Pagi ini aku bangun seperti biasanya. Tapi, ada yang berbeda. Aku merasa, sedikit aneh dengan suasana rumahku saat ini. Yang baru saja dihuni olehku dan ibuku.
Katanya, ini peninggalan dari mendiang ayahku. Sebelum ayahku pergi meninggalkan kami, beliau berpesan pada ibuku agar kelak anak perempuan satu-satunya ini dapat bersekolah di SMA Rajawali, salah satu sekolah elite bergengsi di Jakarta.
"Sarapannya dimakan, jangan sampai tersisa sedikit pun." Ucap mama penuh kelembutan. Aku bersyukur masih bisa melihat punggung ibuku yang masih kuat bertahan demi putrinya, walau aku tahu jika punggungnya sendiri sedang tidak baik-baik saja sejak ayah pergi.
"Iya mama. Athena udah gede, tanpa mama ngomong berkali-kali juga Athena udah tau."
Sesaat itu, mama tertawa, "Iya, iya. Anak mama udah dewasa sekarang."
Aku tersenyum mendengar itu, aku bersyukur masih memiliki mama yang selalu perhatian sekecil apapun itu.
Tanpa sadar sarapan ku sudah habis dan ini waktunya aku berangkat ke sekolah. Ya, sekolah baruku, SMA Rajawali.
Aku mendatangi mama, dan menyaliminya "Mama, Athena berangkat dulu ya."
"Iya, Hati-hati sayang." Jawabnya sambil mengecup kepalaku.
Perlahan, di dalam pandanganku wajah mama mengabur seiring aku melajukan sepeda ku menjauh dari rumah.
Sejujurnya aku takut untuk memulai hari pertama sekolahku. Bagaimana tidak? Lihat saja gedung itu. Sangat mewah. Siapapun yang melihatnya juga akan ternganga melihat betapa megahnya gedung sekolah di hadapanku ini.
Apalagi aku hanyalah anak beasiswa yang beruntung bisa masuk di sekolah ini.
Di balik wajah ceriaku ini, di lubuk hatiku aku merasa takut jika nanti aku akan dirundung atau bahkan dijauhi oleh murid-murid di sana.
Namun, demi ayahku, ku beranikan langkahku memasuki sekolah ini. Benar saja, banyak pasang mata yang melihat ku dari atas ke bawah. Seolah mereka sedang memindaiku layaknya robot pintar.
Perasaan ini, aku tidak menyukainya. Sangat.
Di tengah-tengah kegelisahanku tiba-tiba saja ada orang yang menabrakku dari arah belakang hingga aku hampir terjatuh.
"Eh maaf, aku nggak sengaja. Kamu nggak papa?" Tanyanya khawatir.
"Iya, aku nggak papa kok." Aku menjawabnya dengan sedikit tawa canggung sambil membenarkan rokku dan cepat-cepat pergi dari sana karena masih harus mengurus berkas di ruang kepala sekolah.
***
Susana kelas 12 IPA 1 di pagi hari ini sangat jauh dari kata tenang sebelum akhirnya Pak Budi memasuki kelas itu dengan seorang anak perempuan dengan potongan rambut bob yang imut.
"Selamat pagi anak-anak." Sapa Pak Budi dengan semangat.
"Selamat pagi Pak Budi." Tak kalah semangat, para penghuni kelas membalas sapaan pagi Pak Budi.
"Ya. Jadi di pagi hari yang cerah ini, Bapak ada kabar gembira untuk kalian."
Sontak saja setelah Pak Budi mengucapkan kata itu, seluruh siswa berbisik-bisik dan menebak-nebak kabar gembira apa yang dimaksud Pak Budi.
"Dengar semuanya, harap tenang." Suara Pak Budi menginterupsi. Langsung saja kelas menjadi hening kembali.
"Selamat kalian akan mendapatkan teman baru yang akan menghuni kelas ini. Saya harap kalian dapat berteman dengan akrab."
Seluruh penghuni kelas berbisik-bisik penasaran seperti apa wijud murid baru yang dimaksud Pak Budi.
"Athena silahkan masuk dan perkenalkan dirimu."
Athena masuk dengan jantung berdebar kencang bersamaan keringat dingin yang mulai membasahi telapak tangannya.
"Halo, kenalin aku Athena Glara. Kalian bisa panggil aku Athena. Aku pindahan dari Bandung, dan kebetulan bisa masuk di SMA ini dengan jalur beasiswa. Salam kenal semua." Sapanya dengan senyuman manisnya.
Setelah Athena memperkenalkan dirinya, seisi kelas dipenuhi oleh kebisingan penghuni kelas yang membicarakan betapa cantiknya ia. Beberapa bahkan banyak yang ingin menjadikan Athena sebagai teman dekatnya.
Tanpa mereka sadari ada anak perempuan yang diam-diam meremas roknya penuh kekesalan.
Mengetahui bahwa Athena adalah anak beasiswa,yang tentunya pasti memiliki nilai di atas rata-rata, Gadis cantik itu merasa Athena harus ia singkirkan agar tak berani menggeser posisinya di papan peringkat.
Ya, dia adalah Amora Ghaitsa. Anak yang tadi pagi tidak sengaja menabrak Athena di koridor.
"Silahkan Athena kamu bisa duduk di kursi kosong di belakang sana." Suara Pak Budi menginterupsi indra pendengaran Athena.
"Baik, Pak terimakasih." Ucap Athena sambil membungkukkan sedikit badannya.
Sesaat setelah Athena duduk di kursinya, dua orang di depannya mengajaknya berkenalan.
"Hai, boleh kenalan? Aku Ella." Anak itu mengajak Athena berkenalan sambil sedikit berbisik mengingat di sana masih ada Pak Budi.
Athena membalas, "Hai. Aku Athena. Senang bertemu kamu Ella."
Ella menanggapinya dengan cengiran khasnya sambil memperkenalkan teman sebangkunya yang tampak sedikit pendiam.
"Yang ini namanya Lana, dia emang pendiem sih. Cool gitu hehehe. Tapi santai aja gini-gini hatinya spek hello kitty."
"Hei yang di belakang. Ngga usah ikut pelajaran saya kalo ngga memperhatikan." Tiba-tiba suara Pak Budi terdengar lantang tertuju ke arah Ella yang sedang asyik berkicau di tempatnya. Hal itu tentunya membuat Ella kembali menghadap depan dan menegakkan bahunya.
