"Jadi, lo serius mau ngomong ke orang tua lo?"
Aku melirik Damar yang duduk di sebelahku, memegang gelas kopi yang dari tadi nggak dia minum.
"Iya. Gue harus ngomong, Ka. Gue nggak mau ini terus-terusan kayak gini."
Aku menarik napas dalam, mencoba mencerna kata-katanya. "Dam, lo sadar nggak, ini bukan cuma soal gue sama lo. Ini soal mereka juga, keluarga lo, keluarga gue..."
"Gue tau." Damar menatapku sekarang, matanya tajam tapi juga ada sedikit ragu di sana. "Tapi kita nggak bisa selamanya sembunyi. Gue mau jujur ke mereka. Gue mau mereka tau tentang lo."
Aku mendesah panjang. "Dam, kita beda. Lo tau itu. Mereka nggak bakal setuju."
"Tapi, gue mau coba, Ka. Gue sayang sama lo." Suaranya pelan tapi tegas.
Aku terdiam. Kata-kata itu, setiap kali dia ucapkan, selalu bikin dadaku sesak. Sayangku ke Damar sama besarnya, tapi perbedaan ini nggak pernah hilang dari pikiran kami.
******
Pertama kali aku kenal Damar, semuanya terasa gampang. Dia adalah teman kuliah yang selalu duduk di pojok kelas, sering senyum kecil kalau aku lewat. Dia nggak pernah banyak omong, tapi entah kenapa aku selalu penasaran sama dia.
"Kenapa lo selalu duduk di situ?" tanyaku waktu itu, iseng menghampirinya.
Dia hanya tersenyum kecil. "Nggak ada alasan. Gue nyaman aja."
Itulah awalnya. Dari obrolan singkat di kelas, jadi makan siang bareng, terus pulang bareng. Nggak butuh waktu lama buat aku sadar kalau aku jatuh cinta sama dia.
Tapi, perbedaan kami jelas. Aku Kristen, dia Islam. Aku tumbuh dengan keluarga yang aktif di gereja, sementara dia besar di lingkungan Islami yang kuat.
Awalnya aku pikir, "Nggak apa-apa, kita cuma temenan." Tapi, lama-lama perasaan itu nggak bisa aku tahan. Begitu juga Damar.
"Ka, gue suka sama lo," katanya suatu malam saat kami duduk di taman kampus.
Aku inget betul gimana aku terdiam, lalu akhirnya bilang, "Gue juga, Dam."
Dan sejak itu, semuanya berubah.
*******
"Mereka bakal marah besar kalau tau gue pacaran sama lo," Damar pernah bilang suatu malam saat kami ngobrol di telepon.
"Orang tua gue juga, Dam. Tapi kita kan nggak ngelakuin hal yang salah," balasku, mencoba meyakinkan diri sendiri.
"Iya, tapi buat mereka, ini salah. Agama lo, agama gue... itu masalah buat mereka."
Aku tahu dia benar, tapi aku nggak mau menyerah begitu saja.
"Terus, kita gimana?" tanyaku pelan.
Damar diam lama sebelum akhirnya berkata, "Kita coba jalanin aja dulu. Gue belum siap kehilangan lo, Ka."
*******
Tapi perasaan bersalah itu selalu ada. Setiap kali aku pulang ke rumah dan melihat mamaku sibuk di dapur sambil mendengarkan lagu rohani, aku merasa ada sesuatu yang salah.
"Ka, kamu gapapa?" tanyanya suatu pagi.
"gapapa, Ma," jawabku sambil tersenyum kecil.
Tapi kenyataannya, aku gak tau kenapa, karena doaku selalu sama setiap malam. "Tuhan, apa aku salah mencintai Damar?"
*******
Suatu hari, Damar benar-benar membawa aku ke rumahnya.
"Lo yakin?" tanyaku waktu itu.
"Gue nggak mau sembunyi lagi, Ka," jawabnya.
Aku duduk di ruang tamunya yang luas, merasa canggung saat melihat ibunya keluar dari dapur dengan senyum ramah.
"Kamu teman kuliahnya Damar, ya?" tanyanya.
Aku hanya mengangguk, nggak berani bicara terlalu banyak.
Damar memperkenalkan aku sebagai temannya, tapi aku tahu ibunya curiga. Tatapannya seperti ingin menggali lebih dalam, tapi dia nggak berkata apa-apa.
Setelah keluar dari rumah Damar, aku langsung bilang, "Dam, mereka pasti tau gue bukan cuma temen lo."
Damar hanya menghela napas. "Biarin aja, Ka. Nanti gue yang jelasin."
Tapi aku tahu, penjelasan itu nggak akan pernah mudah.
*****
Dan benar saja, dua minggu kemudian, Damar nelpon aku tengah malam.
"Nyokap gue tau, Ka. Dia nanya lo siapa. Gue jujur."
Hatiku langsung berdebar. "Terus gimana?"
"Dia marah. Dia bilang gue nggak boleh lanjut sama lo. Gue udah denger semua argumen yang lo sendiri pasti tau."
Aku nggak bisa jawab. Lidahku kelu, dadaku sesak.
"Tapi gue bilang gue sayang lo," lanjutnya.
Aku hanya bisa menahan tangis. "Dam, ini nggak gampang..."
"Gue tau. Tapi gue nggak akan ninggalin lo."
*****
Hari-hari setelah itu makin berat. Orang tua Damar mulai mengatur banyak hal dalam hidupnya, termasuk mencoba menjauhkannya dari aku. Sementara itu, orang tuaku juga mulai curiga.
"Kamu kok sering keluar sama teman yang sama terus?" tanya papaku suatu malam.
Aku hanya menjawab pendek, "Nggak kok, Pa. Teman biasa aja."
Tapi aku tahu, kebohongan itu nggak bisa bertahan lama.
******
Suatu malam, aku dan Damar duduk di taman kota. Itu adalah tempat favorit kami, tempat di mana kami bisa merasa bebas dari semua tekanan.
"Ka," Damar memulai. "Lo pernah mikir nggak, gimana kalau kita nggak pernah ketemu?"
Aku menoleh ke arahnya, kaget dengan pertanyaannya. "Maksud lo?"
"Kalau gue nggak pernah ketemu lo, mungkin gue nggak perlu ngerasain susag kayak gini. Gue nggak perlu ngecewain keluarga gue. Lo juga nggak perlu bohong ke orang tua lo."
Aku terdiam, merasakan sakit di dadaku. "Lo nyesel, Dam?"
Dia menggeleng pelan. "Nggak, gue nggak nyesel. Tapi gue juga nggak bisa bohong, Ka. Ini berat banget."
Aku menggenggam tangannya, mencoba menahan air mata. "Dam, gue sayang lo. Tapi gue juga nggak bisa ninggalin agama gue. Sama kayak lo nggak akan pernah ninggalin agama lo."
"Jadi, kita mau gimana?" tanyanya dengan suara pelan.
Aku nggak punya jawaban.
*******
Malam itu, kami memutuskan untuk berhenti. Bukan karena rasa sayang kami kurang, tapi karena kami tahu bahwa mencintai bukan selalu berarti harus memiliki.
Aku pulang dengan hati hancur, tapi juga dengan perasaan lega. Karena, meski aku kehilangan Damar, aku tahu aku nggak kehilangan diriku sendiri.