Langit gelap dan berat, seperti menahan air mata yang tak ingin jatuh. Di sudut kota kecil yang sepi, seorang perempuan muda bernama Arini duduk di tepi jendela kamarnya. Tangannya menggenggam sebuah surat lusuh yang sudah hampir hancur karena terlalu sering dibuka. Surat itu adalah peninggalan terakhir dari seseorang yang dulu memberinya alasan untuk tersenyum.
"Aku tidak bisa bertahan lebih lama, Rini. Tubuhku lemah, tetapi hati ini selalu penuh oleh cintamu. Jangan menangis untukku, ya. Ingatlah aku sebagai seseorang yang pernah membuatmu tertawa."
Kalimat itu terus terngiang di pikirannya. Surat itu ditulis oleh Bagas, sahabat sekaligus lelaki yang diam-diam menjadi cinta pertamanya. Mereka tumbuh bersama, saling menguatkan di tengah kekacauan hidup yang sering kali tak berpihak. Bagas, dengan penyakitnya yang tak tersembuhkan, tetap menjadi sosok yang ceria dan penuh semangat.
Namun, hari itu tiba lebih cepat dari yang Arini bayangkan. Tiga bulan lalu, Bagas pergi tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Arini merasa hidupnya kehilangan warna. Dunia tampak abu-abu, bahkan di bawah sinar matahari.
Hujan mulai turun perlahan, membasahi kaca jendela. Arini memejamkan mata, membiarkan ingatan tentang Bagas menguasainya. Dia teringat bagaimana mereka dulu sering bermain di bawah hujan, tertawa seolah dunia milik mereka berdua.
"Ayo, Rini! Jangan takut basah! Hidup itu seperti hujan, kadang datang tiba-tiba, tapi pasti akan berhenti juga," suara Bagas terdengar di benaknya.
Arini bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar. Tanpa membawa payung, dia membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Rasanya dingin, tapi itu lebih baik daripada dingin yang ada di hatinya.
Saat berdiri di tengah jalan, dia mengangkat wajahnya ke langit. "Bagas, apa kamu ada di sana? Apa kamu sedang melihatku?" tanyanya lirih.
Angin membawa aroma hujan dan tanah basah, membangkitkan kenangan masa kecil mereka. Arini tersenyum tipis, meski air matanya bercampur dengan hujan yang terus turun.
Di tengah dinginnya hujan, Arini merasa sesuatu yang hangat menyentuh hatinya. Itu bukan tangan Bagas, bukan juga pelukan, tapi seolah kehadirannya masih ada di sekitar. Dia teringat pesan terakhir Bagas dalam surat itu:
"Jika suatu saat kau merasa aku jauh, lihatlah hujan. Karena di sanalah aku akan selalu menunggu, menjadi rintik yang menyentuh kulitmu, menjadi irama yang menemanimu di saat sunyi."
Hari itu, di bawah hujan terakhir bulan Januari, Arini memutuskan untuk melangkah maju. Meski Bagas tak lagi ada di sisinya, dia tahu bahwa cinta dan kenangan mereka akan selalu hidup dalam setiap tetes hujan yang menyapa.