Hingga tak terasa, bel tanda istirahat pun berbunyi nyaring, seluruh penghuni kelas memusatkan perhatiannya ke Athena. Mengajaknya berkenalan dengan tidak sabar.
Banyak yang menanyainya ini itu hingga membuat kepala Athena pusing karena banyaknya pertanyaan yang dilontarkan untuknya.
Tapi di sisi lain, ia merasa senang karena dugaan buruknya tentang sekolah ini salah. Ia justru bersyukur karena banyak yang ingin menjadi temannya.
"Hai Athena kenalin aku Rain."
"Athena kamu cantik banget."
"Athena apa aku boleh panggil kamu Athe? Biar keliatan akrab gitu hehehe."
"Athena mau ikut ke kantin ngga? Aku tau rekomendasi makanan yang enak buat kamu! "
"Mutualan yuk, username kamu apa?"
Dan berbagai macam pertanyaan lainnya. Setelah itu, kelas pun tampak hening karena sekarang sebagian dari mereka banyak yang pergi ke kantin untuk membeli makan.
Sebenarnya dirinya tadi sudah diajak oleh Ella untuk ke kantin bersama mengingat Athena adalah murid baru di sini, tapi Athena menolak ajakan Ella dengan alasan ia sudah membawa bekal dari rumah jadi tidak usah membeli makanan lagi di kantin. Mendengar alasan Athena, Ella pun memutuskan untuk di kelas saja menemani Athena.
Di samping itu, ia masih bertanya-tanya ada apa dengan anak yang duduk di bangku paling depan itu? Karena sedari tadi hanya dia yang tidak menyapa dirinya, dan juga Athena ingat betul anak itu adalah yang menabraknya tadi pagi.
Jadi ia penasaran siapa namanya dan Athena juga takjub dengan wajah dan postur tubuhnya yang terlihat sangat anggun bak Puteri kerajaan.
Melihat arah pandang Athena, Ella yang berada di dekatnya seolah paham apa yang dipikirkannya. "Namanya Amora."
Mendengar itu Athena terkejut karena tiba-tiba saja Ella mengatakan itu padahal sedari tadi ia hanya diam.
"Ngga usah kaget gitu. Aku tau kamu lagi merhatiin dia kan, Athe? Tapi satu hal yang harus kamu tau, jangan sekali-kali mendekatinya apalagi mencoba merebut posisinya."
"Merebut posisinya? Maksudnya?"
Sebelum menjelaskan detailnya, Ella menarik nafasnya dalam menyuruh Athena untuk mendekatkan telinganya karena sekarang Amora masih berada di dalam kelas. Jadi ia putuskan untuk menjelaskannya secara tidak terang-terangan.
"Amora itu cantik jadi udah ngga heran kan kalo dia itu pasti populer. Tapi walaupun populer, aku liat dia ngga punya temen satu pun, adapun tapi itu cuma sebentar aja. Terus sendirian lagi."
Athena pun terkejut dengan pernyataan Ella yang mengatakan jika Amora tidak memiliki teman.
Ella melanjutkan ceritanya,
"Ngga cuma cantik, prestasinya juga ada di mana-mana, dia sering dapet juara Internasional Grand Prix ballet sekaligus anak Olimpiade sains. Dia juga pintar, dia udah nangkring di peringkat 2 paralel selama 2 tahun berturut-turut! Bayangin Athe, 2 tahun loh! 2 tahun!"
Ucapnya menggebu-gebu sembari mengangkat dua jarinya.
"Dan sekarang ini dia ambis banget buat dapetin peringkat 1 paralel. Kalo ada yang berani ngerebut posisinya, dia ngga akan segan ngelakuin berbagai cara buat nyingkirin orang yang berani rebut posisinya."
Ella menceritakan dengan nada yang heboh dan bersemangat. Untungnya Athena sudah paham karakter Ella ini seperti apa.
Melihat Athena yang terlihat serius memperhatikan, Ella berusaha menyadarkannya
"Ey! Diem-diem ae Athena."
Seolah sadar, Athena mengedipkan matanya beberapa kali.
"Tapi apa yang buat dia jadi ambis banget pengin jadi peringkat 1, padahal kan peringkat 2 juga udah bagus."
Lantas Ella mengedikkan bahunya seraya berkata, "who never know?"
Ya. Memang tidak ada yang tau alasan pasti dibalik sikap Amora yang selalu penuh dengan ambisi itu.
***
Hari berikutnya berjalan dengan lancar. Athena belajar dengan tenang tanpa gangguan apapun selama bersekolah.
Ia semakin aktif menjawab semua pertanyaan yang diberikan guru, sehingga membuat nilainya kian membaik setiap waktunya.
Hingga waktunya tiba untuk pelaksanaan ujian bulanan. Ya, sekolah ini memang rutin mengadakan ujian bulanan untuk kelas 12 setiap 3 bulan sekali. Tujuannya adalah agar pada saat ujian nanti seluruh siswa dapat mengerjakan ujian dengan lancar dan mudah serta mendapatkan nilai yang sempurna sehingga akan berdampak pula pada track record sekolah.
Mendekati waktu pelaksanan ujian, semua siswa berlomba-lomba memperebutkan peringkat paralel teratas.
Karena di sekolah ini, semakin tinggi peringkatmu, semakin kecil pula biaya spp yang harus dibayar. Lalu, bagi mereka yang berhasil mendapat peringkat 1 hingga 10 akan diberikan reward penghargaan dari sekolah.
Seperti kondisi Amora malam ini, ia dengan keras belajar agar bisa menempati posisi peringkat 1.
Tahun lalu, dia gagal mendapat peringkat 1 pada ujian semester dan kenaikan kelas. Amora selalu berada di posisi ke 2 walau sekuat apapun ia belajar.
"Ayo Amora, semangat. Kamu bisa dapetin posisi itu. Jangan sampe anak culun itu berhasil rebut posisimu lagi. Jangan." Gumamnya dengan tangan menggenggam pena yang dipegangnya dengan sangat erat.
'Anak culun' yang dimaksud Amora adalah Lana, anak pendiam di kelas yang Ella kenalkan pada Athena tempo hari.
Sikap lana berubah menjadi pendiam karena Amora selalu mengancamnya bahkan tak segan menyakiti fisiknya karena Lana lah sang peringkat 1 itu.
