“Mama, tangan mama kasar banget, mama juga kelihatan capek, apa mama nggak minta libur aja buat istirahat?”
“Nggak bisa, sayang, kalau mama nggak kerja, kita makan dari mana?”
Zia dan mamanya sedang dalam perjalanan pulang. Sudah jadi kebiasaan Zia, sepulang sekolah, dia selalu menunggu mamanya pulang kerja meskipun sudah larut malam. Tidak jarang juga Zia selalu membantu mamanya di toko roti sebagai pelayan. Toko roti itu memang terkenal banget sama rotinya yang enak dan lembut. Pemilik toko roti itu nggak keberatan dengan bantuan Zia. Alasan kenapa mama Zia bisa bikin roti yang lembut banget itu karena mama Zia belajar teknik bikin roti dari mamanya waktu masih sekolah dulu. Setelah diselidiki, mama Zia itu lahir dari keluarga pengusaha makanan yang terkenal dan mapan, tapi usahanya itu bangkrut saat ada musibah yang menewaskan seluruh keluarganya, tinggal mama Zia yang tersisa.
Tragedi itu terjadi sekitar tahun 1980, saat ibu Zia masih duduk di bangku SMA. Di masa sekarang, Zia dan ibunya berusaha untuk tetap bersemangat menjalani hidup, meski dengan segala keterbatasan yang ada. Meski Zia tahu tentang masa lalu ibunya yang kaya raya, ia tak mau larut dalam kisah itu. Ia sadar, ia terlahir miskin. Apalagi setelah ayahnya meninggal 2 tahun lalu karena kecelakaan kerja, ia dan ibunya harus berusaha lebih keras lagi. Zia yang masih SMA, harus merasakan pahitnya hidup karena masalah uang.
Sore harinya...
Zia dan ibunya sedang bekerja seperti biasa, tiba-tiba ada pelanggan yang datang melempar piring.
"Hei pelayan, kau sengaja meracuniku, lihat roti ini sudah berjamur, apa kau tidak punya mata?!" teriak pelanggan itu dengan sangat keras kepada Zia.
"Menurutku roti ini enak, tidak berjamur, lagi pula aku selalu mengecek setiap roti sebelum disajikan kepada pelanggan." Jawab Zia.
"Maksudmu aku berbohong ya! Aku tidak mau tahu, aku mau minta ganti rugi." Gertak si pelanggan.
"Nggak bisa, tetap harus bayar, lagian nggak ada bukti, bisa aja roti ini sengaja dipalsuin!" jawab Zia kesal.
"Beraninya kamu!" Pelanggan itu mengayunkan tangannya berniat menampar wajah Zia.
Plakk...!
Tamparan itu kena ibunya, benar ibu Zia melindunginya.
"Bu! Ngapain ibu ngehalangi aku? Hei, pelanggan kurang ajar, cepat minta maaf sama ibu!" teriak Zia.
"Oh jadi dia ibumu...hei, nenek tua, ajari anakmu sopan sama pelanggan, pokoknya aku nggak mau bayar, kalau perlu biar aku yang ngomong sama pemilik toko roti ini, perihal keluhan, lihat anakmu melayaniku dengan roti berjamur."
"Maafkan anakku, aku janji kejadian ini nggak akan terulang lagi." Ibu Zia minta maaf sambil menundukkan pandangannya, dan mencubit tangan Zia agar dia ikut menunduk.
Akhirnya kejadian itu berakhir damai, tapi sekali lagi Zia menghampiri pelanggan itu. "Hei gendut! Cih!" Zia meludahi pelanggan itu sambil mengacungkan jari tengahnya.
Setelah Zia dan ibunya selesai bekerja, seperti biasa mereka selalu berpegangan tangan sambil bernyanyi. Dari arah berlawanan, tiba-tiba tas milik ibunya dirampas oleh segerombolan geng motor. Zia dan ibunya digoda oleh anak-anak geng motor.
Ada sebuah mobil mendekat dan ya... ada yang keluar, yaitu pelanggan yang membuat keributan tadi. Ternyata pelanggan itu tidak terima diludahi oleh Zia. Zia dan ibunya langsung tersadar, ibu Zia langsung berlutut untuk meminta maaf, sedangkan Zia tidak mau melakukan hal itu. Anak-anak geng motor itu menyeret ibu Zia, sedangkan Zia diseret paksa untuk menghadap pelanggan itu.
"Minta maaf ngga." Pelanggan itu menjambak rambut Zia.
