggu undangan.
Lyra hanya tersenyum kecil. Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa saat sebelum Evan akhirnya berbicara lagi.
“Lyra, aku tahu ini mungkin terdengar tiba-tiba, tapi… aku ingin lebih mengenalmu,” kata Evan dengan nada serius.
Lyra menatapnya dengan mata terbelalak. “Maksudmu?”
“Aku menyukaimu, Lyra,” kata Evan akhirnya, membuat Lyra terdiam.
Hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Tapi di saat yang sama, ia merasa seperti tertusuk. Bagaimana mungkin Evan mengakui perasaannya sekarang, ketika Lyra tidak bisa melakukan apa-apa tentang itu?
“Aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” jawab Lyra akhirnya.
“Kau tidak perlu menjawab sekarang,” kata Evan dengan lembut. “Aku hanya ingin kau tahu.”
⚜️
Malam itu, Lyra duduk di kamarnya, memikirkan perasaan Evan. Ia tahu dirinya menyukai pria itu, tapi keadaan membuatnya merasa terjebak. Bagaimana ia bisa membalas perasaan Evan ketika ia tahu dirinya akan menikah dengan Leonard?
Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk. Lyra mengangkat wajahnya, dan suara Leonard terdengar dari balik pintu.
“Lyra, kita perlu bicara,” katanya singkat.
Lyra membuka pintu, membiarkan Leonard masuk. “Ada apa?”
Leonard menutup pintu di belakangnya dan menatap Lyra dengan serius. “Aku baru saja mendapat kabar dari ayahku. Mereka sudah menetapkan tanggalnya.”
Wajah Lyra memucat. “Apa? Kapan?”
“Akhir Bulan ini,” jawab Leonard dengan nada datar.
Lyra merasa dunianya runtuh. Itu terlalu cepat. Tak bisakah kita mengundurkan pernikahan ini? Ia bahkan belum menemukan cara untuk membatalkan ini.
“Aku tidak bisa, Leonard. Aku tidak bisa melakukan ini,” kata Lyra, suaranya gemetar.
“Kau pikir aku ingin ini terjadi?” balas Leonard tajam. “Tapi kita tidak punya pilihan.”
“Aku tidak peduli! Aku tidak akan menyerah,” kata Lyra, mencoba menahan air matanya.
Leonard menghela napas panjang. “Lakukan apa yang kau mau, Lyra. Tapi kau tahu ini tidak akan berhasil.”
⚜️
Hari-hari berikutnya, Lyra semakin tenggelam dalam kebimbangan. Perasaannya pada Evan, tekanan dari keluarga, dan kenyataan tentang pernikahan yang semakin dekat semuanya bercampur menjadi satu, membuatnya sulit bernapas.
Di sisi lain, Leonard mencoba menjalani semuanya dengan tenang. Tapi setiap kali ia melihat Lyra, ia merasa sedikit bersalah. Ia tahu betapa beratnya ini untuk Lyra, meskipun ia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.
Suatu hari, saat mereka sedang bertemu di ruang kerja ayah Lyra untuk membahas detail pernikahan, Leonard akhirnya berbicara.
“Lyra,” katanya pelan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Lyra menatapnya, sedikit terkejut. “Apa?”
“Aku tahu ini sulit untukmu. Tapi aku hanya ingin kau tahu… aku akan mencoba membuat ini lebih mudah,” kata Leonard, menghindari tatapan Lyra.
Lyra tidak tahu harus berkata apa. Itu pertama kalinya Leonard menunjukkan perhatian seperti itu, meskipun ia tidak tahu apakah itu tulus atau hanya kata-kata kosong.
⚜️
Rahasia ini tetap terjaga dengan baik. Tidak ada satu pun teman mereka di sekolah yang tahu.
Namun, Evan mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Ia sering melihat Lyra berbicara dengan Leonard di tempat-tempat yang seharusnya tidak menarik perhatian, tetapi ada sesuatu dalam cara mereka berbicara yang membuatnya curiga.
“Lyra, kau dan Leonard… ada apa di antara kalian?” tanya Evan suatu hari, ketika mereka sedang berjalan di koridor sekolah.
Lyra terkejut mendengar pertanyaan itu, tetapi ia segera memasang wajah tenang. “Tidak ada. Kenapa kau bertanya begitu?”
Evan menggeleng. “Hanya perasaan saja. Tapi kalau kau bilang tidak ada, aku percaya.”
Lyra tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa berat.
⚜️
Malam itu, Lyra duduk di sudut ranjangnya, menatap keluar jendela yang dipenuhi bintang. Pikiran-pikiran tentang pernikahan yang tak bisa ia hindari terus berputar di kepalanya. Ia tidak pernah merasa sebingung ini sebelumnya.
Saat ponselnya bergetar, ia segera mengambilnya dari meja kecil di samping tempat tidur. Sebuah pesan masuk dari Clara, sahabatnya.
“Ly, kamu baik-baik aja? Kayaknya akhir-akhir ini kamu aneh banget. Ada yang mau diceritain?”
Lyra menghela napas. Ia ingin sekali menceritakan semuanya kepada Clara, tapi rahasia ini terlalu besar. Rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu dalam lingkaran keluarga mereka. Bahkan Clara, sahabatnya sejak kecil, tidak boleh tahu.
“Aku baik-baik aja, Clar. Cuma lagi banyak tugas sekolah aja,” balas Lyra singkat.
Ia tahu Clara tidak akan puas dengan jawaban itu, tapi ia berharap pesan singkat itu cukup untuk menenangkan temannya sementara waktu.
⚜️
Pagi berikutnya, Leonard menjemput Lyra di rumahnya untuk pergi ke sekolah. Mereka harus berangkat bersama karena ada pertemuan keluarga sebelumnya yang membuat mereka terlambat. Lyra merasa canggung duduk di mobil Leonard, terutama setelah pembicaraan mereka beberapa hari lalu.
“Aku bisa naik taksi sendiri tadi,” kata Lyra tanpa menatap Leonard.
Leonard meliriknya sekilas. “Ayahmu yang memintaku menjemputmu. Lagipula, apa bedanya?”
“Bedanya, aku tidak nyaman berada di dekatmu,” balas Lyra, suaranya sedikit tajam.
Leonard mengangkat alis, sedikit tersenyum. “Tidak nyaman? Aku bahkan tidak melakukan apa-apa.”
“Itu justru masalahnya,” gumam Lyra pelan, tapi cukup keras untuk didengar Leonard.
“Apa maksudmu?” tanya Leonard, nada suaranya terdengar lebih serius sekarang.
Lyra hanya menggeleng. “Lupakan.”
Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam, hanya suara musik pelan dari radio yang mengisi keheningan di antara mereka.
⚜️
Di sekolah, Lyra mencoba bersikap seperti biasa, meskipun hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. Ia bahkan menghindari Evan, kakak tingkat yang diam-diam ia sukai, karena ia tidak tahu bagaimana harus bersikap di hadapannya setelah pengakuan itu.
Namun, Evan tidak menyerah begitu saja. Saat istirahat, ia berhasil menemukan Lyra di perpustakaan.
“Lyra,” panggilnya sambil tersenyum.
Lyra yang sedang sibuk membaca langsung menoleh, kaget melihat Evan berdiri di depannya. “Evan? Ada apa?”
Evan duduk di kursi di seberang Lyra. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Kamu terlihat… sedikit berbeda akhir-akhir ini.”
Lyra tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Aku baik-baik saja, sungguh. Mungkin aku hanya lelah.”
Evan menatapnya, mencoba mencari kebenaran di balik kata-kata itu. “Kalau ada yang mengganggu, kamu bisa cerita ke aku, tahu?”
“Aku tahu. Terima kasih, Evan,” jawab Lyra, meskipun ia tahu ia tidak bisa benar-benar jujur padanya.
⚜️
Di sisi lain, Leonard juga tidak bisa mengabaikan perubahan pada Lyra. Meskipun ia mencoba bersikap seperti biasa, ia tidak suka melihat Lyra yang terlihat lebih pendiam dan sering melamun.
Saat mereka pulang sekolah bersama, Leonard akhirnya memutuskan untuk berbicara.
“Lyra, aku tahu ini bukan urusanku, tapi… ada apa denganmu belakangan ini?” tanya Leonard tiba-tiba.
Lyra menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Kenapa kau peduli?”
“Aku tidak peduli,” jawab Leonard dengan nada datar. “Tapi kalau kau terus seperti ini, orang-orang di sekitar kita mungkin mulai curiga.”
Lyra menghela napas panjang. “Aku hanya sedang memikirkan banyak hal, Leonard. Itu saja.”
“Seperti apa? Kakak tingkat yang kau suka?” tebak Leonard, membuat Lyra terdiam.
“Aku tahu tentang itu, Lyra. Kau pikir aku tidak memperhatikan?” lanjut Leonard.
Lyra tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa malu sekaligus kesal karena Leonard mengetahuinya.
“Dengar,” kata Leonard akhirnya, nada suaranya lebih pelan. “Aku tidak peduli siapa yang kau suka. Tapi jika itu membuatmu semakin sulit menjalani ini, aku hanya ingin kau tahu… kau tidak sendirian.”
