Secret Under The Mask
Author: Skipper
Horor
Di sebuah kota kecil bernama Magnolia, sering mengadakan pesta perayaan Halloween dan tempatnya sering berganti tergantung dari permintaan para warga, kali ini mereka memutuskan untuk membuat acara tersebut di sebuah mansion terkenal yang berada agak tepi dari pusat kota, selain karena suasananya terlihat natural serta cocok dengan tema tapi juga tempatnya cukup luas jika semua warga ikut.
Walikota tersebut adalah seorang gadis bernama Mentari Senja, bukan karena tanpa alasan dia terpilih sebagai walikota karena setiap 100 tahun mereka selalu melakukan semacam ritual untuk mencari seorang pemimpin yang katanya adalah pilihan sang dewa penguasa tempat tersebut.
Seperti biasa setiap hari berlalu layaknya hari pada umumnya, hanya beberapa hiasan lampu tergantung di sepanjang jalan serta tempat tempat tertentu untuk menambah kesan Halloween, serta ada juga flash sale khusus selama waktu yang di tentukan biasanya kostum, wig atau semua hal berhubungan dengan pesta Halloween.
Poster undangan juga tak hanya di bagikan pada warga, namun di sebarkan lewat media sosial karena moto dari kota tersebut adalah 'Semakin banyak orang datang maka suasana akan makin meriah' serta untuk membagikan kebahagiaan pada orang lain, yang ternyata hal itu di sambut baik oleh banyak orang dari kota lain.
“Bu Mentari, apa gak masalah soal acara kali ini?” ucap seorang pria paruh baya yang adalah salah satu dari asisten kota. “aku gakyakin kalo mansion itu bisa nampung—”
“Gak usah khawatir soal itu, Fajar.” Mentari berdiri dari bangkunya lalu menatap ke arah jendela yang secara langsung mengarah pada mansion tersebut. “tempat itu luas banget bahkan bisa nampung lebih dari sepertiga warga dari negara ini, jadi ikutin aja alurnya sesuai kehendak sang dewa (aku).”
Namun sebelum mengatakan sesuatu Mentari berbalik lalu berkata. “dan aku harap kau tidak memanggilku dengan sebutan ibu karena usiaku baru 20 tahun, justru aku yang harus memberikan hormat padamu.”
“Baiklah I—maksud aku Mentari, dengan ini aku bakal ngecek semua dekorasi dalam mansion itu supaya bisa dipake sebelum malam ini.” setelah mengatakannya Fajar segera meninggalkan tempat itu.
Sementara itu Mentari yang tengah duduk di bangkunya sambil memegang topeng di salah satu tangannya tampak senang, meski tak ada alasan tertentu, dia memejamkan mata sejenak sambil menikmati kegiatan santainya walau hanya sebentar.
Karena jika sedang mempersiapkan acara Mentari tidak perlu terlalu sibuk dalam urusan pemerintahan, walau sebagian orang begitu mempercayai sosok Dewa Matahari karena di anggap memberikan berkah kepada para warga, tapi tidak dengannya sebab apa yang di dapatkan itu berasal dari kerja keras secara individual serta bukan bantuan dari siapapun, dan kadang dia juga sering menganggap diri sebagai sosok Dewa itu sendiri.
Waktu berlalu dan pagi kini berubah menjadi siang, Mentari meletakkan topeng di tangannya ke dalam sebuah lemari lalu beranjak dari kantornya sekalian melihat secara langsung tempat acara tersebut akan di mulai, dengan langkah perlahan kakinya melewati lift sambil memperhatikan ponsel.
Di kota tersebut mempercayai bahwa angka 6 adalah kesialan, dan jika mendapatkan secara beruntun maka akan di pastikan orang tersebut tidak akan bertahan lama hingga 6 menit kemudian, bahkan di semua tempat umum angka tersebut selalu terlewat seakan tak pernah ada.
Setelah beberapa saat berlalu akhirnya Mentari tiba di lantai dasar gedung tersebut, meski jaraknya hanya 2 lantai saja tapi dia lebih nyaman ketika berada dalam ruangan tertutup sendirian karena merasa seperti ketenangan yang tak bisa di jelaskan secara kata-kata.
Di depan pintu terlihat seorang gadis cantik berambut hitam pendek, dia membungkuk sambil memberi salam. “Nona Mentari keliatan cantik banget deh hari ini.” ucapnya sambil tersenyum ramah.
Mentari tersenyum menanggapi perkataan tersebut. “kau bahkan keliatan begitu menawan, dan jangan lupa buat ajak keluargamu di luar kota untuk ikut acara tahunan kita.”
Gadis itu hanya menggangguk dan kembali ke mejanya untuk melaksanakan tugas yang sebelumnya terhenti ketika melihat sosok penguasa di kota tersebut, namun ketika Mentari akan meninggalkan kantornya gadis itu berdiri memberikan sebuah kotak.
“Sebelum itu aku cuma mau ngucapin, makasih~” ucap Mentari sambil meraih kotak berwarna hijau serta cokelat tersebut, yang entah kenapa mengingatkannya pada mansion tempat tujuannya.
Namun Mentari segera menggelengkan kepalanya dan melanjutkan perjalannya hingga berdiri tepat di depan kantor, seakan sedang menatap ke arah langit cerah tanpa awan menutupi meski tak terasa panas karena ada angin sejuk yang berhembus secara perlahan, sebenarnya dia ingin menunggu hingga salah satu asistennya datang membawa kendaraan tapi meski sudah di tunggu lama tampak tidak ada siapapun yang lewat
“Permisi.” ucap seseorang yang tengah mengendarai sebuah motor.
Melihat orang itu ternyata sedang berbincang dengannya Mentari memandang orang tersebut. “kamu kayaknya bukan berasal dari sini, dan apa keperluan kamu sama aku? Kalo mau mau lihat arah ato sekedar cek lokasi, kamu bisa ngecek peta kecil di depan kantor ini.”
“Sebenernya aku kayaknya sedikit tersesat—jadi bisa gak kamu anterin aku ke lokasi mansion tempat acara itu di adain?” ucap orang itu serta tampak sedikit gugup hingga berkeringat.
Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya Mentari mengangguk, setuju untuk membantu pemuda itu. “Karena aku juga lagi pengen ke sana serta mungkin butuh tumpangan, aku dengan senang hati bakal bantuin kamu.” Ia pun melangkah dan duduk di bagian belakang motor. “ikuti aja arahan dari aku dan kita bisa sampai ke tempat tujuan dalam hitungan detik.”
Orang itu menatap kebingungan karena jarak dari pusat kota terlihat jauh dengan mansion tersebut, hingga membuat Mentari tersadar akan perkataannya. “—ato mungkin beberapa menit, tapi kalo kita cuma diem di sini sampe malam pun gak bakal pernah sampe ke tempat tujuan.”
“Kamu benar.” orang itu menghidupkan motornya yang entah kenapa berjalan begitu lambat, jika di bandingkan dengan orang lari mungkin kalah cepat.
“Apa kamu yakin udah mastiin kecepatannya tepat.” tanya Mentari yang sedikit gelisah. “aku lagi terburu buru atau Fajar akan mengomel lagi.”
Mereka pun melaju dengan kecepatan 40km/jam, begitu berbelok belok mungkin karena hampir setiap jalan di penuhi oleh berbagai orang ataupun dekorasi yang menutupi sebagian jalan, hingga akhirnya melewati sebuah hutan lebat.
“Kayaknya ini bukan jalan yang aku kasih tau deh—” Mentari tersenyum sesaat sebelum menepuk pundak dari orang asing itu. “sebenernya kamu gak ada niat buat pergi ke mansion itu kan? Jadi jelasin apa tujuan kamu itu sebelum—”
Ekspresi orang itu berubah ketika mereka sampai di sebuah kabin tua yang sepertinya baru saja ada beberapa waktu sebelumnya. “kau cuma terlalu polos buat gikutin orang asing kayak aku sampe di sini? Apa orang tua kamu gak pernah ngasih tau kalo gak boleh ngomong sama orang asing?”
“Polos? Aku? Mungkin aku bakal mikirin hal itu nanti.” sebuah senyuman terukir pada wajah Mentari ketika berhadapan dengan orang asing itu. “kayaknya kamu gak sadar lagi nantangin siapa ya? Karena secara teknis aku adalah sosok yang adalah reinkarnasi dari Dewi Kematian~”
Mentari memainkan rambutnya dan menendang salah satu pohon hingga menjatuhkan sebuah topeng berbentuk bintang di tengahnya, lalu mengenakannya. “apa kamu punya kata terakhir? Ato mau teriak? Jangan khawatir karena aku bakal ngasih kamu sebuah tempat penuh kedamaian~"
Orang asing itu menatap Mentari tubuhnya gemetaran seakan sedang berhadapan dengan sosok yang tak bisa di jelaskan, namun ketika akan berlari kakinya seakan tertahan oleh akar rumput menjalar hingga terjatuh ke lantai, nafasnya terengah seolah telah berlari ribuan kilometer panjangnya.
Orang itu menatap wajahnya tampak pucat, namun tetap berusaha agar bisa meluruskan masalah di hadapannya. “aku bisa mjelasin semuanya, tolong kasih aku sedikit waktu—ato mungkin kesempatan kedua?” keringat mulai membasahi wajahnya, suaranya juga terdengar serak.
Mentari berfikir sejenak lalu tersenyum dari balik topengnya. “sepertinya kamu cocok buat jadi persembahan tahun ini, dan itu berarti seharusnya kamu merasa bangga ketika nyatu sama kota Magnolia tercinta.”
Orang di depannya tiba-tiba terdiam seakan telah meninggalkan jiwanya, sementara di hadapannya Mentari berdiri tanpa melakukan apa-apa, namun semakin lama orang itu seperti terjebak dalam sebuah persembahan yang bahkan tak bisa dilihat oleh mata telanjang, lalu seketika berubah menjadi sebuah topeng berbentuk bintang.
Seakan akan orang tersebut telah di telan oleh alam itu sendiri, serta menjadi entitas baru dan ketika keberadaan dari orang itu telah lenyap secara otomatis topeng yang di kenakan oleh Mentari hancur terbelah dua dan dia mendapati dirinya sendiri serta motor milik korban dari persembahan, dan tanpa menunggu lama dia segera menaiki motor tersebut dan menuju ke arah mansion di ujung kota.
Jalanan yang di penuhi oleh dekorasi Halloween, namun kali ini semua orang tak terlihat berada di tengah jalan tampak sedang bersiap untuk pesta kostum malam ini, serta beberapa toko mulai terlihat penuh dengan para warga juga turis asing.
