"Gue pinjam pulpen dong Len!" Gavin, dengan rambut ikalnya yang hampir menutupi matanya, berkata sambil menyengir lebar.
Gadis yang dipanggil memasang muka kesal, tetapi tetap memberikan pulpen miliknya. "Nih! Lain kali, kalo mau pinjam, tau dirilah."
Alih-alih merasa bersalah, Gavin malah tersenyum jahil ke arah Helena, ia senang sekali menggoda gadis ini. "Kok kaya engga ikhlas, sih? Ya udah, engga jadi pinjam deh!"
Dengan tatapan tajam dan tangan yang mengepal Helena merampas pulpen di tangan Gavin. "Ya udah, engga usah pinjam, sana!"
Gavin tersentak kaget, dengan gerakan cepat ia kembali merebut pulpen di tangan Helena. "Gue cuma becanda, lo baperan amat sih!"
DEG
Hati Helena bergemuruh dengan perkataan itu. Ia menatap sendu Gavin yang sedang berjalan santai ke arah bangku milik Kaira sambil bersiul.
***
Di koridor lantai tiga, sekumpulan lelaki dengan penampilan urakan berkumpul di depan kelas, keberadaan mereka menutupi jalan, tetapi tak membuat mereka beranjak sekadar untuk orang-orang lewat.
Dari bawah dua orang gadis tengah berlarian tak tentu arah. Hingga-
PUK!
"Sialan Helena!" gerutu Nadin dengan panik, menatap Helena yang tak sengaja menabrak badan tegap milik lelaki yang tengah berkumpul, dan sialnya itu tubuh Gavin.
"Aw, maaf!" Helena memegangi kepalanya yang membentur dada seseorang. Saat ia mendongak, napasnya tercekat. Itu Gavin.
"Jalan tuh pake mata!" bentak salah satu teman Gavin yang berdiri di sana. Lelaki itu mendekat kepada Helena dengan tatapan nyalang, membuat Helena menelan ludahnya takut.
Gavin mendorong tubuh lelaki itu. Berdiri di depan tubuh Helena. "Udah, engga usah. Dia cewek," kata Gavin dengan nada tegas.
"Memang kenapa kalo cewek?" tanya Helena pelan, yang membuat Gavin menatapnya dingin.
Helena balas menatapnya, meskipun hatinya bergemuruh, tetapi dia tidak mau dianggap lemah.
"Lo pergi!" usir Gavin, menghalangi teman-temannya yang semakin beringas kepada Helena.
"Gue tanya kenapa emang kalo cewe?"
"Gue bilang pergi Helena." Gavin menekankan setiap perkataanya. "Atau mau gue seret?" bisiknya.
Dengan napas memburu, Helena menahan ledakan amarahnya. Langkah kakinya tergesa-gesa, menarik tubuh Nadin untuk pergi. Ia menyentuh dadanya yang berdetak kencang. "Sialan ini jantung!"
Sepeninggalan Helena. Suara siulan terdengar, itu ulah Arka yang merupakan mantan dari Helena.
Arka merangkul Gavin, dengan menyebalkan ia berkata, "emang kenapa kalo cewe?"
Gavin melepaskan rangkulan Arka. Ia mengangkatkan satu alisnya, ada kerutan di keningnya. "Apa?"
"Lo yang kenapa Vin?" tanya lelaki yang tadi membentak Helena.
"Gue? Gue kenapa?"
"Jangan bilang lo ada rasa sama Helena Vin?"
"Hah? Rasa? Enggalah anjir! Gue engga ngambil mantan temen."
***
Helena sedang sibuk dengan kegiatannya, guru meminta tugasnya dikumpulkan hari ini. Helena yang merupakan anggota osis menyebabkan dirinya telat dalam pengumpulan tugas itu, untungnya guru mau memberinya waktu.
Sementara teman-teman sedang sibuk ngobrol, bermain kartu, bermain handphone atau hanya sekadar menutup matanya untuk tidur.
Helena yang sedang fokus merasa terganggu dengan suara tawa kencang dari sekumpulan lelaki di pojok kelas, itu gengnya Gavin.
Ia melihat Gavin yang sedang tertawa lepas dengan yang lainnya, mereka sedang memainkan kartu. Ia mencoba mengabaikan hatinya yang berdetak cepat karena melihat pemandangan Gavin yang tersenyum lebar. Helena menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba kembali fokus pada tugas yang sedang ia kerjakan.
Tak berselang lama...
"Helena!"
Tubuh Helena terkesiap karenanya. Ia menatap Gavin kesal. "Apa?" tanya Helena sebal.
"Gue engga ngerti tugas itu, lo udah ngertikan? Ajarin dong!" pinta Gavin, menarik salah satu kursi dengan santai dan duduk di dekat Helena.
