Seorang gadis berseragam putih abu-abu menengok ke kanan dan kiri, entah siapa yang dia cari. Badannya yang berdiri di tengah-tengah pintu gerbang tentu membuat banyak klakson berbunyi saling bersahutan. Namun, gadis itu abai.
"Woi, lo mau mati, ya!" sentak seorang pemuda dengan dasi yang diikat di kepala.
Perutnya yang telah kosong, pun matahari yang tampak begitu terik, membuat amarah pemuda tadi meluap-luap. Dia yang ingin segera pulang harus terhambat sejenak akibat kemacetan yang terjadi.
Sepasang tangan meraih lengan sang gadis untuk diajaknya menepi. Keduanya dapat melihat dengan jelas bagaimana raut marah dari siswa-siswi yang hendak ke luar melalui gerbang.
"Cewek gila!" umpat salah seorang gadis dengan mata yang menyorot tajam.
Pemuda yang menarik lengan sang gadis tadi mendengkus cukup keras. Sebut saja Abdul. "Lo kenapa, sih, Lan? Udah tiga hari lo berdiri nggak jelas depan gerbang," tanya Abdul dengan mata yang menatap intens ke arah Wulan-gadis tadi.
"Gue nungguin Kak Queen jemput." Jawaban yang terlontar dari mulut Wulan membuat Abdul tambah frustrasi. Gadis itu selalu menjawab demikian sejak beberapa hari lalu.
"Wulan!" gertak Abdul sembari memegang kedua pundak sang gadis.
Di posisi ini, mau 'tak mau dia harus melihat jauh ke dalam mata Wulan. Di posisi ini pula, si gadis menatap mata cokelat milik pemuda itu. Orang awam sekalipun akan tahu bahwa sorot mata gadis itu begitu sendu, terdapat banyak emosi sedih di dalamnya.
Melihat itu, Abdul memelankan suara. "Lan, Kak Queen bakal sedih lihat kamu kayak gini. Ikhlasin dia, biarin dia tenang di sana."
Queen Aurora. Gadis yang telah menginjak bangku kuliah itu merupakan kakak tiri Wulan. Keduanya begitu dekat layaknya saudara kandung. Abdul mengenal Queen karena wanita itu nyaris setiap hari datang menjemput.
"Gue kangen sama Kak Queen." Wulan berujar lirih dengan kepala yang tertunduk. Sedetik kemudian, tubuhnya bergetar akibat isak tangis.
Seminggu yang lalu, Queen datang menjemput Wulan seperti biasa. Namun, nahasnya, motor hitam milik wanita itu menabrak sebuah truk bermuatan berat di simpang tiga-sebelah sekolah.
Truk tersebut menyeret tubuh Queen hingga beberapa meter di jalanan beraspal. Wanita itu dan beberapa pengguna jalan yang melihat 'tak dapat menghentikannya. Hanya teriakan histeris yang terdengar dari berbagai sudut turut menyertai tragedi nahas itu. Akibat terseret beberapa meter dengan kepala yang tidak dilindungi oleh helm, Queen merenggang nyawa di tempat. Cairan merah segar yang membanjiri jalanan dan isi kepala yang beberapa mencuat ke luar menambah kesan tragis pada kecelakaan sore itu.
"Gue juga kangen sama Kak Queen, nggak hanya lo doang. Tapi, gue paham gimana rasanya kehilangan salah satu harapan hidup. Gue paham, Lan ...." Abdul menjeda kalimatnya.
"Gue tahu, gue paham, dan gue mau terus di sisi lo. Walau nggak bisa menggantikan posisi Kak Queen, setidaknya ada seseorang yang bisa lo pukul pundaknya waktu ketawa. Juga lo jadiin tempat bersandar waktu sedih," lanjut pemuda itu.
Wulan tidak menjawab. Gadis itu hanya menatap kosong ke depan. Pikiran Wulan bercabang, hatinya berkecamuk. Rasa sedih dan rindu menyatu dalam satu waktu yang sama.
"Gue mau pulang," ungkap gadis tersebut sembari beranjak berdiri.
****
Siang ini mentari begitu terik, kendaraan umum yang dinaiki Wulan menjauh dari area sekolah. Gadis itu menatap ke luar jendela angkot terus-terusan, mengabaikan siapa saja yang keluar masuk dalam bus kecil tersebut. Tatkala melewati kedai es krim berwarna pastel, sebuah gambaran masa lampau terlintas dalam benaknya. Gelak tawa menghiasi siang hari di waktu wekeend. Para pengunjung begitu ramai, menikmati berbagai hidangan. Sama halnya dengan dua gadis itu, meski saudari tiri, tetapi keduanya saling menyayangi.