"Siapapun ngga boleh ada yang jadi peringkat 1 selain aku. Termasuk anak baru itu."
Di tengah lamunannya, tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka dengan kasar.
BRAK!
"Amora. Sudah sejauh mana belajarmu."
Ya. Itu adalah Raharja, ayah Amora. Amora memang hanya tinggal berdua dengan ayahnya karena ibunya sudah meninggalkan dunia saat Amora masih sangat kecil.
Semenjak itu, sikap Raharja berubah. Ia menjadi kasar dan melampiaskan kekesalan dan ambisinya pada putri semata wayangnya.
Ia ingin putrinya menjadi anak yang membanggakan dirinya seperti mendiang istrinya dahulu yang terkenal memiliki otak yang cerdas.
Raharja masih tidak melupakan cinta pertamanya itu, seringkali ia melihat Amora sebagai mendiang istrinya. Alasan itulah yang membuat Amora dituntut ekstra untuk memenuhi ekspektasi ayahnya.
"Kamu harus berhasil bawa pulang nilai sempurna itu. Jangan harap saya akan memaafkanmu setelah ini jika kamu gagal memenuhi keinginan saya. Kamu dengar, Amora."
Ucap Raharja dengan nada tenang tapi terkesan tajam.
"Saya sudah tambahkan jadwal les kamu. Dengan semua itu, kamu masih kalah? Ini benar-benar mengecewakan, Amora. Kamu ini anak dari direktur utama sekolah. Ngga mungkin kan anak dari seorang direktur punya akademik yang buruk?" Lanjut Raharja dingin.
Amora menghela napas dalam-dalam. Selama ini ia selalu menahan diri untuk tidak melawan, tetapi kali ini, ia merasa tak mampu lagi diam.
"Ayah, aku sudah melakukan semuanya. Aku belajar siang malam, aku bahkan hampir tidak tidur. Apa lagi yang Ayah mau?" jawab Amora, suaranya bergetar.
"Apa yang saya mau? Saya mau kamu jadi nomor satu!" balas Raharja dengan nada tinggi. "Kamu terlalu banyak buang waktu untuk hal-hal yang tidak penting! Berhenti dengan balet itu, Amora. Itu hanya menghambatmu."
Amora menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. "Balet itu bukan cuma hobi, Ayah. Itu adalah satu-satunya hal yang membuatku merasa hidup. Ketika aku menari, aku merasa bebas dari semua tekanan. Aku mencintai balet seperti Ayah mencintai ibu lebih daripada aku."
"Jangan bodoh, Amora," kata Raharja, suaranya tajam. "Tidak ada masa depan di sana. Dunia ini menghargai nilai dan prestasi, bukan menari-nari di atas panggung."
"Ayah tidak mengerti," Amora membalas dengan nada yang lebih tegas. "Aku sudah kehilangan banyak hal demi memenuhi harapan Ayah. Tapi aku tidak akan menyerah pada balet. Aku juga punya hak untuk memilih apa yang aku suka."
Raharja terdiam sejenak, terlihat terkejut dengan keberanian putrinya. Namun, keheningan itu hanya berlangsung sebentar.
"Jangan bicara soal hak, Amora. Saya tahu apa yang terbaik untuk kamu. Mulai sekarang, jadwal les kamu akan saya tambah lagi. Saya tidak mau dengar apa pun soal balet!"
Sesudah itu, Raharja menutup pintu dengan kasar, meninggalkan Amora dalam keheningan yang terasa begitu menekan. Ia menatap buku-buku di depannya dengan tatapan kosong, namun dalam hatinya, badai mulai berkecamuk.
Seperkian detik setelah ayahnya pergi, Amora terdiam dengan napas terengah. Ia merasa terjebak dalam dunia yang tidak pernah ia pilih. Di pojok ruangan, sepatu baletnya masih tergeletak di atas meja. Ia mengambilnya, memeluknya erat, dan berbisik pada dirinya sendiri, "Aku tidak akan menyerah. Aku akan menunjukkan pada Ayah bahwa aku bisa sukses tanpa harus melepaskan balet."
Malam itu, Amora memutuskan untuk bangkit. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa dirinya layak untuk memperjuangkan apa yang ia sukai. Untuk pertama kalinya, ia merasa tekadnya lebih kuat daripada rasa takutnya.
***
Raharja duduk di kursi kerja di ruang kerjanya, ruangan yang sering ia gunakan untuk merenung. Di sudut meja, ada sebuah foto dalam bingkai kayu yang sudah mulai pudar warnanya. Foto itu menampilkan Nadia, istrinya, yang tersenyum cerah mengenakan dress berwarna kuning pastel. Ia memegang buket bunga mawar di sebuah taman, tempat dimana Raharja melamar Nadia kala itu.
Dengan perlahan, Raharja mengambil bingkai itu. Jemarinya menyentuh kaca yang melindungi foto, seolah mencoba merasakan kehangatan senyum Nadia.
"Nadia..." ucapnya pelan, suaranya penuh beban. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Amora... dia keras kepala, sama seperti kamu dulu. Selalu punya dunia sendiri yang dia yakini, dan aku... aku tidak tahu bagaimana cara mendekatinya."
Raharja menghela napas, pandangannya tetap tertuju pada foto itu.
"Kamu ingat bagaimana aku dulu selalu meragukan kemampuan baletmu? Aku pikir itu hanya angan-angan. Tapi kamu membuktikan aku salah. Kamu membuat semua orang bangga, termasuk aku. Tapi sekarang... aku tidak yakin Amora bisa melakukan hal yang sama. Dunia ini berbeda, Nadia. Tidak semua mimpi bisa bertahan di tengah kerasnya kenyataan."
Matanya mulai memerah, meskipun ia mencoba menahannya.
"Aku hanya ingin dia aman, Nadia. Aku hanya ingin dia punya masa depan yang pasti. Tapi setiap kali aku melihatnya menari, aku juga melihatmu. Itu... membuatku takut. Takut kalau aku membiarkan dia terus seperti ini, dia akan terluka. Dan aku tidak bisa kehilangan dia seperti aku kehilangan kamu."