Di kota Magnolia jarang ada toko penjual topeng karena dalam kepercayaan mereka jika sebuah topeng hanya akan di anggap kalau memiliki sebuah kehidupan, namun bukan berarti tidak ada.
Saat berada di jalan menuju ke mansion tempat di adakan pesta Halloween, Mentari merasakan bahwa pesta kali ini bukan sekedar perkumpulan orang mengenakan kostum karena mungkin bakal ada sebuah persembahan yang akan terjadi, jadi dia melanjutkan motornya ke tempat tujuan.
Karena belum memiliki kostum, Mentari berjalan menyusuri sebuah toko sambil berharap bahwa dirinya akan menemukan sesuatu yang mungkin sesuai seleranya, namun meski telah berjalan jalan sekitar 30 menit tampak tak ada satupun kostum menarik, tapi karena di desak waktu dia pun mengambil salah satu secara acak asalkan ketika di kenakan pas dengan tubuhnya.
Setelah berganti pakaian Mentari melanjutkan perjalanannya ke mansion tersebut, dan memandang dekorasi sekitar serta menjadi takjub, tentu saja hal itu merupakan hasil kerja dari asisten paling terpercaya.
“I-Mentari, apakah acaranya memang buat—”
Sebelum melanjutkan pertanyaan Mentari menutup mulut asistennya dengan jari. “biarin aja pesta ini jadi meriah, lagi pula aku cuma mau lihat detektif yang katanya terkenal itu pas ngelawan kutukan seribu tahun di kota ini.” ucapnya, suaranya terdengar bergetar namun wajahnya menunjukkan sebuah senyuman.
“Dari semua detektif yang pernah datang ke sini, kayaknya gak ada satupun yang berhasil nentang kehendak sang Dewa.” ucap Fajar, meski terlihat tak percaya tapi ada sedikit harapan agar bisa terlepas dari semua itu.
"Kita lihat aja nanti pas waktu nunjukkin jam 12 malam—maksudku tengah malam.” Mentari berkata sambil melangkah ke dalam mansion yang hampir di penuhi oleh berbagai macam orang dari penjuru dunia.
Meski dalam hati Mentari sedikit merasa khawatir, mansion tersebut memang besar tapi jika orang yang datang lebih dari perkiraan maka besar kemungkinan tidak akan bisa kalau hanya mengandalkan tempat tersebut, mungkin perkataan dari Fajar sedikit benar karena bisa berfikir bahkan ke titik tak terfikirkan olehnya.
Dengan langkah perlahan Mentari berdiri di tengah mansion sambil memperhatikan semua orang yang mulai berdatangan ke dalam mansion tersebut, di sampingnya tampak sebuah kotak misterius terbuat dari besi berlapis emas.
Karena berfikir bahwa itu adalah bagian dari rencanya yang telah di sediakan oleh asistennya, Mentari mencoba kotak tersebut meski ternyata dia harus mencari kunci sebelum mengetahui isi dari kotak tersebut. Di sampingnya tampak tidak ada hal mencurigakan, jadi dia beranjak dari tempat duduknya sebentar. Matanya terhenti ketika melihat sebuah kabinet tak terkunci serta sebuah kunci di dalamnya.
Tanpa berfikir panjang Mentari segera mengambil kunci tersebut dan kembali mencari kotak misterius, karena terlalu bersemangat kunci itu bahkan sampai jatuh dari genggamannya, ketika percobaan ketiga akhirnya peti tersebut pun terbuka.
Di dalam peti tersebut hanya ada sebuah jam dinding serta jam tangan meski terlihat sedikit usang tapi tampaknya masih bisa berfungsi dengan baik, Mentari segera memajang jam dinding tepat di atas kepalanya, sementara jam tangannya ia kenakan di lengan sebelah kiri.
Melihat bahwa semuanya telah sempurna seperti bayangannya, Mentari pun kembali bersantai di bangku tempat dia melihat semua kegiatan para pengunjung serta warga, saat itu waktu menunjukkan pukul 7 malam dan bunyi lonceng terdengar sebanyak 7 kali.
Karena di dalam mansion telah banyak orang, pintu secara otomatis tertutup dengan sendirinya, walaupun hal itu tak di ketahui oleh semua orang di sana, bagi mereka kebahagiaan mengenakan kostum adalah tujuan utama.
Marina berdiri menghampiri pagar pembatas lalu mengucapkan beberapa salam. “buta para peserta aku cuma mau bilang makasih udah bisa luangin waktu buat dateng ke sini, aku sebagai walikota gucapin selamat menikmati acara tahunan dari kota Magnolia."
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan kini hampir menunjukkan pukul 10 malam, atau di mulainya acara tersebut, banyak orang tampak bersenang senang namun mereka tak mengetahui bahwa ketika masuk ke dalam sana maka tak akan ada jalan keluar kecuali mereka adalah warga dari kota Magnolia.
Di sudut ruangan seorang pria mengenakan jas hitam serta dasi berwarna merah tampak sedang mengawasi situasi bahkan pulpen di tangannya seakan tengah menulis sebuah kisah yang mungkin tak akan dia temukan untuk kedua kali, itupun jika dirinya berhasil keluar dengan selamat dari sana.
Kotak yang awalnya telah kosong karena kedua jam telah di keluarkan kini mengeluarkan sebuah suara dentingan seolah masih ada sesuatu di sana, namun ketika Mentari memeriksanya tampak tak ada apapun di sana hanya sebuah kotak kosong, tapi suaranya tak terhenti setiap 12 menit selalu terdengar suara sebanyak 12 kali.
“Sekarang bahkan belum jam 10 malam, tapi kenapa—terasa seperti ada sesuatu yang janggal.” Marina mengusap keningnya sambil mencoba mengingat beberapa hal penting. “apa aku baru aja lupain sesuatu? Tapi apa itu?”
Seketika Mentari mengingat bahwa semua orang di sana tak ada yang mengenakan topeng, dia berdiri lalu memberitahukan bahwa hal tersebut adalah kewajiban dalam pesta Halloween. “aku harap kalian mgikutin semua aturan dari kota Magnolia dengan mengenakan topeng di sisi kalian, makasih sebelumnya~”
----------------------------------------
Suasana di mansion ini terasa aneh, sejak Mentari walikota Magnolia, mengumumkan dimulainya pesta Halloween ketegangan terasa menyelimuti ruangan. Para tamu termasuk aku dipaksa mengenakan topeng aneh berbentuk bintang. Aku merasa risih tapi tetap memakainya. Sementara warga desa asli mendapatkan topeng dengan lukisan bulan darah, yang terlihat jauh lebih menyeramkan.
Aku adalah Natsuo Takeda seorang detektif terkenal niatku adalah mengamati Mentari dengan seksama. Senyumnya seakan tersembunyi di balik topeng, tapi matanya tajam. Saat melihat sekeliling mataku tertuju pada seorang pengunjung yang memiliki angka 01 bercahaya terang di kepalanya. Aku bingung, apa artinya ini? Apakah hanya dia yang memiliki nomor seperti itu?
Aku mencoba berkeliling untuk mencari tahu, tapi seakan ada kekuatan yang menahan langkahku. Aku terjebak di tengah kerumunan dan tak bisa bergerak bebas. Udara terasa dingin menusuk tulang, jam di dinding bergerak sangat lambat, setiap detik terasa seperti bertahun-tahun. Dan ketika jam menunjukkan pukul 12 malam lonceng berbunyi 12 kali tapi jarum jam tidak bergeser ke 12:01, sebaliknya, jarum jam berbalik kembali ke pukul 10 malam.
Dari ujung lorong terdengar teriakan, aku segera berlari ke arah suara itu, sebelum sampai aku sempat melihat Mentari duduk tenang matanya terpejam. Sesampainya di tempat kejadian aku terkejut melihat seorang wanita tergeletak dengan tubuh terbelah namun tak ada bekas darah atau cipratan yang meninggalkan bukti bahwa wanita itu dibunuh oleh seseorang, bahkan tak ada bukti atau apapun di sekitar jasad korban.
Karena panik aku mencari petunjuk di sekitar korban untuk memastikan apa yang aku lihat bukanlah ilusi melainkan kenyataan dan ada seseorang yang membunuhnya, tapi di sana aku hanya menemukan topeng tergeletak di lantai.
“Orang ini!” Aku memegang topeng milik korban, angka 01 yang tertulis di atasnya semakin memudar seiring berjalannya waktu.
Aku merasa kota ini menyembunyikan sesuatu, semua orang bersikap aneh seolah tak ada yang terjadi pesta tetap berlangsung seperti biasa. Tiba-tiba sebuah bisikan terdengar di telingaku, “Kamu udah masukin dunia kutukan ini dan sebagai hadiah eksklusif maka bakal aku kasih ijin supaya kamu bisa liat para pengunjung dari kota lain ke sini sebagai tumbal bagi sang dewa.”
Aku sempat menduga bahwa Mentari yang membisikan kata-kata itu meski hal itu mustahil karena jarak kami terbilang cukup jauh, tapi karena penasaran aku berbalik dan menatapnya tapi tak ada perubahan signifikan. Namun karena kejadian itu aku menyadari satu hal: Mentari adalah satu-satunya orang di sini dengan memiliki topeng dengan motif berbeda yaitu bunga mawar hitam di dahi sampai pipi, lambang yang sama pada logo kota Magnolia.
“Permisi.” suara misterius itu membuatku tersentak, aku terlalu fokus menatap Mentari hingga tak menyadari kehadirannya.
“Pak, tolong jangan nutupin jalan.” seorang gadis berambut pirang dengan kuncir dua memintaku minggir. “Aku mau—”
“Maaf, aku cuma lagi rasain setuaty yang aneh—dan mungkin sedikit bikin bingung. ” aku minggir dan memberi jalan kepada gadis itu.
Awalnya aku khawatir kematian wanita itu akan membuat gadis itu ketakutan, tapi ketika aku berbalik membuatku terkejut melihat jasad wanita itu menghilang sementara topeng di samping jasad wanita yang tadinya berada di lantai kini hancur menjadi kepingan kecil.
Secara perlahan aku mulai memunguti topeng itu satu persatu meski sebenarnya aku juga tak tahu alasanku melakukan hal tersebut, tapi hal tak terduga terjadi karena dalam sekejap mata topeng itu berubah menjadi debu yang ditiup angin, rasanya tak terlukiskan dan seperti baru saja melewati sebuah kejadian aneh meski aku tahu bahwa dalam kota itu tidak ada satupun hal normal bahkan jika itu termasuk perilaku para pengunjung.