"Lah lo udah ngumpulin kan?" tanya Helena dengan kening mengerut. Dibalas anggukan oleh Gavin.
"Lah harusnya udah ngertilah, aneh!"
"Gue nyontek tadi, masa gitu doang engga ngerti!"
"Ck, pantes."
Dengan sabar Helena mengajari Gavin yang tak paham-paham dengan apa yang diajarkan Helena. Bagaimana tidak? Gavin sedari tadi hanya menatap wajah Helena, bukan buku itu.
"Lo serius amat ya, lucu," gumam Gavin tanpa sadar.
Helena langsung terdiam, pipinya bersemu merah, seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Ia mencoba menetralkan perasaannya. "Gue lagi ngajarin lo, serius dulu dong, ya ampun!"
Gavin terkekeh kemudian mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk tanda peace.
Gavin mengambil buku milik Helena, tangannya menutupi sebagian buku yang dia beri coretan, Helena tak di izinkan untuk melihat.
"Lo lagi ngapain sih?" tanya Helena kesal.
"Bentar dulu," Gavin memberikan beberapa sentuhan terakhir di buku itu kemudian, memberikan buku itu kepada Helena.
Helena melihat gambar yang dibuat Gavin, terlihat kepala seekor kucing dengan mulut yang sedikit terbuka. Helena menatap lelaki itu dan kembali melihat gambar yang dibuat Gavin, senyumnya terangkat membentuk bulan sabit. Sebelum-
“Jangan baper ya. Lain kali, gue gambar yang lebih bagus.” Gavin berbisik tepat di telinga Helena, membuat jarak keduanya dekat.
Kemudian lelaki itu pergi ke tempat duduk asalnya. Meninggalkan Helena yang tidak tahu harus senang atau bingung.
***
Helena meremat ponsel di genggamannya. Di depannya terdapat Arka yang sedang menatap dengan seringai lebar.
Lelaki itu menatapnya dari atas sampai bawah, memandang intens sosok Helena. "Setelah sama gue, lo mau ke temen gue juga?"
Helena menatap Arka berani. "Kenapa? Apa yang salah?"
"Jangan harap Helena. Semua lelaki sama brengsek, engga ada yang harus lo percaya Helena. Sekalipun mereka perhatian sama lo itu cuma pas di awal doang akhirnya sama, mereka manfaatkan lo doang." ucap Arka panjang lebar, berlagak mau menasehati.
"Kaya lo?"
Arka terkekeh mendengarnya. Lelaki itu mendekat, mengikis jarak diantara mereka. "Jangan bodoh lagi Len, cukup sekali aja." Arka berkata dengan lembut, tangannya mengusap surai Helena yang terurai.
Perlakuan Arka nyaris membuat Helena terhipnotis untuk beberapa saat, sebelum gadis itu sadar kembali, dan mengambil langkah mundur. "Gue dengan siapapun itu urusan gue Ka,"
"Gue engga mau lo masuk ke lubang yang sama Len,"
"Lo aja pacaran engga gue ganggu, jadi jangan ganggu gue juga."
Arka tidak bersuara, ia hanya diam. Mengamati wajah resah Helena, kemudian pergi dari hadapan Helena.
Helena mengepalkan tangannya, tubuhnya bergetar. Gadis itu bergumam pelan,"jangan bikin gue trauma Ka, engga semua cowok itu sama Ka! Kenapa lo bikin gue seolah jangan percaya lagi dengan cinta? Padahal luka gue sembuh sendiri bukan karena lelaki, tapi lo?"
***
"Kenapa kalo tidur lebih bagus pake lampu temaram?" tanya Helena, kepada lelaki yang tengah bermain-main dengan bolpoin di tangannya.
Gavin mengangkat buku catatannya, menatap Helena dengan kening berkerut. "Mengurangi kecerahan yang mengganggu produksi melatonin atau hormon tidur, meningkatkan kualitas tidur, membantu mengatur-"
"Lampu temaram apa?" potong Helena, cepat. Menatap Gavin dengan dalam.
"Ya masa lo engga tahu sih! Lampu temaram tuh lampu yang nyalanya nggak terlalu terang, lebih kayak redup tapi bikin suasana jadi adem, santai, atau cozy gitu. Biasanya dipake di kamar tidur, ruang tamu, atau-"
"Kalo buat lo kaya gitu. Buat gue, lampu temaram itu dua rasa yang engga bisa bersama, padahal rasa mereka jelas ada."
"Kok jadi ke situ sih?"
"Iya, buat beberapa dari mereka. Bukan karena masalahnya yang besar, mungkin memang keadaannya saja yang tidak menginginkan. Walaupun lampu temaram bagus buat tidur dan belajar, tapi tetap aja kita harus hati-hati kan? Takutnya tersandung dan cedera. Meskipun kita tahu kenyataanya itu semua hanya soal bercanda, bukan ada karena rasa."