—
Flashback
Malam itu, aula besar dipenuhi sorak sorai penonton. Amora, yang baru berusia tiga tahun, duduk di pangkuan Raharja. Ia menggenggam tangan ayahnya erat, matanya terpaku pada panggung, di mana Nadia, ibunya, bersinar seperti bintang. Gaun balet putih Nadia berkilauan di bawah sorotan lampu, gerakannya begitu anggun dan memukau. Setiap langkah, setiap lompatan, adalah bukti dedikasi dan cinta Nadia terhadap balet.
Saat Nadia mendekati klimaks pertunjukan, ia melayangkan pandangannya ke arah Amora. Senyuman hangat yang penuh kasih terpancar dari wajahnya, seolah mengatakan bahwa tarian ini ia persembahkan untuk putri kecilnya. Amora melambaikan tangan kecilnya, berbisik pelan, “Itu Ibu...” dengan mata berbinar kagum.
Namun, momen itu berubah menjadi mimpi buruk dalam sekejap. Nadia melompat untuk melakukan grand jeté terakhirnya, gerakan yang menuntut keberanian dan presisi. Kakinya salah mendarat. Suara hentakan keras terdengar, membuat aula yang semula penuh sorakan mendadak hening.
Raharja memeluk Amora erat saat Nadia terjatuh, tubuhnya terhempas ke lantai. Ia berlari ke panggung, sementara Amora menangis ketakutan. “Ibu kenapa, Ayah?” tanya Amora dengan suara kecilnya yang gemetar. Raharja tak sanggup menjawab, hanya terus memeluk putrinya sambil menatap tubuh Nadia yang terluka parah.
Hari-hari setelah kecelakaan itu menjadi kabur dalam ingatan Raharja. Nadia tak pernah pulih dari cedera fatalnya, dan komplikasi yang muncul merenggut nyawanya. Amora terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi, tetapi Raharja tahu malam itu meninggalkan jejak yang mendalam, bukan hanya di hatinya, tetapi juga di hati putri kecil mereka.
—
Raharja menundukkan kepala, suara tawa Nadia yang pernah memenuhi rumah ini tiba-tiba terdengar samar di benaknya.
"Amora bilang aku tidak mengerti. Tapi bagaimana mungkin aku tidak mengerti? Aku tahu betul bagaimana rasanya mencintai sesuatu yang mungkin dianggap tidak berarti oleh orang lain. Aku melihat itu di dirimu dulu, dan sekarang aku melihatnya lagi di matanya. Tapi aku takut, Nadia. Aku takut membuat kesalahan."
Ia meletakkan foto itu kembali ke meja dengan hati-hati, lalu menyandarkan kepala di tangannya.
"Kalau saja kamu ada di sini," bisiknya, hampir tidak terdengar. "Mungkin aku tidak akan sekeras ini pada Amora. Mungkin kamu bisa membuatku mengerti apa yang sebenarnya dia butuhkan."
Raharja terdiam dalam hening, hanya ditemani suara detak jam dinding. Hatinya bergulat antara cinta, rasa takut, dan kebingungan. Ia tahu bahwa Nadia pasti ingin ia mendukung Amora, tapi bagaimana caranya?
"Apa yang harus aku lakukan, Nadia?" tanyanya pelan, seolah berharap jawaban bisa datang dari senyum abadi di foto itu.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Raharja mulai mempertanyakan caranya mencintai dan mendidik Amora. Dalam hatinya, ia berjanji akan mencoba lebih memahami putrinya, meski jalan ke arah itu masih terasa kabur.
***
Tak terasa, hari ini adalah saatnya. Hari pertama pelaksanaan ujian bulanan. Semua berjalan lancar tampa halangan apapun. Hingga tibalah saat pengumuman peringkat.
Di lorong sekolah sudah di penuhi oleh kerumunan para siswa yang ingin melihat peringkat masing-masing. Sebagian ada yang senang karena nilainya naik dari tahun lalu, beberapa lagi ada yang biasa saja karena tidak peduli juga dengan nilai mereka.
Sialnya, saat Amora melihat ke papan peringkat itu, dia lagi-lagi berada di posisi 2. Bukan, bukan Lana yang ada di peringkat itu. Melainkan Athena, Si murid baru yang bahkan kehadirannya belum ada 1 tahun.
Melihat itu, darah Amora seketika mendidih dengan mata berapi-api. Ia berniat untuk mendatangi Athena untuk memberinya pelajaran kecil.
"Athena Glara."
Di tempat lain, tepatnya di kelas 12 IPA 1. Terdapat seorang anak perempuan dengan rambut pendek sebahunya sedang berkutat dengan buku-bukunya.
Dia Athena, saat ini dirinya sedang sibuk membereskan buku-bukunya yang berantakan di mejanya. Jika kalian bertanya kenapa Athena tidak melihat peringkatnga seperti anak lainnya, alasannya adalah karena sudah pasti tempat itu akan sangat ramai dan Athena sudah malas duluan melihat kerumunan itu. Alhasil Athena lebih memilih melihatnya nanti saja saat sudah sepi.
Baru saja Athena selesai memebereskan buku-bukunya, pintu tiba2 dibuka dengan kasar.
Dan pelakunya adalah Amora. Dia berjalan dengan anggun seperti tidak ada masalah apapun.
Athena mengangkat kepalanya sejenak, memandangi Amora yang melangkah masuk dengan wajah angkuh. Amora, dengan rambut hitam panjang yang selalu terlihat rapi.
Amora berjalan mendekati meja Athena.
"Oh, jadi kamu di sini, Athena," ujar Amora dengan nada tajam, membuat Athena langsung merasa ada sesuatu yang buruk akan terjadi.
Athena mencoba mengabaikan Amora, kembali mengatur buku-bukunya yang sudah tersusun rapi. Namun, Amora tidak membiarkannya begitu saja. Ia meraih salah satu buku milik Athena dan membukanya asal-asalan.
"Wah, rajin banget ya kamu, baca buku terus. Saking rajinnya sampe-sanpe bisa ngalahin aku." sindir Amora.
Athena menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.
"Amora, kembaliin bukuku."
"Kenapa? Buku ini terlalu penting, ya? Aku cuma mau lihat isinya," jawab Amora sambil membuka halaman demi halaman, ia tertawa kecil, meskipun tidak ada hal lucu.
Athena berdiri, berusaha merebut bukunya, tetapi Amora dengan cekatan menjauhkan buku itu.
"Lihat deh," ujar Amora sambil menunjuk catatan Athena.
