“Sial jika gagal ginjal karena batu ginjal, karena batu ginjal bisa diambil,” Kata Dokter penyakit dalam kepadaku setelah suamiku empat hari dirawat inap. September ceriaku hilang seketika, mulai sejak itu aku banyak diam, otakku rasanya banyak yang bicara. Suamiku susah buang air kecil, demam dan jika buang air kecil terasa perih. Sudah delapan tahun kami menikah, pembicaraan tentang kesehatannya terkadang menimbulkan pertengkaran, karena suamiku tak mau ada tindakan dokter untuk ginjalnya.
Sepulangnya kami ke rumah, aku mulai pembicaraan, “Bagaimana kedepan?" "Ya secepatnya, saya bahkan berpikir bahwa tak lama lagi.”Jawab Suamiku. Aku diam, namun tak tahan aku nangis juga, selalu ku tutupi tangisku dari mamaku. “Gimana Nas?” Tanya mama. “Yah rencana berobat ke Jakarta.” Jawabku. Mama cuma diam. Dua malam aku menangis, dada ini rasanya sesak, kami mencari informasi melalui aplikasi online terkait rumah sakit yang tepat untuk menangani sakit suamiku.
Kami berdua tak sanggup menanggung sendiri beban ini, bagaimanapun kami butuh topangan secara rohani agar mantap langkah ini, bukan sebuah kebetulan dua hari setelah kami memutuskan untuk pergi keluar kota Nabire untuk berobat, Yayasan tempat kami bekerja mengadakan ibadah dan dipimpin oleh Pdt. Daniel Alexander kami memanggilnya Papi. Papi berkata pada khotbahnya, “Nas belum mati.” Padahal aku tak pernah cerita bahwa dua hari aku menangis tanpa henti.
Empat hari setelah ibadah suamiku segera berangkat ke Jakarta, aku tetap berusaha tegar dihadapan mamaku, murid-muridku, dan teman-temanku. Hingga ada pembicaraan, "Kenapa Bu Anas belum berangkat, apa lagi yang ditunggu?” Manusia pintar bicara, pintar menilai, banyak yang harus aku siapkan, materi pembelajaran untuk sebulan yang aku tinggalkan, video pembelajaran, dan semua tugas-tugasku membantu wakil kepala sekolah bagian kurikulum.
Hingga hari aku dapat kabar bahwa suamiku sakit lagi seperti waktu di Nabire dan dilarikan ke Intalasi Gawat Darurat, aku memutuskan sudah saatnya aku pergi, aku tak punya uang simpanan yang banyak, ku pinjam di koprasi sekolah, ku minta tolong pada Yayasan. Puji Tuhan aku ditolong, pada tanggal 6 Oktober 2024 aku menyusul suamiku ke Jakarta. Sembilan tahun lalu aku sudah tahu bahwa suamiku ginjal kirinya diangkat karena batu ginjal serta ginjal kanannya ada batu. Banyak yang bertanya, “Kamu siap mau nikah dengannya?” Jawabku, “Aku siap.” Namun saat ku jalani di tahun 2024 ini di hati ada rasa ketar ketir, apa yang akan terjadi.
Aku guru matematika, lebih mengutamakan perhitungan, penuh logika, kehidupanku yang dibesarkan mamaku sebagai orang tua tunggal selalu mengajarkan untuk menerima kenyataan. Tapi rasanya saat ini aku tak bisa terima kenyataan, melaraskan hati antara logika dan iman, perhitungan keuangan yang buat aku pusing, namun aku harus mendampingi suamiku. Proses toleran oprasi telah dilalui suamiku, bahkan kami masih sempat merayakan ulang tahun suamiku ke 48 tahun di apartemen adiknya.
“Bu selamat pagi, siap-siap ya bapak sudah dipanggil untuk oprasi,” Pesan dokter yang membantu kami selama proses pendaftaran oprasi. Suamikupun ditelepon, menjelaskan bahwa harus ke lantai tiga pendaftaran dan siap inap. “Saya sudah gak tahu mau rapikan pakaian yang mana,” Kata Suamiku. Saya hanya diam, saya merapikan semua yang menurutku perlu dibawa. Hari itu 16 Oktober 2024, kami mulai inap di rumah sakit.
