Di tengah keramaian pesta malam itu, terlukis senyuman manis dan menawan yang sungguh sempurna di wajah Lorenzo. Senyumannya bagai undangan yang mampu mengundang perhatian dan memikat siapa saja yang memandangnya. Di balik senyuman itu, ada sesuatu yang khas yang tak sedikitpun dihiraukan orang biasa. Tak ada yang sadar di balik senyuman manisnya itu, Lorenzo sedang menimbang peluang dan memikirkan siapa yang akan menjadi bidak berikutnya.
Suasana malam yang pekat, seolah malam sengaja menyembunyikan bintang-bintang. Semetara di dalam ruangan, lampu-lampu kristal memantulkan cahaya gemerlap, bahkan menutupi setiap bayangan gelap yang berusaha bersembunyi di sudut. Di dunia itu, semua orang percaya dengan apa yang ingin mereka percayai dan tentu saja Lorenzo dengan mudah memainkan ilusi itu dengan sempurna.
Matanya tak berhenti menatap setiap mata. Tatapan dan senyuman yang memanipulasi saling beradu dengan musik klasik yang mengalun lembut. Matanya menangkap seorang gadis di sudut ruangan seperti sedang menghindar dari bidak caturnya. Vittoria, seorang psikolog dan jurnalis muda yang cerdas dengan sudut pandang berbeda dengan orang-orang lainnya. Tetapi malam ini, jiwa Lorenzo tidak melihatnya sebagai seorang profesional. Ia melihatnya sebagai awal mula permainan baru atau mungkin saja yang terakhir kalinya.
Lorenzo berjalan dengan langkah pelan dan senyum tidak hilang dari wajah di balik topengnya. "Anda Vittoria, bukan? Kau tahu, aku sangat suka dengan buku-buku tulisan anda."
Senyumannya tetap terjaga dan tidak pudar sedikit pun, senyuman yang sangat menghipnotis. Tapi di dalam dirinya, ia bertanya-tanya: seberapa lama gadis itu bisa bertahan sampai senyuman itu menghancurkannya?
Tak disangkanya, Vittoria ternyata jauh lebih cerdas dari yang ia bayangkan. Ia bukan sekadar bidak yang mudah dikendalikan, melainkan lawan yang sulit ditebak, bahkan dalam permainan yang dirancangnya sendiri. Untuk pertama kalinya, Lorenzo merasa kendali itu mungkin tak sepenuhnya miliknya.
Vittoria menganggap gerak-gerik Lorenzo aneh, seperti predator mengamati mangsanya. Berhubung permainan baru dimulai, Vittoria mencari beberapa bukti pada beberapa kasus yang menurutnya sedikit aneh dan terlihat ganjil. Mencari bukti bukan waktu yang singkat, Vittoria mengabiskan 2 malam untuk berhasil mencari bukti-bukti itu.
Di malam kedua, ketukan pintu terdengar dari luar pintu apartemennya. Vittoria tidak membuka pintu secepat yang dipikirkan. Ia pergi melihat rekaman CCTV yang mengarah di depan pintu apartemennya. Seorang yang familiar, tidak lain dan tidak bukan adalah Lorenzo. Tapi, ia tidak langsung membukakan pintunya. Nalurinya berkata bahwa ia harus berhati-hati. Kali ini Lorenzo mengetuk pintu lebih keras lagi.
Lorenzo merasa ada yang mengawasinya. Ia menengadah ke atas dan sebuah mata buatan, tak berkedip dan tak tanpa perasaan, menggantung tinggi, mengawasinya dengan kesunyian yang menghakimi. Seketika tampak seringai di wajahnya, seperti serigala yang siap menerkam mangsanya bulat-bulat.
Ada hal yang tak wajar, beberapa detik matanya luput dari rekaman CCTV, Lorenzo telah lenyap dari pandangan. Tak ada lagi dirinya yang tersorot kamera CCTV. Membuat jantung Vittoria berdegup kencang, napasnya tertahan.
Tak berselang lama, sebuah suara datang dari ponselnya. Pesan teks: "Kau tak bisa bersembunyi selamanya dariku." Bagai ancaman bagi Vittoria, seketika wajahnya pucat pasih. Apa yang harus dilakukannya? Apakah dia akan mati ditangan Lorenzo? Atau sebaliknya?
Tiba-tiba sebuah suara terdengar lagi. "Buka pintunya. Aku tahu ini tidak akan berakhir baik untukmu. Tapi kuberi kau kesempatan. Lima detik. Buka pintunya atau aku yang masuk?"
"Lima..."
Diraihnya pistol di atas meja dan mengeratkan genggamannya pada pistol itu.
"Empat..."
Terlintas di benaknya, bahwa ada pintu darurat, tetapi posisinya di ujung koridor apartemennya. Tapi untuk mencapainya ia harus keluar dari apartemennya. Sempat bingung, kemudian ia bertekad keluar dari sana.
"Tiga..."