Lyra menatap Leonard dengan mata membelalak. Itu pertama kalinya Leonard menunjukkan sisi lembutnya, meskipun ia tetap terdengar dingin dan arogan seperti biasa.
“Kau… kau benar-benar tidak peduli, ya?” gumam Lyra.
“Kenapa aku harus peduli? Ini semua hanya kesalahan besar, bukan?” balas Leonard, mencoba menutupi perasaannya.
⚜️
Hari-hari berlalu, dan tekanan semakin besar. Keluarga mereka mulai membahas persiapan pernikahan, meskipun Lyra dan Leonard terus berusaha mencari cara untuk menghentikannya.
Namun, segala upaya mereka seolah sia-sia. Orang tua mereka tidak mau mendengar alasan apa pun.
“Kalian tidak punya pilihan,” kata ayah Leonard tegas saat pertemuan keluarga terakhir. “Ini untuk kepentingan kedua keluarga.”
Lyra merasa frustrasi, tetapi ia tahu ia tidak bisa melawan keputusan itu sendirian.
Di sisi lain, Evan mulai merasa ada sesuatu yang aneh antara Lyra dan Leonard. Ia sering melihat mereka bersama di luar jam sekolah, dan itu membuatnya curiga.
Suatu hari, ia memutuskan untuk menghadapi Lyra.
“Lyra, aku tahu kau bilang tidak ada apa-apa antara kau dan Leonard. Tapi aku tidak percaya,” kata Evan dengan nada serius.
Lyra terdiam, merasa terpojok. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan semuanya kepada Evan tanpa mengungkapkan rahasia besar itu.
“Evan, aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” kata Lyra akhirnya.
Evan menatapnya dengan mata penuh kekecewaan. “Kalau kau tidak bisa jujur padaku, mungkin aku harus mencari tahu sendiri.”
Lyra merasa hatinya hancur mendengar kata-kata itu. Ia tahu ia sedang kehilangan seseorang yang mungkin benar-benar peduli padanya.
⚜️
Pagi di sekolah seperti biasanya ramai dengan suara obrolan dan tawa. Namun, di antara keramaian itu, Lyra merasa dunianya semakin sempit. Kabar tentang dirinya yang semakin sering terlihat bersama Leonard mulai menyebar, dan Evan, kakak tingkat yang selama ini ia kagumi, mulai bersikap lebih terang-terangan terhadap perasaannya.
Lyra menatap Evan dari jauh di lapangan basket. Wajahnya selalu tenang dan karismatik, membuat hati Lyra berdebar setiap kali mereka berpapasan. Tapi, sejak pertemuan mereka di perpustakaan beberapa waktu lalu, Lyra mulai menjaga jarak. Ia takut semakin dekat dengannya justru membuat semuanya semakin rumit.
Saat Lyra berjalan menuju kelas, suara langkah mendekat dari belakang.
"Lyra!" panggil Evan dengan senyum khasnya.
Lyra menghentikan langkahnya, tapi tidak berbalik. Ia tahu siapa itu, dan ia tahu ia harus menghadapinya.
"Evan," jawab Lyra pelan, menatap pria itu dengan tatapan canggung.
"Aku sudah lama ingin bicara denganmu," kata Evan, berdiri di hadapannya. "Kenapa akhir-akhir ini kau menghindariku?"
"Aku tidak menghindarimu," kilah Lyra cepat, meskipun matanya tidak mampu menatap langsung ke arah Evan.
"Kau tidak pandai berbohong, Lyra," kata Evan lembut, tapi tegas. "Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Kalau kau tidak mau cerita, aku tidak akan memaksa. Tapi aku ingin kau tahu satu hal."
Lyra mengangkat wajahnya, menatap Evan dengan bingung. "Apa itu?"
"Aku suka padamu."
Lyra terdiam. Ia tidak menyangka Evan akan mengatakan itu secara langsung. Jantungnya berdetak kencang, tapi bukan karena kebahagiaan melainkan kecemasan.
⚜️
Di sudut koridor, Leonard menyaksikan semuanya. Matanya menyipit melihat Evan dan Lyra yang sedang berbicara. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan mereka, tapi ekspresi di wajah Lyra membuatnya tidak tenang.
Saat Evan hendak melangkah lebih dekat ke Lyra, Leonard memutuskan untuk turun tangan.
"Lyra," panggil Leonard dengan nada dingin, berjalan mendekati mereka. "Kau sudah ditunggu di kelas."
Lyra menoleh dengan kaget, begitu juga Evan. Leonard menatap Evan dengan tatapan tajam, seolah ingin menyampaikan pesan tanpa kata-kata.
"Maaf, Evan," kata Lyra sambil menghindari tatapan pria itu. "Aku harus pergi."
Namun, sebelum Lyra bisa melangkah pergi, Evan meraih tangannya. "Tunggu. Aku belum selesai."
Leonard langsung melangkah ke depan, berdiri di antara Lyra dan Evan. "Aku rasa kau cukup jelas dengan ucapannya. Dia harus pergi."
Evan menghela napas, lalu menatap Leonard dengan tajam. "Apa urusanmu dengan ini, Leonard? Kenapa kau selalu menghalangiku setiap kali aku ingin bicara dengan Lyra?"
Leonard menyilangkan tangan di dadanya, menunjukkan sikap arogan yang khas. "Urusanku atau bukan, aku tidak suka kau memaksanya. Kau hanya membuatnya tidak nyaman."
"Dan kau pikir kau lebih baik?" balas Evan dengan nada penuh tantangan.
Leonard mendekat, hingga hanya ada beberapa inci di antara mereka. "Setidaknya aku tidak membuatnya merasa tertekan."
"Aku tidak memaksanya," kata Evan, suaranya lebih rendah tapi tegas. "Aku hanya ingin dia tahu perasaanku."
Leonard tersenyum kecil, tapi senyum itu penuh sindiran. "Kau terlalu berlebihan. Lyra tidak tertarik padamu."
Evan menatap Leonard tajam. "Kau tidak tahu apa yang Lyra rasakan. Kau hanya ingin dia menjauh dariku karena kau tidak mau berbagi perhatian dengannya."
Lyra yang mendengar percakapan mereka merasa bingung. Ia tidak tahu harus memihak siapa.
"Terserah kau mau berpikir apa," jawab Leonard dingin. "Tapi aku tidak akan membiarkanmu mengganggu Lyra lagi."
Evan menggelengkan kepala. "Kau tidak bisa memutuskan itu, Leonard. Kau bahkan tidak tahu bagaimana perasaanku."
Leonard terdiam. Ia tidak menyangka Evan akan begitu blak-blakan.
"Aku suka pada Lyra," kata Evan akhirnya, suaranya penuh keyakinan. "Dan aku akan melakukan apa pun untuk membuatnya bahagia."
Lyra membelalak mendengar pengakuan itu. Ia tidak tahu harus merasa senang atau justru semakin tertekan.
Leonard menatap Evan, lalu melirik Lyra yang tampak kebingungan. Ia mencoba bersikap biasa saja, tapi dalam hatinya ada sesuatu yang mulai tumbuh sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Kau boleh mencoba, Evan," kata Leonard dengan nada tenang tapi tajam. "Tapi jangan lupa, tidak semua yang kau inginkan bisa kau dapatkan."
Evan tersenyum kecil. "Kita lihat saja, Leonard. Pada akhirnya, yang terpenting adalah perasaan Lyra."
⚜️
Sepanjang hari, Lyra tidak bisa berhenti memikirkan kejadian itu. Ia merasa bersalah pada Evan karena menghindarinya, tapi di sisi lain, ia juga merasa terganggu dengan sikap Leonard yang tiba-tiba seperti melindunginya.
Leonard juga merasa gelisah. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Ia selalu menganggap Lyra sebagai musuh, seseorang yang harus ia hindari sejauh mungkin. Tapi melihat Evan mendekati Lyra membuatnya merasa tidak nyaman.
"Aku tidak mungkin cemburu," gumam Leonard pada dirinya sendiri di kamar. "Ini hanya perasaan sementara."
Namun, semakin ia mencoba meyakinkan dirinya, semakin ia merasa bingung.
⚜️
Hari-hari di sekolah semakin terasa rumit bagi Lyra. Setelah pengakuan Evan, ia merasa berada di persimpangan yang sulit. Di satu sisi, perasaannya pada Evan yang selama ini ia pendam membuatnya ingin membuka diri. Tapi di sisi lain, keadaan rumit dengan Leonard membuat segalanya terasa tidak mungkin.
Pagi itu, Lyra duduk di meja kantin, mencoba menyelesaikan sarapannya dengan tenang. Namun, pikirannya terus melayang pada kejadian beberapa hari lalu. Kata-kata Evan, tatapan Leonard, dan sikap keduanya membuat Lyra semakin bingung.
"Lyra," sebuah suara yang sangat dikenalnya membuatnya tersentak.