Dalam diam, ku beranikan diri menyusuri Pasar Cikini dekat rumah sakit, untuk membeli karpet, bantal, termos, gelas dan sendok. Jauh juga dari gedung rawat inap, aku hanya menangis dalam hati, tak ada air mata keluar, mau curhat ke orang rasanya gimana aku khawatir malah dibilang, “Kasihan siapa suruh nikah.” Puji Tuhan sudah seminggu iman kami dibimbing di rumah singgah Yayasan Sahabat Orang Sakit Jakarta, aku berusaha tenang dan terus berdoa di dalam hati. Malam pertama di rumah sakit, aku rasa dingin sekali, sehingga aku pinjam jaket dan selimut dari adiknya suami.
Malam pertama berhasil dilewati, aku rasa butuh kasur kecil, dinginnya ruangan bisa-bisa asmaku kambuh, maka keesokan harinya aku pergi belanja kasur, kaos kaki, sarung tangan, lap badan. Ku sempatkan ke rumah singgah untuk mandi. Lalu balik ke rumah sakit, ku dapat kabar dari suamiku bahwa oprasi akan dilakukan besok pagi, aku seperti orang linglung, hanya baca, diam dan meneruskan pesan kepada orang-orang terdekat. Sesampainya di rumah sakit, aku langsung pergi lagi ke IGD melihat sesama pasien di rumah singgah.
Mamaku marah, “Kamu, besok Chres mau oprasi bukannya temani.” “Saya rasa gimana ma, lihat dia,” Jawabku. Jika lihat suamiku aku mau nangis, aku rasanya tak bisa berdoa, mau bergantung pada suamiku masakh membebani dirinya. Aku kembali ke ruang inapnya, “Sudah dikasih sabun untuk mandi persiapan oprasi, sore ini dan besok subuh.” Kata Suamiku. Aku hanya senyum. Sore itu datang dokter anastesis, aku tanda tangan persiapan oprasi, dokter urologi menjelaskan tindakan yang akan dilaksanakan besok, sambil memberi tanda pada pinggang kanan suamiku.
Malam itu kami telepon video ke keluarganya di menado dan sunter berdoa bersama, setelah itu cari tidur, air mataku jatuh saat kupejamkan mataku. Namun waktu begitu cepat, sudah pagi, suamiku mandi lagi siap oprasi, aku benci cium aroma bau sabun itu, saya menyanyi sambil menahan air mataku, ku telepon lagi mamanya suami, mamaku, Bapak Gembala gereja kami. Akhirnya kami harus jalan ke ruangan oprasi, di gedung Kanigara lantai enam. Ku pakaikan dirinya baju oprasi, suamiku dan beberapa pasien siap oprasi berbaring dalam satu ruangan.
Aku sempatkan untuk foto, dan tak berhenti aku nyanyi lagu pujian dengan suamiku, hingga dokter seorang Profesor yang akan mengoperasi suamiku datang menjelaskan, “Bu, karena ginjal bapak tinggal satu, istilahnya tidak ada ban serep maka kami tidak akan agresif, jika terjadi pendarahan kami akan hentikan oprasinya.” Suamiku di dorong ke ruang oprasi, tangisku pecah juga, pipiku basah, ku pasang headset. Mama mertuaku dan ibu gembalaku menelponku, sejenak air mataku berhenti. Ku tunggu di lantai satu gedung Kanigara.
Terdengar dipanggil nama-nama orang, aku dapat info sesama pendamping pasien katanya jika selesai operasi maka akan dipanggil. Kata dokter dua jam, ini sudah lewat tiga jam tak ada panggilan, terbayang wajah suamiku, perasaanku langsung berkata dia pasti mengalami pendarahan. Baru pertama kali aku tak mengandalkan kemampuanku, aku tak dapat berharap pada manusia, alat , dan jaringan internet, aku hanya berharap pada Tuhan. Setelah empat jam aku dapat telepon, “Bu, istri dari Pak Chrestian?” “Iya Pak,” Jawabku. “Segera ke lantai enam,” Kata bapak itu.
