Aluna memulai harinya di SMA Harapan Bangsa dengan perasaan gugup. Sebagai murid baru, ia berusaha tampil percaya diri meski di dalam hatinya penuh kekhawatiran. Aluna berjalan ke kelas 11 IPA 2, tempat ia akan belajar. Ia berusaha tidak menarik perhatian, tapi itu mustahil. Wajahnya yang manis, gaya sederhana, dan cara bicaranya yang sopan membuat hampir semua mata tertuju padanya.
Begitu masuk kelas, Aluna langsung disambut oleh Sasha, cewek yang ramah dan penuh energi. "Hai! Kamu pasti murid baru, ya? Namaku Sasha. Duduk bareng aku aja!" katanya sambil menarik tangan Aluna tanpa izin.
Aluna tersenyum. "Terima kasih, Sasha. Aku Aluna."
Sasha mulai memperkenalkan teman-temannya. Ada Dika, cowok kocak yang suka bikin suasana hidup, dan Nita, gadis pintar dan bijaksana yang sering dijuluki "ibu kelas". Mereka langsung menyambut Aluna dengan hangat, dan Aluna merasa beruntung menemukan teman-teman baru yang seru.
Namun, perhatian Aluna tak hanya datang dari teman-teman sekelasnya. Di koridor, dia bertemu dengan Adrian, Ketua OSIS yang tampan dan karismatik, yang dengan sopan memperkenalkan dirinya. "Selamat datang di SMA Harapan Bangsa. Kalau ada apa-apa, jangan ragu hubungi aku, ya," katanya sambil tersenyum lembut.
Lalu ada Reyhan, kapten basket yang suka menggoda dan selalu tampil percaya diri. Saat melihat Aluna, ia langsung menyapanya dengan gaya santai. "Hei, kamu pasti murid baru yang semua orang omongin. Jangan takut sama aku, aku cuma orang paling keren di sekolah ini."
Sasha langsung berbisik pada Aluna, "Kamu langsung disapa Adrian dan Reyhan? Wah, kamu pasti jadi pusat perhatian, Lun!"
Di kelas, Sasha, Dika, dan Nita mengajak Aluna untuk makan siang di kantin bersama mereka. Di meja kantin, Dika mulai melontarkan lelucon konyol yang membuat mereka semua tertawa.
"Eh, Lun, kamu tau nggak kenapa sekolah ini punya banyak cowok ganteng? Karena Tuhan lagi bikin eksperimen khusus di sini," kata Dika, sambil memamerkan ekspresi serius yang malah membuat semuanya tertawa terbahak-bahak.
Hari-hari bersama mereka selalu penuh warna. Suatu ketika, Sasha mengajak mereka ikut ekskul fotografi. Mereka pergi ke taman belakang sekolah untuk mencari foto terbaik, tetapi malah berakhir dengan perang air karena Dika membawa botol semprot tanpa alasan.
"Aku cuma mau nyegerin suasana!" teriak Dika sambil lari dari Sasha yang mengejarnya dengan botol air minum.
Momen-momen seperti itu membuat Aluna merasa benar-benar diterima dan bahagia.
Kehidupan Aluna semakin rumit ketika Adrian dan Reyhan mulai sering muncul di sekitar dirinya. Adrian sering mendekati Aluna dengan cara yang elegan, seperti mengajaknya berdiskusi soal program OSIS.
"Aluna, aku dengar kamu punya banyak ide kreatif. Boleh nggak aku ajak kamu jadi bagian dari panitia pentas seni?" tanya Adrian.
"Tentu, aku senang membantu," jawab Aluna, merasa gugup tapi tersanjung.
Reyhan, di sisi lain, punya pendekatan yang lebih santai dan menggoda. Suatu hari, ia datang ke kelas Aluna saat jam istirahat. "Lun, kamu sibuk nggak? Kalau nggak, temenin aku ke lapangan basket. Aku butuh penonton setia."
Sasha yang duduk di sebelah Aluna langsung menyikutnya. "Wah, Reyhan ngajak kamu jalan! Lun, jangan lupa bawa tisu buat lap keringet dia, ya," goda Sasha, yang membuat Aluna makin salah tingkah.
Di lapangan basket, Reyhan sengaja menunjukkan trik-trik sulit untuk menarik perhatian Aluna. Setelah latihan selesai, ia mendekat sambil memberikan botol air mineral. "Ini buat kamu. Tadi capek banget, ya, nonton aku main?"
Aluna hanya bisa tersenyum sambil menerima botol itu. Di sisi lain, Adrian melihat kejadian itu dari jauh dengan ekspresi datar, tapi jelas ia tidak senang.
Sasha, Dika, dan Nita selalu menjadi pendukung utama Aluna di tengah situasi yang semakin rumit. Mereka sering menggoda Aluna soal Adrian dan Reyhan, tapi juga memberikan dukungan saat Aluna merasa bingung.
"Menurutku, Adrian itu tipe cowok yang serius dan bisa diandalkan," kata Nita sambil menyeruput teh di kantin.
"Kalau aku, lebih pilih Reyhan! Dia asik dan nggak ngebosenin," balas Sasha sambil mengedipkan mata.
Dika tiba-tiba menyela, "Hei, Aluna nggak harus pilih siapa-siapa. Yang penting, dia pilih aku, dong!"
Semua tertawa mendengar ucapan Dika, tapi Aluna hanya bisa tersenyum bingung. Ia sendiri belum tahu apa yang sebenarnya ia rasakan.
Sementara itu, Adrian dan Reyhan mulai menunjukkan rivalitas yang semakin jelas. Di pentas seni sekolah, Adrian membuat kejutan dengan membacakan puisi yang ia buat sendiri, khusus untuk Aluna.
"Puisi ini untuk seseorang yang baru saja hadir dalam hidupku, tetapi sudah membawa banyak kebahagiaan. Semoga kamu tahu, aku selalu ada di sini untukmu," ucap Adrian di atas panggung, membuat seluruh aula heboh.
Di sisi lain, Reyhan memilih cara yang lebih dramatis. Saat pertandingan basket terakhir, ia mencetak skor penentu kemenangan dan langsung mendekati tribun tempat Aluna duduk. "Kemenangan ini buat kamu, Lun," katanya sambil tersenyum penuh percaya diri.
Setelah semua perhatian yang ia dapatkan, Aluna akhirnya mengumpulkan keberanian untuk jujur pada dirinya sendiri. Di sebuah malam, saat pesta perpisahan sekolah, ia mengajak Adrian dan Reyhan untuk berbicara secara terpisah.
"Kalian berdua adalah teman yang sangat berarti buatku. Tapi aku belum siap untuk memilih. Aku ingin menikmati masa SMA-ku tanpa tekanan," kata Aluna, dengan air mata yang berlinang.
Adrian dan Reyhan menerima keputusan itu dengan berat hati, tapi mereka menghormati Aluna.
"Kalau itu yang kamu mau, aku akan tetap ada di sini sebagai temanmu," kata Adrian sambil tersenyum kecil.
"Aku nggak akan jauh-jauh kok, Lun. Tapi jangan kaget kalau suatu hari aku datang lagi buat merebut hatimu," tambah Reyhan dengan nada menggoda.
Di akhir pesta, Aluna bergabung dengan Sasha, Dika, dan Nita di taman sekolah. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan berjanji untuk selalu mendukung satu sama lain.
"Ini baru namanya masa SMA yang nggak akan pernah kita lupakan," kata Sasha sambil memeluk Aluna.
~TAMAT~