Ia mengangkat wajah dan melihat Evan berdiri di depannya dengan senyum lembut.
"Evan..." Lyra tergagap, tidak tahu harus berkata apa.
"Kita perlu bicara," kata Evan sambil duduk di kursi di depannya.
Lyra menelan ludah, hatinya berdegup kencang. "Tentang apa?"
Evan menatapnya dengan serius. "Tentang aku dan perasaanku padamu. Aku tahu kau mungkin merasa canggung setelah apa yang aku katakan, tapi aku tidak ingin kau salah paham."
Lyra terdiam. Ia ingin menjelaskan perasaannya, tapi mulutnya terasa terkunci.
"Aku tidak memaksamu untuk memberikan jawaban sekarang," lanjut Evan. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku serius. Aku ingin mengenalmu lebih dekat, Lyra. Aku ingin menjadi seseorang yang kau percayai."
Lyra menghela napas panjang. "Evan... Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Aku....."
"Kau tidak perlu menjawab sekarang," potong Evan sambil tersenyum kecil. "Tapi aku harap kau tidak menghindariku lagi."
Lyra hanya bisa mengangguk pelan. Di dalam hatinya, ia merasa bersalah karena tidak bisa memberikan jawaban yang pasti.
Di tempat lain, Leonard sedang berjalan menuju kantin ketika ia melihat Evan berbicara dengan Lyra. Tatapan pria itu langsung berubah dingin. Ia tidak tahu kenapa, tapi melihat mereka bersama membuatnya merasa tidak nyaman.
Tanpa berpikir panjang, Leonard melangkah mendekat.
"Lyra," panggilnya dengan nada datar, tapi cukup untuk membuat Lyra dan Evan menoleh.
Evan menghela napas pelan, sementara Lyra terlihat semakin gugup.
"Ada apa lagi, Leonard?" tanya Evan, nadanya sedikit kesal.
Leonard menatap Evan dengan tajam. "Aku tidak suka caramu mendekati Lyra. Kau terlalu berlebihan."
Evan berdiri, menatap Leonard dengan mata penuh tekad. "Kau tidak punya hak untuk mengatur apa yang aku lakukan. Aku hanya ingin bicara dengan Lyra."
"Kau membuatnya tidak nyaman," balas Leonard dingin.
"Kau bahkan tidak tahu apa yang Lyra rasakan," kata Evan, melangkah lebih dekat. "Kau hanya mengganggu tanpa alasan yang jelas."
Lyra yang menyaksikan mereka berdebat merasa bingung. Ia tidak tahu harus memihak siapa.
"Cukup!" seru Lyra akhirnya, membuat kedua pria itu terdiam. "Aku tidak mau kalian bertengkar karena aku."
Evan menoleh ke arah Lyra, wajahnya melunak. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ada di sini untukmu."
Leonard hanya menghela napas, lalu melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.
Malam itu, Leonard duduk di balkon kamarnya, memandangi langit malam yang penuh bintang. Ia mencoba memahami apa yang sebenarnya ia rasakan.
"Aku tidak peduli dengan Lyra," gumamnya pada diri sendiri. "Dia hanya musuh yang kebetulan terjebak dalam situasi yang sama denganku."
Namun, setiap kali ia mengingat Evan yang berbicara dengan Lyra, ada rasa tidak nyaman yang terus menghantuinya.
Sementara itu, Lyra duduk di meja belajarnya, mencoba menyusun pikirannya. Ia merasa terjebak di antara dua pria yang membuat hidupnya semakin rumit. Di satu sisi, Evan adalah sosok yang ia kagumi sejak lama. Tapi di sisi lain, Leonard meskipun arogan dan menyebalkan sering menunjukkan perhatian kecil yang sulit diabaikan.
"Kenapa semuanya jadi seperti ini?" gumam Lyra pelan, menatap bayangannya di cermin.
Keesokan harinya, suasana di sekolah semakin memanas. Evan mulai menunjukkan usahanya untuk mendekati Lyra secara terang-terangan. Ia sering menunggu Lyra di depan kelas, mengajaknya berbicara di taman, dan bahkan menawarkan diri untuk membantunya dengan tugas.
Leonard, di sisi lain, terus memperhatikan semua itu dengan diam-diam. Setiap kali ia melihat Evan bersama Lyra, perasaan tidak nyaman itu semakin besar.
Saat jam istirahat, Leonard akhirnya tidak tahan lagi. Ia menghampiri Evan yang sedang berbicara dengan Lyra di taman.
"Kau terlalu berlebihan, Evan," kata Leonard tanpa basa-basi.
Evan menoleh, menatap Leonard dengan tajam. "Apa maksudmu?"
"Kau membuat Lyra merasa tertekan," jawab Leonard. "Kau pikir dia senang dengan semua perhatianmu?"
Evan tersenyum tipis. "Setidaknya aku berani menunjukkan perasaanku. Tidak seperti seseorang yang bahkan tidak tahu apa yang dia rasakan."
Leonard terdiam sesaat, tapi kemudian balas menatap Evan dengan dingin. "Aku hanya tidak ingin kau mengganggunya."
Lyra yang berdiri di antara mereka merasa semakin bingung. "Kalian berdua, cukup! Aku tidak butuh kalian untuk berdebat seperti ini."
Namun, sebelum Lyra bisa pergi, Evan berkata dengan suara tegas, "Aku suka padamu, Lyra. Dan aku akan terus berusaha untuk mendapatkan hatimu."
Leonard mengepalkan tangan, tapi ia menahan diri untuk tidak berkata apa-apa. Dalam hatinya, ada perasaan aneh yang mulai tumbuh.
"Aku tidak peduli apa yang kau rasakan," gumam Leonard pelan, tapi cukup keras untuk didengar Lyra dan Evan. "Tapi aku tidak akan membiarkanmu membuat hidupnya lebih rumit."
⚜️
Langit sore yang cerah tak seindah biasanya bagi Lyra. Ia duduk di ruang keluarga bersama keluarganya dan keluarga Leonard, mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan kedua orang tua mereka.
"Pernikahan akan dilangsungkan minggu depan," kata Tuan Sinclair dengan nada tegas.
Lyra langsung menoleh, terkejut. "Minggu depan?! Bukankah ini terlalu cepat?"
"Semakin cepat semakin baik," tambah Tuan Ashford dengan nada yang sama. "Kami tidak ingin membiarkan rumor atau ketidakpastian merusak reputasi keluarga."
Leonard, yang duduk dengan wajah datar di seberang Lyra, menghela napas panjang. "Apakah tidak ada cara lain untuk menyelesaikan ini tanpa harus menikah?"
"Ada, tapi tidak ada yang sebaik ini," jawab Nyonya Ashford dengan lembut. "Ini demi kebaikan kalian berdua."
Lyra menunduk, menggigit bibirnya. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Semua upaya untuk menolak pernikahan ini sudah gagal. Bahkan rencana-rencana kecil yang ia dan Leonard buat sebelumnya berakhir dengan kebuntuan.
⚜️
Malam itu, Lyra duduk di kamarnya, menatap gaun putih yang baru saja dikirim oleh desainer keluarga. Gaun itu indah, dengan detail renda yang rumit dan kristal berkilauan. Namun, bagi Lyra, gaun itu terasa seperti simbol dari masa depan yang tak pernah ia pilih.
"Kenapa harus seperti ini?" gumamnya pelan sambil menyentuh gaun itu.
Ponselnya bergetar di meja, menampilkan nama Leonard di layar. Lyra ragu sejenak sebelum menjawab.
"Ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Aku baru saja dapat jadwal untuk pemotretan prewedding besok," suara Leonard terdengar datar di ujung telepon. "Kita harus bertemu pukul sembilan pagi di studio."
"Pemotretan?" Lyra hampir tidak percaya. "Mereka bahkan sudah menyiapkan itu tanpa bertanya pada kita?"
"Tentu saja," Leonard terdengar sarkastik. "Kita ini hanya pemeran utama yang tidak punya kendali atas skenario."
Lyra menghela napas. "Baiklah. Aku akan datang."
⚜️
Keesokan harinya, Lyra dan Leonard tiba di studio foto yang sudah dihias dengan dekorasi mewah. Beberapa kru sibuk menyiapkan peralatan, sementara seorang stylist mendekati mereka dengan senyum lebar.
"Kalian berdua pasangan yang luar biasa serasi," katanya sambil mengarahkan Lyra ke ruang ganti.
Leonard hanya mendengus pelan, sementara Lyra merasa ingin menghilang dari tempat itu.
Beberapa jam berikutnya dihabiskan dengan berbagai sesi foto. Mereka harus berpura-pura tersenyum, saling menatap dengan penuh cinta, dan bahkan berpegangan tangan.
"Lebih dekat lagi," perintah fotografer, membuat Lyra dan Leonard terpaksa mendekatkan wajah mereka.
Lyra merasa pipinya memanas, sementara Leonard tetap memasang ekspresi dingin. Namun, di balik sikap acuhnya, ada detak jantung yang sedikit lebih cepat dari biasanya.