"Cih! Aku tidak akan pernah minta maaf padamu, karena kamu yang salah." Sekali lagi Zia meludahinya.
Pelanggan itu memukul Zia dengan sangat keras, hingga membuat ibunya berteriak histeris, "Tidakk, jangan pukul anakku! Aku mohon, maafkan dia." Sambil berlutut.
"Kenapa kamu tidak menurut saja, menuruti perintah ibumu yang sudah tua itu, berlutut dan minta maaf, cepat!" Sambil memaksa Zia. Namun untuk ketiga kalinya Zia meludahinya. Sehingga membuat pelanggan itu sangat marah. Pelanggan itu memberi isyarat kepada geng motor itu untuk memukul ibu Zia sementara dia memukul Zia.
Keduanya pun dipukuli, Zia melihat ibunya tergeletak lemah di tanah, dia pun dengan cepat mengambil batu bata, dan memukul pelanggan itu dengan brutal sambil berteriak, "Aku tidak bersalah, aku bilang aku tidak bersalah!." Kata-kata itu terus diulang-ulangnya, membuat anak-anak geng motor itu terdiam dan berhenti memukul ibu Zia.
"Hahh hahhh"
Zia menghentikan aksinya, pakaian yang dikenakannya penuh dengan darah dari kepala pelanggan itu.
"Masih ada yang menantangku? Kemarilah, akan kuhabisi kalian semua!" Dengan penuh amarah, Zia menantang geng motor itu.
"Berani sekali kau mendekati kami, nanti ibumu juga yang mati!" sambung salah satu anak dari geng motor itu. Zia tidak mendengarkannya, ia malah terus melangkah maju mendekati ibunya. Lalu, dari belakang ibu Zia.
Plakk..!!
Sebuah pukulan yang sangat keras menghantam kepala ibunya, menggunakan tongkat baseball. Ibu Zia pun jatuh tergeletak dengan bersimbah darah.
"Ibu...!" teriak Zia histeris dan menangis sangat keras, sementara geng motor dan pembeli itu berlarian. Zia segera membawa ibunya ke rumah sakit, karena pendarahannya sangat banyak, ibunya harus menjalani operasi dan dirawat. Sementara itu, ia bingung harus mencari biaya rumah sakit dari mana. Ia menduga, andai saja keluarga ibunya tidak bangkrut, mungkin mereka tidak akan mengalami kesulitan seperti sekarang.
Zia keluar rumah tanpa arah, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Menatap tangan penuh darah, menatap ke depan tanpa arah. Ia rindu ayahnya, ia rindu masa kecilnya dulu. Ia tak sanggup lagi menahan sakit, ia pun memanjat tepi jembatan dan menatap sungai yang lebar. Ia pun sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya di sana.
"Tuhan andai saja aku hidup lebih awal sebelum semuanya lenyap, aku ingin memperbaiki semuanya." Zia penuh harap, memejamkan mata dan berdoa, hingga air matanya jatuh. Saat air mata Zia jatuh, ia tiba-tiba terjatuh dan tenggelam di sungai yang dalam. Ia mendongak dan berkata dalam hati, "Apakah aku akan mati? Ibu, maafkan aku."
Seketika waktu di atas permukaan sungai berhenti. Aktivitas semua orang berhenti, kendaraan berhenti, kecuali saat Zia tenggelam, tidak berhenti. Dan sebuah jam, menunjukkan putaran waktu yang terbalik. Saat putaran waktu telah berhenti, Zia tiba-tiba melihat seseorang berenang menghampirinya, meraih tangannya dan memeluknya, Zia pun tak sadarkan diri.
***
Zia membuka matanya yang sudah beberapa hari terpejam, rasa sakit menyerang kepalanya saat hendak bangun, tiba-tiba kilasan kenangan terus terputar di kepalanya. Zia teringat bahwa dirinya pernah terjatuh di sungai dan ibunya sedang dirawat di rumah sakit. Ia bergegas keluar dari kamar.
"Permisi, bagaimana keadaan ibu saya? Di mana kamar ibu saya?" tanya perawat Zia bingung.
"Maaf, ibu Nona baik-baik saja." Jawab suster.
"Di mana dia sekarang?" tanya Zia untuk kedua kalinya. Perawat itu kembali bingung, "Eh.... ah, itu ibu Nona, baru saja datang."
"Baru saja datang?" pikir Zia.
Saat gadis itu tengah memikirkan nasib buruk ibunya, tiba-tiba seorang wanita menghampirinya, membelai wajahnya dan menangis, lalu ia memeluk Zia.
