Rembulan malam begitu indah, terkadang aku iri kepada mereka yang selalu ada di langit malam bersama, meskipun sesekali di antara mereka ada yang menghilang. Tidak dengan diriku; jika dia menghilang, tidak mungkin bisa kembali bersatu.
Tujuan kita hanya untuk saling membahagiakan dan saling melengkapi satu sama lain. Tapi walaupun kita memaksa, pada akhirnya kita hanya saling tersakiti. Dari awal aku tahu kita memang bukan ditakdirkan untuk bersama.
Aku memang bukan Tuhan yang bisa menentukan takdir masa depan. Perbedaan yang sedari dulu menghalangi kita hingga kini masih menjadi tembok penghalang yang begitu tinggi. Perbedaan itu berupa keyakinan. Yah, Tuhan memang satu; hanya cara kita untuk meyakini Tuhan yang berbeda.
---
Senin Pagi di SMA Cakrawala
Suasana pagi Senin begitu padat dengan siswa-siswi yang datang silih berganti. Hari ini adalah hari pertama siswa SMA Cakrawala kembali ke sekolah setelah libur panjang.
Seorang gadis dengan pakaian rapi, lengkap dengan dasi dan topi sekolah, berdiri di depan gerbang. Dia adalah Kinan Mazaya, siswi baru di SMA Cakrawala. Tak ada semangat yang terlihat di wajahnya, padahal ini adalah hari pertama dia menjadi siswi SMA.
KRINGGG...
Bunyi bel menyadarkan Kinan dari lamunannya. Dia pun bergegas masuk ke gedung sekolah.
Kegiatan belajar-mengajar berjalan lancar hingga bel istirahat berbunyi. Di kelas 10 MIPA 1, hanya Kinan yang masih berada di sana. Teman-teman sekelasnya sudah pergi ke kantin. Dia membuka bekal sederhana yang dibawanya—nasi, sayur mayur, dan beberapa obat di dalam kotak makan. Setelah makan sedikit, Kinan pergi ke perpustakaan.
---
Saat pulang sekolah, Kinan berada di terminal bus. Tak sengaja, dia melihat seekor kucing di tengah jalan. Karena khawatir kucing itu terlindas, Kinan mendekat untuk mengambilnya.
“Kucing kecil… harusnya jangan main di sini,” ucap Kinan sambil berjongkok.
Tiba-tiba, suara keras mesin truk terdengar. Truk melaju cepat, dan Kinan tak sempat bergerak.
“AWAS!”
Seseorang menarik Kinan keluar dari jalur truk, membuat mereka terjatuh di pinggir jalan. Napas Kinan terasa sesak. Laki-laki yang menolongnya berjongkok di sampingnya, cemas.
“Hei, lo baik-baik aja?” tanyanya.
Kinan hanya menatap dengan pandangan kosong. Rasa sakit di dadanya semakin parah. Laki-laki itu segera menggendongnya dan berlari ke rumah sakit.
---
Di Rumah Sakit
Beberapa waktu kemudian, dokter keluar dari ruang pemeriksaan dan mendekati laki-laki yang menolong Kinan.
“Apakah kamu keluarganya?” tanya dokter.
“Bukan, Dok. Saya hanya… kebetulan menolongnya,” jawabnya ragu.
“Gadis ini mengalami serangan jantung akibat penyakit jantung koroner. Kondisinya stabil, tapi dia perlu pengawasan lebih lanjut.”
Pemuda itu hanya mengangguk. Tak lama kemudian, ibu Kinan datang dan langsung memeluk anaknya.
“Kinan... Nak, syukurlah kamu selamat…”
“Bun, jangan nangis. Aku udah nggak apa-apa,” jawab Kinan menenangkan ibunya.
Ibu Kinan berterima kasih kepada pemuda yang telah menyelamatkan putrinya. Setelah memastikan Kinan sudah bersama keluarganya, pemuda itu pamit.
---
Satu minggu berlalu, kondisi Kinan kembali stabil. Saat kembali ke sekolah, Kinan terkejut mendapati bahwa pemuda yang menyelamatkannya, Alexander Lionel Andreas atau Al, juga bersekolah di sana.