Ketika gadis itu kembali melewatiku sepintas aku melihat angka 02 tertulis di dahinya, namun tampaknya dia tidak mengetahu hal buruk apa yang akan menimpa dirinya, di sisi lain aku ingin menolongnya tapi tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Aku adalah tipe orang realistis dan selalu berpegang teguh pada sains tak pernah sedikitpun mempercayai takhayul, tapi dalam hati aku tetap ingin mencari tahu dalang di balik pembunuhan ini meski hal itu bukan manusia.
Saat berjalan aku melihat sebuah kotak berisi sebuah surat dengan tulisan darah, aku membaca satu persatu kata dalam surat tersebut hingga menyadari bahwa ternyata ketika kota Magnolia di dirikan walikota pertamanya membuat sebuah perjanjian tertulis dan tak tertulis pada sosok yang menyebut dirinya sebagai dewa, dan kota itu di wajibkan untuk memberikan korban sebagai ganti dari perlindungan sang dewa serta kemurahannya karena memberikan kesuburan serta kemakmuran.
Setelah membaca sedikit tentang latar belakang kota Magnolia, seolah terdengar suara meski samar tapi bisa kudengar. “lebih baik kalo kamu gak tau hal yang gak seharusnya di ketahui sama manusia mortal sama kayak kamu.”
Saat aku berbalik tapi tak ada siapa pun di belakangku, sementara Mentari tampak mengamati arlojinya lalu kembali menatap para pengunjung dengan senyum misterius, walau tersembunyi dari balik topeng tapi aku yakin bisa melihat ekspresi itu.
Rasa ingin tahu membuatku ingin mendekati Mentari, aku mencoba menaiki tangga tapi setiap kali menaiki satu anak tangga kakiku seakan kembali ke titik awal seolah ada sosok dengan kekuatan tak kasat mata yang melarangku mendekatinya.
Upayaku berakhir dengan sia-sia, nafasku tersengal-sengal padahal aku masih berada di lantai satu, aku ingin memanggil Mentari tapi tenggorokanku seperti tersedak tak mengeluarkan suara sedikit pun Rasanya seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak berujung.
Aku duduk di bangku sebentar sambil mengamati jam yang bergerak maju, detik berganti menjadi menit tapi waktu terasa sangat lambat seakan berhenti sejenak, sementara rang-orang masih menikmati pesta makan dan minum di atas meja seperti tak ada hal aneh terjadi.
Langkahku terasa lambat detak jantungku seperti berada di bulan tempat tak ada gravitasi, seketika aku teringat nomor di topeng gadis yang sebelumnya ditemui, aku berjalan sambil mencari ke segala tempat berharap bisa menghentikan pembantaian ini.
Tapi ketika melewati meja sajian aku menghentikan langkah, sambil memandang makanan favoritku ketika masih kecil, makanan yang selalu dibuatkan oleh ibu, dan satu satunya hal yang mengingatkanku pada sosok ibu apalagi setelah kematian ibu dan pernikahan ayahku dengan wanita lain seakan membuatku terpinggirkan
Ingatan tentang gadis dengan nomor di dahinya tergantikan. Kali ini tujuanku adalah mencicipi makanan itu, mataku berbinar seakan menemukan berlian di tengah kerumunan jerami tak ada hal lain selain mengisi kekosongan hatiku.
Walau aku tahu bahwa meskipun berhasil makan masakan itu, tak akan mampu mengisi kekosongan hatiku, ataupun membuat ibuku berada di sisiku, tapi aku merasa bahwa ada sosok lain yang melarangku menemukan gadis dengan tanda di dahinya, serta menghentikan langkahku dari menemukan kebenaran di balik pembantaian itu.
Meski hatiku merasakan sedikit keraguan tapi makanan itu seolah memanggilku untuk mendekat, walau kadang seperti ada hal terlupakan olehku, dengan perlahan aku mengambil sebuah piring dari sudut meja namun pola aneh tampak di sekitar piring tersebut seolah seperti mawar hitam namun karena bagiku itu tak penting kulanjutkan kegiatan sambil meletakkan makanan di atasnya seketika aroma masa lalu seakan melingkupiku.
Ingatanku akan masa lalu seakan menjadi sebuah perangkap, secara samar aku sempat melihat sosok ibuku berdiri menatap sambil tersenyum walau itu bukan senyuman terbaiknya ketika masih hidup namun ada sesuatu yang ganjil darinya, walau tidak mengeluarkan suara tapi bibirnya seakan ingin mengatakan sesuatu.
Aku menyipitkan mata sambil mencoba melihat apa perkataan dari ibuku, dan terlihat seperti “kalo kamu tetap bersikukuh berada di sini mungkin banyak orang yang bakal jadi korban selanjutnya.” setelah mengatakannya bayangan ibu menghilang seperti asap.
Ketika tersadar aku mendapati tengah berdiri dengan piring berisi makanan di tangan, fikiranku seperti berada di depan sebuah jalan dua arah antara menikmati makanan itu untuk mengisi kekosongan perut ataukah mencari gadis yang kemungkinan di takdirkan menjadi tumbal dari rahasia kota tersebut.
Jika aku berkeliling sambil kelaparan hal itu juga tak baik, tapi waktu terus berjalan tak akan menunggu hingga aku siap atau tidak, pilihan harus diambil dengan segera jadi dengan cepat aku mengunyah makanan itu dan mengambil segelas air, tanganku terhenti ketika melihat seperti darah bahkan baunya sedikit amis.
Seperti sebelumnya terdengar suara kesakitan dari arah sudut ruangan, dengan cepat kutinggalkan gelas dari tangan dan berlari menuju asal suara tersebut, kali ini gadis berambut kuning itu berdiri wajahnya terlihat jelas dan saat itu juga aku sadar bahwa topengnya telah jatuh.
Aku segera menghampiri gadis tersebut dan menatap topeng di hadapannya dan ketika melihat ternyata topeng itu telah hancur, seperti memiliki bekas terinjak oleh sesuatu dan ketika melihat ke arah walikota Mentari tampak tidak mempedulikan keadaan di tempat tersebut bahkan tak terlintas bahwa dirinya bertanggung jawab atas kejadian tragis tersebut.
Detik pun berlalu seketika gadis itu terjatuh seolah seperti terpotong oleh pisau tak terlihat meski tak ada darah keluar tapi kali ini sama saja, aku tidak berhasil menyelamatkan siapapun, kakiku terasa kaku dan tampak tak bertenaga hingga secara samar aku mendengar suara jejak langkah kaki menghampiriku.
Sambil bersiaga aku mengepalkan tangan dan segera berbalik, di depanku berdiri seorang pria berambut cokelat dan tampak mengenakan topeng bulan darah yang menandakan bahwa dia berasal dari kota Magnolia, orang itu hanya menatapku selama beberapa saat hingga akhirnya membuka suara.
“Aku rasa bahwa kamu lagi nyoba buat nyelesaiin semua kasus di sini, tapi kamu gak bakal bisa buat lakuin apa-apa karena siapa aja yang punya nomor di topeng mereka akan mati dengan cara sama ketika topeng tersebut jatuh dari wajah mereka.” ucap orang itu lalu pergi meninggalkanku.
Aku sempat berfikir kalau orang itu tidak sopan karena berbicara tanpa memperkenalkan diri, tapi satu hal terus terngiang dalam kepalaku tentang fakta topeng tersebut, kali ini seperti mendapatkan informasi baru aku berkeliling mencari orang dengan tanda nomor 3 di dahi mereka, hingga pandanganku terhenti pada sosok pria paruh baya yang tengah duduk di sofa sambil menikmati teh hangatnya.
Perlahan aku mendekati pria itu dengan rencana dalam kepalaku, jika topengnya tak jatuh maka besar kemungkinan pria itu akan tetap hidup, namun hal tak terduga terjadi karena ketika meraih topeng milik pria tua tersebut malah membuatnya melepas topeng itu, dan malah terjatuh ke belakang.
Kali ini aku tak mendengar suara jeritan dan sempat berfikir kalau aku berhasil menyelamatkan pria tersebut, tapi hal tersebut ternyata di luar bayanganku karena ketika aku berdiri sambil menepis debu dari pakaianku dan melihat ke arah pria itu, wajahnya seakan menghilang hanya menyisakan tulang serta mata yang masih mengeliat mencari sesuatu.
Tanganku gemetaran ketika menatap topeng di tanganku ternyata menempel semacam daging yang tak lain adalah kulit dari pria tersebut, secara spontan aku langsung melemparkan topeng tersebut ke arah tembok.
BRAKK!!!
Seketika topeng tersebut hancur berkeping keping, aku bahkan merasakan sesuatu yang aneh dari diriku karena sebagai seorang detektif melihat darah bukanlah hal aneh bahkan hampir semua kasus selalu melibatkan hal ini, namun kenapa bisa aku malah merasakan takut tak bisa dijelaskan ketika memegang topeng milik pria itu, padahal di sana hampir tak ada darah.
Jantungku seakan berdetak lebih kencang dan ketika melihat jam, tentu saja kita telah kembali ke pukul 10 malam, tak ada hal berbeda di sana semua tentang pengulangan waktu tak berakhir serta kematian yang tidak wajar seakan adalah hal lumrah, sementara pria di depanku hancur seperti kondisi dari topengnya.
Kali ini aku merasa sangat bersalah karena malah membunuhnya secara tak langsung padahal mungkin saja pria itu bisa di selamatkan, aku merasa hampa seakan dunia sekitarku hancur oleh perbuatanku, jika saja aku tetap diam tanpa melakukan apa-apa ini semua tak akan terjadi.
Saat sedang terduduk aku merasa seperti ada sesuatu menyentuh pundakku, ingin kulihat siapapun orang itu namun perasaan takut di salahkan seakan menggerogoti hatiku, untuk sekarang tak ingin lagi terlibat dalam hal seperti ini.
Namun terdengar seperti sebuah bisikan di telingaku. “walau kamu gak nyentuh pria itu, tetap dia bakal ngalamin kesialan karena ini bukan soal tempat tapi waktu."
Mendengarnya membuat hatiku tergerak sedikit dan ketika berbalik itu adalah pria yang kutemui sebelum ini dan salah satu warga dari kota ini. “makasih ya, udah ngebikin aku jadi lebih mendingan, tapi kayaknta ini gak nutupin fakta jalak aku adalah penyebab dari semua kesialan ini.”
Pria itu mengulurkan tangan kepadaku sambil tersenyum. “Nama aku Fajar Saputra salah satu asisten dari walikota dan paling terpercaya, sementara ka.u adalah orang yang terpilih buat ngikutin pesta ini, banggalah pada diri kamu dan jika kamu mau keliling mampirlah ke depan cermin di belakang ruang pesta.”