Semua dipanggil, saya kok ditelepon, Batinku. Aku tekan nomor lift sambil gemetar, sampai di lantai enam aku jongkok. Pintu terbuka Profesor yang mengoperasi suamiku muncul dan berkata, “Bu sudah selesai ya, cuma tadi ada pendarahan jadi kami hentikan.” “Bapak aman dok?” Tanyaku.
“Aman,” Jawab Profesor. Sabar dok saya telepon Jen adik suamiku biar sekalian dengar penjelasannya,” Kataku. Ku segera menelpon Jen, Dokter menjelaskan bahwa suamiku mengalami pendarahan sebanyak dua setengah liter, namun batu dari bagian tengah dan atas ginjalnya sema sudah diambil.
“Fungsi ginjalnya gimana Dok?” Tanyaku.
“Aman, tadi urinnya banyak,” Jawab Dokter.
Aku lemas, ku terima batu ginjal yang diambil dari dalam ginjal suamiku.
“Jika Bapak sudah sadar, kami akan hubungi ibu lagi,” Kata dokter, Aku kembali ke lantai satu namun aku sudah bisa makan, ku foto batu itu dan memberi kabar kepada semua orang, kerabat dan rekan kerja kami.
Dua hari suamiku di ICU dan akhirnya pindah di ruang rawat inap, lima hari setelah oprasi suamiku diberi pencahar, maka dikatakan hemoroid yang keluar, mulailah perjalanan iman kami gocang sejak hari itu, yang awalnya dikatakan hemoroid menjadi prolaps usus, suamiku lemas melakukan beberapa pemeriksaan dan mengalami dua kali pendarahan besar. Aku mulai tak bisa menahan air mataku di depan suamiku, suamiku kaget melihat aku menangis sejadi-jadinya di depannya.
Tanggal 4 November suamiku mengalami pendarahan hebat, hingga HBnya menjadi enam, saat itu kami di rumah singgah, suamiku sempat tidak sadar, aku lemas nangis. Untung ada perawat yang merawat salah satu pasien di rumah singgah, suamiku tertolong dengan menggunakan oksigen, ditelepon ambulans. Suamiku dibantu pembeli siomay, sopir bajai, diturunkan dari lantai dua. Kami berhasil melalui hari itu, malam-malam aku mengambil darah untuk transfuse suamiku.
Mujizat Tuhan, pendarahan suamiku berangsur pulih, perjalanan iman yang benar-benar meremukan diriku, aku dari yang rajin doa, hingga takt ahu mau doa apalagi, namun akhirnya aku menemukan lagi panggilan di hati saat aku sujud di Katedral, aku kembali mendaraskan novena, lintani dan Rosarioku, walau imanku masih gagal perihal keuangan kami, namun aku tetap yakin hanya Tuhan yang mampu membawaku keluar dari padang gurun ini.
Rumah singgah sebagai pejunan kami, setiap pukul delapan pagi dan malam berkumpul dan merenungkan Firman Tuhan, lima kali setiap hari Senin hingga Sabtu Menara Doa Sahabat Orang Sakit secara daring menemaniku. Sesama pendamping pasien saling menguatkan, mengingatkan dan mendoakan. Pertemuan dengan para pendamping pasien di rumah sakit walau beda keyakinan namun saling menguatkan.
Saat ini di akhir tahun ini, saat orang mempersiapkan Natal, aku dan suami mempersiapkan diri untuk operasi pengambilan batu ginjal, yang kami harap operasi yang terakhir agar Januari kami bisa pulang Nabire. Hatiku kadang menjerit dan meminta pada Tuhan, “Cukup Ya Tuhan, aku sudah gak sanggup lagi.” Namun Roh Kudus mengingatkanku bahwa selalu percaya pada Tuhan yang mempunyai jaminan kekal atas segala perkara, percaya pada Tuhan sanggup menolong dan memberikan kedamaian abadi bagiku dan suami.