⚜️
Saat pemotretan selesai, Lyra langsung melepaskan sepatu hak tinggi yang menyiksa kakinya. Leonard menghampirinya dengan sebotol air mineral.
"Minumlah," katanya singkat, menyerahkan botol itu.
Lyra memandangnya dengan ragu sebelum akhirnya menerima botol tersebut. "Terima kasih."
"Aku tidak ingin kau pingsan dan membuat ini semakin rumit," tambah Leonard, mencoba menutupi perhatiannya.
Lyra hanya mengangguk kecil. Meskipun mereka sering bertengkar, ada momen-momen kecil seperti ini yang membuatnya bingung dengan sikap Leonard.
⚜️
Hari-hari berikutnya diisi dengan persiapan lainnya. Mereka harus mencoba berbagai pakaian, mencicipi menu untuk resepsi, dan menghadiri pertemuan keluarga yang tak ada habisnya.
Di sela-sela itu semua, Evan terus mencoba mendekati Lyra. Ia bahkan muncul di depan rumah Lyra suatu malam, membawa sebuket bunga.
"Aku tahu ini bukan waktu yang tepat," kata Evan dengan senyum canggung karena ia mengetahui rencana pernikahan Lyra. "Tapi aku tidak bisa diam saja melihatmu melalui semua ini."
"Evan, aku..." Lyra merasa serba salah. "Ini semua sudah di luar kendaliku."
"Tapi aku bisa membantumu," kata Evan dengan serius. "Jika kau ingin lari dari semua ini, aku akan membantumu."
Sebelum Lyra bisa menjawab, suara Leonard terdengar dari belakang mereka. "Apa yang kau lakukan di sini, Evan?"
Evan berbalik, menatap Leonard dengan tajam. "Aku datang untuk Lyra. Kau tidak punya hak untuk melarangku."
Leonard mendekat, berdiri di antara Evan dan Lyra. "Dia tidak butuh bantuanmu. Kau hanya membuat semuanya semakin rumit."
"Aku hanya ingin dia bahagia," balas Evan dengan suara tegas.
Leonard menatapnya dingin. "Dan kau pikir aku tidak peduli pada kebahagiaannya?"
Lyra merasa situasi semakin tidak terkendali. "Cukup, kalian berdua!" serunya, mencoba menghentikan perdebatan mereka.
Namun, sebelum semuanya berakhir, Evan berkata dengan nada penuh tekad, "Aku tidak peduli dengan pernikahan ini. Aku akan tetap berjuang untukmu, Lyra."
Lyra tidak tahu harus berkata apa. Sementara itu, Leonard hanya menatap Evan dengan ekspresi sulit ditebak, lalu menggandeng tangan Lyra dan membawanya masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa.
⚜️
Malam itu, Lyra duduk di kamarnya, memandangi bulan di luar jendela. Pikirannya penuh dengan kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau bagaimana menghadapi perasaan yang semakin rumit ini.
Di kamar sebelah, Leonard juga terjaga, merenungkan perasaan aneh yang mulai tumbuh di hatinya.
⚜️
Malam itu di rumah Lyra terasa begitu sunyi, namun pikirannya begitu gaduh. Setelah kejadian dengan Evan dan Leonard, Lyra merasa semua yang terjadi terlalu berat untuk dihadapi. Pikirannya kembali memutar kata-kata Evan, "Aku tidak peduli dengan pernikahan ini. Aku akan tetap berjuang untukmu."
Di sisi lain, sikap Leonard yang begitu dingin namun tiba-tiba menjadi pelindung juga membuat Lyra semakin bingung. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, mengenakan piyama sederhana, tetapi tatapannya tampak sayu.
"Apa yang sebenarnya aku rasakan? Apakah aku benar-benar ingin semua ini terjadi?" pikirnya, lalu menghela napas panjang.
Keesokan harinya, Lyra bangun lebih pagi dari biasanya. Pikirannya masih penuh dengan bayangan Evan dan Leonard. Ketika ia turun ke ruang makan, ia mendapati ibunya tengah berbincang dengan seorang wedding planner.
"Lyra, kemari," panggil Nyonya Sinclair sambil melambaikan tangan. "Ini Ny. Rivera, dia yang akan mengurus semua detail pernikahanmu."
Lyra hanya tersenyum tipis dan mendekat. Ny. Rivera adalah wanita paruh baya dengan penampilan elegan. Ia menyodorkan beberapa katalog berisi dekorasi, bunga, hingga susunan acara.
"Kami ingin semuanya sempurna, jadi aku butuh keputusan dari kedua mempelai," kata Ny. Rivera.
Lyra hanya mengangguk pelan. Ia membuka katalog itu dengan malas, merasa tak ada gunanya ikut memilih apa pun untuk sesuatu yang tidak ia inginkan.
Di saat yang sama, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Leonard muncul di layar:
"Jangan lupa fitting baju hari ini. Jangan terlambat."
Lyra mendengus kesal, merasa Leonard hanya memikirkan kewajiban mereka tanpa memperhatikan perasaannya. Namun, ia tahu ia tidak punya pilihan selain mengikuti semua ini.
Beberapa jam kemudian, Lyra dan Leonard bertemu di sebuah butik mewah yang khusus menyediakan pakaian pengantin. Leonard sudah tiba lebih dulu, mengenakan kemeja putih yang membuatnya tampak semakin dingin dan tak terjangkau.
"Kau terlambat," katanya datar saat Lyra masuk.
Lyra mengerutkan kening. "Aku hanya terlambat lima menit. Jangan terlalu berlebihan."
Leonard tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke arah ruangan tempat Lyra akan mencoba gaunnya. "Mereka sudah menunggumu."
Lyra masuk ke ruang ganti dengan perasaan bercampur aduk. Saat ia mengenakan gaun putih yang disiapkan khusus untuknya, ia merasa seperti berada di dunia yang bukan miliknya. Cermin besar di depannya memantulkan sosok yang tampak sempurna, tetapi hatinya terasa kosong.
Ketika ia keluar dari ruang ganti, Leonard, yang tengah duduk sambil memeriksa ponselnya, langsung mengangkat kepala. Sekilas, mata dinginnya terlihat tertegun.

"Kau..." Leonard terdiam sejenak sebelum mengalihkan pandangannya. "Gaunnya cocok untukmu."
Lyra memutar matanya. "Itu saja yang bisa kau katakan?"
"Apa lagi yang kau harapkan?" Leonard berdiri, lalu berjalan mendekatinya. "Kau terlihat seperti pengantin yang sempurna. Tapi jangan berharap aku mengatakan hal-hal romantis."
Lyra mendengus. "Kau benar-benar tidak tahu caranya bersikap manis, ya?"
"Aku tidak butuh itu," jawab Leonard singkat sambil melangkah ke ruang ganti untuk mencoba jasnya.
⚜️
Sementara itu, di tempat lain, Evan duduk di sebuah kafe, menatap cangkir kopinya dengan tatapan kosong. Pikirannya terus memikirkan Lyra. Ia tahu apa yang ia lakukan semalam adalah tindakan nekat, tetapi ia tidak bisa membiarkan perasaan itu terpendam lebih lama.
Saat itulah sahabatnya, Nathan, datang dan duduk di depannya. "Kau terlihat seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang berharga."
Evan menghela napas. "Bukan sesuatu, tapi seseorang."
"Lyra lagi?" tebak Nathan sambil mengaduk kopinya.
Evan mengangguk. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Dia akan menikah, tapi aku tidak bisa menyerah begitu saja."
Nathan mengangkat alis karna ia adalah salah satu keluarga yang setara dan tau rencana keluarga Lyra dan Leo jadi ia tau bahwa pilihan evan itu sulit. "Kau serius? Bukankah pernikahan itu sudah diatur oleh keluarganya? Kau tidak bisa melawan tradisi mereka."
"Aku tidak peduli," jawab Evan tegas. "Aku akan mencoba selama aku masih punya kesempatan."
Nathan hanya menggelengkan kepala, merasa Evan terlalu keras kepala.
Sore harinya, Lyra dan Leonard menghadiri pertemuan keluarga besar untuk membahas detail resepsi. Di tengah perbincangan tentang daftar tamu dan susunan acara, Lyra merasa seolah-olah dirinya hanyalah boneka yang dipindahkan ke sana kemari tanpa pernah ditanya pendapatnya.
Ketika pertemuan selesai, Lyra memutuskan untuk keluar sebentar untuk menghirup udara segar. Ia berdiri di balkon, menatap langit yang mulai gelap.
"Melamun lagi?" suara Leonard tiba-tiba terdengar di belakangnya.
Lyra menoleh. "Aku hanya butuh waktu sendiri. Apakah itu masalah bagimu?"
Leonard bersandar di dinding, menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. "Tidak. Tapi kau sebaiknya tidak terlalu lama tenggelam dalam pikiranmu. Itu hanya akan membuatmu semakin frustrasi."
Lyra mendesah. "Kau tidak mengerti. Kau selalu terlihat begitu tenang, seolah-olah kau tidak peduli dengan semua ini."
