"Lia... Lia... Lia!" Teriak seseorang memanggil-manggil seraya mengetuk pintu kamar Amelia, keras. "Berisik! Gue gak budek!" Teriak Amelia dari dalam kamar. "Gue kira loe udah tidur. Tuh dibawah ada tamu loe tuh." Pintu kamar dibuka, Amelia melongokkan kepala. "Tamu!? Siapa!?"
"Mana gue tahu!?" Ucap si pengetuk pintu. "Gue tadi cuma dititipi pesan doang sama si Maria. Katanya, tolong bilangin si Lia kalau di teras ada tamunya menunggu, begitu."
"Emang loe dari mana!?" Amelia melirik bingung. Si pengetuk pintu menyahut santai. "Baru pulang,"
"Emang loe gak ketemu sama tuh orang!?" Tanya Amelia yang kian terlihat penasaran."Gue sih lihat, tapi gue gak nanya. Udah ah gue capek, gue mau mandi, terus itu gue mau tidur. Bye!" Ucap si pengetuk pintu sengit lalu buru-buru balik kanan. Sekian detik Amelia tampak berpikir keras. Sebelum si pengetuk pintu benar-benar raib dari pandangan mata, untungnya, Amelia masih sempat mengajukan satu pertanyaan pamungkas. "Cowok, cewek?!"
"Cowok!"Sahut si pengetuk pintu berlalu pergi.
'Gue, gak merasa janjian sama cowok deh. "Kalau si Rama gak mungkin kan, masak iya Rama dibilang tamu, kan mereka kenal. Terus siapa ya?!' Pikir Amelia dalam hati.
"Lia, Lia, Lia," Terdengar suara yang memanggil dari bawah tangga. "Sebentar gue turun." Ucap Amelia yang kemudian buru-buru menutup pintu kamar. Amelia pun berjalan menuju anak tangga, menuruninya dengan bergegas.
Sesampainya di lantai bawah Amelia bersua dengan orang yang memanggilnya, yang memanggil tadi menunjuk ke teras depan. Amelia mengangguk seraya berucap terimakasih, lalu ia pun berjalan ke teras depan.
"Kok,"Amelia tampak kaget sekaligus kebingungan. "Kaget ya," ucap orang yang dikata tamu oleh teman-teman sekostan tadi. "Tahu darimana kalau gue tinggal..."
"Iya, dari baca CV kamu lah," gelak si tamu. "Gak! Gue tanya sama..."
Amelia mengangguk-anggukan kepala,pertanda kalau ia paham maksud dari perkataan orang yang dikata tamu itu meski si tamu tak melanjutkan kalimatnya. "Terus loe ada perlu apa!?"
"Gue mau jujur sama kamu kalau..." Ucap si tamu dengan nada suara yang terdengar agak sungkan seraya matanya yang celingukan kanan-kiri. "Jujur!? Jujur apaan!?" Amelia bingung.
Kalau saya sudah..." Si tamu masih dengan nada suara yang sungkan. "Kalau saya sudah, sudah..."
"Sudah, sudah, apaan sih!? Buruan deh, ini sudah malam, gue mau istirahat, besok gue harus kerja." Amelia berucap dengan meninggikan suara.
"Saya serius, Lia. Pokoknya, kamu harus tanggung jawab. Ini semua gara-gara kamu. Saya takut kalo nanti saya..." Si tamu semakin tidak jelas omongannya alias ngelantur. Alhasil, Amelia pun bingung bin kesal. "Loe, kenapa sih!?"
Sekonyong-konyong si tamu mencengkram lengan Amelia, kemudian merapatkan tubuhnya, lalu berkata dengan berbisik-bisik tegas."Gara-gara kejadian waktu di sekolah itu sampai sekarang saya gak bisa punya rasa ke cewek lain! Dan sialnya bukan perkara gak punya rasa aja tapi permasalahannya junior gue gak bisa nunjuk saban lihat yang begituan!!"
Alang kepalang Amelia kaget mendengarnya. "Pokoknya kamu harus tanggung jawab!" Ujar si tamu kesal bin tegas. "Ruli, loe itu kenapa sih!? Minum dimana, mabok dimana loe!?" Ucap Amelia kesal.
"Nama aku, Ruri. Bukan, Ruli." Ucap si tamu seraya menunjuk-nunjuk ke dadanya.
"Yang gue tahu nama panggilan loe tuh, Ruli. Maruli Putra Fajar Sitohang." Ucap Amelia yang ikutan menunjuk dada si tamu.
"Mulai sekarang panggil saya, Ruri." Ucap si tamu tegas. "Ogah!" Tolak Amelia.