Sebelum ingin mengatakan sesuatu pria itu berbalik dan menghilang di tengah kerumunan orang, sementara perkataan itu seakan menusuk hingga ke jantungku, apakah ada sesuatu yang spesial dariku? Apakah semua ini berhubungan dengan prestasiku sebagai seorang detektif?
Setelah mengumpulkan kepercayaan diri aku melangkah perlahan aku mencari jejak dari orang yang memiliki tanda berikutnya yaitu nomor 4, namun di sisi lain rasa penasaranku terhadap cermin tersebut mungkin akan memberi jawaban atas semua kejadian ini.
Aku melangkahkan kaki melewati beberapa orang sambil mencari celah dan setelah beberapa saat akhirnya aku menemukan sebuah ruangan dengan cermin tepat berada di tengahnya, jantungku terasa lebih cepat berdetak bahkan sambil memejamkan mata aku menghampiri cermin tersebut tak ingin melihat kenyataan di depanku meski aku tahu bahwa hal itu tak akan berubah walau tak melihatnya.
Setelah beberapa detik berdiri dengan mata tertutup di depan cermin itu, perlahan aku membuka mata, wajahku di dalam foto terlihat—biasa dan sebuah topeng menghiasinya, dengan pola—mataku terbelalak bukan hanya karena pola aneh di depanku berbentuk seperti kelopak mawar namun menjadi sesuatu yang berbeda—tengkorak...bagaimana bisa? Dan lagi terdapat angka enam di dahiku.
Kakiku terasa kaku bahkan tak bisa di gerakkan dengan alasan apapun, dan pantulan wajahku seketika berubah menjadi tulisan berwarna merah saking merahnya membuat aku sampai berfikir bahwa itu adalah tetesan darah setidaknya sampai aku mencium bau stroberi darinya.
Secara perlahan mataku tertuju pada tulisan di depanku dan setiap kata kubaca perlahan, di sana tertulis secara jelas.
[Angka enam merupakan angka terkutuk dan siapapun pemilik dari angka tersebut akan mendapatkan sebuah perlakuan khusus, ketika semua angka muncul secara perlahan dan satu persatu angka enam akan muncul sejak awal namun karena begitu misterius tak ada seorang pun tahu keberadaan dari angka tersebut bahkan para penduduk asli sekalipun, meski di anggap terkutuk tapi angka enam bisa menjadi penyelamat ataupun pembawa kebebasan.]
Setelah membaca semua kalimat dari cermin tersebut setiap katanya menghilang seakan tak pernah ada di sana, dan menyisakan wajahku sama seperti sebelumnya, namun dengan pengetahuan tentang kebenaran diriku, tapi apakah itu berarti aku bisa menghentikan pesta mengerikan ini atau malah memperburuk keadaan seperti sebelumnya.
Di tengah perjalanan aku melihat sebuah kaca yang langsung menuju ke arah taman, secara samar berdiri sosok familiar tapi kepalaku seakan kosong dan tidak ada sesuatu darinya ada dalam ingatanku, ketika aku ingin mendekat seolah ada kekuatan menahan pergerakanku hingga akhirnya sosok itu seakan menghilang di tengah kabut malam.
Menurut pengamatanku sepertinya ada hubungan pesta tak berakhir ini dengan jam yang di kenakan oleh walikota Magnolia 'Mentari' namun karena tidak bisa menghampiri membuatku berada di dalam sebuah labirin tanpa jalan keluar, sebagai seorang detektif sudah tugasku untuk menyelamatkan orang meski aku sadar diriku bukanlah sosok kuat seperti dewa atau apapun itu, tapi aku yakin keberadaanku sudah cukup untuk membuktikan bahwa masih ada kesempatan kedua.
Saat tengah mencari keberadaan dari nomor ke lima, seolah pandanganku terhenti pada sebuah cahaya meski tak tahu asalnya tapi terasa begitu hangat bahkan membuatku tidak bisa melihat sekeliling hingga akhirnya menabrak seseorang, aku terduduk karena tabrakan tadi lumayan keras mengenai kepalaku.
Ketika melihat apa itu ternyata itu adalah orang dengan angka 4 di topengnya, tapi kali ini wajahnya seperti orang biasa pada umumnya dan ketika melihat ke arah jam dinding aku menyadari bahwa ternyata saat itu masih pukul 11:30 malam atau waktuku untuk membantunya adalah sekitar kurang dari setengah jam lagi.
Tapi orang itu menatap begitu tajam seakan menusuk ke jiwaku. “kalau jalan tuh pake mata dong, atau kamu udah buta ya? Cih, sama-sama pengunjung tapi belagak kayak penduduk asli, lebay banget.”
Seketika aku mendengar seperti sebuah suara terngiang namun ketika melihat sekitar tak ada siapapun di sana bahkan cahaya menyilaukan tadi, suara itu selalu menganggu kepalaku setiap kali berjalan seperti ada yang mengikuti.
“Apa kamu yakin mau bantuin orang brengsek kayak itu? Bukannya minta maaf malah marah gak jelas, lebih baik biarin aja waktu berlalu dan dia mati.” ucap suara misterius tanpa wujud tersebut.
Aku terdiam menatap ke arah lantai, pantulanku seakan menunjukkan wajahku separuh meski tak bisa aku lihat secara jelas tapi, seperti ada sesuatu yang menganggu, apakah aku benar-benar harus membantunya? Tapi jika aku hanya memilih orang apakah ibuku akan merasa bangga kepadaku? Jika saja ada solusi untuk menghentikan teror pesta Halloween ini, bagaimana caranya?
Setiap pilihanku akan menentukan apa yang akan terjadi nantinya, jadi aku harus memikirkan hal itu secara cermat, dari arah jauh aku melihat sosok pria mendatangiku dengan nafas terengah engah dia berhenti dan memandangku.
Orang itu ternyata adalah Fajar, salah satu asisten kepercayaan Mentari, kali ini suaranya pelan dan tenang. “Natsuo, aku cuma mau ngasih tau kalo satu hal kalo kamu cuma bisa nyelamatin 1 orang aja, kamu bisa milih antara nyelamatin diri sendiri ato orang lain, tapi ingat semua penduduk asli Magnolia pasti bisa selamat kecuali—”
“Apakah itu berarti—”
Tapi Fajar telah pergi, sepertinya dia sedang terburu buru jadi kuputuskan untuk melanjutkan langkahku dan beristirahat sejenak, dari arah jauh pria dengan topeng angka 4 terlihat sedang bertengkar dengan salah satu orang, karena penasaran aku segera menghampirinya, niatku adalah melihat dari jauh tapi ternyata kakiku malah membawaku tepat di depan kedua orang tersebut.
Salah satunya adalah pria dengan angka 4 di topengnya, sementara di depannya ada pemuda yang tampak adalah penduduk asli kota Magnolia, mereka terlihat ingin bertukar topeng, aku bahkan tak tahu harus mengatakan apa? Haruskan membantu pengunjung itu atau penduduk asli?
Jika aku memilih salah satunya berarti yang lainnya akan bernasib tragis, tapi kalau aku menggunakan hadiah dariku apakah artinya aku akan meninggal sungguh cobaan terberat bagiku, aku hanya ingin mencoba menyelamatkan semua orang.
“Kasih topeng kamu, ato aku bakal mati!” ucap pria dengan topeng angka 4 di dahinya.
“Tapi—”
“Udah kasih aja, nanti pas di luar aku janji bakal ngasih kamu sebuah mobil.” ucap pria itu sambil memandang dengan wajah memelas.
Seketika ada hal aneh terlintas kepalaku, bagaimana bis orang itu mengetahui bahwa dirinya akan mati, bukankah semua orang dipilih secara acak seperti dalam game gacha, tak ada seorangpun tahu jika mereka akan menjadi korban berikutnya.
Sementara waktu berlalu dengan detik berubah menjadi menit kini hanya tinggal 5 menit sebelum tengah malam, dan itu berarti orang itu harus mengambil topeng tersebut sementara di sisi lain jika pemuda itu ingin hidup maka dia harus mempertahankan topengnya untuk alasan apapun.
Tapi dari yang aku lihat tampaknya pemuda itu adalah tipe pemalu dan tak bisa menolak permintaan dari orang lain meski baru saja di temuinya, semua ini hanya tergantung dari mereka berdua sementara aku akan beristirahat sebentar, diriku ini bukanlah dewa atau Tuhan serta tak berhak atas kehidupan orang lain.
Semua ini terlalu berlebihan bagiku, pilihan untuk menyelamatkan satu orang serta menghukum yang lainnya? Bukankah itu terlalu berlebihan, aku ingin segera keluar dari neraka terkutuk ini sambil beristirahat di tempat tidur tanpa memikirkan apapun, lalu kembali ke pekerjaanku sebagai seorang detektif.
Saat sedang memejamkan mata aku merasa seperti ada tangan menyentuh topengku, seakan ingin merebut topeng yang tengah aku kenakan, namun aku merasa seperti topengku tidak bisa terlepaskan meski untuk alasan apapun, perlahan genggaman topengku perlahan menghilang, namun ketenanganku terganggu ketika terdengar suara teriakan berasal dari sampingku.
Aku segera membuka mata dan melihat sekeliling namun ketika melihat jam ternyata belum tengah malam, dan sementara pria dengan angka 4 di dahinya tampak sedang mengenakan topeng berbeda, hingga aku yakin bahwa itu adalah milik dari pemuda penduduk asli itu karena bentuk topeng itu bulan darah.
Bunyi lonceng tepat pukul 12 malam dan begitu bunyi ke 12 jam pun kembali ke pukul 10 malam, kali ini teriakan itu terdengar begitu dekat dan begitu memilukan hingga membuatku bergidik, pria itu tampak tidak kenapa-kenapa semetara topeng nomor empat terlihat di selimuti oleh api berwarna emas.
Ketika melihat pemuda dari kota Magnolia tersebut terbang ke udara seakan telah di tarik oleh semacam tangan tak terlihat, beberapa detik kemudian muncul semacam api mengelilingi seperti yang terjadi pada topengnya, tapi alih-alih terbakar topeng pemuda itu berubah menjadi warna hitam dengan pola tengkorak.
Selama aku melihat tipe topeng, ada beberapa tipe yaitu pola bintang yang selalu muncul angka berurutan, lalu pola berbentuk bulan darah dipakai oleh penduduk asli kota Magnolia, pola mawar hitam satu-satunya dipakai oleh sang Walikota, sementara aku memiliki pola kelopak mawar, apakah ada hal terlewatkan olehku, tapi apa.
Pemuda yang awalnya berada di atas kini berdiri di kakinya, dengan perlahan dia mengambil topeng dari atas meja lalu berjalan menuju ke tempat lain, karena penasaran aku mengikutinya hingga akhirnya dia berhenti di depan sebuah cermin lalu eksistensinya perlahan menghilang seakan di telan oleh cermin tersebut.