"Anakku hidup kembali hiks...hiks aku sangat bersyukur, kukira kau akan meninggalkanku sendiri Lea."
"Anakku? Lea? Lea nama ibuku." pikir Zia, ia semakin bingung, dan melepaskan pelukan wanita itu.
"Tunggu, aku Lea? Lea adalah nama ibuku."
"Apa?!" Keduanya saling menatap bingung.
"Jangan teralihkan, kamu adalah anak ibu Lea. Apakah ada sesuatu di kepalamu yang tidak kamu ingat, ibu?" Sambil menyentuh kepala Zia.
Zia langsung melihat ke cermin, saat dia melihat ke cermin dia terkejut dan berteriak, "Aaaaaa....." dan pingsan.
Saat dokter memeriksanya lagi, dia ditemani oleh wanita itu. Zia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
"Aku ada di tubuh ibuku? Apa ini mimpi? Apa aku sudah mati? Tidak mungkin!" Zia terus tertegun, dengan segala pertanyaan di kepalanya, sambil terus menatap wanita dan dokter itu.
"Permisi, sekarang tahun berapa?" tanya Zia. Dokter dan wanita itu saling berpandangan dengan heran, "Sekarang tahun 1980, sepertinya anak anda mengalami hilang ingatan karena kejadian kemarin." Jawab dokter itu.
Akhirnya Zia menyimpulkan bahwa jiwanya terlempar ke masa lalu, dan masuk ke tubuh ibunya. Dengan kata lain, jiwa mereka saling bertukar, saat mereka berdua jatuh ke sungai, maka, dirinya di masa depan memiliki jiwa ibunya.
"Aku melewati putaran waktu ke masa lalu, sedangkan jiwa ibuku masuk ke tubuhku di masa depan. Itu artinya... yang ada di hadapanku sekarang adalah nenekku." Dengan mata berkaca-kaca, dia tidak percaya bisa melihat neneknya, karena sejak Zia lahir, dia tidak pernah melihat kakek dan neneknya, bahkan foto pun tidak. Zia memeluk erat neneknya.
"Hiks...hiks nek...bukan, maksudku ibu...! (kalau aku panggil nenek pasti dia bingung, tidak apa-apa kalau aku panggil ibu)."
"Aduh Lea anakku, anakku yang malang." ***
Akhirnya Zia yang berada di tubuh ibunya pun diperbolehkan pulang. Ia pun pulang bersama ibunya. Sesampainya di rumah, Zia dibuat takjub dengan rumah tua milik ibunya. Di sebuah rumah yang elegan dan bergaya vintage, Zia diantar oleh seorang pembantu menuju kamarnya. Zia dibuat takjub dengan kamar ibunya yang sangat rapi, estetik, dan harum.
"Wah...ini benar-benar kamar wanita." Ia pun langsung merebahkan diri di ranjang, seketika Zia melihat foto-foto ibunya semasa kecil, SD, dan SMA. "Ibu memang anak orang kaya, semua ceritanya selama ini tidak bohong, lihat foto ini... wah, sangat fashionable untuk tahun 80-an."
"Tunggu dulu, kalau aku kembali ke masa lalu apa yang harus kulakukan?" Sambil melihat ke sekeliling kamar Zia terus berpikir apa yang harus ia lakukan. Akhirnya ia teringat sesuatu.
*Flashback* "Tragedi itu terjadi setelah ulang tahun ibu, sekitar tanggal 21 Juni." Kenangan cerita dari ibu Zia. Flashback off
"Sebelum aku jatuh, aku berdoa agar aku dilahirkan lebih awal dan memperbaiki semuanya, itu artinya aku pergi ke masa lalu untuk bisa mencegah tragedi itu, tragedi kebakaran besar di rumah ini, rumah nenekku... yang menewaskan semua orang. Gara-gara kebakaran itu, usaha nenekku bangkrut karena harus membayar ganti rugi kepada semua karyawan." Ia langsung mencari kalender.
"Iya, aku ingat, ibuku pernah bercerita padaku bahwa tragedi itu terjadi pada tanggal 21 Juni 1980, dan sekarang sudah tanggal 18 Juni...?" Ia kaget karena tragedi itu akan terjadi beberapa hari lagi. "Bagaimana ini? Aku hanya punya waktu 3 hari, bisakah aku kembali ke masa depan setelah berhasil mencegah tragedi itu?"
Prang! "Aaaaaa..!"