"Tulisannya rapi banget, kaya anak kecil yang takut kena nilai jelek."
Athena merasa wajahnya memanas, tapi ia tetap mencoba menahan amarah.
"Aku ngga punya masalah denganmu, Amora. Tolong jangan ganggu aku."
"Tapi aku punya masalah denganmu," kata Amora dingin.
"Kamu terlalu... sempurna di mata guru-guru. Mereka selalu memujimu, Athena si murid pintar, Athena si siswa teladan, Athena si peringkat 1. Tapi sayangnya miskin. Anak beasiswa kaya kamu ngga berhak dapetin peringkat 1, Athena."
Kata-kata itu menusuk hati Athena. Ia tahu, sebagian dari itu mungkin benar. Ia memanglah anak beasiswa, dan karena itu ia harus mempertahankan nilainya agar beasiswanya tidak dicabut. Tapi itu bukan alasan bagi Amora untuk mempermalukannya.
Athena menarik napas dalam-dalam dan menatap Amora langsung di matanya. Ia teringat ucapan ayahnya dulu saat SMP di saat-saat terakhirnya ia bisa melihat wajah ayahnya.
Ayahnya pernah berkata, "Athena, tunjukkan kalo kamu itu kuat. Jika ada orang yang berani mengganggumu, lawan. Seperti namamu Athena Sang Dewi perang."
"Amora, aku nggak tahu kenapa sikap kamu kaya gini cuma karena nilaiku lebih tinggi, tapi kalo kamu ngerasa lebih baik dengan cara merendahkanku, itu urusanmu. Aku cuma pengin hidup tenang. Jadi, tolong berhenti."
Amora terdiam sesaat, tampak tidak menyangka Athena akan melawan. Tapi rasa malu itu segera berubah menjadi amarah. Ia melempar buku Athena ke lantai, membuat halaman-halamannya berantakan.
"Kalau hidupmu mau tenang, jangan sok menonjol!" serunya sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan dengan langkah lebar-lebar.
Athena menunduk, memungut bukunya yang berserakan. Di dalam hatinya, ia merasa sedih, tapi juga bangga karena untuk pertama kalinya ia melawan, meskipun hanya dengan kata-kata...
***
Di lain tempat, tepatnya di gudang sekolah, hujan rintik di luar menjadi saksi dari tangisan Amora.
Amora kembali teringat kenangan buruk tahun lalu,saat sang ayah murka karena mengetahui putrinya lagi-lagi gagal memenuhi ekspetasinya.
"Kamu lihat nilai ujian kamu itu!" Raharja melempar kertas hasil ujian Amora.
"Satupun tidak ada yang bagus!"
"Kamu ini gimana! Kamu itu anak saya, anak donatur utama sekolah. Seharusnya kamu bisa ngalahin siswa lain dan dapet nilai sempurna. Malu maluin!"
Berbagai seruan dan bentakan Amora terima dari ayah kandungnya sendiri.
Amora muak dengan semua kalimat kasar yang diucapkan ayahnya. Ia lelah, sungguh.
"Yah, Amora udah berusaha mati-matian belajar biar dapet nilai sempurna. Kenapa sih ayah ngga pernah liat usaha aku? Amora cape harus menuhin segala ekspektasi ayah! " Jawabnya dengan mata yang berlinang air mata.
"Berani kamu melawan saya." Sontak saja setelah itu, Raharja menyeret Amora dan memberi hukuman seperti biasanya.
—
Raharja menggenggam lengan Amora dengan kasar, menyeretnya ke kamar kecil yang sempit di sudut rumah. Amora tersandung beberapa kali, tetapi Raharja tidak peduli. Amarah telah menguasainya, menggantikan logika dan cinta seorang ayah.
"Kamu pikir hidup ini cuma tentang melakukan apa yang kamu mau, hah?" bentaknya, mendorong Amora hingga punggung gadis itu membentur dinding. "Kamu tahu apa yang terjadi kalau kamu gagal? Kamu tahu apa akibatnya kalau kamu lemah?"
Air mata Amora semakin deras mengalir. Tubuhnya gemetar, tetapi ia mencoba menatap ayahnya dengan keberanian yang tersisa. "Aku nggak pernah minta dilahirkan untuk jadi seperti ini, Ayah. Aku cuma mau hidup tanpa rasa takut!"
Namun, kata-kata itu malah membuat Raharja semakin murka. "Diam! Kamu nggak tahu apa-apa soal hidup. Kamu bahkan nggak tahu bagaimana rasanya kehilangan segalanya!" Tangan Raharja terangkat, dan untuk sesaat, bayangan Nadia melintas di pikirannya. Tapi rasa sakit, rasa bersalah, dan dendam pada takdir menghapus semua itu. Ia menjatuhkan tangannya, meski tidak dengan penuh tenaga.
Amora terhuyung, tubuh kecilnya tersandar di dinding. Luka di tubuhnya mungkin tidak begitu parah, tetapi luka di hatinya terus menganga, semakin dalam setiap kali ayahnya melepaskan amarahnya dengan cara seperti ini. Ia tidak mengerti bagaimana orang yang seharusnya melindunginya bisa menjadi sosok yang paling menakutkan dalam hidupnya.
Setelah beberapa saat, Raharja melepaskan tangannya dari lengan Amora dan mundur beberapa langkah. Ia memandang putrinya yang menangis terisak, tubuhnya terguncang di sudut ruangan. Sesuatu di dalam dirinya berteriak, menuntutnya untuk berhenti, untuk meminta maaf, tetapi rasa bersalah itu selalu datang terlambat.
"Keluar dari sini," katanya dingin, sebelum membalikkan badan dan meninggalkan Amora sendirian. Gadis itu terduduk di lantai, meremas ujung bajunya sambil menangis dalam diam. Dalam hati, ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi berharap pada ayahnya untuk memahami atau mencintainya.
Dan malam itu, Amora membuat sebuah janji pada dirinya sendiri. Aku akan keluar dari sini. Aku akan mencari kebahagiaan yang tidak pernah Ayah berikan padaku. Aku harus melakukannya, untuk diriku sendiri.
——
Amora takut, ia terlalu takut kejadian itu akan terulang lagi. Bayang-bayang ayahnya yang memberinya kalimat kasar dan dengan tega melakukan kekerasan kepadanya terus terlintas di kepala.