Hal itu membuatku terdiam karena mungkin itulah arti dari perkataan Fajar sebelumnya tentang topeng, di depanku terlihat seperti kelopak mawar tergeletak, saat menyentuhnya kelopak itu seakan menyatu dengan topeng yang tengah aku gunakan, dan membuatku merasakan saki kepala tak tertahankan dan seolah ingatan seseorang melintasi kepalaku.
Ingatan ini adalah bagian dari pemilik topeng angka 4 ini, memori antara kedua orang itu seperti saling tumpang tindih di kepalaku, terlalu banyak informasi untuk bisa aku proses dalam waktu singkat, kepalaku pusing setidaknya sampai kesadaranku mulai menghilang.
****************
Di hadapanku berdiri sekumpulan orang tak pernah kulihat sebelumnya namun seolah ada sesuatu hal yang membuatku merasa wajah itu familiar, hingga aku melihat di sampingku sebuah cermin dan di sana ada seorang pria berambut cokelat, hal itu mengingatkan aku pada pria dengan topeng angka 4, perlahan aku mencoba mencari tahu fakta bagaimana bisa berada di dalam ingatan orang tersebut.
“Surya.” ucap seorang wanita, suaranya begitu tenang dan menenangkan, dengan lembut dia menyentuh pundakku.
Saat berbalik aku melihat wajah cantik seorang wanita, meski dia bukan tipeku karena saat ini aku tidak tertarik akan hal percintaan, tapi wajahnya kuakui sangat amat cantik bahkan seperti sosok '𝙅𝙚𝙖𝙣𝙣𝙚 𝘿'𝘼𝙧𝙘' yang sangat aku kagumi, wajahnya begitu cantik bahkan membuatku pangling.
“Jadi gimana rencana kamu buat lenyapin istri kamu yang gak berguna itu? Lagian dia cuma wanita culun dari desa.” ucap gadis itu sambil duduk di atas meja tempatku duduk, wajahnya tampak menggoda.
****************
Saat terbangun aku melihat sedang terbaring di depan sebuah cermin tempatku berada beberapa waktu lalu, aku berjalan menempuh jalan sambil mencari seseorang dengan angka 5 di topeng mereka, di sana pria yang sekarang telah mengenakan topeng berbentuk bulan darah.
Satu hal ku sadari setelah melewati ingatan milik pria itu, apakah semua orang dengan angka di topeng mereka telah di takdirkan mati karena perbuatan di masa lalu, tapi bagaimana denganku? Apakah ini termasuk dengan masa laluku? Tampak pria itu tengah berbahagia namun ada hal aneh tentangnya karena dia terlihat sedang berbisik pada beberapa orang di sana.
Tepat di samping pria itu ada yang membuatku penasaran yaitu seorang dengan angka 5 di topengnya, mereka tampak sedang berbincang bincang, apakah ini soal menukar topeng atau sesuatu lain, beberapa saar kemudian mereka menatapku dengan ekspresi tak bisa aku jelaskan, meski tertutupi topeng tapi wajah mereka tampak menatap tajam ke arahku, hingga menbuatku bertanya apakah ada hubungannya denganku.
Hatiku dilanda oleh dilema antara menolong orang dengan angka di topeng mereka atau para penduduk kota Magnolia, apalagi rasa penasaranku terhadap cahaya aneh itu beberapa waktu lalu seperti terlintas di kepalaku kenapa aku harus menerima angka terkutuk ini, bahkan selama ini tujuanku adalah membantu orang lain, apakah hal itu salah atau caraku menyelesaikan kasus salah.
Setelah kematian ibuku, dunia di sekitarku seperti hancur bahkan pergi ke makamnya pun aku tidak berani, aku hanya ingin melihat wajah ibu saat sehat meski di hadapanku hanyalah sosok kaku, sementara ayahku tampak tak begitu mempedulikan hal tersebut, seolah memang menginginkan hal itu akan terjadi, ingatan pria itu seakan seperti kehidupan keluargaku.
Sebuah ide terlintas di kepalaku dan sepertinya aku harus menemui walikota 'Mentari' jika ada orang yang mengetahui seluk beluk dari kota ini maka dialah orangnya, meski sebelum ini langkahku seakan terhenti tapi hal itu tak akan membuatku berhenti berusaha lagi pula berjuang adalah nama tengahku.
Perlahan aku melewati kerumunan orang-orang tali entah kenapa aku seperti tak bisa melewatinya begitu saja, terjebak dalam kerumunan tanpa adanya jalan keluar, waktu pesta terus berjalan dan begitu juga orang-orang terlihat seperti sedang tidak dalam masalah.
Aku mengambil buku jurnalku menulis semua informasi yang baru saja aku dapatkan sekecil apapun itu, karena aku yakin itu akan membantu ketika di butuhkan, sementara aku tetap berusaha untuk mendekat ke arah walikota.
“Sebaiknya kamu gak ngejar walikota.” suara itu seakan menggema di kepalaku.
Namun ketika berbalik seperti biasa tidak ada siapapun di sana, hanya kerumunan orang tampak sedang bersenang senang tanpa tahu bahaya yang akan mereka hadapi ketika waktu tepat tengah malam.
Terdengar suara lain memenuhi kepalaku. “jika kamu bisa nemuin seseorang dengan angka 12 di topengnya, mungkin itu bisa hentiin semua kengerian itu, tapi inget itu cuma kemungkinan."
“Maksud kamu bilang gitu apaan? Apa itu ada hubungannya dengan cahaya menyilaukan beberapa waktu lalu?” aku menatap buku jurnalku yang entah kenapa semua tulisan di dalamnya seakan menghilang tanpa jejak.
Kakiku terasa begitu lemah karena ternyata usahaku selama ini seolah sia-sia, bahkan tulisan yang aku tulis di ponselku pun seakan tak ada arti, jika semua itu benar aku hanya perlu mencari orang dengan angka 12 di dahinya.
Seketika buku jurnalku seakan muncul sebuah tulisan kali ini warnanya biru terang begitu menenangkan bahkan membuatku sampai begitu terkesima dengan gaya tulis yang begitu rapih dan juga indah, jika dilihat lebih dekat mungkin itu adalah tulisan dari seorang wanita elegan.
Tapi ketika akan membaca isi tulisan tersebut, sesuatu menabrakku dari belakang dan membuat buku jurnal itu terlempar jauh dari tanganku.
Aku melangkahkan kaki segera berlari mengejar buku jurnal yang terguling beberapa meter di depan, rasanya sedikit aneh ketika ruangan tersebut ramai namun buku itu seolah menghindariku, melayang menjauh seakan di pandu oleh kekuatan tak kasat mata, dalam hati aku berdoa agar tulisan dalam buku tersebut tidak menghilang setidaknya sampai aku membacanya.
Langkah kakiku seakan tertahan oleh kerumunan orang di sana, terus menghimpit pergerakanku hingga pada titik aku tidak lagi melihat buku jurnal tersebut dari tempatku berdiri, meski begitu aku tidak boleh menyerah begitu saja jika memang hal itu adalah kunci mimpi buruk ini berakhir maka akan kulakukan semuanya meski harus berjuang lebih keras karena dari atas sana ibu pasti bangga melihat semua pencapaianku.
Setelah lama berjuang akhirnya aku merasa sedikit lelah sambil terkadang menatap ke arah lantai yang memantulkan raut wajah sedih meski sebenarnya dalam benakku hanya merasa ada sesuatu untuk di lakukan bukan sebagai seorang dengan tanda berbeda melainkan sebagai manusia sekaligus sebagai detektif, meski kadang aku sering merasa usahaku sia-sia bahkan langit pun malu melihat betapa tak bergunanya diriku ini.
“Permisi, kayaknya kamu jatuhin ini.” ucap suara misterius namun entah kenapa terdengar begitu menenangkan.
Saat aku menatap wajahnya di topeng gadis itu bercahaya angka 12, sepertinya dia adalah orang yang aku cari wajahnya begitu berkilau meski tertutupi oleh topeng, namun ada hal berbeda lain darinya yaitu bentuk topeng tak biasa seperti sepasang sayap malaikat berwarna putih dan setiap kali menatapnya seakan hatiku merasakan damai serta kebahagiaan seperti saat sedang bersama ibuku.
Namun karena terlalu memperhatikan wajanya membuatku malah menjadi tidak fokus, aku berdiri sambil menatap wajah gadis itu meski terlihat asing tapi ada bagian darinya yang tampak familiar. “makasih ya, udah mau bantuin aku men—”
Gadis itu tersenyum sambil mengulurkan tangan memberikan buku jurnal milikku. “buku itu secara kebetulan mengelinding tepat di depan aku itu sebabnya aku ambil, dan dilihat dari semua orang di sini kayaknya kamu adalah pemiliknya.”
Setelah gadis itu memberikan bukunya aku merasakan seperti ada hal yang mempertemukan antara kita berdua, dan tentu saja hal itu bukanlah sebuah kebetulan, aku memandangnya hingga hanya terlihat bagian punggungnya saja sampai akhirnya menghilang di antara kerumunan dalam mansion tersebut, serta membuatku ingat untuk membaca isi dari jurnal tersebut.
Walau tulisannya hampir samar tapi aku menangkap beberapa poin penting dari keseluruhan tulisan tersebut yaitu : jika angka 6 melambangkan kesialan atau kutukan maka sebaliknya angka 12 adalah keberuntungan atau pilihan, seperti pelambangan antara bulan sebagai malam dan matahari sebagai pagi.
Walaupun semua teka teki ini agak merepotkan tapi bagiku semua ini seperti sebuah isapan jempol karena tidak perlu memikirkan terlalu jauh sampai harus memutar otak saat aku berjalan sebuah laci yang pernah aku temukan berisi informasi tentang masa lalu kota Magnolia mulai bewarna terang, dengan perlahan kakiku melangkah untuk melihat informasi kali ini, di sana aku menemukan buku bertuliskan Kutukan - Keberuntungan.
[Angka 12 menurut dari para penduduk lokal sebagai perwujudan dari semua hal baik bahkan keberuntungan, berbeda dari topeng angka 6 yang tidak bisa di ambil, topeng angka 12 berbeda dia bisa membagikannya untuk orang lain tapi jika membaginya dengan orang salah atau berdosa maka semua dosa dari hadiah untuk para pengguna topeng tersebut akan di serap oleh pemilik asli dari topeng 12, dengan kata lain meski membantu orang melewati penghakiman mereka akan ada resiko di baliknya.]