Suara piring pecah terdengar dan terdengar teriakan dari salah satu pembantu rumah. Beberapa orang langsung berlarian ke arah sumber suara, termasuk Zia.
"Ada apa?"
"Apa yang terjadi?" Beberapa pembantu terus bertanya-tanya.
"Banyak sekali ayam mati dan darah di mana-mana di dapur." Jawab koki yang melihatnya.
"Apakah orang yang sama yang melakukannya?" tanya pelayan lainnya.
"Pelaku?" pikir Zia.
"Lea, kamu masuk saja ke kamarmu dan biarkan para pembantu yang mengurusnya." perintah Ibu Lea. Saat masuk ke kamar, Zia masih penasaran dengan apa yang terjadi. Sekilas, dia teringat cerita ibunya di tahun 2024.
Flashback "Sebelum tragedi itu, keluargaku hampir setiap hari diteror, bahkan Tuan Lora, sekretaris nenekmu, selalu menemanimu ke mana pun kamu pergi, Tuan Lora juga melindungi nenekmu dari reruntuhan rumah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, nenek dan Tuan Lora terjebak di dalam hingga terjadi ledakan besar."
"Lalu di mana kakek? Kenapa kakek tidak datang?" Tanya Zia.
"Kakekmu dulu anggota TNI, dia ditugaskan di pulau lain, saat kakekmu tahu nenekmu meninggal, dia pulang, dia menangis histeris. Bahkan dia sempat mengalami depresi dan mengundurkan diri dari TNI, kakek meninggal sebulan setelah kejadian karena serangan jantung." Flashback off
"Aku harus mencari Tuan Lora." Setelah mencari di seisi rumah, akhirnya dia bertemu dengan Tuan Lora.
"Oh Nona Lea, Anda tampak baik-baik saja." Sapa Tuan Lora.
"Tuan Lora, saya ingin membicarakan sesuatu." Zia langsung mengenalinya dari tanda nama yang dikenakan Tuan Lora.
Mereka berdua duduk di taman samping rumah. "Apa yang sebenarnya terjadi di rumah, mengapa selalu ada teror, dan siapa yang menyelamatkanku saat aku tenggelam?" Tanya Zia penasaran.
"Sebenarnya aku tidak seharusnya memberitahumu, tetapi sepertinya sudah saatnya Nona Lea tahu semua itu. Jadi beberapa minggu yang lalu Nyonya Lin menolak ajakan untuk bekerja sama dengan Perusahaan Food Connect karena suatu alasan, tetapi direktur perusahaan itu tidak menerimanya, dia tetap ingin bekerja sama, dia juga mengatakan bahwa jika Nyonya Lin menolak, sudah pasti perusahaan itu akan bangkrut, dan anehnya, setelah penolakan itu, terjadilah kejadian seperti teror hari ini, termasuk kejadian ketika Nona Lea tenggelam. Sepertinya ada yang sengaja ingin mencelakai Nona. Kasus ini sedang diselidiki sementara Nyonya Lin mencurigai direktur perusahaan itu yang menyuruh orang-orang untuk meneror rumah ini." Tuan Lora menjelaskan
"Hmmm... jadi begitu." Zia bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan Tuan Lora.
"Tuan Lora, tolong buatkan surat izin dari sekolah selama 1 minggu, saya juga akan menyelidiki ini, jangan beri tahu ibu saya. Karena saya tahu sesuatu akan terjadi, sesuatu yang mengerikan." Dia benar-benar meninggalkan Tuan Lora.
Keesokan harinya, 19 Juni 1980, Zia menyelinap ke kantor ibunya untuk mencari dokumen kerja sama dengan Perusahaan Food Connect. Setelah Zia berhasil mendapatkannya, ia pun segera keluar. Zia menuju ke dapur, namun ia melihat seorang bule mengenakan topi sedang merokok di halaman belakang, kemudian seseorang menghampirinya sambil membawa tas, ternyata tas itu berisi uang. Zia menghampiri kedua lelaki itu sembari menguping pembicaraan mereka.
"Seisi rumah sangat terkejut, idemu gila." Ucap lelaki yang membawa tas itu.
"Penjahat mana yang tidak gila jika bayarannya tinggi hahaha malang gadis itu selamat, kalau tidak gajiku pasti lebih tinggi dari ini." Ucap lelaki yang sedang merokok itu.
"Jangan dibahas di sini, bagaimana kalau ada yang mendengarnya?" Ucap lelaki yang membawa tas itu.
"Baiklah, sampaikan terima kasihku kepada Boss Nathan."
