Malam itu hujan deras mengguyur desa kecil di pinggir kota. Cahaya lampu jalan redup, menerangi seorang wanita paruh baya yang tengah berjalan kaki di tengah hujan deras. Tangannya menggenggam erat sebuah payung lusuh yang tampaknya tak lagi mampu melindunginya dari derasnya hujan. Wajahnya penuh lelah, tetapi matanya tetap memancarkan tekad.
Wanita itu bernama Bu Siti. Ia seorang penjual nasi uduk di pasar. Sejak suaminya meninggal lima tahun lalu, Bu Siti menjadi tulang punggung keluarga. Ia menghidupi anak semata wayangnya, Damar, yang saat itu baru berusia sepuluh tahun.
Setiap pagi sebelum fajar, Bu Siti bangun untuk memasak nasi uduk yang ia jual di pasar. Uang yang ia dapatkan tak seberapa, namun cukup untuk menyekolahkan Damar hingga SMA. Bagi Bu Siti, pendidikan Damar adalah segalanya. Ia percaya, dengan pendidikan yang baik, Damar bisa memiliki masa depan yang cerah dan terbebas dari kemiskinan yang mencekik mereka.
Namun, kehidupan tidak selalu mudah. Saat Damar duduk di bangku SMA, ia mulai berubah. Teman-teman barunya memperkenalkan Damar pada kehidupan malam yang penuh kebebasan. Ia mulai sering pulang larut, mengabaikan pelajaran, bahkan beberapa kali meminta uang dalam jumlah besar.
Bu Siti tahu ada yang tidak beres, tetapi ia tidak pernah marah. Ia hanya berusaha memahami dan terus memberikan nasihat.
“Damar, ibu cuma ingin kamu jadi anak yang sukses. Jangan kecewakan ibu, Nak.”
Damar hanya mendengus. “Bu, hidup ini keras. Aku butuh uang buat bertahan. Kalau ibu nggak kasih, aku bisa cari sendiri!”
Bu Siti tertegun mendengar ucapan itu. Namun, ia tetap memberinya uang dari hasil tabungannya yang sebenarnya ia simpan untuk biaya kuliah Damar.
Suatu malam, Damar pulang dengan wajah penuh luka. Bu Siti yang sedang terlelap langsung terbangun mendengar pintu diketuk keras.
“Astaghfirullah, Damar! Apa yang terjadi?” tanya Bu Siti panik.
Damar hanya menunduk. “Aku... Aku berantem, Bu. Mereka curang, ambil uangku.”
Bu Siti menahan tangis. Ia tidak tahu bagaimana harus menyikapi ini. Namun, ia segera mengambil kain basah dan membersihkan luka di wajah anaknya.
“Mau bagaimana pun, kamu tetap anak ibu,” katanya lembut.
Namun, malam itu menjadi titik balik. Damar semakin sering terlibat masalah. Ia bahkan mulai menjauh dari Bu Siti. Tidak jarang, ia menghilang selama beberapa hari tanpa kabar.
---
Suatu hari, Damar tidak pulang sama sekali. Hati Bu Siti hancur. Ia mencoba mencari Damar ke mana-mana, bahkan bertanya ke teman-temannya, tetapi tidak ada yang tahu.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Bu Siti tetap mencari Damar sambil menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia tidak pernah berhenti berdoa agar anaknya kembali.
Tiga tahun berlalu, dan Damar tidak pernah muncul.
Bu Siti yang sudah tua semakin ringkih. Tubuhnya lemah, tetapi ia tetap bekerja di pasar. Suatu hari, seorang pria muda dengan pakaian lusuh datang ke lapaknya. Wajahnya kotor, rambutnya acak-acakan, tetapi matanya memancarkan penyesalan yang dalam.
“Ibu…” suara itu terdengar serak, tetapi sangat familiar.
Bu Siti membeku. Tangannya gemetar saat ia mengangkat wajahnya dan melihat pria itu.
“Damar?” ia berbisik dengan air mata mengalir deras.
Damar berlutut di depan ibunya, menangis seperti anak kecil. “Maafkan aku, Bu. Aku sudah terlalu jauh menyakiti ibu. Aku tidak tahu bagaimana caranya kembali. Tapi sekarang aku di sini, Bu. Aku ingin memperbaiki semuanya.”
Bu Siti memeluk Damar erat, seolah tidak ingin melepaskannya lagi. “Anakku… Ibu sudah lama menunggu hari ini. Kamu pulang, itu saja sudah cukup bagi ibu.”
Sejak hari itu, Damar mulai membantu ibunya berjualan. Ia juga mulai mencari pekerjaan untuk membayar semua hutang yang ia tinggalkan. Perjuangan tidak mudah, tetapi Bu Siti selalu ada di sisinya, memberikan dukungan tanpa henti.
Namun, tubuh Bu Siti semakin melemah. Suatu pagi, saat Damar hendak berangkat kerja, Bu Siti memanggilnya.
“Damar, ibu bangga padamu. Apa pun yang terjadi, teruslah berjalan. Jangan berhenti hanya karena ibu sudah tidak ada,” katanya dengan suara lembut.
Damar menggenggam tangan ibunya erat. “Bu, jangan bicara seperti itu. Aku ingin ibu melihat aku sukses, membahagiakan ibu.”
Bu Siti tersenyum lemah. “Ibu selalu bahagia, Nak, selama kamu ada di jalan yang benar.”
Beberapa hari kemudian, Bu Siti meninggal dunia dalam tidurnya. Damar merasa hancur, tetapi ia tahu ibunya tidak ingin melihatnya terpuruk.
Kini, Damar bekerja keras, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mewujudkan semua harapan ibunya. Setiap langkah yang ia ambil, ia selalu ingat wajah ibunya yang penuh cinta dan pengorbanan.
Kasih ibu memang tidak pernah berakhir. Bahkan setelah kepergiannya, cinta itu tetap hidup, menjadi kekuatan yang membimbing kita di jalan kehidupan.
---
~Hola