"Kau salah," kata Leonard pelan. "Aku peduli. Tapi aku tahu bahwa mengeluh tidak akan mengubah apa pun."
Lyra menatapnya dengan mata yang penuh kebingungan. Ia ingin membalas, tetapi kata-kata Leonard membuatnya terdiam.
Di tengah kebisuan mereka, Leonard berkata lagi, "Aku tahu ini sulit. Tapi kita tidak punya pilihan. Jadi, setidaknya kita bisa mencoba untuk melalui ini bersama."
Lyra tidak tahu apakah itu adalah bentuk perhatian atau sekadar pragmatisme Leonard. Namun, kata-kata itu memberinya sedikit kekuatan untuk menghadapi hari-hari berikutnya.
⚜️
Setelah pertemuan keluarga besar selesai, Lyra merasa tubuhnya lelah. Bukan karena aktivitas fisik, melainkan tekanan mental yang terus-menerus menghantuinya. Sambil berjalan menuju mobil keluarganya, ia terkejut mendapati Leonard sudah menunggu di depan pintu mobil.
“Kau butuh tumpangan?” tanyanya singkat.
Lyra mengerutkan dahi. “Bukankah aku punya mobil sendiri?”
Leonard memutar bola matanya. “Mobilmu sedang dipakai. Cepat masuk, aku tak punya waktu seharian untuk menunggumu.”
Dengan enggan, Lyra masuk ke dalam mobil Leonard. Sepanjang perjalanan, suasana terasa canggung. Leonard memusatkan perhatian pada jalanan, sementara Lyra sibuk menatap keluar jendela, berharap menemukan pelarian dari situasi yang ia hadapi.
“Apa kau selalu begini?” tanya Leonard tiba-tiba.
“Begini bagaimana?” balas Lyra tanpa menoleh.
“Menjauh dari masalah alih-alih menghadapinya.”
Lyra mendesah, akhirnya menatap Leonard. “Kau tidak mengerti. Aku tidak pernah meminta semua ini. Aku hanya mencoba bertahan.”
Leonard melirik Lyra sejenak sebelum kembali fokus ke jalan. “Kau pikir aku menginginkan ini? Kita berdua sama-sama terjebak, Lyra. Tapi aku tidak akan membiarkan ini mengontrol hidupku.”
“Kau selalu terlihat tenang dan tidak peduli. Bagaimana kau bisa melakukannya?” tanya Lyra, suaranya hampir seperti bisikan.
Leonard tertawa kecil, tetapi tanpa humor. “Aku tidak tenang, aku hanya tahu bagaimana menyembunyikannya. Kalau kau pikir aku tidak peduli, kau salah.”
Lyra tertegun, tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, mobil berhenti di depan rumahnya. Leonard menoleh padanya. “Kita punya fitting kedua besok. Jangan terlambat.”
Lyra keluar dari mobil tanpa membalas, tetapi kata-kata Leonard terus terngiang di benaknya.
Malam itu, Lyra mencoba mengalihkan pikirannya dengan belajar. Namun, fokusnya terus terpecah. Ketukan di pintu kamarnya mengalihkan perhatiannya.
“Masuk,” ucap Lyra.
Pintu terbuka, dan ibunya masuk dengan senyum hangat. “Kau baik-baik saja, sayang?”
Lyra mengangguk kecil. “Ya, Bu. Hanya lelah.”
Nyonya Sinclair duduk di tepi ranjangnya. “Aku tahu ini tidak mudah untukmu, tapi kau harus percaya bahwa ini adalah yang terbaik. Keluarga Ashford adalah mitra penting bagi kita. Pernikahan ini akan membawa manfaat besar untuk semua orang.”
“Bagaimana dengan aku, Bu?” tanya Lyra, matanya mulai berkaca-kaca. “Apakah kebahagiaanku tidak penting?”
Ibunya terdiam sejenak sebelum menggenggam tangan Lyra. “Kebahagiaanmu penting, sayang. Tapi terkadang, kita harus mengorbankan sedikit demi sesuatu yang lebih besar.”
Lyra hanya menunduk, tak ingin menunjukkan air matanya. Setelah ibunya pergi, Lyra merasakan sesak yang tak tertahankan. Ia mengambil ponselnya dan tanpa sadar membuka pesan terakhir dari Evan.
“Aku akan berjuang untukmu.”
Pesan itu membuat Lyra tersenyum pahit. Bagaimana Evan bisa begitu yakin sementara ia sendiri merasa begitu ragu?
⚜️
Keesokan harinya, Lyra kembali bertemu Leonard untuk fitting kedua. Kali ini, suasananya sedikit berbeda. Ada lebih banyak orang di butik, termasuk beberapa anggota keluarga mereka yang ikut memberi masukan.
Saat Lyra mencoba gaun kedua, ia mendengar Leonard berdebat dengan seorang desainer tentang detail jasnya.
“Aku tidak peduli soal hiasan itu. Aku hanya ingin jas yang nyaman,” kata Leonard dengan nada tegas.
“Leonard, ini adalah pernikahanmu. Detail penting!” balas desainer itu.
Lyra tak bisa menahan senyum kecil melihat betapa seriusnya Leonard memperdebatkan hal kecil seperti itu. Namun, senyumnya pudar ketika ia melihat seseorang masuk ke butik Evan.
“Evan?” Lyra terkejut.
Evan mendekat dengan senyum lembut. “Maaf, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”

Leonard, yang baru saja selesai dengan diskusinya, langsung menyadari kehadiran Evan. Ekspresinya mengeras. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Evan menatap Leonard dengan tenang. “Aku ingin memastikan Lyra tidak terlalu terbebani.”
“Kau tidak punya hak untuk mencampuri urusan ini,” balas Leonard dingin.
Lyra berdiri di antara mereka, mencoba meredakan ketegangan. “Sudah cukup. Evan, aku menghargai perhatianmu, tapi aku bisa mengurus diriku sendiri.”
Evan menatap Lyra, matanya penuh dengan keprihatinan. “Kau tahu aku ada di sini jika kau butuh seseorang.”
Leonard mendengus. “Dia tidak butuh dirimu. Jadi sebaiknya kau pergi.”
Evan menatap Leonard tajam. “Kau mungkin calon suaminya, tapi aku tidak akan mundur. Aku suka Lyra.”
Kata-kata itu membuat suasana hening. Lyra terkejut, sementara Leonard tampak tenang di luar, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang berbeda.
“Kalau kau memang suka dia, kau seharusnya tahu kapan harus mundur,” kata Leonard akhirnya, suaranya lebih tenang dari yang diharapkan.
Evan mengepalkan tangan, tetapi memilih untuk pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Setelah ia pergi, Lyra menatap Leonard dengan bingung.
“Kenapa kau mengatakan itu?” tanya Lyra.
Leonard hanya mengangkat bahu. “Dia mengganggu. Itu saja.”
Namun, di dalam hatinya, Leonard tahu ada sesuatu yang berubah. Entah kenapa, ia tidak suka melihat Lyra bersama Evan. Tetapi ia masih terlalu keras kepala untuk mengakui perasaan itu, bahkan pada dirinya sendiri.
Malam itu, Lyra merasa lelah secara emosional. Ia duduk di balkon kamarnya, menatap bintang-bintang di langit. Dalam hatinya, ia tahu pernikahan ini semakin dekat, tetapi ia masih tidak yakin bagaimana ia akan melalui semuanya.
Sementara itu, di kamarnya, Leonard juga tidak bisa tidur. Ia berdiri di dekat jendela, menatap bulan yang sama seperti Lyra. Tanpa sadar, pikirannya kembali pada wajah Lyra ketika ia mencoba gaun pengantin.
“Kenapa aku harus peduli?” gumam Leonard pada dirinya sendiri. Namun, pertanyaan itu tetap tak terjawab.
⚜️
Hari yang tak diinginkan itu akhirnya tiba. Segala persiapan telah selesai. Gaun putih Lyra tergantung rapi di dalam lemari kaca, berkilau sempurna di bawah cahaya lampu. Di sisi lain, Leonard duduk di kamarnya dengan ekspresi datar, mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat lebih dewasa dan berwibawa. Namun, di balik wajah tenangnya, pikirannya berantakan.
Pagi itu, rumah keluarga Sinclair sibuk. Karyawan lalu-lalang mempersiapkan segala sesuatu. Para tamu mulai berdatangan, meski pernikahan ini bersifat eksklusif dan hanya dihadiri keluarga serta sahabat terdekat. Tidak ada yang tahu bahwa dua anak muda ini menikah bukan atas kehendak mereka.
Lyra duduk di depan meja riasnya, wajahnya dipoles sempurna oleh seorang penata rias profesional. Namun, matanya tampak kosong, menatap bayangannya sendiri tanpa ekspresi.

"Cantik sekali," puji ibunya yang tiba-tiba masuk ke kamar.
"Terima kasih, Bu," jawab Lyra pelan.
Nyonya Sinclair mendekat, menggenggam tangan putrinya. "Aku tahu ini tidak mudah, sayang. Tapi percayalah, semua ini akan baik-baik saja."