***
Di waktu yang sama, tapi di tempat berbeda. Athena merasa tidak enak dengan perkataannya tadi pada Amora. Jadi ia putuskan untuk mencari Amora dan meminta maaf.
Saat ia sampai di sebuah ruangan yang ia duga Amora berada di sana, dan benar saja setelah Athena masuk, ia dapat melihat dengan jelas sosok Amora yang meringkuk di dekat dinding.
Seolah menyadari atensi seseorang, Amora bangkit berdiri dan mulai melangkah mendekati Athena. suara langkah kaki menggema, mendekat perlahan namun pasti.
Athena berdiri mematung di sudut ruangan, tubuhnya bergetar oleh ketakutan yang tak mampu ia sembunyikan. Pandangannya tertuju pada Amora, gadis yang biasanya terlihat begitu sempurna—rambut hitam panjangnya yang tergerai, senyum anggunnya yang kerap menarik perhatian semua orang—kini berubah menjadi seseorang yang asing dan menakutkan. Wajah Amora yang biasanya cerah berubah kelam, hampir seperti langit yang bersiap menumpahkan badai.
Athena mundur setapak, mencoba menenangkan dirinya. "Amora," katanya dengan suara bergetar, "aku datang ke sini untuk minta maaf. Aku nggak bermaksud menyakitimu tadi."
Amora berhenti beberapa langkah di depan Athena, menatapnya dengan mata yang basah namun penuh amarah.
"Minta maaf? Kamu pikir itu cukup?" suaranya rendah, seperti desisan ular.
Tiba tiba saja, Amora berteriak tepat di depan wajah Athena. Gema ruangan itu terdengar sangat lantang. Pekikan dan teriakan seorang gadis terdengar merdu mengisi kekosongan ruangan itu.
Di sana, Amora, gadis cantik nan anggun itu meluapkan segala kekesalannya pada Athena, gadis lugu yang tidak mengerti apa salahnya.
"Athena! Ini semua gara-gara kamu! Semuanya hancur! Hancur, Athena!"
Ia meraung bagai singa yang kelaparan di tengah padang luas. Dalam luapan emosinya ia meluapkan seluruh isi hatinya.
"Kamu harus mati Athena, orang yang sudah membuat hidupku hancur pantas mati." Lirihnya penuh dendam.
Athena menatap lurus ke obsidian gelap Amora. Menatapnya lekat-lekat. "Aku ngga tahu alasan apa yang buat kamu semarah ini dan membenci aku, tapi aku ngga mau kita terus seperti ini."
Amora tertawa kecil, nada tawanya dingin dan getir. "Kamu nggak tahu? Kamu selalu mengambil segalanya dariku, Athena. Segalanya!"
Athena bingung. "Aku nggak pernah bermaksud mengambil apapun darimu. Aku cuma... belajar dan berusaha untuk bertahan di sini."
Amora menggeleng, matanya mulai memerah. "Kamu nggak ngerti apa-apa! Aku harus sempurna. Aku harus jadi yang terbaik. Kalau tidak, ayahku..."
Suaranya terputus, dan ia menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang kembali menyeruak.
Athena diam sejenak, mulai menyadari sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa iri. "Amora," katanya dengan suara lembut, "apa semua ini tentang ayahmu?"
Amora membeku, wajahnya berubah kaku. "Jangan bawa-bawa dia," katanya dengan nada dingin.
Athena melangkah maju, mencoba mendekati Amora. "Aku nggak tahu apa yang terjadi di rumahmu, tapi aku bisa lihat... kamu sebenarnya nggak benci aku. Kamu benci apa yang aku punya. Kebebasan untuk memilih, tanpa tekanan dari siapa pun."
Kata-kata Athena membuat Amora terdiam. Ia memalingkan wajahnya, tetapi air matanya mulai mengalir tanpa bisa dihentikan. Selama ini, ia menyimpan semua luka itu sendirian, tanpa pernah ada yang benar-benar mengerti apa yang ia rasakan.
"Aku nggak bisa gagal, Athena," suara Amora pecah di tengah isakannya. "Aku nggak punya pilihan. Ayahku... dia selalu menuntut aku jadi yang terbaik. Kalau aku nggak berhasil, aku cuma jadi alasan dia marah, alasan dia..."
Amora berhenti, menggenggam tangannya erat, berusaha menahan rasa sakit yang seolah menghantamnya kembali.
Athena berdiri di hadapan Amora, kali ini tanpa rasa takut. Ia menyentuh bahu Amora pelan, mencoba memberikan sedikit rasa nyaman. "Aku nggak tahu seberapa berat bebanmu, tapi kamu nggak harus menanggung semuanya sendirian. Kamu bisa berbicara dengan orang lain. Guru, konselor... atau siapa pun yang kamu percaya."
Amora menatap Athena, matanya yang basah menyiratkan rasa ragu sekaligus harapan kecil. "Kamu pikir itu akan mengubah apa pun?"
Athena tersenyum kecil. "Mungkin nggak langsung, tapi setidaknya kamu nggak sendirian."
Hening menyelimuti ruangan itu. Hujan di luar semakin deras, seolah menjadi pengiring bagi momen kecil ini.
Perlahan, Amora duduk kembali di sudut, sementara Athena tetap di sana, menemaninya dalam diam.
Malam itu, dua gadis yang sebelumnya saling menyakiti mulai memahami satu sama lain. Dalam kesunyian itu, ada awal dari sesuatu yang baru—pemahaman bahwa di balik setiap tindakan kasar, sering kali ada luka yang tersembunyi, dan bahwa setiap luka bisa sembuh jika ada seseorang yang peduli.
***
Setelah kejadian di sekolah, Amora pulang dengan wajah yang masih menyimpan sisa kesedihan. Ia mencoba menyembunyikan apa yang terjadi dari ayahnya, tetapi luka emosional yang ia alami terlihat jelas.
Raharja, yang sedang duduk di ruang makan dengan berkas perusahaan di tangannya, menatap putrinya saat ia masuk ke ruangan. Ia menyadari ada sesuatu yang salah.
"Amora," panggil Raharja tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas. "Kenapa wajahmu kaya gitu? Ada masalah di sekolah?"
Amora terdiam sejenak, menggigit bibirnya. Ia tahu, jika ia jujur, percakapan ini mungkin akan berubah menjadi konfrontasi yang lebih buruk.