Seketika buku itu menghilang menjadi debu sesaat aku membaca isinya, dan dari yang aku lihat gadis itu terlalu baik sepertinya dia berniat untuk menyelamatkan semua orang, aku berdiri sambil mencari keberadaannya karena jika sampai dia bertemu orang dengan topeng angka 5 mungkin saja bisa berakhir buruk, namun kali ini ketika berjalan langkah kakiku terasa sangat berat seakan berjalan di atas lumpur padahal sekelilingku hanyalah lantai porselen licin dan bersih.
Saking bersih lantai itu bahkan bisa merefleksikan wajahku ketika berdiri di atasnya, waktu berlalu begitu cepat entah kenapa tapi sejak kejadian waktu lalu ketika orang dengan topeng angka 4 yang tidak jadi mati aku merasa waktu bukan lagi 2 jam melainkan kurang dari itu, dari sudut mata aku melihat seseorang tengah berjalan ke arah pintu depan mansion itu sambil mencoba membukanya, dan tentu saja terkunci walau dari kelihatannya hanya tertutup biasa.
Seketika sebuah cahaya menyeliputi kepalaku dan menuju ke arah pintu mansion, dan saat itulah aku tersadar ternyata selama ini ada sebuah gembok mengitari pintu hingga membuatnya tidak bisa terbuka atau bergeming sedikitpun, perlahan aku menghampiri orang yang mencoba keluar dari pintu tersebut awalnya di topengnya tidak ada angka sama sekali hingga ketika dia menendang pintu itu begitu keras membuat angka 5 tertulis di topengnya.
Apakah ini semacam trik lainnya, atau mungkin memang di sengaja oleh penunggu dari mansion tersebut, dan karena merasakan seperti ada yang mengawasi setiap gerak gerikku selama ini dan ketika aku menatap ke langit langit seperti sebuah pola seperti bunga mawar hitam dan seketika aku merasa kepalaku pusing seakan melihat sesatu tak boleh aku lihat.
Saat membuka mata aku melihat orang di depan pintu duduk tersungkur di depan pintu dan dari arah belakang gadis keberuntungan itu berusaha menolong, setelah berfikir panjang akhirnya aku berdiri di depan gadis itu menghalangi langkahnya meski dia akan membenciku nanti tapi hanya itu satu-satunya caraku untuk menolongnya.
Gadis itu menatapku bahkan air mata terlihat memenuhi matanya. “aku mohon, ijinkan aku buat bantuin dia.”
Meski merasa buruk aku terlaksa harus melakukan ini. “maaf tapi aku gak bisa, kamu bukan Tuhan yang bisa nolongin semua orang di dunia, sesekali cobalah untuk menyayangi dirimu sendiri.”
Ketika dia melewatiku aku menahan tangannya dan menarik ke atas, tapi seperti ada suara terngiang di kepalaku seolah ibuku sedang memperhatikan dari surga, suara itu begitu teduh dan menenangkan hingga akhirnya aku membiarkan gadis itu membantunya meski dalam hati semua perasaan bercampur aduk antara takut dan cemas.
Namun semua keraguanku seketika menghilang karena tidak ada sesuatu hal buruk terjadi atau apapun yang seperti aku bayangkan, malah sebaliknya orang dengan topeng angka 5 terlihat baik-baik saja bahkan ketika waktu telah kembali menjadi pukul 10 malam, di satu sisi aku merasa lega namun di sisi lain aku seperti seorang penjahat karena menghalangi seseorang untuk membantu orang lain.
Saat ingin pergi tanganku seakan tertahan oleh sesuatu, meski tak seperti biasanya karena tangannya begitu lembut dan halus.
Ketika aku menoleh ke belakang gadis itu masih menggenggam tanganku, sambil menatap dengan mata kecilnya penuh rasa haru dan juga sebuah ketulusan seakan terlukis di dalamnya, bahkan seakan membentuk sebuah senyum manis meski tertutupi oleh topeng, wajahnya seakan memberikan sebuah kehangatan bagiku walau terasa aneh tapi aku ingin bersama dengannya.
Sesuatu dalam diri gadis itu seakan memberikan kehangatan dan seolah dia mengerti tentang semua hal yang telah aku lalui selama ini bahkan ketika masih berada di luar dari mansion terkutuk ini, aku ingin menyelamatkan senyuman itu dari semua tragedi naas ini ketika waktu seakan hanyalah ilusi dan semua orang terjebak dalam pesta tak berakhir hanya sebagai bagian dari ritual dari kota 'Magnolia'.
Gadis itu menatap sambil menyentuh tanganku dengan lembut. “aku bajak berusaha buat bisa nyelamatin semua orang meski harus ngorbanin diri aku sendiri.”
“Kalo gitu aku yang akan nyelamatin kamu.” ucapku sambil tersenyum.
Walau aku yakin gadis itu tak mungkin bisa melihat senyuman dari balik topengku karena hal itu termasuk mustahil, sementara kami hanya bertukar pandang selama beberapa saat aku merasa ada sesuatu yang tak bisa aku jelaskan tentang walikota Mentari serta asistennya Fajar.
“Misaki...Tachibana Misaki...” ucap gadis itu.
Hal itu membuatku sempat kaget, namun dengan cepat aku berhasil menenangkan diri sebelum memberitahukan nama. “Natsuo Takeda.”
Setelah beberapa saat Misaki melepaskan tanganku dan berjalan menjauh sambil sesekali melambaikan tangan kepadaku sampai akhirnya dia pergi menghilang bersama kerumunan, sementara dalam kebahagiaan karena akhirnya aku bisa mengetahui namanya meski telah berlalu beberapa saat.
Kali ini saat sedang berjalan di tengah ruangan mansion aku menatap ke arah Mentari namun kini ada hal berbeda darinya, dia tampak sedikit tenang atau mungkin terlalu tenang karena salah satu warganya telah mati tapi dia bahkan bertingkah seolah tak ada hal aneh terjadi, masih setia menatapi jam di tangannya hingga aku menyadari bahwa mungkin dia memang tidak peduli sejak awal siapapun yang mati bukanlah urusannya.
Aku terduduk sambil menatap piring sajian yang tampak tak pernah habis seolah selalu di bawakan makanan baru meski aku tahu kalau tidak seperti itu karena setiap kali waktu kembali dari tengah malam menuju ke dua jam sebelumnya makanan itu seakan kembali, itulah sebabnya walaupun sangat lapar tapi aku lebih memilih untuk menahannya dari pada memakan sisa dari orang lain.
Dalam ketenangan aku merasa seperti ada orang menyentuh pundakku dan ketika berbalik membuatku duduk di lantai, wajahnya terlihat kosong dan tidak ada harapan sama sekali, dia duduk di sampingku sambil menceritakan tentang masa lalunya ketika dirinya masih berada di luar mansion ini.
Meski sebenarnya aku bosan mendengar ocehannya yang bahkan tidak jelas tapi agar dia bisa senang maka aku harus terlihat seperti sedang mendengar pengakuan dosa dari seorang saski dari ruang sidang.
“Kalo gadis itu datang cuma buat nolongin aku, maka aku harap jamu bisa ngehentiin dia.” ucap pemuda itu, suaranya terdengar serak namun penuh kepedihan serta kesedihan mendalam. “aku bakal nerima apa aja termasuk waktu kematian aku.”
“Kenapa kamu malah bilang itu semua sama aku?” seketika semua perkataannya terasa membingungkan dan tidak jelas. “aku bahkan gak bisa lakuin itu karena alasan tertentu.”
“Aku lihat lambang itu dari topengmu, dan harusnya kamu juga tahu kalau aku adalah korban selanjutnya angka 7, benar kan?” ucapnya sambil berdiri dari tempat duduk. “hanya jauhinn aja dia dari aku—?mungkin itu lebih baik dari pada hidup dalam lautan neraka, keinginan aku cuma satu yaitu kedamaian serta ketenangan.”
Pemuda itu segera pergi meninggalkan aku berdiri mematung serta tidak paham arti dari perkataannya, apakah dia adalah orang baik atau sebaliknya, aku bahkan tidak bisa menilai tentang kebaikan seseorang hingga membuatku hampir membantu seorang pembunuh ketika ingin merampok karena cerita bohong yang dia ceritakan padaku begitu meyakinkan.
Semua acara berlangsung seperti biasanya pesta dan kerumunan, di sisi lain Misaki menghampiriku seakan sedang mencari sesuatu namun tidak bisa menceritakan secara detail apa itu, dia berdiri sambil mengatur nafas dan terkadang menatapku berfikir mungkin akan mengerti maksud dari perkataannya.
“Apa...dia datang...ke sini?” Misaki mengelus dadanya seakan sedang mengatur nafas. “izinkan aku buat bantuin dia.”
“Lebih baik kamu urungkan saja niat itu karena dia bahkan tidak mau kamu bantuin dia.” ucapku sambil memegang pergelangan tangannya. “ada satu titik pas kita gak mau nunjukkin sisi lemah diri kita pada orang lain.”
“Tapi—”
Dari atas balkon terlihat pemuda yang berbicara denganku sebelum ini berdiri tepat di tepi sambil berniat untuk melompat ke bawah, namun satu hal tak aku ketahui bagaimana bisa orang dari luar kota bisa berada di lantai dua padahal aku saja kesulitan hanya untuk menaiki satu anak tangga.
“Kanu harus bantuin.” wajah Misaki tampak di penuhi oleh kesedihan.
Meski aku tahu bahwa harus mengganti nyawa orang itu dengan lainnya, karena aku bukan Misaki yang bisa menyelamatkan orang begitu saja, aku adalah pemilik dari topeng angka enam sekaligus angka kutukan, melihat waktu masih banyak aku berlari ke arah sekeliling sambil mencari tahu siapa pemilik asli dari topeng angka 7 tersebut hingga menemukan dari sudu ruangan seseorang tengah duduk sambil mengisap rokok di salah satu tangannya.
Tanpa menunggu lama aku menghampiri orang itu namun tetap menjaga jarak dan dalam hitungan detik aku segera menarik topeng berbentuk bulan darah, namun sebelum selesai aku mendengar suara teriakan yang menandakan bahwa usahaku ternyata sia-sia dan orang itu kemungkinan meninggal.
“Kau udah ngam—”
orang itu terjatuh ke lantai dan meleleh seperti es krim di dalam oven, kakiku terasa seperti tertanam di dasar lantai sehingga membuatku tidak bisa bergerak sedikitpun setidaknya sampai jam berdenting kembali ke pukul 10 malam, dan saat aku kembali ke ruang utama mansion Mentari sedang berjalan di tangga sambil di ikuti oleh seorang pemuda dengan topeng berangka 7.
