Malam itu hujan turun deras. Petir menyambar-nyambar seperti menggambar retakan di langit gelap. Dhea, seorang wanita berusia 28 tahun, berkendara sendirian menyusuri jalan kecil yang membelah hutan. Matanya nanar, menahan rasa lelah setelah seharian bekerja di luar kota. Di kursi sebelahnya, sebuah amplop cokelat dengan tulisan tangan besar: "Wasiat Akhir Keluarga Kinasih".
Ia menerima surat itu tadi pagi dari seorang kurir tanpa nama. Amplop tersebut berisi peta menuju sebuah rumah besar di tengah hutan ini, dengan pesan bahwa ia harus datang malam ini juga untuk menerima "warisan" keluarganya.
"Aneh banget... Aku nggak pernah dengar soal rumah keluarga di sini," gumam Dhea sambil terus menyetir.
Mobilnya tiba-tiba terguncang keras saat ban menabrak lubang besar di jalan. "Sial!" serunya, menghentikan mobil dan turun untuk memeriksa. Hujan deras membasahi tubuhnya dalam hitungan detik. Ia melihat bahwa salah satu ban mobilnya bocor.
"Sempurna," desisnya sinis.
Ia membuka ponsel untuk mencari bantuan, tapi tidak ada sinyal. Dalam keadaan putus asa, ia melihat ke depan dan menemukan sebuah cahaya kecil dari kejauhan. Cahaya itu tampak seperti berasal dari jendela rumah.
"Ya Tuhan, semoga itu rumahnya," katanya, menggigil.
Dengan membawa amplop dan senter dari mobil, Dhea berjalan menembus hujan menuju rumah tersebut.
Rumah itu berdiri megah namun terlihat kuno. Dinding kayunya sudah mulai lapuk, dan jendelanya tertutup tirai tebal. Ada sebuah lonceng tua di depan pintu. Dhea menarik napas panjang sebelum membunyikannya.
Ding... Dong...
Tidak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang wanita tua dengan wajah keriput dan mata gelap muncul di balik pintu. Senyumannya aneh, seperti dipaksakan.
"Kamu pasti Dhea," kata wanita itu dengan suara serak.
"Ya, benar. Saya... Saya menerima surat ini. Katanya ada warisan yang harus saya ambil di sini," jawab Dhea sambil menunjukkan amplopnya.
Wanita itu mengangguk pelan. "Masuklah. Jangan sampai dingin di luar terlalu lama. Malam ini adalah malam yang penting."
Dhea ragu sejenak, tetapi akhirnya mengikuti wanita itu masuk.
Di dalam rumah, aroma dupa menyeruak, bercampur dengan bau kayu basah. Lilin-lilin menerangi ruangan dengan cahaya redup. Dindingnya penuh dengan foto-foto keluarga tua. Beberapa foto terlihat sangat kuno, seperti berasal dari awal abad ke-20.
"Ayo, duduk di ruang tamu," kata wanita tua itu, menunjuk ke sofa usang.
"Terima kasih. Maaf, saya belum tahu nama Anda," kata Dhea sopan.
"Namaku Bu Suri. Aku pengurus rumah ini sejak dulu. Aku sudah menunggu kedatanganmu, Dhea."
Dhea mengernyit. "Menunggu saya? Kenapa? Apa ini soal warisan?"
Bu Suri tersenyum samar. "Semuanya akan dijelaskan nanti. Tapi sebelum itu, ada beberapa hal yang perlu kau tahu."
Dhea merasa tidak nyaman. Cara bicara Bu Suri terdengar misterius.
"Tolong jelaskan saja, Bu. Saya capek, basah, dan..."
"Ssst..." Bu Suri menaruh jari di bibirnya. "Sabar, Nak. Malam ini panjang. Dan kau harus mendengar cerita keluargamu dulu."
Bu Suri mulai bercerita tentang garis keturunan keluarga Kinasih. Keluarga itu, kata Bu Suri, adalah keluarga terpandang di masa lalu. Namun, ada rahasia gelap yang menghantui mereka.
"Setiap generasi keluarga Kinasih, harus ada satu anak yang dikorbankan. Sebuah tumbal untuk menjaga kekayaan dan kekuasaan keluarga," kata Bu Suri, suaranya serak.
Dhea merasa bulu kuduknya meremang. "Apa? Maksud Ibu... dikorbankan?"
Bu Suri mengangguk pelan. "Benar. Dan kau, Dhea, adalah keturunan terakhir keluarga ini."
Dhea tertawa kaku, mencoba memecah suasana. "Ini pasti lelucon, kan? Saya tidak pernah tahu soal keluarga besar ini, apalagi soal tumbal segala!"
