❝𝐀𝐍𝐓𝐑𝐄𝐀𝐍 𝐃𝐀𝐑𝐀𝐇 𝐃𝐈𝐁𝐀𝐖𝐀𝐇 𝐂𝐀𝐇𝐀𝐘𝐀 𝐁𝐔𝐋𝐀𝐍 𝐌𝐀𝐋𝐀𝐌 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐄𝐋𝐀𝐇❞
𓁿
MEREKA semua mengantre darah.
Tujuh divisi, tujuh nyawa. Dua dunia, dua kehidupan. Hidup untuk mati, mati untuk abadi.
Di bawah langit malam yang penuh dendam, puluhan, bahkan ratusan, tatapan mata hampa menatap cawan-cawan berisi cairan merah pekat di atas altar, berkilau di bawah sinar bulan yang sekarat.
Desah napas setan kematian menyelimuti udara, berbisik tentang pengorbanan dan dosa yang tak terampuni. Di kejauhan, gonggongan anjing-anjing neraka memecah keheningan, lendir mereka menyapu permukaan dengan menjijikan.
Di barisan terdepan, seorang pria muda dengan mata elang dan rambutnya yang se hitam arang menatap lurus ke depan. Pakaian lusuhnya menandakan perjalanan panjang yang telah ia tempuh untuk sampai di sini. Namanya adalah Lorian, dan dia bukan siapa-siapa dalam dunia yang kejam ini. Namun, di balik mata yang tajam itu, tersembunyi tekad yang tidak pernah pudar, seolah-olah siap memenggal malaikat maut yang datang menjemputnya.
“Tidakkah kau merasa takut?” bisik seorang wanita tua di sebelahnya, suaranya serak oleh usia dan penderitaan.
Lorian menoleh, menatap wajah wanita tua itu yang dipenuhi keriput. “Takut? Takut sudah tidak berarti lagi di dunia ini. Kita semua mati untuk abadi, bukan?”
Kita bernapas demi menemui ajal.
Dan ajal merengkuh kita menuju kekekalan.
Saat kematian menyapa, raga kita berpindah alam—kita tak lagi insan sehat dengan darah mengalir di setiap serat. Selepas itu, kita meraih keabadian, bukan sebagai makhluk dahaga darah serupa vampir, melainkan sebagai entitas dari kaum yang lebih luhur (agung).
Kaum Sangraal.
Wanita tua itu tersenyum pahit. “Kata-kata yang indah untuk kematian yang mengerikan.”
Mati bukanlah hal yang paling buruk.
Yang paling buruk adalah: kepalamu dipenggal, bola mata dicongkel, lalu dicangkokkan dengan anggota tubuh lainnya, merasakan sakit yang nyata tanpa henti. Karena kau abadi. Kau dipaksa menikmati rasa sakit itu tiap detiknya, tanpa pernah bisa mati.
Di depan mereka, seorang pria besar dengan jubah hitam melangkah maju, membawa cawan berisi darah segar. “Berdoalah, karena darah ini adalah hidup dan mati kalian,” katanya dengan suara menggelegar yang memecah keheningan.
Lorian maju selangkah, menerima cawan itu dengan percaya diri. Ia menatap cairan merah itu, merasakan kehangatan dari darah yang mendidih di telapak tangannya. “Apa yang harus kulakukan?” tanyanya perlahan.
“Minumlah, dan biarkan darah ini menyatu dengan jiwamu, biarkan darah ini merobek nyawamu dan menggantinya dengan yang baru,” jawab pria berjubah hitam. “Hanya mereka yang kuat yang akan bertahan.”
Kemungkinan besar hanya ada dua jalan: kematian atau keabadian. Namun, bagi Lorian, harapan tipisnya tertambat pada kemungkinan pertama setelah meneguk cairan pekat yang mematikan itu.
Dia hanya ingin mati, untuk mengakhiri penderitaan abadi yang mengikat jiwanya dalam siklus tanpa akhir. Lorian tahu bahwa kematian adalah satu-satunya jalan pembebasan dari siksaan yang tak pernah surut.
Dia mendambakan akhir, suatu kelegaan yang tak pernah hadir. Bagi Lorian, mati adalah rahmat yang diidamkan, penghentian dari segala derita yang memenjarakan dirinya.
Dengan tekad yang bulat, Lorian mengangkat cawan itu ke bibirnya dan meneguk darah tersebut. Rasa logam yang tajam memenuhi mulut dan tenggorokannya, cairan itu menyusuri tenggorokannya dengan rasa getir yang mengiris, seolah menjadi pembawa pesan terakhir dari kegelapan. Dan seketika itu juga, dunia di sekitarnya terasa berubah. Suara-suara aneh mulai berbisik di telinganya, bayangan-bayangan gelap merayap di sudut-sudut penglihatannya. Cawan itu terjatuh, dan sisa-sisa darah menggenang di karpet dengan warna senada.