Meskipun Kinan awalnya menjaga jarak, Al tak menyerah mendekatinya. Perlahan, Kinan mulai membuka diri. Mereka sering berbicara, bahkan mulai berbagi cerita.
---
Sore itu, ketika Al mengajak Kinan pergi ke taman kota, Kinan awalnya menolak.
"Ngapain ke sana? Gue nggak punya waktu buat hal-hal kayak gitu," ujar Kinan dengan nada datar.
Tapi Al tetap bersikeras. "Lo butuh istirahat, Kin. Kadang keluar dari rutinitas bisa bikin pikiran lo lebih jernih."
Dengan setengah hati, Kinan mengikuti Al. Ketika mereka tiba di taman, Kinan terkejut. Hamparan bunga berwarna-warni dan suasana tenang di tempat itu membuatnya merasa nyaman.
"Gue sering ke sini kalau lagi banyak pikiran," kata Al sambil duduk di bawah pohon besar yang rindang. "Menurut gue, tempat ini cocok buat lo. Tenang, tapi penuh warna."
Kinan hanya diam, matanya mengamati sekeliling. "Lo terlalu sering ngomong hal-hal nggak penting, Al."
"Tapi lo dengerin, kan?" Al tertawa kecil, membuat Kinan sedikit tersenyum.
---
Beberapa minggu kemudian, Al menemukan Kinan di perpustakaan, sedang asyik menggambar sesuatu di buku catatannya. Ia mendekat dengan penasaran.
"Lo lagi bikin apa?" tanya Al sambil mencoba mengintip.
Kinan cepat-cepat menutup bukunya. "Nggak ada. Cuma iseng."
"Tunjukin dong. Gue penasaran."
Setelah sedikit didesak, Kinan akhirnya menunjukkan sketsanya—gambar pemandangan taman yang mereka kunjungi sebelumnya.
"Keren banget. Ini bahkan lebih bagus dari aslinya," puji Al dengan tulus.
"Jangan lebay," balas Kinan, meski pipinya terlihat sedikit memerah.
Al tersenyum. "Lo harus seriusin ini, Kin. Lo punya bakat besar. Jangan disia-siain."
---
Ketika hari ulang tahun Kinan tiba, Al diam-diam merencanakan kejutan kecil. Saat pagi hari, ia menunggu Kinan di gerbang sekolah dengan sebuah cupcake kecil yang dihiasi lilin.
"Happy birthday, Kin!" serunya ceria.
Kinan terkejut. "Lo tahu dari mana?"
"Ada deh. Ini buat lo. Jangan protes, ya."
Kinan menerima cupcake itu dengan ragu, lalu tersenyum kecil. "Makasih, Al."
Setelah sekolah, Al membawa Kinan kembali ke taman kota. Kali ini, ia membawa alat menggambar dan mengajaknya duduk di bawah pohon besar yang menjadi tempat favorit mereka.
"Gue tahu lo suka tempat ini. Jadi, kenapa nggak lo gambar langsung aja dari sini?" kata Al.
Kinan mengangguk dan mulai menggambar. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar memahaminya
.
.
suatu hari Al menanyakan cita cita Kinan, “Kalau lo bisa jadi apa aja, lo mau jadi apa?” tanya Al suatu sore.
“Gue pengen jadi pelukis. Gue suka menggambar, meskipun cuma untuk diri sendiri,” jawab Kinan lirih.
Al tersenyum. “Gue yakin suatu hari nanti lo bakal bikin pameran besar. Gue pasti datang.”
Kinan balik bertanya, “Kalau lo?”
“Gue pengen jadi dokter, biar bisa nyembuhin orang. Termasuk lo,” jawab Al tulus.
---
Namun, takdir tidak berpihak pada mereka. Suatu hari, Kinan mengalami serangan jantung parah. Satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah transplantasi jantung.
Al yang mendengar kabar itu segera menuju rumah sakit, tetapi di perjalanan, dia mengalami kecelakaan fatal. Dalam keadaan kritis, Al memutuskan untuk mendonorkan jantungnya kepada Kinan.
“Jika ini bisa menyelamatkan dia… aku rela,” ucapnya kepada dokter.