Dengan kuat, ditendangnya pintu itu dengan keras, membuat orang di luar terkejut, saat itulah ada kesempatan bagi Vittoria untuk berlari dan menuju ke pintu tangga darurat. Ditutupnya pintu, diputarnya juga kuncinya. Ia berlari dengan napas terengah-engah.
Namun, ketika mencapai lantai 10, terdengar langkah kaki di lantai bawah. Mereka tidak hanya satu.
Jebakan.
Vittoria terjebak di tengah tangga, dengan cepat ia berbalik badan untuk naik ke lantai 11 lagi. Tapi ketika pintu terbuka, seseorang berdiri di sana, Lorenzo. Wajahnya terlihat tenang seperti sudah mengerti akhirnya.
"Permainan ini sudah selesai, Vittoria." Katanya.
Vittoria dengan cepat memutar otaknya. "Apa yang kau inginkan, Lorenzo?" Tanyanya, suaranya bergetar seakan tapi tegas.
Lorenzo hanya tersenyum kecil lalu tertawa. "Ini bukan tentang apa yang aku inginkan. Tetapi ini tentang apa yang harus terjadi."
Suara langkah kaki dari bawah semakin terdengar, dicobanya untuk memancing Lorenzo. "Siapa yang menyuruhmu?" Ia memancing informasi sedangkan otaknya mencari jalan keluar.
"Kau pikir ini hanya tentangku? Kau salah. Kau terlalu penting untuk hanya berurusan denganku." Jawabnya dengan nada dingin.
"Kau hanya bidak." Jawab Vittoria menyadari kebenaran dibalik kata-katanya sendiri.
"Aku lebih dari itu. Tapi aku hanya pembawa pesan. Dan pesannya adalah: kau tak akan bisa lari, Vittoria."
Dengan cepat ditendangnya pintu itu, lalu naik ke lantai 11 dan dikuncinya pintu itu. Lorong yang sepi hanya diterangi lampu yang redup. Di sudut ruangan, seorang laki-laki muncul dengan jubah hitamnya, kali ini bukan Lorenzo.
"Vittoria, lari hanya membuat ini semakin sulit." Katanya, nadanya penuh ketenangan yang mengintimidasi.
"Siapa kau?" Tanya Vittoria sambil mengangkat pistol di tangannya.
Pria itu tersenyum tipis, menikmati ketegangan Vittoria. "Aku adalah akhir dari permainan ini. Kau tahu terlalu banyak. Dan itu...masalah."
Pintu di belakangnya digedor keras, Lorenzo dan kelompoknya mendobrak masuk. Ia terjebak di dua sisi dan tidak ada waktu baginya untuk berpikir jernih. Terpaksa ditembaknya lampu di lorong itu dan kegelapan menyelimuti mereka. Ia berlari ke arah yang berlawanan. Gelap adalah sekutunya kali ini.
Dari belakang suara pintu yang jebol bergema, diikuti suara langkah Lorenzo dan kelompoknya. Suara itu seperti detik-detik jam yang menghitung mundur. Ia terus berlari dan menemukan pintu lain di sisi lorong, dibukanya lalu dikuncinya. Di depannya ada sebuah jendela kecil menyambutnya.
Tapi masalahnya, sekarang jam 11 malam, jalan di luar sana sepi dan lampu yang berkedip-kedip. Vittoria tidak punya pilihan lain. Diambilnya sebuah tali jemuran yang tergantung di dekat jendela, melilitkannya pada gagang besi, dan memanjat keluar.
Di dalam apartemen lantai 10, ia mendengar suara pria berjubah hitam. “Dia pintar, tapi dia tidak bisa pergi jauh.”
Ia merangkak pelan, mencoba tidak menarik perhatian. Namun, saat ia hampir sampai ke tangga, sebuah suara menghentikannya.
“Vittoria…” Suara itu, dari atas, pria berjubah hitam. “Berhenti sekarang, kuberi kau kesempatan, itu akan lebih baik."
Tapi Vittoria tidak lagi takut. Dengan tekad yang menyala, ia berlari menuju tangga kebakaran. Dengan cepat ia melompat menuruni tangga itu dengan cepat.
Di belakangnya, pria jubah hitam melompat dan menuruni tangga dengan kelincahan yang tidak wajar.
Di bawah, ada gang sempit dan gelap. Itu mungkin satu-satunya cara untuk keluar dari kejaran itu. Ia terus berlari masuk ke gang. Di ujung gang, seorang pria lain dengan jas hitam, wajahnya tidak terlihat oleh topi lebar yang dikenakannya. Di tangan kirinya ia memegang sebuah pisau yang panjang. Vittoria membalikkan badannya, tetapi di pria berjubah hitam sudah berdiri di mulut gang, menghalangi jalan keluar.
"Permainan sudah selesai, Vittoria." Kata pria berjubah hitam, suaranya tenang namun penuh ancaman.