"Kak Queen, cobain, deh," ucap Wulan sembari menyodorkan cup ice cream pada perempuan yang duduk di depannya. Mata Queen berbinar, senyuman cantik itu terlihat jelas di wajahnya. Kemudian, tangannya terulur mengambil ice cream dengan sendok kecil, menyuapkannya ke dalam mulut. Hawa dingin langsung menyelimuti mulut Queen, rasa strawberry bercampur vanilla begitu kuat.
"Hmmm, seger. Enak dan manis. Pilihan kamu nggak pernah salah."
Wulan tersenyum lebar. "Iya, dong. Pilihan siapa dulu, Wulan!" ujarnya seraya membusungkan dada, lalu mereka tertawa bersama.
"Aku mau, dong, Kak, ice cream Kak Queen." Gadis dengan baju merah muda itu memajukan tubuhnya.
Melihat hal itu, Queen terkekeh. Menyendok ice cream cokelat miliknya, menyuapkannya pada sang adik.
"Aaa," pintanya, lalu dengan sengaja sendok itu ditarik ke kanan sehingga ice cream berserakan di pipi mulus Wulan.
"Iiih, Kakak!" rajuk Wulan mencebik kesal, sedangkan Queen malah tertawa lepas.
"Neng, sudah sampai!" Suara berat itu menyadarkan Wulan, menarik kenangan itu begitu saja.
Wulan menoleh. "Eh, sudah sampai ya, Pak?" tanyanya, sang supir mengangguk.
Gegas dia turun dari angkot setelah membayar ongkos. Namun, wajahnya kembali sendu saat melihat rumah berwarna cream di depannya.
"Kak Queen ..., andai Kakak masih ada," gumam Wulan, lalu menghela napas berat. Dengan berat hati, dia terpaksa melangkah memasuki halaman rumah. Sepi, begitulah setiap hari di rumah ini.
"Dari mana kamu? Pulang telat terus!"
Langkah kaki Wulan terhenti saat suara ibu tirinya terdengar. Dia menoleh, tampak wanita dengan baju merah bata itu menghampirinya.
Dia menghela napas dengan kasar. "Apa lagi, Bu?" tanyanya dengan malas.
Sejak kepergian sang ayah beberapa bulan lalu dan kakaknya-Queen-Wulan seperti kehilangan kedamaian di rumah ini. Setiap hari, ibu tirinya itu selalu saja berdebat dengannya.
"Kamu dari mana jam segini baru pulang, Wulan? Kerjaannya keluyuran terus! Tuh, lihat! Belum masak, belum bersih-bersih rumah! Berantakan, Wulan!" bentak Ratna, ibu tiri Wulan.
Gadis itu mendesah pelan. "Kenapa tidak Ibu saja yang bereskan? Kenapa harus menungguku pulang?"
"Wulan! Kamu ini, dibilangin selalu jawab aja! Durhaka kamu!" Mata Ratna memelotot tajam, wajahnya terlihat sangat marah.
'Tak ingin terlalu lama berdebat, Wulan beranjak dari sana. Pergi begitu saja tanpa sepatah kata. Melangkah ke arah kamar, meninggalkan Ratna yang masih mengomel.
"Wulan! Kamu ini, keterlaluan! Ibu belum selesai bicara!" teriak Ratna, menatap kepergian anak tirinya itu 'tak terima.
Bunyi pintu terdengar keras, Wulan membantingnya dengan kasar. Dia melempar tas asal. Matanya sudah basah dengan dada naik turun menahan amarah.
"Haaaaah! Argh! Aku benci semua ini, aku benci!" ungkap gadis itu sambil menjambak rambutnya dengan kasar.
Wulan menatap foto yang terpajang di atas nakas, foto dirinya dengan sang kakak, Queen. Dia melangkah mendekati foto itu dengan air matanya yang sudah bercucuran. Namun, bukan mengambil vigura, melainkan membuka laci dan mengambil gunting. Sesaat Wulan menatap foto Queen dengan senyuman, air matanya sudah berserakan membasahi pipi.
"Kak ..., aku rindu Kakak. Dengan gunting ini, kita bisa ketemu lagi, 'kan, Kak? Aku capek di sini, aku capek!" keluhnya, beralih menatap gunting di tangan. Dia merasa kesepian tanpa kehadiran sang kakak.
Bles!
Gunting itu sudah tertancap di perut Wulan, darah segar mengalir dari sana begitu deras. Wulan tersenyum dengan air mata yang masih juga mengalir.
"A-aku, aku segera datang, Kak Queen, Ayah," ucapnya dengan terbata, lalu tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa sampai pipinya menyentuh lantai.
"A-aku datang, Kak Queen ..., ki-kita bisa bersama lagi, menuai ri-rindu i-ini ...." Mata sembab itu akhirnya terpejam setelah sang empu mengatakan kalimat tersebut, darah mengalir membanjiri ubin di kamarnya.
Palembang, 6 Agustus 2023