Zia pun segera masuk ke dalam rumah dan pergi ke kamarnya untuk melihat dokumen itu. "Jadi benar direktur itu pelakunya, aku harus menemui Tuan Lora."
Mereka bertemu di sebuah kafe klasik, dan Zia menceritakan semuanya.
"Saya yakin dia pelakunya, kita harus melaporkannya ke polisi." Zia bersikeras.
"Tapi kita tidak punya bukti, Nona." Zia pun merasa bingung, akhirnya dia mengatakan yang sebenarnya.
"Tuan Lora, sekarang Anda adalah orang yang paling saya percaya, dan tolong percayalah dengan apa yang saya katakan. Tanggal 21 Juni nanti akan terjadi kebakaran, semuanya akan terbakar, saya ingin menyelamatkan ibu saya dan semua orang, termasuk Anda. Jika polisi tidak bisa membantu maka saya sendiri yang akan mencegah hal itu terjadi." Jelas Zia.
"Bagaimana Nona tahu kalau akan terjadi kebakaran?" tanya Tuan Lora.
Namun Zia tidak menjawab pertanyaan itu. Dia lalu pergi meninggalkan Tuan Lora.
Tanpa diketahui siapa pun, Zia pergi ke Food Connect Company untuk menemui sang direktur, Direktur Nathan. Zia memasuki ruangan tempat sang Direktur menunggu kehadirannya. Zia sejenak terkesima saat melihat wajah sang Direktur, seorang pria dewasa yang tampan dan tinggi. Direktur Nathan menghampiri Zia dan menatapnya, tangannya ingin menyentuh wajah Zia, namun Zia menghindarinya.
"Kau pelakunya? Kaulah dalang teror itu, kau jugalah yang mencelakaiku." Tanya Zia.
"Aku tidak bermaksud mencelakaimu, itu semua gara-gara orang-orang bodoh itu, apa kau tidak ingat siapa yang menyelamatkanmu saat kau tenggelam? Akulah yang menyelamatkanmu. Dan untuk teror itu, akulah pelakunya." Jawab Direktur Nathan.
"Kenapa?" tanya Zia sekali lagi dengan tatapan tajam.
"Karena ibumu tahu bahwa tujuanku adalah meminta kerja sama agar aku bisa menikahimu, dia menolakku, lalu kudengar ibumu akan menjodohkanmu dengan orang lain. Aku merasa ibumu benar-benar meremehkanku, jadi aku tunjukkan apa yang bisa kulakukan." Jawab Direktur Nathan.
"Jadi kau melakukan ini hanya karena kau cemburu, dengar, aku tidak pernah menerima siapa pun, termasuk kau, jadi tolong hentikan ini, jangan menjadi orang bodoh karena obsesimu dengan orang lain." Jelas Zia.
Direktur Nathan tersenyum tipis, "Bagaimana jika aku tidak mau?"
"Aku akan melaporkannya ke polisi, psikopat!" Kemudian Zia pergi, sebelum meninggalkan ruangan dia meninggalkan sebuah kata, "Aku tahu apa yang akan kamu lakukan jadi aku akan mencegahnya, aku tidak ingin kehilangan apa pun lagi."
Direktur Nathan memerintahkan salah satu bawahannya untuk mengikuti Zia. Malam harinya Lea menemui ibunya untuk membicarakan sesuatu.
"Ibu, apakah ibu sibuk pada tanggal 21? Jika tidak, bagaimana kalau kita pergi berlibur ke vila, rasanya kita sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama." Tanya Lea.
"Sepertinya itu ide yang bagus, sudah lama kita tidak keluar bersama, oke, aku akan mengosongkan semua jadwalku pada tanggal 21." Mereka berdua sepakat untuk pergi berlibur ke vila, sayangnya pembicaraan itu didengar oleh bawahan Direktur Nathan, dan dia melaporkannya.
Di telepon, "Buat mereka menyesal, atau bunuh saja mereka." Perintah Direktur Nathan.
Pada tanggal 21 Juni 1980, hari kejadian. Tuan Lora membantu menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan Tuan Lin. Setelah itu, ia menemui Lea.
Tok Tok!
Terdengar ketukan di pintu kamar Lea, "Nona, alasan di balik liburan ini karena kebakaran?" Tuan Lora masih tidak percaya dengan perkataan Zia.