"Tidak, Ayah," jawabnya singkat sambil membuka kulkas dan pura-pura mencari sesuatu untuk diminum.
Namun, Raharja meletakkan berkasnya dan menatap putrinya dengan serius. "Jangan berbohong pada saya, Amora. Saya tahu ada yang tidak beres."
Amora menarik napas panjang, menutup pintu kulkas dengan suara pelan, lalu menoleh ke arah ayahnya. Ia tahu, kali ini ia harus berkata jujur, meski takut akan reaksi ayahnya.
"Ayah, aku... Aku cuma lelah," ucap Amora, suaranya pelan tetapi penuh dengan emosi yang terpendam.
"Lelah?" Raharja mengernyitkan dahi. "Lelah belajar? Lelah mencoba jadi yang terbaik? Itu bukan alasan untuk menyerah, Amora."
Amora mengepalkan tangannya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Bukan hanya itu, Ayah. Aku lelah dengan semuanya. Dengan ekspektasi Ayah, dengan tekanan untuk selalu jadi sempurna. Aku..." Ia berhenti, suaranya bergetar. "Aku hanya ingin jadi diriku sendiri."
Raharja terdiam. Kata-kata itu menohoknya, tetapi ia masih mencoba mempertahankan wibawanya. "Apa maksudm? Semua ini untuk kebaikanmu. Saya hanya ingin kamu punya masa depan yang cerah."
Amora menatap ayahnya dengan mata yang penuh luka. "Ayah selalu bilang itu untuk kebaikanku, tapi apa Ayah pernah tanya apa yang aku mau? Apa Ayah tahu rasanya bangun setiap hari dengan rasa takut kalau aku nggak cukup baik buat Ayah? Apa Ayah pernah peduli kalau aku juga punya mimpi?"
Kata-kata itu membuat Raharja terdiam lebih lama. Ia tahu, ada kebenaran di dalamnya, tapi egonya sebagai seorang ayah membuatnya sulit mengakui kesalahannya.
"Ayah hanya ingin kamu sukses, Amora. Dunia ini tidak mudah. Kalau kamu tidak berusaha keras, kamu akan hancur."
"Tapi aku sudah berusaha, Ayah!" Amora hampir berteriak, air matanya mulai mengalir. "Aku sudah belajar siang malam, aku sudah mengikuti semua les yang Ayah atur, aku bahkan rela mengorbankan hal-hal yang aku suka. Tapi tetap aja, aku selalu gagal di mata Ayah. Aku selalu merasa tidak cukup baik."
Raharja merasa dadanya sesak. Ia melihat putrinya yang begitu rapuh, begitu hancur, dan untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa mungkin, cara didiknya selama ini salah.
"Amora..." Raharja mencoba mendekat, tetapi Amora mundur selangkah.
"Ayah tidak pernah melihatku sebagai diriku sendiri," lanjut Amora, suaranya bergetar. "Ayah hanya melihatku sebagai bayangan ibu. Aku bukan dia, Ayah. Aku Amora, dan aku ingin Ayah mencintaiku sebagai diriku sendiri."
Pernyataan itu membuat Raharja terpukul. Ia tidak pernah menyangka bahwa putrinya, yang selalu ia pikir kuat dan ambisius, ternyata menyimpan luka sedalam ini.
"Aku tidak mau terus hidup seperti ini, Ayah," lanjut Amora. "Aku ingin memilih jalanku sendiri. Aku ingin balet, aku ingin belajar karena aku mau, bukan karena Ayah memaksa."
Raharja menundukkan kepalanya, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. "Amora... saya hanya takut kehilangan kamu. Saya hanya ingin melindungi kamu dari dunia yang keras."
"Melindungiku tidak berarti menghancurkanku, Ayah," jawab Amora dengan lembut.
Hening menyelimuti ruangan itu. Raharja akhirnya menghela napas panjang dan menatap putrinya. "Saya tidak tahu apakah saya bisa berubah secepat itu, Amora. Tapi saya akan mencoba. Saya akan belajar untuk lebih mengerti kamu."
Air mata Amora semakin deras. Ia tidak percaya bahwa ayahnya, yang selama ini begitu keras, akhirnya menunjukkan sisi lembutnya.
"Terima kasih, Ayah," ucap Amora dengan suara bergetar.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Amora merasa ada harapan. Hubungan mereka masih jauh dari sempurna, tetapi setidaknya, ada awal yang baik untuk memperbaikinya.
***
Langit sore perlahan berubah menjadi malam, suasana di pemakaman begitu sunyi. Hanya suara angin yang berhembus lembut menemani langkah Athena. Di tangannya, ada buket bunga putih sederhana. Ia berhenti di depan sebuah nisan yang tertulis Rayyan Pratama
Athena berjongkok di depan nisan itu. Dengan hati-hati, ia membersihkan dedaunan kering di sekitarnya, lalu meletakkan bunga yang ia bawa di atas makam ayahnya.
"Halo, Ayah," Athena memulai dengan suara pelan. "Lama ya, aku nggak ke sini. Maaf, bukan karena lupa, tapi... aku sibuk, Ayah. Banyak hal yang bikin aku nggak punya waktu untuk datang."
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya.
"Semua berat, Ayah. Kadang aku merasa sendirian banget. Nggak ada yang benar-benar ngerti apa yang aku rasain. Aku selalu berusaha kuat, seperti yang Ayah ajarin, tapi ada saat-saat di mana aku pengin menyerah."
Athena memejamkan matanya sejenak, membiarkan air mata yang sudah ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh.
"Aku tahu, Ayah pasti bangga kalau aku terus belajar dan bertahan. Tapi, Ayah... jadi anak beasiswa di sekolah kaya itu nggak gampang. Rasa-rasanya semua yang aku lakuin itu salah karena aku cuma anak tidak mampu. Dan sekarang... aku malah jadi musuh buat Amora."
Ia tertawa kecil, tapi penuh kepahitan. "Lucu, ya? Aku nggak pernah niat ngerebut apapun darinya, tapi dia benci aku. Katanya aku merusak segalanya buat dia. Padahal aku cuma pengin hidup tenang, Ayah."
Athena menunduk, menatap nisan itu dengan tatapan penuh kerinduan.
"Kalau Ayah masih ada, aku yakin Ayah bakal tahu apa yang harus aku lakuin. Ayah selalu tahu cara bikin aku merasa aman. Sekarang aku cuma punya ingatan tentang Ayah, dan itu yang aku pakai buat bertahan."