Lyra hanya tersenyum tipis. Ia sudah lelah mendengar kalimat yang sama berulang kali.
⚜️
Di sisi lain, Leonard berada di ruang tamu bersama ayahnya, Tuan Ashford.
"Kau sudah siap?" tanya Tuan Ashford.
Leonard mengangguk pelan. "Siap atau tidak, pernikahan ini tetap harus terjadi, kan?"
Ayahnya tersenyum tipis. "Kau memang anakku. Tahan saja untuk sekarang, Leonard. Kau akan terbiasa nanti."
Leonard hanya diam, tidak berniat membantah. Ia tahu melawan hanya akan memperumit keadaan.
⚜️
Saat matahari mulai condong ke barat, Lyra dibawa ke lokasi pernikahan. Sebuah aula mewah yang dihiasi dengan bunga putih dan lilin kristal menjadi saksi bisu pernikahan ini. Semua tampak sempurna di mata para tamu, tetapi bagi Lyra, setiap langkahnya menuju altar terasa seperti mimpi buruk.

Ia berdiri di ujung lorong, tangan menggenggam lengan ayahnya. Di depan sana, Leonard sudah menunggunya, berdiri dengan angkuh di bawah altar. Pandangan mereka bertemu sesaat, dan entah kenapa, Lyra merasa ada sesuatu yang berbeda di mata Leonard.
Ayahnya membisikkan sesuatu sebelum menyerahkan tangan Lyra pada Leonard. "Jadilah istri yang baik, nak."

Saat tangan mereka bersentuhan, Lyra merasakan telapak tangan Leonard yang dingin. Ia menatap Leonard dengan gugup, tetapi Leonard hanya mengangguk kecil, seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
⚜️
Upacara dimulai. Kata-kata dari pendeta terasa seperti dentuman di kepala Lyra. Ia mendengar janji-janji yang harus diucapkannya, tetapi suaranya hampir tak keluar ketika gilirannya tiba.
"Apakah Anda, Lyra Sinclair, bersedia menerima Leonard Ashford sebagai suami Anda?"
Lyra menggigit bibirnya. Matanya melirik Leonard, yang kini menatapnya dengan serius. Ia tidak punya pilihan.
"Ya, saya bersedia," jawabnya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan.
Begitu juga dengan Leonard, yang dengan suara tegas menyatakan kesediaannya. Semua orang bertepuk tangan saat keduanya resmi menjadi suami-istri.
Namun, di balik senyum palsu yang mereka tunjukkan kepada tamu, hanya mereka berdua yang tahu betapa berat beban yang kini mereka tanggung.
⚜️
Setelah upacara selesai, Lyra dan Leonard duduk bersama di meja utama untuk menyapa para tamu. Setiap senyuman yang mereka berikan terasa seperti beban tambahan.
"Kau terlihat seperti ingin kabur," bisik Leonard di sela-sela acara.
Lyra meliriknya dengan tajam. "Dan kau terlihat seperti menikmatinya."
Leonard hanya tertawa kecil. "Percayalah, aku tidak menikmatinya."
Beberapa tamu mulai memberikan ucapan selamat. Di antara mereka, Lyra melihat Evan. Hatinya langsung mencelos. Ia tahu Evan pasti terluka melihatnya seperti ini.
Evan berjalan mendekat, membawa hadiah kecil. "Selamat, Lyra," katanya dengan suara yang tenang, meskipun matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam.
"Terima kasih," jawab Lyra singkat, merasa hatinya semakin berat.
Leonard, yang menyadari kehadiran Evan, memasang ekspresi datar. Ia menatap Evan dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kau datang juga."
"Tentu saja," balas Evan, menahan emosinya. "Aku tidak akan melewatkan momen penting seperti ini."
⚜️
Saat malam tiba, Lyra dan Leonard akhirnya bisa bernafas lega. Acara selesai, dan mereka diantar ke sebuah kamar yang telah disiapkan untuk malam pertama mereka sebagai pasangan suami-istri.
Begitu pintu tertutup, Lyra langsung melepas sepatu hak tingginya dan duduk di tepi ranjang dengan lelah. Leonard, yang masih mengenakan jasnya, bersandar di dinding sambil melipat tangan.
"Aku tidak percaya ini benar-benar terjadi," gumam Lyra.
Leonard menatapnya sejenak sebelum berjalan mendekat. Ia duduk di kursi di dekat ranjang, menatap Lyra dengan ekspresi serius. "Aku tahu ini berat untukmu, tapi aku ingin kita membuat ini seprofesional mungkin."
Lyra mengerutkan kening. "Profesional? Kau bicara seolah ini bisnis."
"Karena memang begitulah adanya," balas Leonard. "Kita punya kesepakatan, Lyra. Aku tidak akan mencampuri hidupmu, dan kau juga tidak akan mencampuri hidupku. Kita hanya perlu menjalani ini tanpa drama."
Lyra terdiam. Ia tahu Leonard benar, tetapi tetap saja, hatinya terasa kosong.
"Kita akan baik-baik saja," kata Leonard lagi, suaranya lebih lembut kali ini. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu. Kau punya jaminan itu dariku."
Untuk pertama kalinya, Lyra merasa sedikit lega. Meskipun ia tahu pernikahan ini jauh dari sempurna, setidaknya Leonard tidak seburuk yang ia bayangkan.
⚜️
Malam itu terasa seperti mimpi buruk yang nyata bagi Lyra. Setelah acara pernikahan selesai, ia dan Leonard dibawa ke ruangan yang lebih kecil, di mana hanya keluarga dekat mereka yang hadir. Di ruangan itu, kedua keluarga tampak serius, seolah ada urusan yang lebih besar daripada sekadar perayaan.
Tuan Ashford meletakkan sebuah dokumen di meja. Dokumen itu tebal, dengan beberapa halaman yang penuh dengan tulisan hukum.
"Kami ingin memastikan kalian berdua memahami tanggung jawab ini," katanya dengan nada tegas.
Lyra melirik Leonard, yang tetap tenang seperti biasanya. Ia tahu apa pun yang tertulis di dokumen itu pasti akan mengikat mereka lebih kuat lagi.
"Ini adalah perjanjian formal pernikahan kalian," lanjut Tuan Ashford. "Kami ingin ini menjadi hubungan yang teratur. Tidak ada yang boleh keluar dari jalurnya."
Lyra merasakan hatinya mencelos. "Apa maksudnya dengan keluar dari jalur?" tanyanya pelan.
"Artinya," jawab Tuan Sinclair, ayahnya, "tidak ada skandal. Tidak ada perceraian yang memalukan keluarga. Dan tidak ada tindakan yang merusak reputasi kalian."
Leonard menghela napas panjang. Ia meraih dokumen itu dan mulai membacanya. "Jadi, ini semacam kontrak?" tanyanya, setengah mengejek.
"Itu lebih dari sekadar kontrak," balas Tuan Ashford. "Ini adalah jaminan bahwa pernikahan ini berjalan dengan baik."
Lyra mengambil dokumen itu dari tangan Leonard dan membacanya. Ada banyak poin yang tertulis, seperti larangan mengungkap pernikahan ini kepada publik tanpa persetujuan keluarga, pembagian tugas dan tanggung jawab, serta klausul bahwa mereka harus tinggal bersama di sebuah apartemen yang telah disediakan oleh keluarga Ashford.
"Apartemen?" Lyra mengangkat alis.
"Ya," jawab ibunya. "Kalian akan tinggal di sana untuk menunjukkan bahwa pernikahan ini sah dan nyata. Namun, kalian bebas mengatur kehidupan pribadi kalian selama tidak melanggar perjanjian ini."
Leonard melirik Lyra. "Kau keberatan?"
Lyra menggigit bibirnya. "Ini terlalu banyak, terlalu cepat. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk ini."
"Kita tidak punya pilihan, Lyra," kata Leonard pelan. "Jika kita menolak, ini akan menjadi bencana bagi keluarga kita."
Setelah beberapa menit hening, Lyra akhirnya mengangguk. Ia tahu bahwa pernikahan ini sudah tidak bisa dihindari.
"Baiklah," katanya dengan suara lemah.
Leonard menarik napas panjang sebelum menandatangani dokumen itu. Lyra mengikuti, meskipun tangannya sedikit gemetar.
Malam itu, mereka kembali ke kamar pengantin mereka. Tidak ada kemeriahan, tidak ada romantisme. Hanya keheningan canggung yang memenuhi ruangan.
Leonard duduk di sofa, sementara Lyra berdiri di depan meja kecil, menatap dokumen yang baru saja mereka tandatangani.
"Kita benar-benar terjebak dalam hal ini," gumam Lyra.
Leonard menatapnya dari kejauhan. "Dengar, aku tahu ini bukan yang kau inginkan. Tapi kita bisa membuat ini lebih mudah."
Lyra berbalik menatapnya. "Mudah? Kau pikir ini mudah?"
"Aku tidak bilang ini mudah," balas Leonard dengan nada tenang. "Aku hanya bilang kita bisa membuat aturan kita sendiri. Sesuatu yang bisa membantu kita bertahan tanpa harus saling menghancurkan."