"Ya, benar, saya akan mengantar ibu saya agar ia tidak ada di rumah, Tuan Lora juga tidak boleh ada di rumah ini." Akhirnya mereka keluar, setelah Nona Lea dan Nyonya Lin pergi, tiba-tiba Tuan Lora melihat sebuah mobil yang mencurigakan, yang sedang mengikuti mereka. Karena khawatir, Tuan Lora pun mengikuti mereka secara diam-diam.
Tidak ada hal aneh yang terjadi setelah mereka tiba di villa tersebut. Tuan Lora terus memperhatikan mobil mencurigakan itu dari kejauhan, hingga beberapa orang keluar dari mobil tersebut, yaitu 4 orang pria aneh yang masing-masing membawa seember minyak tanah. Tuan Lora pun teringat dengan perkataan Zia terkait tragedi kebakaran pada tanggal 21 Juni 1980. Tuan Lora terus mengikuti ke-4 orang pria itu, sembari memperhatikan kebersamaan Nona Lea dan Nyonya Lin.
Tanpa sengaja ia mendengar pembicaraan ke-4 orang pria itu. Bahwa mereka akan melaksanakan aksinya pada malam hari saat Nyonya Lin dan Nona Lea sedang tertidur lelap.
Tuan Lora pun heran, "Bagaimana caranya aku memberi tahu Nyonya Lin dan Nona Lea? Sekarang, aku tidak bisa, ke-4 orang pria itu selalu mengawasi. Ah...aku punya ide!" Akhirnya Tuan Lora menyelinap masuk ke dalam villa dan bersembunyi di kamar Lea. Tujuannya agar ke-4 orang pria asing itu tidak mengetahuinya.
Sore harinya sekitar pukul 4 sore. "Aaaaa...Tuan Lora? Sedang apa kau di sini?" Zia sangat terkejut dengan kehadiran Tuan Lora dari dalam lemari.
"Hust... Nona, Nona, maafkan saya harus menyelinap seperti ini, saya punya kabar buruk." Tuan Lora menjelaskan dengan pelan agar tidak terdengar.
"Ada apa, Tuan Lora?" tanya Zia. "Ternyata Nona benar, ada 4 orang asing yang mengikuti Nona dan Nyonya, mereka membawa minyak tanah, sepertinya mereka diperintahkan untuk menyakiti Anda, kita harus segera pergi dari sini." Tuan Lora menjelaskan dengan cemas.
"Jadi benar itu ulah Direktur Nathan. Itu saja, sekarang Tuan Lora panggil polisi, sementara saya dan Ibu akan pergi ke tempat yang aman."
"Tapi perjalanan ke kota memakan waktu 2 jam, itu waktu yang cukup lama." Ucap Tuan Lora.
"Tidak apa-apa, saya akan mengurus sisanya." Zia yang berada di tubuh ibunya menghampiri neneknya sambil berkata, "Bu, malam ini kita harus tinggal bersama." Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, tetapi Tuan Lora belum juga datang.
Zia pun mengajak neneknya jalan-jalan. Saat mereka keluar bersama, Zia melihat beberapa orang sedang mengawasi, ia pun menyadari bahwa mereka adalah para pembunuh yang diperintahkan oleh Direktur Nathan.
"Sial... kenapa mereka keluar rumah." Ucap salah satu pria itu.
"Awasi saja, jangan sampai lengah." Ucap pria lainnya.
Zia merasa tidak enak, ia takut tidak bisa menyelamatkan nenek dan semuanya. Akhirnya Zia tidak punya pilihan lain selain menceritakan semuanya kepada neneknya.
Nyonya Lin, nenek Zia sangat terkejut mendengar cerita putrinya, "Seharusnya dari awal ibu sudah bilang, ayo pulang!" desak Nyonya Lin.
"Tidak bisa, Bu, kalau kita pulang saja, mereka akan tetap melakukannya, kalau kita pulang tidak akan ada bedanya..." Zia terdiam sejenak sambil merasakan sesak di dadanya.
"Semua orang akan mati termasuk ibu, dan aku tidak bisa membiarkan itu." Jelas Zia.
"Bagaimana kau tahu? lagi pula, ibu tidak akan semudah itu mati, ayo pulang!"
"Ibu...!! Ibu akan mati, ayah akan mati, Tuan Lora juga akan mati, aku tahu..! Aku tahu itu hiks.. hiks... kumohon... jangan pulang." Zia menjerit keras sambil memegang erat tangan neneknya.
Sayang sekali pembicaraan Zia dan Nyonya Lin didengar oleh ke-4 lelaki itu. Salah satu dari lelaki itu memberi aba-aba untuk memulai aksinya.
Dorrr...!