Ia menyeka air matanya dengan punggung tangan, berusaha menguatkan diri.
"Tadi aku ketemu Amora di gudang sekolah. Dia... akhirnya cerita tentang apa yang dia alami di rumahnya. Aku nggak nyangka kalau dia sebenarnya juga terluka. Ternyata, semua yang dia lakuin ke aku cuma cara dia melampiaskan rasa sakitnya. Ayah, aku kasihan sama dia, tapi aku juga takut. Aku nggak tahu harus gimana supaya aku bisa bantu dia tanpa bikin dia makin marah sama aku."
Athena terdiam sesaat, membiarkan angin malam menyentuh wajahnya.
"Ayah, aku cuma pengin Ayah tahu... aku akan terus berusaha, seperti yang Ayah selalu bilang. Aku akan tetap kuat, nggak peduli seberapa sulit jalannya. Aku janji, Ayah."
Ia menyentuh nisan itu dengan lembut, seolah mencoba merasakan kehadiran ayahnya.
"Terima kasih, Ayah, karena udah ngajarin aku untuk jadi Athena, gadis yang nggak pernah takut menghadapi perang. Aku akan terus bawa semangat Ayah ke mana pun aku pergi."
Athena bangkit perlahan, membersihkan debu dari pakaiannya. Sebelum pergi, ia tersenyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat.
"Selamat malam, Ayah. Aku sayang Ayah."
Dengan langkah ringan, Athena berjalan meninggalkan makam itu, membawa tekad baru dalam hatinya untuk menghadapi hari-hari yang akan datang, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk membantu orang lain yang terluka, seperti Amora.
***
Keesokan paginya, suasana sekolah terasa seperti biasa-riuh oleh suara langkah kaki siswa yang bergegas ke kelas, tawa teman-teman yang bercanda di lorong, dan gemuruh lonceng yang menandai dimulainya pelajaran. Namun, bagi Athena dan Amora, hari itu adalah awal yang berbeda.
Athena menatap pintu kelas dengan perasaan campur aduk. Ia tahu percakapannya dengan Amora malam sebelumnya adalah langkah pertama, tetapi masih ada banyak hal yang harus diperbaiki. Ketika ia melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada Amora, yang duduk di barisan belakang dengan kepala tertunduk. Gadis itu tampak lebih tenang, meski masih membawa bayang-bayang kelelahan di wajahnya.
Athena mengumpulkan keberanian dan berjalan mendekat. "Hai," sapanya lembut.
Amora mengangkat wajahnya perlahan, mata mereka bertemu sejenak. Ada jeda panjang sebelum Amora menjawab, "Hai."
Athena duduk di kursi di samping Amora. "Aku... cuma mau bilang, kalau kamu butuh sesuatu atau mau bicara lagi, aku ada di sini. Oke?"
Amora terdiam, lalu mengangguk pelan. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana, tapi... terima kasih, Athena." Perlahan air mata Amora mulai jatuh membasahi pipinya.
Mereka berbagi senyum kecil-bukan senyum yang sepenuhnya bebas dari beban, tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa mereka sama-sama berusaha. Athena merasa ada sedikit harapan, dan Amora, merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.
Di luar, matahari perlahan muncul dari balik awan kelabu, membawa kehangatan pada pagi yang dingin. Dan di dalam kelas itu, dua gadis yang sebelumnya terpisah oleh rasa sakit mulai menemukan jalan untuk saling mendukung. Mungkin butuh waktu, mungkin masih akan ada konflik di antara mereka, tetapi untuk saat ini, mereka telah memulai langkah pertama menuju penyembuhan.
Amora menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Isakannya mulai mereda, meski sisa air mata masih mengalir perlahan di pipinya. Athena duduk di dekatnya, menjaga jarak yang cukup untuk tidak membuat Amora merasa terpojok, namun cukup dekat untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar peduli.
"Kamu tahu," Athena memulai dengan hati-hati, "aku sering merasa iri sama kamu. Kamu selalu terlihat sempurna, selalu jadi pusat perhatian. Aku nggak pernah tahu kalau kamu punya beban seberat ini."
Amora mendongak, menatap Athena dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. "Sempurna," gumamnya. "Itu cuma topeng. Aku nggak punya pilihan lain selain terlihat seperti itu. Kalau aku gagal... aku nggak tahu apa yang mungkin akan terjadi."
Athena mengangguk pelan, mencoba memahami. "Aku mungkin nggak bisa sepenuhnya ngerti apa yang kamu rasakan, tapi aku tahu gimana rasanya harus terus berusaha keras supaya diterima. Itu nggak mudah. Tapi kamu nggak sendirian, Amora. Aku di sini."
Kata-kata sederhana itu, meski mungkin terdengar klise, membuat hati Amora sedikit lebih ringan. Selama ini, ia selalu merasa sendirian, terperangkap dalam tekanan yang tak pernah ia bagi dengan siapa pun. Tapi mulai hari ini, ada seseorang yang bersedia mendengarnya tanpa menghakimi.
Amora mengusap air matanya, mencoba mengembalikan ketenangannya. "Aku nggak tahu kenapa kamu mau peduli sama aku, Athena. Setelah semua yang aku lakuin..."
Athena tersenyum kecil. "Karena aku percaya semua orang punya sisi baik, termasuk kamu. Aku cuma ingin kita bisa saling mendukung, bukan saling menjatuhkan."
Hening kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini bukan hening yang canggung atau penuh ketegangan. Hening itu membawa kehangatan, seolah ruang kecil itu menjadi tempat aman bagi keduanya.
Ketika mentari mulai muncul dan suara hujan mulai mereda, Amora akhirnya berbicara lagi. "Terima kasih, Athena. Aku... aku nggak tahu kalau aku benar-benar bisa berubah, tapi aku akan coba. Mungkin untuk diriku sendiri, kali ini."
Athena mengangguk, lega mendengar kata-kata itu. "Itu langkah pertama yang bagus, Amora. Aku ada di sini kalau kamu butuh teman."
Amora menatapnya, memberikan senyuman kecil. Bukan senyuman yang dibuat-buat, tapi senyuman yang tulus, meskipun samar. Sebuah tanda awal bahwa luka-luka lama mungkin mulai sembuh, perlahan namun pasti.