Aku bahkan tidak tahu apa yang telah terjadi atau sebenarnya hal itu memang tak kuperhatikan, di tengah mansion Misaki berdiri menatap ke arah langit langit ruangan, meski cahayanya terang tapi ada hal lain yang membuatku merasa berbeda.
Aku menghampiri Misaki sambil berjalan melewati kerumunan orang yang bahkan tampak tidak peduli dengan kejadian di sekitar mereka, hanya ada tatapan kosong dari sebagian orang sementara lainnya terlihat tidak pernah bosan melakukan hal sama berulang kali.
“Apa ada hal yang aku lewatin?” tanyaku sambil menyentuh pundak Misaki dengan lembut.
“Natsuo, aku...gak tahu tapi...sebelum pemuda itu terjatuh ada hal...aneh yang bahkan gak bisa aku jelaskan—secara ilmiah ato logis.” jelasnya sambil mencoba menenangkan diri.
“Aku harap kamu masih punya kehangatan dan keajaiban serta kebaikan dalam hatimu.” ucapku sambil memeluknya dalam dekapan.
Misaki terdiam dalam pelukanku seolah tengah mencari kehangatan yang samar-samar tersisa di tengah tragedi yang mengitarinya, meski keinginan untuk menyelamatkan orang tetap ada tetapi seakan ada hal menghentikan hal tersebut, semua rasa sakit ketakutan serta ketidakpastian menjadi bagian dalam kehidupan di mansion.
Tempat semua orang terjebak tanpa mengetahui masa depan yang akan menghampiri mereka, karena setiap angka akan muncul secara acak serta tak seorang pun tahu kapan mereka akan menjadi target berikutnya, bahkan cara untuk memutuskan tali kutukan dalam mansion tersebut.
Semetara dari atas balkon walikota Magnolia 'Mentari' tampak sedang duduk seperti biasa sambil menatap jam di tangannya setiap detik terasa seperti tahun bahkan berabad abad terjebak dalam mimpi buruk tiada akhir hanya menunggu hingga keajaiban datang entah kapan, biasanya dalam jurnalku tertulis informasi di dalamnya namun kini itu hanya seperti sebuah buku kosong tanpa arti.
Sementara Misaki tampak lebih tenang dari sebelumnya, aku bahkan bisa merasakan detak jantungnya berdebar begitu keras seakan sedang menyembunyikan ketakutan yang tidak bisa dia ungkapkan atau mengerti, aku tak bisa menyalahkannya karena berada di dalam mansion itu terasa seperti sebuah kutukan.
“Kalo aja ada semacam kebahagiaan dalam semua ini.” ucapnya lirih. “aku cuma—”
“Kamu gak usah terlalu mikirin hal itu karena aku bahkan telah lama menunggu hingga tiba saat bertemu denganmu 'gadis cahaya' aku yakin kamu pasti bisa nyelamatin orang lain, tapi jangan pernah lupain diri kamu.” ucapku sambil mengelus lembut rambutnya.
Kali ini terdengar suara dentuman keras memenuhi ruangan, dan semua orang dengan lambang bintang di topeng mereka mulai memancarkan cahaya dengan angka dari 8 sampai dengan 57, hingga aku tahu kalau kemungkinan tumbal dalam ritual ini berjumlah 57 orang namun ada hal mengganjal kepalaku karena dari 375 orang dengan topeng bintang tidak semua memiliki angka di topeng mereka, apakah arti semua ini, karena hal itu hampir tidak masuk akal.
Beberapa saat kemudian Misaki melepaskan pelukanku darinya lalu duduk di salah satu bangku yang ada di samping aula utama mansion, wajahnya masih tetap bercahaya tapi ada sesuatu darinya terlihat kurang, tapi mungkin hal itu tidak dilihat olehnya saat itu, dia tertunduk beberapa saat sambil terkadang melihat ke lantai menatap pantulan wajahnya.
Sementara beberapa orang mulai terlihat panik karena angka tersebut muncul di topeng mereka, dan ada juga mencoba menukar dengan lainya meski hasilnya tetap nihil karena ketika bertukar topeng angka tersebut akan tetap kembali kepada pemiliknya, dari sudut mata aku melihat Mentari sedang duduk dengan nyaman menatap jamnya seperti biasa, kadang dia menghentakkan jari di sisi sofa tapi dari pengamatanku tampaknya dia memegang semacam kunci mesi tidak tahu apakah itu.
Waktu berjalan hingga tengah malam jarum bertentang seperti biasa namun kali ini semua angka seakan menghilang dan tidak ada tanda-tanda atau kemungkinan bahwa seseorang akan menjadi tumbal berikutnya namun aku melihat sebuah cahaya bukan dari warga atau orang yang ikut dalam pesta dansa melainkan dari atas balkon angka 0 mulai bercahaya, aku penasaran apakah hal itu ada hubungannya dengan semua ini, atau itu adalah bagian kunci.
Lampu seketika padam menyisakan kegelapan di seluruh ruangan mansion bahkan lilin-lilin pun seperti telah di tiup oleh angin meski saat itu tidak ada angin atau badai terlihat melanda tempat tersebut, sementara aku merasa ingin tahu akan target berikutnya karena tidak ada apapun di sana bahkan setitik cahaya sekalipun karena angka 0 hanya berkedip sesekali, dan lonceng jam berbunyi menandakan bahwa waktu telah kembali menuju ke pukul 10 malam.
Lampu mulai menyala kembali dan di atas meja seakan terdapat sebuah menu baru, meski aku sedikit ragu jika menu tersebut baru karena waktu di sana selalu terikat dengan tengah malam serta 10 malam, saat mendekat aku sempat melihat sebuah kue berbentuk bintang tapi bukan itu yang membuat aku terkejut melainkan wajah di atas kue tersebut.
Wajah itu seingatku pernah aku lihat sebelumnya tapi lupa kapan serta bagaimana kami bertemu, sementara saat ini Misaki tampak sedang bersedih setelah kematian seseorang sementara dia seakan tidak mampu untuk menghentikan atau menyelamatkannya, banyak orang lansung memakan kue tersebut dan tampak begitu bahagia seperti tidak ada hal buruk tengah terjadi di antara mereka.
Sama seperti sebelumnya angka 9-57 mulai bermunculan dari semua orang di sana namun kali ini secara acak, cahaya itu muncul setiap 5 menit sekali dan selalu berganti, tidak ada kepastian tentang siapa yang akan menjadi target berikutnya karena saat menit pertama topeng angka 9 adalah seorang pria tapi 5 menit kemudian berganti menjadi seorang pemuda, begitu seterusnya sementara jika waktunya hampir dekat tengah malam angka di topeng mereka semua bercahaya dari angka 1-57 secara acak.
Aku menatap ke arah pintu depan sambil menunggu orang yang kemungkinan akan menjadi selanjutnya tapi tidak terlihat siapapun berjalan atau bersikap aneh, hanya sekumpulan orang dengan wajah bahagia sedang menikmati pesta meski ada juga orang duduk di pojokan sambil membaca buku sambil di temani oleh hangatnya perapian.
Melihat topeng orang-orang selalu bercahaya hampir membuatku menjadi sakit karena terlihat seperti cahaya lampu kelap kelip saat di tengah jalan, bahkan semua itu seperti tak ada petunjuk sama sekali, apakah hal itu terjadi karena kita berhasil menyelamatkan beberapa orang dari kematian, atau mungkin ada hal lainnya hanya waktu bisa menjawabnya.
Waktu berjalan begitu cepat seperti angin berlalu di musim semi, meski perbedaannya adalah semua di sini seperti terjebak dalam labirin tak terlihat langkah selanjutnya seakan hanyalah sebuah jalan buntu, aku duduk di samping Misaki sambil menatap ke arah langit meski suasana tampak ramai tapi ada sesuatu yang membuatnya seperti keheningan.
Di lantai aku melihat sebuah tulisan dengan goresan berwarna merah, mungkin sebuah potongan dari teka teki bertuliskan 'dalam keheningan malam jiwa yang tersesat akan kembali namun dosa dalam diri mereka akan tetap ada dan mereka di hukum berdasarkan jumlah kesalahan tersebut, angka itu adalah simbol dan tidak memiliki hubungannya.'
Saat menengadah ke atap aku melihat sosok yang mirip seekor naga berwarna merah dan di kepalanya memiliki tanduk sebanyak 8, serta memiliki lebih dari lima kepala, dengan masing masing 3 mahkota melingkar, tapi sesaat setelahnya sosok itu seperti telah menghilang, jika teka teki ini ada hubungannya apa aku harus memecahkannya.
Bagaimana dan apa arti dari kalimat tersebut, meski aku merasa sedikit aneh karena sosok tersebut bersikap seolah seperti hakim yang bertugas dalam mencabut nyawa manusia padahal bagiku hal semacam itu terdengar bodoh juga konyol.
Saat aku menatap kembali ke arah Misaki, wajahnya terlihat gelisah seolah sedang tenggelam dalam fikirannya sendiri, entah apa yang membuatnya begitu khawatir, sejujurnya aku ingin mengambil perasaan sedih itu darinya karena selama berada di dalam mansion seperti berada di lingkaran waktu tak berakhir.
Sementara setiap detik terasa seperti keabadian di tempat terkutuk serta tidak ada hal baik di dalamnya, dengan mengambil nafas panjang aku mencoba mencari tahu tentang kebenaran topeng yang tengah kami gunakan, tapi semakin berfikir hanya membuat kepalaku menjadi sakit dan kegilaan ini seolah pernah aku alami meski tidak tahu kapan atau bagaimana aku sampai bisa terjebak.
Semua perasaan ini terasa bagaikan deja-vu berputar di tempat sama seakan tiada akhir, namun semua hal pasti akan berakhir hanya waktu yang bisa memberitahu kapan, kali ini semua topeng mulai bercahaya angka random dari 1-57, namun dengan warna berbeda beda seakan tidak beraturan seperti sebelumnya dengan angka muncul secara berurutan.
“Aku gak bisa nyelametin satu orang pun.” Misaki terduduk sambil mengusap matanya, suaranya terdengar perih.
“Aku yakin—Mentari.” aku berdiri sambil menatap ke arah tengah balkon dan Mentari sepertinya sedang beristirahat seperti biasa.
Namun kali ini ada hal berbeda darinya, ekspresi wajahnya tampak sedikit menyimpan kesedihan yang tidak bisa di jelaskan, bahkan dia hampir ingin mengatakan sesuatu walau tak bisa mengatakannya secara langsung.
Aku berdiri dan menghampiri Misaki sambil menyentuh tangannya dengan lembut. “aku pikir kalo mungkin sebenernya Mentari adalah kunci dari semua ini, gimana kalo dia ternyata pemilik dari topeng angka 0?”