Terdengar suara tembakan di udara, Zia dan Nyonya Lin terkejut, sayangnya, mereka berdua sudah terkepung. Nyonya Lin dan Zia dibawa ke tengah hutan, kaki dan tangan mereka diikat. Tanpa alasan yang jelas, Nyonya Lin dilepaskan dan ia diseret oleh 1 lelaki, didorong ke pohon, lalu 2 lelaki memukuli Nyonya Lin. Kejadian itu mengingatkan Zia pada malam ketika ibunya dipukuli di masa depan. Zia tidak dapat melihatnya, ia mencoba untuk melepaskan ikatan itu. Untuk mengalihkan perhatian 2 orang lainnya, Zia mengajak mereka bicara.
"Apa kalian suka melihat orang disiksa seperti itu? Bukankah kalian juga punya ibu, kalau itu ibu kalian, apa kalian tega melihatnya?" tanya Zia.
Lalu salah satu dari mereka menjawab. "Nak, kalau kamu tidak tahu apa-apa tentang ibu kami, lebih baik diam saja, daripada mulut mu kamu sobek hahaha."
"Kalian lebih cocok jadi pengawal daripada pembunuh, ilmu bela diri kalian juga lumayan bagus." Ucap Zia.
"Diamlah! Kalau saja kami sekaya kalian, kami juga tidak akan mau seperti ini. Zaman sekarang orang bisa dikendalikan oleh uang, orang yang tidak punya bakat pun akan disegani kalau punya banyak uang, sedangkan orang yang punya bakat akan terus terpinggirkan karena kemiskinan mereka." Jawab salah satu dari mereka.
Saat lelaki itu berbicara, Zia berhasil melepaskan ikatan tangannya. Lalu Zia memukul kepala kedua lelaki itu dengan kayu yang cukup besar. Tangan dan kaki Zia terlepas, lalu dia memukul dua orang yang tersisa. Zia memegang tubuh neneknya dan menuntunnya untuk melarikan diri. Terjadilah aksi kejar-kejaran antara Zia, Ibu Lin, dan keempat orang itu.
"Ibu, kemarilah dan sembunyilah di sini!"
"Bagaimana denganmu?" tanya Bu Lin. "Ibu, sembunyilah di sini saja, aku akan mengalihkan mereka. Setelah berhasil, Ibu harus pergi ke vila dan memanggil Tuan Lora. Aku harap Tuan Lora datang bersama polisi." Jelas Zia, ia segera meninggalkan neneknya.
Zia hanya memegang tongkat untuk melawan 4 orang pria.
"Hei... orang bodoh kemarilah dan lawan aku." Teriak Zia, menghalangi mereka di sebuah jembatan menuju vila. Mereka mengepung Zia, tetapi sayangnya Zia tidak mampu melawan mereka. Zia dipukuli sampai babak belur. Akhirnya, Bu Lin berlari ke vila dan segera memanggil Tuan Lora.
"Tuan Lora, tolong...tolong, anakku dipukuli oleh para pembunuh, cepatlah ke sini, jangan lama-lama." Bu Lin terisak saat memanggil Tuan Lora.
"Baik Nyonya, kami akan sampai sekitar 15 menit lagi, polisi, cepatlah." Jawab Tuan Lora.
Kondisi Zia sangat serius, meskipun begitu, ia tetap melawan para pembunuh itu. Salah satu dari mereka menyuruh yang lain untuk mengejar Bu Lin, dan tentu saja Zia tidak tinggal diam, Zia menahan orang yang akan mengejar neneknya, tiba-tiba orang itu memukul kepala Zia dengan sebuah batu. "Aaaaa...Lea..." teriak Bu Lin.
Bu Lin berlari dan memeluk Zia yang berada di tubuh Lea, ia tidak dapat menahan tangisnya lagi, melihat tubuh Lea yang penuh luka, dan darah mengalir dari kepala Lea. Bu Lin sangat marah kepada mereka, ia menyerang para pembunuh dengan brutal. Tiba-tiba Bu Lin melihat pistol tergeletak di sekitar dan segera mengambilnya. Bu Lin mengarahkan pistolnya ke arah mereka, sehingga mereka merasa terancam.