Kinan selamat berkat pengorbanan Al, tetapi dia tidak tahu bahwa Al telah mengorbankan nyawanya untuknya.
.
.
.
Hari itu, Kinan berdiri dengan tubuh yang terasa begitu lemah di depan makam Alfian Dirgantara. Matanya yang semula kering kini dipenuhi dengan air mata yang tak bisa ia tahan. Kepergian Alfian begitu mendalam di hatinya. Seolah, tak ada lagi yang bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh sosok yang telah memberikan pengorbanannya demi hidupnya.
"Alfian... kenapa lo nggak bilang? Kenapa lo harus pergi?" suara Kinan tercekat, tak bisa berkata lebih. Tangan Kinan terulur, menyentuh nisan yang terbaring dengan tenang.
Air matanya terus mengalir. Dia mengingat janji Al untuk menyembuhkannya, janji yang telah ditepati dengan cara yang menyakitkan.
“Gue nggak mau lo ngorbanin hidup lo buat gue. Gue lebih baik mati daripada kehilangan lo…”
Air mata terus mengalir, dan Kinan merasa tubuhnya semakin lemas. Tiba-tiba pandangannya kabur, dan dia terjatuh, kehilangan kesadaran.
Ketika Kinan sadar, ia merasa seperti berada di tempat yang sama sekali berbeda. Sekelilingnya gelap, namun ada sinar lembut yang menyinari dirinya. Kinan melihat sosok yang dikenalnya. Alfian berdiri di hadapannya dengan senyum yang menenangkan. Jantung Kinan berdegup kencang, namun entah kenapa, ia merasa tenang di hadapan Alfian.
"Alfian... ini... kamu?" tanya Kinan dengan suara gemetar.
Alfian tersenyum, wajahnya begitu damai. "Kinan, jangan khawatir. Aku baik-baik saja di sini. Aku sudah tenang."
"Apa yang terjadi? Aku... aku nggak siap kehilangan kamu, Alfian..."
"Kadang, takdir itu memang tak terduga," jawab Alfian pelan. "Tapi ini yang terbaik, Kinan. Aku ingin kamu menjadi lebih kuat. Jangan biarkan dirimu terpuruk. Aku selalu di sisimu."
Kinan terdiam, mencerna setiap kata yang diucapkan Alfian. Dalam keheningan itu, Alfian mendekat, meletakkan tangan di bahu Kinan. "Aku akan selalu ada, meskipun kamu tak melihatku. Jadi, bangkitlah dan jalani hidupmu dengan penuh semangat. Hidupmu masih panjang, dan aku percaya kamu akan menemukan kebahagiaan."
Kinan terbangun, napasnya terengah-engah. Ia mendapati dirinya berada di kamar rumah sakit. Pandangannya kabur, namun suara dokter dan ibunya terdengar di luar. Perlahan, Kinan duduk di tempat tidur, mengingat kembali apa yang baru saja terjadi di alam yang aneh itu.
"Jadi... itu semua hanya mimpi?" pikirnya dalam hati, namun ada perasaan yang begitu kuat dalam dirinya, seolah Alfian benar-benar berada di sana, memberi pesan terakhir yang akan selalu dia ingat.
Alfian memang telah pergi, namun kata-katanya tetap hidup dalam dirinya. Kinan mengingat senyumannya yang begitu tulus, dan dalam hati, ia bertekad untuk melanjutkan hidup dengan lebih kuat, seperti yang diajarkan oleh Alfian.
dibawah langit senja Kinan berdiri disana memandang deburan ombak yang terus menerpa kakinya, ia tersenyum getir mencoba mengikhlaskan apa yang sudah menjadi takdir nya.
Perjalanan Ku bukan hanya tentang menerima kenyataan yang pahit, tetapi juga tentang menerima takdir yang telah digariskan untukku. Pengorbanan yang kamu berikan untuk ku, tak akan aku biarkan sia sia. Aku tahu, meskipun kamu tidak lagi di samping ku, semangat dan cinta yang kamu berikan akan tetap ada, trus membimbing ku untuk menjadi pribadi yang lebih kuat.
Kinan menatap langit sore itu, dan di dalam hatinya, ia berjanji "Aku akan hidup dengan lebih baik, demi kamu, Alfian."
Tamat...