Namun, wajah Bu Suri tetap serius. "Kau akan mengerti semuanya pada waktunya."
Tiba-tiba, pintu ruang tamu terbuka dengan keras. Seorang pria tinggi dengan wajah dingin masuk. Bajunya serba hitam, dan matanya seperti menatap langsung ke dalam jiwa Dhea.
"Ini dia?" tanya pria itu pada Bu Suri.
"Ya, ini dia," jawab Bu Suri singkat.
"Siapa ini?" tanya Dhea, merasa panik.
"Namaku Arga. Aku adalah... penjaga tradisi keluarga ini," jawab pria itu tanpa ekspresi.
Dhea mundur selangkah, merasakan sesuatu yang tidak beres. "Saya tidak tahu apa yang kalian bicarakan, tapi saya tidak akan terlibat dalam omong kosong ini!"
"Sayangnya, kau tidak punya pilihan," kata Arga.
Seketika, lampu di ruangan padam. Lilin-lilin bergetar, seperti ada angin yang tidak terlihat. Dhea merasa tubuhnya seperti terkunci di tempat.
Saat cahaya lilin kembali stabil, Dhea menyadari bahwa ia kini berada di ruangan berbeda. Sebuah altar besar berdiri di depannya, dihiasi simbol-simbol aneh dan patung menyeramkan. Di lantai, ada lingkaran dengan tulisan kuno yang tidak ia mengerti.
"Apa ini? Apa yang kalian lakukan pada saya?!" teriak Dhea, mencoba bergerak. Namun, tubuhnya terasa berat, seperti ada yang menahannya.
"Ini adalah takdir keluargamu, Dhea," kata Bu Suri, yang kini mengenakan jubah hitam panjang.
"Tidak! Ini gila! Kalian salah orang!" teriak Dhea, matanya basah oleh air mata.
Arga melangkah mendekatinya. "Ini bukan soal pilihan, Dhea. Ini adalah soal menjaga keseimbangan. Tanpa tumbal, keluarga Kinasih akan hancur, dan semua warisan akan musnah."
"Saya tidak peduli soal warisan! Saya tidak mau mati!"
Bu Suri hanya tertawa kecil. "Kau tidak akan mati... setidaknya tidak seperti yang kau pikirkan."
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari balik kegelapan. Dari arah lain ruangan, muncul seorang wanita muda yang wajahnya sangat mirip dengan Dhea.
Dhea terbelalak. "Apa... siapa dia?!"
Wanita itu tersenyum dingin. "Aku adalah kau, Dhea. Tapi aku adalah versi yang gagal."
"Dewa... apa maksudnya ini?!"
Bu Suri menjawab dengan nada tenang. "Kami pernah mencoba memanggilmu sebelumnya. Tapi hasilnya... tidak sempurna. Kini, ritual harus diselesaikan dengan benar. Kau adalah bagian terakhir dari teka-teki ini."
Wanita yang mirip dengan Dhea mendekat, wajahnya berubah menjadi penuh luka dan darah. Ia berbisik ke telinga Dhea. "Kau tidak akan pernah keluar dari sini."
Dhea berteriak histeris saat lilin-lilin di sekitarnya tiba-tiba padam. Dalam kegelapan, ia mendengar suara-suara aneh—bisikan, jeritan, dan tawa menyeramkan. Tubuhnya mulai bergerak sendiri, seperti ada yang mengendalikannya.
"Apa yang kalian lakukan padaku?!"
Namun, tidak ada jawaban. Saat ia membuka matanya lagi, ia sudah berdiri di tengah lingkaran altar. Tangannya berlumuran darah, dan di depannya, tubuh Bu Suri tergeletak tak bernyawa.
"Selamat, Dhea," kata suara Arga dari balik bayangan. "Kau telah menyelesaikan ritualnya. Sekarang kau adalah penjaga terakhir keluarga Kinasih."
Dhea menangis, tidak memahami apa yang telah terjadi. Namun, ia menyadari sesuatu: ia tidak merasa seperti dirinya lagi. Ada sesuatu yang gelap yang kini menguasainya.
Hujan berhenti. Rumah itu kini kosong, sunyi seperti tidak pernah dihuni. Dari jauh, seorang wanita berjalan keluar dari pintu utama. Wajahnya adalah wajah Dhea, tapi matanya tidak lagi sama. Ia membawa amplop cokelat di tangannya.
Di jalan kecil yang sama, seorang kurir anonim mengantarkan amplop baru ke sebuah alamat lain. Amplop itu berisi peta dan pesan serupa:
"Wasiat Akhir Keluarga Kinasih."