"Terserah! Yang penting kamu harus tanggung jawab!" Seru si tamu. "Eh, Tong, loe salah minum obat kali," Amelia meledek. "Aku serius, Lia." Kontan si tamu sewot.
"Loe, pergi periksa ke psikiater deh, atau ke psikolog gitu. Otak loe lari kali." Ucap Amelia seraya melemparkan tubuhnya salah satu kursi rotan. Begitu pun si tamu turut melemparkan tubuhnya ke satu kursi yang tersisa. "Saya sudah ke psikiater. Saya sudah ke psikolog. Bahkan bukan cuma ke situ tapi juga..." Si tamu balik celingak-celinguk, lalu berkata sambil merendahkan suara. "Bahkan saya sudah ngelayap ke tempat yang begituan."
"Begituan apa maksud loe!?" Amelia mendelik bingung. "Lokalisasi." Ucap si tamu lirih. Amelia kaget.
"Hasilnya, zonk!" Seru si tamu.
Amelia agak terbatuk dan sedikit menahan geli. "Lucu ya!? Menurut kamu itu lucu ya!?" Ucap si tamu mendekatkan wajahnya ke wajah Amelia, kesal dia. Amelia menarik mundur kepalanya seraya menutup mulut, entah karena menahan tawa-entah karena tak kuat dengan bau mulut si kawan bicara, bisa jadi keduanya.
"Barangkali, maaf nih ya, barangkali loe, sekali lagi gue mohon maaf, maaf banget, gue gak maksud, tapi maksud gue barangkali loe memiliki orientasi seksual yang berbeda, sekali lagi gue mohon maaf banget." Ucap Amelia seraya memberi isyarat tangan menghaturkan sembah.
"Kamu pikir saya gak berpikiran seperti itu, hah. Saya juga sempat berpikiran yang sama dengan kamu. Kemudian saya pun, dengan perasaan was-was, mengujinya." Ucap si Tamu. Untuk kesekian kali Amelia tersentak kaget. "Sorry saya ralat, hampir mengujinya. Sekali lagi hampir mengujinya. Ralat si tamu.
"Bohong! Pasti loe udah mengujinya iyakan!?" Ucap Amelia sekenanya. "Sumpah! Hampir!" Si tamu memberi isyarat tangan. "Bisa aja. Gue gak percaya!" Cecar Amelia.
"Sumpah pocong saya berani!" Tegas si tamu. Amelia malas memperpanjang. "Terus mau loe apa!?"
"Ada orang pintar yang ngomong kalau ternyata saya ini terkena oleh kutukan dari bibir kamu yang katanya aduhai itu." Ucap si tamu. Mendengar pengakuan tersebut karuan Amelia terkikik. "Loe ke orang pintar!? Masalah kayak begituan loe pergi ke orang pintar!? Mestinya loe pergi ke Mak Erot bego!" Seru Amelia tertawa kencang.
"Persoalannya orang yang katanya pintar itu iya Mak Erot itu bego!!" Tanpa sadar si tamu bersuara kencang, tampaknya rasa kesalnya udah sampai ke ubun-ubun.
Amelia kembali terkaget, sampai menutup mulut dengan kedua tangan, sepertinya dia kehabisan kata.
"Mak Erot bilang satu-satunya cara agar saya bisa sembuh saya harus..." Kata si tamu, yang kemudian memilih untuk menjeda kalimatnya.
Alhasil Amelia jadi penasaran.
Si tamu pun mendekatkan bibirnya ke telinga Amelia, disitu ia pun berbisik. Tak sampai hitungan menit tamparan keras mendarat di pipi si tamu, dua kali, bolak-balik. "Loe pikir gue cewek apaan!"
"Selama ini saya sudah...Putus asa. Iya, saya sudah kehilangan harapan. Saya pikir saya sudah tidak akan pernah bisa menemukan kamu. Saya sudah benar-benar berputus asa. Untung, ternyata Tuhan masih mendengar doa saya. Saya berharap kamu dapat menyudahi kutuk ini." Ucap si tamu diplomatis.
"Kutuk! Kutuk pala loe peang! Gue bukan cewek murahan asal loe tahu!" Tuding Amelia ke dada si tamu. Kesal, setelahnya ia pun buru-buru balik kanan, hendak masuk. Untungnya, si tamu sempat bergerak menangkap lengan Amelia. "Bagaimana kalau besok kita menikah."
"Apa!? Dasar gila loe!" Amelia menarik balik tangannya lalu berlari masuk ke dalam rumah meninggalkan si tamu yang berdiri mematung di depan pintu.