Darah itu bukan darah babi atau hewan lainnya, kaum Sangraal tak serendah itu mengonsumsi darah makhluk hina demi keabadian.
Cairan itu adalah darah dari nadi malaikat. Warnanya merah pekat dengan kilauan kebiruan yang tak biasa. Anugerah dari Yang Kuasa.
“Apa yang terjadi?” seru Lorian, terhuyung-huyung ke belakang.
“Welcome to the realm of darkness, Sanguine Vale,” pria berjubah hitam itu tertawa, suara tawa yang menggema dalam kegelapan. “Di sini, hidup dan mati adalah satu dan sama.”
Lorian merasakan tubuhnya berubah, kekuatan yang aneh mengalir dalam nadinya. “Apa ini? Apa yang kau lakukan padaku? Kenapa aku tidak mati?”
“Sederhana, kau telah terpilih,” jawab pria itu. “Sekarang, kau adalah bagian dari kami, kaum Sangraal. Hidup untuk mati, mati untuk abadi.”
Lorian terdiam, merasakan kegelapan yang menguasai dirinya. Di kejauhan, gonggongan anjing-anjing neraka terdengar semakin dekat, membelah keheningan dengan gemuruh yang memekakkan. Setiap suara bagaikan lonceng kematian yang menggema di telinganya, menandakan kedatangan para pembawa malapetaka.
Dia hanya harus menerima semuanya, menerima bahwa dia abadi.
Sebagai kaum Sangraal.
𓁿
Malam itu, di tengah reruntuhan kastil kuno, Lorian berdiri di tengah lingkaran tujuh divisi yang membentuk inti dari dunia kegelapan. Setiap divisi dipimpin oleh seorang pemimpin dengan kekuatan yang menakutkan, dan mereka semua menatap Lorian dengan mata yang tajam penuh misteri.
“Selamat datang, Lorian,” kata seorang wanita berambut perak yang berdiri di depan lingkaran. “Aku adalah Seraphine, pemimpin divisi pertama. Setiap divisi memiliki tugas dan peran mereka dalam dunia Sanguine Vale, dan kau akan segera mengetahui apa yang menjadi takdirmu.”
Lorian hanya bisa mengangguk, masih merasakan perubahan dalam dirinya. “Apa yang harus kulakukan sekarang?”
“Ikuti aku,” jawab Seraphine, memimpin jalan menuju sebuah pintu besar yang terbuat dari batu. “Malam ini adalah awal dari ujianmu. Jika kau berhasil, kau akan menjadi salah satu dari kami. Jika tidak, kau akan binasa seperti yang lainnya.”
Lorian menjawab, “Aku memang mendambakan kematian.”
Seraphine tersenyum, “Semoga kau bisa teguh dengan keinginan awalmu.”
Saat mereka melangkah melalui pintu besar itu, Lorian melihat koridor panjang yang dipenuhi dengan lukisan-lukisan mengerikan dan patung-patung makhluk yang tidak dikenal. Cahaya obor menerangi jalan mereka, menciptakan bayangan yang menari di dinding.
“Tempat ini ... apa sebenarnya?” tanya Lorian dengan suara penuh pertanyaan.
“Ini adalah jantung dari dunia Sanguine Vale, realm of darkness,” jawab Seraphine tanpa menoleh. “Di sini, kita mempersiapkan mereka yang terpilih untuk menghadapi kegelapan dan menemukan kekuatan sejati mereka. Setiap langkah yang kau ambil akan membawamu lebih dekat ke nasibmu.”
Mereka tiba di sebuah ruangan besar dengan altar di tengahnya. Di atas altar, ada sebuah pedang yang bersinar dengan cahaya merah yang memancar.
“Ambil pedang itu,” perintah Seraphine. “Itu adalah simbol dari kekuatan dan tanggung jawabmu. Dengan pedang itu, kau akan menaklukkan ketakutanmu dan menjadi prajurit sejati dari dunia Sanguine Vale.”
Lorian melangkah maju, merasakan tarikan magnetis dari pedang itu. Ia meraih gagangnya, merasakan energi yang mengalir ke dalam tubuhnya. Saat ia mengangkat pedang itu, cahaya merahnya semakin bersinar terang, memenuhi ruangan dengan cahaya yang menakjubkan.
“Dengan ini, kau resmi menjadi bagian dari kami,” kata Seraphine, suaranya penuh dengan kebanggaan dan harapan. “Sekarang, tunjukkan bahwa kau layak untuk berdiri di antara kami.”
Lorian menatap pedang itu, merasakan kekuatan baru yang mengalir dalam dirinya. Ia tahu bahwa malam ini adalah awal dari perjalanan yang penuh dengan bahaya dan tantangan, tetapi ia juga tahu bahwa di dalam kegelapan ini, ia akan menemukan kekuatan sejati yang akan mengubah nasibnya selamanya.
Persetan dengan keabadian.
Aku akan bunuh diri.
════ •⊰❂⊱• ════