Pria itu manju mendekat, pria di ujung gang juga mulai bergerak mendekat. Vittoria tahu bahwa dirinya tak punya banyak waktu lagi. Ia menutup matanya, nafasnya tersengal-sengal karena rasa takut yang luar biasa.
Tetapi tiba-tiba suara seseorang terdengar lantang.
“Lepaskan dia.”
Sebuah bayangan muncul dari sisi gang, berjalan perlahan ke arah mereka. Suara langkahnya mantap, berbeda dari yang lain. Cahaya samar mengungkapkan sosok seorang pria dengan wajah yang tidak asing bagi Vittoria.
Lorenzo tadinya terlihat seperti sekutu mereka, tapi kali ini ia berdiri di tengah-tengah antara Vittoria dan pria berjubah hitam. Ekspresi wajahnya sangat tidak terbaca.
"Aku sudah bilang dia bukan bagian dari rencana kita. Kau melanggar batas." Kata Lorenzo pada pria berjubah hitam.
“Lorenzo…” pria berjubah hitam menatapnya dingin. “Kau tahu apa yang akan terjadi jika kau ikut campur.”
“Biarkan aku menanggung akibatnya.” Jawab Lorenzo, suaranya tegas. “Tapi kau tidak akan menyentuhnya malam ini.”
Suasana penuh ketegangan. Pria berjubah hitam mengangkat tangannya, mengisyaratkan kepada pria dengan pisau untuk mundur.
Mereka berjalan pergi dan menghilang dari kegelapan malam. Meninggalkan Lorenzo dan Vittoria di gang yang sunyi.
"Ikuti aku." Kata Lorenzo sambil tangannya menarik tangan Vittoria untuk ikut dengannya, ia berjalan setengah berlari.
Mereka akhirnya tiba di sebuah gedung tua yang tampaknya sudah lama tidak terpakai. Lorenzo membuka pintu besi yang berkarat, mengisyaratkan Vittoria untuk masuk.
“Aku tidak akan masuk ke tempat yang tidak kuketahui,” kata Vittoria tajam, memegang pistol di tangannya.
Lorenzo menatapnya, matanya menunjukkan kelelahan yang mendalam. “Kalau aku ingin kau mati, aku sudah melakukannya tadi. Percayalah, ini untuk keselamatanmu.”
Dengan enggan, Vittoria melangkah masuk. Ruangan itu gelap dan berdebu, hanya diterangi oleh cahaya dari jendela yang retak. Lorenzo mengunci pintu di belakang mereka dan mengarahkan Vittoria ke ruang kecil dengan meja dan beberapa kursi tua.
Lorenzo duduk di kursi sambil memijat pangkal hidungnya. "Kau tahu, mereka adalah sebuah organisasi yang beroperasi dalam bayang-bayang. Mereka menyebut diri mereka Sentiero Nero-Jalan gelap. Tugas mereka adalah memastikan informasi tertentu tidak pernah sampai ke tangan orang yang salah. Dan seseorang yang kau temui, salah satu dari mereka. Bercerita tentang dirinya dan pekerjaannya, datang kepadamu karena berharap kau bisa melindunginya, tapi dengan itu dia menyeret mu ke dalam kekacauan ini."
"Marco..." bisik Vittoria.
Lorenzo mengangguk. "Mereka membunuhnya, dan kau adalah incaran mereka supaya memastikan tidak ada yang tersisa."
Vittoria menatap Lorenzo, mencoba memahami niatnya. “Kenapa kau peduli?”
Lorenzo terdiam sejenak sebelum menjawab. “Karena aku pernah menjadi bagian dari mereka. Dan aku tahu seberapa jauh mereka akan pergi untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.”
“Jadi ini penebusan?” Vittoria mengejek.
“Anggap saja begitu.” Jawab Lorenzo, senyumnya tipis. “Tapi kau tidak punya waktu untuk mempertanyakan itu. Mereka akan kembali, dan kita harus membuat rencana.”
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan pembicaraan, suara langkah kaki terdengar dari luar gedung. Mereka telah ditemukan.
“Cepat!” Lorenzo menarik Vittoria ke ruangan belakang, di mana ada pintu lain yang mengarah ke lorong bawah tanah. “Ikuti aku. Jangan berhenti apa pun yang terjadi.”
Di ujung lorong, mereka menemukan sebuah pintu yang membawa mereka keluar ke tepi sungai. Lorenzo berhenti sejenak, melihat ke sekeliling.
“Kau pergi. Ikuti sungai sampai ke jembatan.”
“Dan kau?” Vittoria menatapnya, matanya penuh tanya.
“Aku akan menghentikan mereka.” Lorenzo mengeluarkan pistol dari balik jaketnya. “Pergi, Vittoria.”
Vittoria ingin membantah, tapi pandangan Lorenzo memotong niatnya. Dengan berat hati, ia mulai berlari menyusuri sungai, meninggalkan Lorenzo yang berdiri tegak di pintu lorong.
Tembakan pertama terdengar saat Vittoria mulai menjauh, dan malam itu menjadi saksi perpisahan mereka.