Meski awalnya sedikit ragu tapi Misaki menatap wajahku dengan penuh percaya diri. “aku bakal nemenin kamu buat ketemu sama Mentari.”
Aku memegang tangannya dan mulai berjalan menuju ke depan tangga meski aku sempat merasa skeptis tapi ada hal yang kini membuatku merasa tidak takut kalau di lemparkan oleh kekuatan tak terlihat serta menghalangi langkahku.
Seperti dugaan saat bersama dengan Misaki aku berhasil melewati tangga itu tanpa ada masalah sedikitpun, setelah beberapa saat berlalu akhirnya kami tiba di samping dari Mentari yang tampak sedikit tertekan, dia menatap sebentar namun tampak tidak terlalu mempedulikannya.
"“Lumayan hebat, tapi kalian kayaknya terlambat sekitar 30 menit lalu.” ucap Mentari, kali ini suaranya terdengar parau.
Aku menatap wajahnya ingin mencari tahu penjelasan dari perkataan tersebut. “kamu ngomong soal apaan sih?”
“Kalian bakal tau itu nanti.” Mentari berdiri sambil menatap ke arah jam tangannya. “waktu bakal terus balik sampai semua orang yang dikasih tanda mati dengan cara apapun.”
“Jadi kita beneran gak bisa buat nge berhentiin kutukan ini?” Misaki terlihat di penuhi oleh kesedihan tiada tara.
“Aku gak pernah bilang soal itu.” ucap Marina.
Kami terdiam ketika mendengar perkataan tersebut, karena mungkin saja ada sebuah petunjuk di balik semua kutukan abadi dalam mansion tersebut, meski ada hal yang membuatku khawatir akan hal tersebut, karena tidak mungkin ada akhir bahagia dari semua ini.
“Kalian harus bikin—” Mentari menunjuk ke arah langit langit rumah sebentar. “naga dengan kepala banyak itu bahagia, dan caranya cukup mudah, jadi, gimana, kalian mau dengerin?”
“Ini soal pengorbanan itu kan?“ aku menatapnya, wajahku berubah menjadi serius.
“Bingo, tepat banget.” Mentari menepuk tangannya dengan pelan. “aku yakin kalian tau kalo kamu Natsuo harus milih satu orang untuk di selamatin, sementara kamu Misaki tugasmu ngorbanin seseorang, pilihan kalian itu mutlak dan tidak bisa di ubah.”
“Jadi kita harus—” aku terdiam sejenak selama beberapa saat. “kalo gitu aku bakal ngorbanin diriku sendiri.”
Melihat keteguhanku, Mentari membuka suaranya dan berkata. “ingat kalo kamu mau ngelakuin ini maka jiwa kamu bakal selalu ada dalam mansion ini dan tidak bisa pergi ke neraka ataupun surga.”
“Tunggu, apa ada cara lain?” wajah Misaki terlihat sedikit tegang dan pucat.
Meski aku baru saja mengenalnya dan bersama dengannya beberapa waktu tapi tampaknya dia sangat mengkhawatirkan aku, perasaanku seakan bercampur aduk karena sejujurnya aku juga tidak mau jika harus terjebak dalam lingkaran kematian ini, tapi jika hanya itu satu satunya jalan maka mungkin aku harus mempertimbangkannya.
Misaki menatap ke arah Mentari dengan wajah panik. “gimana kalo Natsuo pake topengnya buat nyelamatin dirinya sendiri?”
Hal itu membuat Mentari tertawa bahkan dia sampai memukul pegangan kursi. “lucu banget deh, biasanya cuma Fajar doanh yang bikin aku tertawa kayak gini.”
“Gak ada yang lucu dari itu.” Misaki tampak kesal dan mengembungkan pipinya. “aku butuh sebuah pernyataan pasti.”
“Apa ucapan aku kurang jelas bagi kamu? Karena seingat aku semua itu langsung pada intinya, yaitu buat sebuah pengorbanan bagi sang Dewa dari Magnolia (Alias aku).” Mentari menunjuk ke arah naga di tengah mansion yang terlihat semakin mendekat ke arah lantai.
“Tunggu, apa cuma aku aja—ato naga itu kayaknya makin turun ke bawah—sini?” aku menatap naga itu dengan campuran antara takut jika semua ritual ini hanya sebagai makanan dari dewa itu.
Di sisi lain Misaki menyandarkan kepalanya di pundakku sambil terkadang membisikan sesuatu bahkan kadang tidak terdengar suara, hanya membuka mulut saja bahkan karena suara riuh dari lantai dasar membuat perkataannya seakan tertelan.
Dalam hati aku merasa ingin tahu apakah kalau aku mengorbankan diri semua kutukan ini akan berakhir atau malah justru terlibat dalam masalah baru lainnya, karena sebagian dari diriku tidak mempercayai sosok naga tersebut, apalagi dari tampang mencurigakannya yang seakan hanya memperlakukan manusia sebagai makanan saja.
Aku bahkan mempertanyakan keberadaan dari naga itu meski dia bahkan menyebut dirinya sebagai seorang dewa, tapi bukankah semua itu terasa aneh karena jika demikian bukankah dia akan melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan manusia dan bukan sebaliknya.
Ketakutan seakan memenuhi hatiku, meski berada di sana terasa seperti seumur hidu dan mungkin aku telah terjebak di sini bahkan sebelum pesta halloween, apakah saat ini aku hanyalah jiwa tersesat karena entah kenapa perasaanku mengatakan bahwa sudah lama aku tidak melihat matahari hanya bulan di tengah malam saja.
Bahkan kehangatan cahaya matahari seakan hilang dalam ingatanku, jadi seharusnya jika aku menghilang maka tidak akan mengubah apapun, setidaknya aku bisa melihat Misaki senang dan bahagia maka hal itu sudah lebih dari cukup, biar saja dia yang melanjutkan perjuanganku selama ini.
Aku menatap wajah Misaki sambil menyerahkan buku jurnal milikku, lalu berjalan ke arah tengah ruangan mansion sambil menatap naga tersebut, namun sebelum mengatakan kata kuncinya seseorang menahan tanganku, dan ketika melihatnya ternyata itu adalah Misaki.
“Aku bakal nyelesain kutukan ini, bukannya itu yang kamu inginkan?” ucapku sambil memandang ke dalam matanya. “cuma ini satu satunya jalan.”
“Kalo gitu, aku juga bakal ikut sama kamu!” Misaki memegang tanganku.
Sebuah kehangatan mulai mengalir dalam tubuhku, dan seketika aku merasa bahagia serta semua masalah seakan menghilang untuk sementara meski aku tahu hal itu tidak sepenuhnya benar.
“Jangan bodoh, Misaki!” sergahku sambil mencoba melepaskan genggamannya. “Ini bukan soal bersama atau gak, ini tentang nyelamatin kamu dan seluruh warga! Kalo kamu ikut, siapa yang akan mastiin semua ini udah selesai?”
Misaki menggeleng dengan air mata yang mulai mengalir. “Aku gak peduli, Natsuo! Soal apa pun selain mastiin kamu juga selamat, akku gak bakal biarin kamu ngorbanin diri sendirian aja.”
Mentari menyaksikan kami dengan ekspresi datar, seolah dia sudah terbiasa dengan drama seperti ini. Dia menghela napas panjang, lalu berbicara dengan nada acuh. “Kalian tahu, naga itu gak peduli siapa yang bakal dikorbanin. Asal ada eorang rela dan bersedia buat nyerahin semuanya, itu uudah cukup—Jadi, mau gak kalian berdua stop bikin situasi ini jadi lebih rumit?”
Aku memelototinya. “Kalo emang gak peduli siapa, kenapa harus ada ritual kayak gini? Kenapa harus ada korban? Kenapa—”
Mentari menyela. “Karena itulah cara dunia ini bekerja, Natsuo,kamu harus ngorbanin sesuatu dapetin sesuatu dengan nilai setara, sang naga adalah cermin dari kumpulan semua jiwa di sini—makin banyak makin banyak dosa mereka, makin besar pengorbanan yang bakal dituntut, cukup sederhana, bukan?”
Aku terdiam, memikirkan kata-katanya tapi sebelum aku sempat menjawab, naga itu bergerak semakin dekat, tubuhnya begitu besar dan penuh sisik emas menimbulkan getaran di lantai, kepalanya yang besar melingkar ke arah kami, matanya yang bersinar merah seperti bara api menatapku dengan penuh intensitas.
“Keputusan.” gumamnya dengan suara yang dalam, seolah mengguncang seluruh ruangan. “Pilih, atau aku bakal ambil keduanya.”
Misaki meremas tanganku lebih erat, matanya penuh ketakutan dan keteguhan. “Kalo gitu, kita lakuin ini bareng.”
Aku menggeleng, lalu membungkuk sedikit untuk menyentuh pipinya. “Maaf, Misaki, tapi aku udah mutusin.”
Tanpa memberinya kesempatan untuk menjawab, aku menatap naga itu dan mengucapkan kata-kata yang telah aku siapkan. “Aku, Natsuo, bakal nyerahin diri sebagai pengorbanan buat sang Dewa.”
Suara raungan naga memenuhi ruangan, dan tubuhku mulai terasa ringan, seperti melayang di udara. Namun, sebelum semuanya gelap, aku mendengar suara Misaki, keras dan penuh emosi.
“Tunggu! Aku juga! Aku bakal nyerahin hidup aku bareng dia!”
Kilatan cahaya emas melingkupi kami berdua, dan untuk sesaat, aku merasakan kehangatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya, aku berbalik, memandang wajah Misaki tengah tersenyum penuh keteguhan.
“Kenapa, Misaki? Kenapa kamu sampe rela ngelakuin ini?” tanyaku dengan suara yang hampir pecah.
Dia menatapku dengan mata yang dipenuhi air mata, tetapi bibirnya tersenyum. “Karena kamu adalah satu-satunya hal yang bikin aku tetap hidup, Natsuo, kalo kamu pergi, aku juga gak punya alasan buat bertahan.”
Saat cahaya itu semakin terang, suara naga terdengar lagi, kali ini dengan nada yang berbeda—bukan ancaman, melainkan rasa kagum. “Pengorbanan bersama—menarik—sangat menarik.”
Ruangan berubah menjadi kabur, dan kami berdua jatuh ke dalam kegelapan. Tapi sebelum semuanya menghilang, suara naga bergema sekali lagi.
“Kalo beneran cinta kalian berdua cukup kuat, mungkin bakal ada jalan keluar dari kutukan ini,”.
𝘽𝙪𝙠𝙩𝙞𝙠𝙖𝙣𝙡𝙖𝙝~