Lyra mengernyit. "Maksudmu, semacam perjanjian?"
Leonard mengangguk. Ia meraih sebuah kertas kosong dan mulai menulis sesuatu. Setelah beberapa saat, ia menyerahkan kertas itu pada Lyra.
Perjanjian Leonard & Lyra:
Tidak ada yang boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing.
Hubungan ini bersifat formal dan hanya untuk memenuhi perjanjian keluarga.
Tidak ada pihak yang boleh melibatkan perasaan dalam hubungan ini.
Jika salah satu pihak membutuhkan bantuan, pihak lain harus membantu tanpa pertanyaan.
Tidak ada yang boleh tahu tentang pernikahan ini kecuali orang-orang terdekat.
Lyra membaca poin-poin itu dengan hati-hati. "Kau serius dengan ini?"
"Ini hanya untuk memastikan kita tidak membuat hidup masing-masing lebih sulit," jawab Leonard.
Lyra mendesah. Ia tahu bahwa perjanjian ini adalah solusi terbaik untuk saat ini. Ia mengambil pena dan menandatanganinya.
"Baiklah, kita punya kesepakatan," katanya akhirnya.
Leonard mengangguk. "Bagus. Dengan begitu, kita bisa hidup dengan sedikit lebih damai."
Namun, di dalam hati mereka masing-masing, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Meski mereka sepakat untuk tidak melibatkan perasaan, ada sesuatu yang mulai berubah. Sesuatu yang tidak mereka sadari, tetapi perlahan tumbuh di antara mereka.
⚜️
Setelah tanda tangan perjanjian selesai, Lyra merasa lelah luar biasa. Hari yang melelahkan ini telah merenggut seluruh energinya. Ia hanya ingin mandi air hangat dan melupakan semuanya, setidaknya untuk malam ini.
"Kalau kau mau mandi, aku akan tunggu di luar," ujar Leonard santai, sembari duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.
Lyra hanya mengangguk, malas berdebat. Ia mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi, mencoba melupakan semua drama yang baru saja terjadi.
Di dalam kamar mandi, Lyra mengisi bathtub dengan air hangat yang dipenuhi gelembung busa. Ia menambahkan beberapa tetes minyak aromaterapi untuk menenangkan pikirannya. Dengan earphone di telinga, ia memutar playlist favoritnya. Musik klasik mengalun lembut, menenangkan hatinya yang gundah.
"Setidaknya di sini aku bisa merasa tenang," gumamnya sambil memejamkan mata.
Lyra tenggelam dalam keheningan itu, hingga tanpa sadar, tubuhnya terasa semakin berat. Mata yang tadi hanya ingin beristirahat sejenak kini benar-benar terpejam. Ia ketiduran di bathtub dengan musik yang masih terputar di telinganya.
Sementara itu, Leonard mulai gelisah. Sudah hampir satu jam, dan Lyra belum juga keluar dari kamar mandi.
"Berapa lama lagi dia di dalam?" gerutunya sambil melirik pintu kamar mandi. "Apa dia tertidur di sana?"
Leonard bangkit dari sofa dan berjalan mendekati pintu kamar mandi. Ia mengetuk pintu dengan ringan. "Lyra? Kau masih di sana?" tanyanya, mencoba terdengar sabar.
Tidak ada jawaban.
"Lyra?" Leonard mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Tetap tidak ada jawaban.
Panik mulai menguasainya. Berbagai kemungkinan buruk muncul di pikirannya. Apa dia terpeleset? Atau pingsan? Leonard menggerutu dan tanpa berpikir panjang, ia memutar kenop pintu.
Pintu tidak terkunci.
"Astaga, dia bahkan lupa mengunci pintu," gumamnya sebelum masuk.
Begitu pintu terbuka, Leonard langsung melihat Lyra terendam di bathtub, kepalanya bersandar di tepi, dengan earphone masih terpasang di telinganya. Ia tampak seperti sedang tidur nyenyak.
Leonard berjalan mendekat, memastikan bahwa Lyra baik-baik saja. "Hei, Lyra," panggilnya sambil menggoyang pelan bahunya. Tapi Lyra tidak merespons.
"Lyra, bangun!" katanya lebih keras, tetapi tetap tidak ada reaksi.
Panik mulai menjalar. Leonard berpikir, apa dia kelelahan sampai pingsan? Tanpa pikir panjang, ia menyingsingkan lengan bajunya dan mencoba mengangkat tubuh Lyra dari air.
Namun, Leonard tidak memperhitungkan lantai kamar mandi yang licin. Ketika ia menarik tubuh Lyra, kakinya terpeleset.
Bruak!
Leonard terjatuh ke lantai, dengan Lyra yang ikut tersentak dan akhirnya terbangun karena benturan kecil itu.
"Aduh... apa yang" Lyra membuka matanya, dan pandangannya langsung tertuju pada Leonard yang kini setengah basah, dengan posisi yang sangat canggung.
Matanya membelalak saat menyadari tubuhnya yang hanya tertutup busa. "Kau... KENAPA KAU DI SINI?!"
"Hei, aku hanya mencoba menyelamatkanmu!" balas Leonard, berusaha bangkit.
"Selamatkan?!" Lyra langsung mengambil handuk kecil di dekatnya dan menutupi tubuhnya. Wajahnya memerah seperti tomat. "Kau mengintipku! Dasar mesum!"
Leonard mengangkat tangan, mencoba membela diri. "Aku tidak mengintip! Aku pikir kau pingsan! Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja!"
Lyra tidak peduli. Dengan wajah penuh amarah dan malu, ia menampar Leonard dengan keras. "Keluar! SEKARANG!"
Leonard memegang pipinya yang memerah karena tamparan itu. Namun, alih-alih marah, ia malah menahan tawa.
"Kau ini aneh sekali," gumamnya sambil berjalan keluar dari kamar mandi.
Di luar kamar mandi, Leonard duduk di sofa, sambil mengeringkan rambutnya yang sedikit basah. Meski baru saja ditampar, ia tidak bisa menahan senyum.
"Dia benar-benar lucu," gumamnya pelan, tanpa sadar.
Meski Lyra selalu bersikap dingin padanya, Leonard mulai melihat sisi lain dari gadis itu. Wajahnya yang memerah, ekspresinya yang bingung, bahkan amarahnya yang terlihat seperti anak kecil semuanya membuat Leonard merasa tertarik, meski ia tidak ingin mengakuinya.
Di dalam kamar mandi, Lyra masih berusaha menenangkan dirinya. Ia merasa malu setengah mati. "Astaga, kenapa ini harus terjadi?" gumamnya sambil memegang wajahnya yang merah.
Namun, di balik rasa malunya, ada sesuatu yang lain. Sebuah perasaan aneh yang mulai tumbuh, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
⚜️
Malam itu, suasana di kamar mereka terasa canggung. Setelah kejadian di kamar mandi, Lyra hampir tidak berani menatap Leonard. Wajahnya masih memerah, dan setiap kali ia mengingat insiden itu, ia ingin sekali menghilang dari muka bumi.
Di sisi lain, Leonard tampak santai seperti biasa. Ia duduk di sofa sambil memainkan ponselnya, namun sesekali ia melirik ke arah Lyra yang duduk dengan posisi memunggunginya di meja belajar.
"Aku masih tidak percaya," gumam Lyra pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Leonard, yang punya pendengaran tajam, langsung menimpali. "Tidak percaya apa? Bahwa aku menyelamatkanmu atau bahwa kau menamparku dengan sangat keras tadi?"
Lyra menoleh cepat, menatapnya dengan mata melotot. "Tentu saja aku menamparmu! Kau masuk ke kamar mandi tanpa izin!"
"Dan kau hampir tenggelam di bathtub!" Leonard membalas, suaranya terdengar santai. "Kalau aku tidak masuk, siapa yang tahu apa yang bisa terjadi? Kau bahkan tidak bangun ketika kupanggil."
Lyra terdiam sejenak, tahu bahwa Leonard ada benarnya. Tapi rasa malunya jauh lebih besar daripada logika. "Tetap saja, kau... kau melihat tubuhku!"
Leonard terkekeh mendengar tuduhannya. "Melihat tubuhmu? Jangan terlalu percaya diri, Lyra. Aku bahkan tidak melihat apa-apa karena busa-busa itu."
Wajah Lyra semakin merah. "Leonard Ashford! Kau benar-benar...!"
"Tapi..." Leonard memotong, tatapannya berubah menjadi sedikit jahil. "Kalau pun aku melihat, itu bukan salahku. Kau yang tidak mengunci pintu kamar mandi, Lyra. Itu kesalahan pemula."
Lyra merasa ingin melemparkan sesuatu ke arah pria itu. "Apa? Jadi ini salahku sekarang?!"
"Yah, sedikit salahmu," Leonard menjawab sambil mengangkat bahu, mencoba terlihat tidak peduli. Namun senyuman kecil di bibirnya menunjukkan bahwa ia menikmati reaksi Lyra.