Sambil terkesiap, "letakkan senjata kalian jika tidak ingin tertembak, jangan mendekat." Tepat pada saat sirine polisi berbunyi, para pembunuh itu merasa cemas dan ingin melarikan diri. Namun Bu Lin menghentikan mereka dengan melepaskan dua tembakan ke udara, sekaligus memberitahukan keberadaan mereka. Salah satu pembunuh merasa kesal dengan tindakan Nyonya Lin, jadi dia mengeluarkan pistol yang sama dan mengarahkannya ke Nyonya Lin. Pembunuh itu tahu bahwa amunisi yang tersisa di pistol di tangan Nyonya Lin hanya 2, dengan kata lain, tidak ada amunisi lagi.
"Hei, nenek bodoh, pistol yang kamu pegang tidak memiliki peluru." Kata salah satu pembunuh.
Nyonya Lin juga memeriksa pistolnya. "Rasakan pembalasan dendamku." Kata pembunuh itu lagi.
Dorr....
Salah satu pembunuh akhirnya menembakkan peluru ke Nyonya Lin, tetapi, "Lea! Tidak! Tidak! Lea...!" Ya, peluru itu mengenai bahu Zia, dia melindungi neneknya dalam pelukannya. Pada saat itu Zia mengatakan sesuatu. "Tolong, jaga Lea, jadikan dia wanita yang berkelas dan tangguh, tolong, ajari dia berbisnis agar dia bisa mewarisi bisnis nenek." Kata Zia.
"Nenek?" pikir Nyonya Lin.
"Nenek, aku mencintaimu." Kata Zia.
Dari belakang, salah satu pembunuh memiliki niat tersembunyi, "Kenapa kalian tidak mati bersama saja?"
Si pembunuh mendorong Zia dan Nyonya Lin dari belakang hingga keduanya terjatuh ke sungai. Sekilas, Zia mendengar suara Tuan Lora dan polisi pun menangkap mereka. Zia juga mendengar suara tembakan lagi. Dan, waktu pun tiba-tiba berhenti, Zia merasakan dengungan kuat di telinganya, ia terus memeluk neneknya, hingga akhirnya Zia tak sadarkan diri.
***
Zia memang belum sadarkan diri, tetapi ia seperti mendengar suara-suara aktivitas kota. Akhirnya ia tersadar. Yang pertama kali dilihatnya adalah televisi modern, lalu ia mencari kalender. Dan benar saja, seperti dugaannya, ia kembali ke masa depan di tahun 2024.
Zia pun keluar dari kamar dan langsung mencari ibunya. "Maaf, bagaimana keadaan ibu saya? Di mana kamar ibu saya?" tanya perawat Zia bingung.
"Maaf, ibu Nona baik-baik saja." Jawab Perawat.
"Di mana sekarang?" tanya Zia untuk kedua kalinya.
Perawat itu kembali bingung, "Eh, ah, itu ibu Nona." Zia menoleh ke belakang, ternyata yang datang bukan hanya ibunya saja, melainkan nenek, kakek, dan ayahnya, bahkan Pak Lora.
"Mereka semua masih hidup, aku yang melakukannya." Mata yang berkaca-kaca itu perlahan berubah menjadi air mata. Zia berlari menghampiri ibunya, memeluk semua orang, sambil berkata, "Saya berhasil menyelamatkan kalian."
Tidak ada yang tahu tentang perjalanan waktu yang dilakukan Zia. Setelah kejadian itu, usaha yang dijalankan oleh Ibu Lin menjadi sangat sukses. Ibu Lin dan Lea dibantu oleh Pak Lora berhasil mendirikan perusahaan makanan cepat saji dan restoran. Sementara itu, kakeknya telah pensiun dari jabatannya sebagai jenderal TNI dengan terhormat, dan ayahnya menjadi sekretaris mitra beasiswa pendidikan.
Lalu apa yang terjadi dengan Direktur Nathan? Tentu saja, setelah penyerangan terhadap Ibu Lin dan Lea, polisi berhasil menangkap para pembunuh. Masalah itu pun dibawa ke pengadilan, pihak berwajib pun menangkap Direktur Nathan sebagai dalang kejahatan tersebut atas tuduhan pembunuhan berencana. Namun sayangnya ia tidak dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, melainkan hanya dijatuhi hukuman 40 tahun penjara, karena Direktur Nathan membayar denda lebih dari 1 miliar. Kehidupan yang diinginkan Zia kini telah terwujud, seluruh keluarganya telah bersatu kembali. Ia menyadari bahwa yang membuatnya bahagia saat ini bukanlah harta benda. Namun, yang ia butuhkan dan yang membuatnya bahagia adalah kehangatan kebersamaan dengan keluarganya.
Happy Ending~~~~~
[Jangan lupa mampir ke novel ku juga🥰]