Setelah beberapa saat hening, Lyra akhirnya bersuara lagi, kali ini dengan nada lebih serius. "Leonard, kita perlu membahas perjanjian kita."
Leonard meletakkan ponselnya, tertarik. "Oh? Apa yang mau kau bahas?"
Lyra menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. "Aku ingin kita menambahkan beberapa aturan. Aku tidak ingin kejadian seperti tadi terulang lagi. Kita harus menjaga batasan."
Leonard menatapnya dengan ekspresi datar. "Batasan? Kita sudah punya perjanjian. Jangan lupa, kau yang menamparku duluan, jadi aku rasa aku lebih berhak menuntut batasan."
"Itu bukan batasan! Itu... itu hanya reaksiku!" Lyra membela diri, merasa kesal karena Leonard selalu berhasil memutarbalikkan situasi.
"Baiklah," Leonard akhirnya berkata sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Katakan saja, batasan apa yang ingin kau tambahkan?"
Lyra mengusap dahinya, mencoba berpikir jernih. "Pertama, kita harus benar-benar menghormati privasi masing-masing. Tidak ada masuk ke kamar tanpa izin, apalagi ke kamar mandi."
"Masuk akal," Leonard setuju dengan anggukan kecil.
"Kedua," lanjut Lyra, "tidak ada interaksi fisik yang tidak perlu."
Leonard mengangkat alis. "Interaksi fisik? Maksudmu seperti menolongmu dari bathtub?"
Lyra mendengus kesal. "Itu pengecualian! Kau tahu maksudku, Leonard."
"Baiklah, baiklah," jawab Leonard dengan senyuman kecil. "Lanjutkan."
"Ketiga," Lyra melanjutkan dengan nada lebih tegas, "kita harus tetap profesional di depan orang lain. Tidak ada yang boleh tahu tentang pernikahan ini kecuali orang-orang terdekat."
"Setuju," Leonard menjawab cepat. "Aku juga tidak ingin seluruh sekolah tahu tentang ini."
Lyra mengangguk, merasa lega karena Leonard setidaknya setuju dengan poin itu. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, Leonard berbicara lagi.
"Tapi ada satu hal yang perlu kau ingat, Lyra," katanya dengan nada serius.
"Apa?" tanya Lyra, sedikit bingung.
Leonard menatapnya langsung, senyum jahil kembali menghiasi wajahnya. "Kau tadi bilang aku sudah melihat tubuhmu, kan? Sejujurnya... itu belum juga bisa disebut 'melihat.' Kalau kau ingin aku benar-benar melihat"
"LEONARD!" Lyra berteriak, wajahnya merah padam.
Leonard tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Lyra. Ia tahu ia terlalu jauh, tapi reaksi Lyra benar-benar membuatnya merasa terhibur.
"Tenang saja, Lyra," katanya sambil bangkit dari sofa. "Aku hanya bercanda."
"Bercanda atau tidak, itu sangat tidak sopan!" Lyra memprotes, tapi suaranya terdengar lebih seperti gumaman, karena ia terlalu malu untuk berkata lebih.
Leonard berjalan mendekatinya, berhenti tepat di belakang kursinya. "Hei," katanya dengan suara rendah, hampir berbisik. "Jangan terlalu serius. Kita sudah memulai ini bersama, jadi mari kita jalani saja dengan santai, oke?"
Lyra terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya mengangguk kecil, mencoba menghindari tatapan Leonard yang tiba-tiba terasa terlalu dekat.
Leonard tersenyum tipis sebelum melangkah pergi ke kasur. "Selamat malam, Lyra. Jangan terlalu lama memikirkan kejadian tadi. Aku tahu kau pasti akan mengingatnya sepanjang malam."
Lyra hanya bisa memandang punggung Leonard sambil mengepalkan tangan. "Dasar pria menyebalkan..." gumamnya, meski dalam hati, ia tahu bahwa kata-kata Leonard ada benarnya.
⚜️
Lyra masih terdiam Pikirannya penuh dengan insiden-insiden memalukan hari itu, dari kejadian di kamar mandi hingga candaan Leonard yang kelewat batas. Ia merasa wajahnya memanas lagi hanya karena mengingatnya.
“Tidak mungkin aku bisa tidur dengan tenang malam ini,” gumam Lyra pelan.
Setelah beberapa menit mencoba menenangkan diri, ia akhirnya berdiri dan melangkah menuju kasur ia terkejut melihat Leonard sudah berbaring di kasur besar.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Lyra dengan nada panik.
Leonard menoleh dengan ekspresi santai, seperti tidak ada yang salah. “Tidur. Apa lagi?”
“Tapi... ini kamarku juga!” Lyra menunjuk ke arah kasur.
“Dan kasurnya cukup besar untuk kita berdua,” Leonard menjawab tanpa rasa bersalah. “Lagipula, kau tidak keberatan, kan? Kita sudah menikah meskipun hanya di atas kertas.”
Lyra menggigit bibirnya, merasa marah sekaligus malu. “Aku keberatan!”
Leonard hanya terkekeh, menepuk sisi kosong di kasur. “Jangan drama, Lyra. Aku tidak akan menggigitmu. Kalau kau khawatir, kau bisa tidur di sisi lain. Aku janji tidak akan melintasi batas.”
Lyra menatapnya tajam, merasa tidak ada gunanya berdebat dengan pria itu. “Kalau kau macam-macam, aku tidak akan segan-segan menghajarmu,” ancamnya sebelum dengan enggan naik ke kasur.
Ia menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, membelakangi Leonard yang tampaknya sudah menutup matanya. Meski jarak mereka cukup jauh di atas kasur besar itu, Lyra tetap merasa tidak nyaman.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Lyra mencoba memejamkan mata, tapi pikirannya terus melayang. Suara napas teratur Leonard yang terdengar di belakangnya justru membuatnya semakin gelisah.
“Kenapa dia bisa tidur dengan mudah?” gumam Lyra pelan, terlalu pelan untuk didengar.
Tiba-tiba, suara Leonard memecah keheningan. “Karena aku tidak terlalu memikirkan hal-hal kecil seperti dirimu.”
Lyra langsung terkejut. Ia menoleh sedikit, menatap Leonard yang masih memejamkan mata tapi dengan senyuman kecil di bibirnya. “Kau menguping?!”
Leonard membuka matanya perlahan, menatap Lyra dengan ekspresi puas. “Aku hanya mendengar. Kau terlalu berisik untuk ukuran orang yang mencoba tidur.”
“Dasar menyebalkan...” Lyra memalingkan wajahnya lagi, mencoba mengabaikan Leonard. Tapi, hatinya terus berdetak lebih cepat dari biasanya.
Leonard terdiam untuk sesaat sebelum akhirnya berkata, dengan nada yang lebih serius, “Lyra, kau tidak perlu terlalu tegang. Aku tahu ini situasi yang tidak nyaman untukmu, tapi aku tidak akan melakukan apa pun yang melewati batas.”
Ucapan Leonard membuat Lyra terdiam. Ia tidak menyangka Leonard bisa mengatakan sesuatu yang terdengar tulus.
“Terima kasih,” jawab Lyra pelan, hampir seperti berbisik.
“Jangan terlalu memikirkannya,” balas Leonard dengan nada santai. “Selamat malam, Lyra.”
Namun, malam itu tidak berakhir begitu saja.
Lyra terbangun beberapa jam kemudian karena mimpi buruk. Nafasnya terengah-engah, dan tubuhnya berkeringat dingin. Ia mencoba menenangkan diri, tapi bayangan dari mimpi itu terus menghantui.
“Kau baik-baik saja?” suara Leonard terdengar dari sebelahnya.
Lyra menoleh dan mendapati Leonard yang duduk setengah bangun, menatapnya dengan alis berkerut.
“Aku... aku baik-baik saja,” jawab Lyra sambil mencoba tersenyum.
“Kau tidak terlihat baik-baik saja,” Leonard membalas, nada suaranya menunjukkan sedikit kekhawatiran.
Lyra mengalihkan pandangan, tidak ingin Leonard melihat kelemahannya. “Hanya mimpi buruk. Tidak perlu khawatir.”
Leonard menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya berbaring kembali. Namun, sebelum ia menutup matanya, ia berkata, “Kalau kau tidak bisa tidur, kau boleh membangunkanku. Aku tidak keberatan.”
Ucapan itu membuat Lyra terdiam. Meski sikap Leonard sering menyebalkan, ada saat-saat seperti ini yang membuatnya bingung. Ia tidak tahu apakah harus merasa terharu atau justru lebih curiga.
Lyra akhirnya kembali berbaring, memunggungi Leonard. Tapi kali ini, senyuman kecil tersungging di wajahnya.
“Terima kasih, Leonard,” gumamnya pelan sebelum perlahan-lahan kembali tertidur.
Di sisi lain, Leonard membuka matanya sebentar, memandang punggung Lyra yang sudah tenang. Ia menghela napas pelan, kemudian menutup matanya dengan senyuman kecil di bibirnya.
⚜️